Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tingginya angka kurang gizi pada pasien yang dirawat di bagian bedah
adalah karena kurangnya perhatian terhadap status gizi pasien yang
memerlukan tindakan bedah, sepsis sering terjadi setelah seminggu perawatan,
dan sangat susah ditanggulangi, sebagian besar berakhir dengan kematian
(Djalinz, 1992 dalam Susetia, dkk, 2006).
Faktor asupan nutrisi, nutrisi yang sangat diperlukan antara lain terutama
protein dan kalori untuk membantu proses penyembuhan luka adalah sekitar 1,2-
2g/kg/hari. Diet tinggi protein dan kalori harus tetap dipertahankan selama masa
penyembuhan. Pembentukan jaringan akan sangat optimal bila kebutuhan nutrisi
terutama protein terpenuhi (JM, Moya, 2004 dalam Hananto, Sri, 2012).
Penyembuhan luka setelah operasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu status nutrisi, perawatan luka, kebersihan diri serta aktivitas, dan istirahat
yang seimbang. Pemenuhan nutrisi yang adekuat meningkatkan daya tahan
tubuh dan meningkatkan kemampuan penyembuhan luka (Semba, Martin, 2001
dalam Sri, Dewi, 2012).
Kesembuhan luka operasi sangat dipengaruhi oleh suplai oksigen dan
nutrisi ke dalam jaringan (Kartinah, 2006 dalam Sulastri, 2007). Status gizi
mempengaruhi keadaan kesehatan secara umum, penyembuhan dari trauma
atau prosedur tindakan, serta mempengaruhi timbulnya infeksi dan
penyembuhan infeksi.
Gangguan gizi dapat muncul pada pasien-pasien yang sedang dirawat di
rumah sakit, salah satunya kasus yang rentan terhadap masalah gizi paling
banyak terjadi pada pasien di ruang bedah (Binadiknakes, 2000 dalam Hayati,
2010).
Oleh karena itu, makalah ini kami buat sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal lebih dalam tentang
nutrisi terkait dengan proses penyembuhan luka sebelum benar-benar
mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan teori tenang nutrisi terkait dengan proses penyembuhan luka
dalam dunia medis
2. Tujuan Khusus
Pengertian luka
Mekanisme terjadinya luka
Fase penyembuhan luka
Komplikasi kegagalan penyembuhan luka
Klasifikasi luka op
Faktor yg mempengaruhi penyebab luka
Dampak pembedahan thd status gizi
Dampak status nutrisi thd hasil pembedahan
Estimasi kebut energy dan protein
Diit pasca bedah
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. Pengertian luka
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit ( Taylor, 1997).
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu
(Lazarus,et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2006).
Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang
atau organ tubuh yang lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul
seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stress simpatis,
perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan kematian sel
(Kozier, 1995).
Infeksi luka operasi adalah infeksi pada tempat didaerah luka setelah
tindakan bedah. infeksi luka operasi dibagi atas insisi superfisial (kulit dan
jaringan sekitar), insisi dalam (otot dan fasia), dan organ/ruang (Anaya dan
Dellinger, 2008).
Infeksi luka operasi adalah infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari
setelah tindakan operasi jika tidak ada tindakan implantasi atau dalam kurun
waktu 1 tahun setelah tindakan operasi jika ada dilakukan implantasi dan infeksi
yang tampak ada hubunganya setelah dilakukan tindakan operasi (Gray dan
Hawn, 2007)
Operasi (perioperatif) merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian
tubuh yang mencakup fase praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif
(postoperatif) yang pada umumnya merupakan suatu peristiwa kompleks yang
menegangkan bagi individu yang bersangkutan.

B. Mekanisme Terjadinya Luka


Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu
dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997).
1. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial
dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya
sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai
otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan
atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
2. Berdasarkan Penyebab
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti
kecelakaan lalu lintas, terjatuhmaupun benturan benda tajam ataupun
tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka
berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada
aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam (
seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur .
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak
beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan
benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu
lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa
menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing
yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan
pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam
lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan
permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan dan kedalaman luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit.
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas
maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang
tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang
menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan
mukosa

C. Fase Penyembuhan Luka


Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
mamulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah kedaerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer bagian
dari proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara normal
tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area luka yang
bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan,dapat membantu untuk
meningkatkan penyembuhan jaringan (Taylor,1997). Penyembuhan luka
didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks
dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi.
Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali
normalnya struktur , fungsi dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka
ditentukan oleh tipe luka dan lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik.
Penyembuhan luka bisa berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat diketahui
adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan
dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada
hari kelima sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 1997).
Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya tensil strengt
yang mendekatkan tepi luka. Pengangkatan jahitan ini tergantung usia, status
nutrisi dan lokasi luka. Jahitan biasanya diangkat pada hari ke enam sampai
ketujuh post operasi untuk menghindari terbentuknya bekas jahitan (suture
marks) walaupun pembentukan kolagen sampai jahitan menyatu berakhir hari ke-
21 (Taylor,C,1997). Kolagen sebagai jembatan penyembuhan ini muncul pada
hari ke-5 sampai ke-7 post operasi. Bila lebih dari 7 hari berarti terjadi
perlambatan sintesis kolagen yang berarti penyembuhan luka lambat (Black &
Jacobs, 1997).
Suatu luka bersih akan tetap bersih bila dilakukan persiapan operasi yang
baik dan tehnik pembedahan yang baik serta perawatan luka post operasi yang
baik pula. Pemberian antibiotik peroral yang adekuat mampu mencegah
terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan antiseptik proses penyembuhan
luka dapat tetap terjadi (Kartono, dikutip oleh Oetomo, 1994).
Proses penyembuhan luka yang alami (Kozier, 1995 & Taylor, 1997) :
1. Fase inflamasi atau lag Phase
Berlangsung pada hari ke -5. Akibat luka terjadi pendarahan. Ikut keluar
trombosit dan sel-sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin,
tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang
mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dingding pembuluh darah
dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang keluar
dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara
kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamlin yang
meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi aksudasi cairan edema. Dengan
demikian timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit
menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman (proses pagositosis).
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan
luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).
2. Fase proliferasi atau fibroblast
Berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses
proliferasi dan pembentukan fibroblast (menghubungkan sel-sel) yang berasal
dari sel-sel mesenkim.
Fibroblas menghasilkan mukopolisakarid dan serat kolangen yang terdiri
dari asam-asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisekarid
mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan mempertautkan tepi luka.
Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan
dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut/mengecil.
Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen,
kapiler-kapiler baru; membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak
rata disebut jaringan granulasi.
Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi
dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya
berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik
pembentukan orignan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka
tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka :
penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih.
3. Fase remondeling atau fase resorpsi
Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah
hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit
maupun gatal.
Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblas hingga struktur luka
menjadi utuh. Penyembuhan luka sebagai suatu proses yang kompleks dan
dinamis sebagai akibat dari penyembuhan kontinuitas dan fungsi anatomi.
Penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normal strukturnya,
fungsinya dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka di
tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound
Healing Society).
Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan
melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu.
Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi (Black &
Jacob’s , 1997).
Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya hasil yang
mendekati tepi luka. Pengangkatan jahitan itu tergantung usia, status nutrisi
dan lokasi luka. Jahitan biasa diangkat pada hari ke 6-7 proses operasi untuk
menghindari terbentuknya bekas jahitan walaupun pembentukan kollagen
samapai jahitan menyatu berakhir hari ke-21 (Taylor, 1997).
Suatu luka yang bersih bila dilakukan persiapan dan pembedahan yang
baik serta perawatan pasca operasi yang baik pula maka luka akan tetap
bersih. Pemberian antibiaotik peroral yang adekuat mampu mencegah
terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan anti septik proses
penyembuhan luka tetap dapat terjadi (Kartono, dikutip oleh Oetomo, 1994).

D. Komplikasi Kegagalan Penyembuhan Luka


Kegagalan dalam penyembuhan luka meliputi Infeksi, pendarahan,
dehiscence dan evicerasi (Kozier, 1995, Taylor, 1997)
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul
dalam 2-7 hari setelah pembedahan.gejalanya berupa infeksi termasuk
adanya purulent, peningkatan drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan leukosit.
2. Pendarahan
Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis
jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti
darain). Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika
mungkin harus sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan
dan tiap 8 jam setelah itu. Jika terjadi perdarahan yang berlegihan,
penambahan tekanan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan &
intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi post operasi yang serius.
Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya
pembulu kapiler melalui daerah irisan.
Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma,
gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi dapat
mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.
Ketika dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan
balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk
segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

E. Klasifikasi Luka Operasi


Klasifikasi luka operasi menurut Anaya dan Dellinger (2008) dibagi menjadi 4
berdasarkan derajat kontaminasi, yaitu:
a. Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang
merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi
untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring, traktus
respiratorius maupun traktus genitourinarius. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% - 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi
terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama dan kemungkinan
timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
c. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka
menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka
karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun
luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung
jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka
ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk
luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama

F. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka


1. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari (Kozier, 1995 &
Taylor,1997) :
a. Pertimbangan perkembangan
Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka
daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis,
penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor
pembekuan darah(Kozier,1995).
b. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada
tubuh. Klien memerlukan diit kaya
c. Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn)
Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi
setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko
infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose
tidak adekwat(Taylor,1997).
d. Infeksi
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan
penyembuhan luka. Sumber utama infeksiadalah bakteri. Dengan adanya
infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.
e. Sirkulasi dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat
kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel
tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan
lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap
kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk
penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih
mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada
orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi
atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia
atau gangguan pernafasan kronik pada perokok.
f. Keadaan luka
Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan
cepat. Misalnya luka kotor akan lambat penyembuhannya dibanding
dengan luka bersih.
g. Obat
Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparindan anti neoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama
dapat membuattubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan
demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu
yang lebih lama.
2. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau
lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi
faktor Intrinsik dan ekstrinsik (Black & Jacob’s, 1997).
a. Faktor Intrinsik
Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan
penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi.
Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari
infeksi jika nilai kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu
24-48 jam dan selama menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas.
Kadang-kadang benda asing dalam luka adalah sumber infeksi.
Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan.
Suplai darah dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah
Jantung/ Paru. Hipoksiamengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka,
serta aktifitas dari sel pertumbuhan tubuh. Neutropil memerlukan oksigen
untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk membunuh patogen.
Demikian juga fibroblast dan fagositosis terbentuk lambat.
Satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka
pada keadaan hipoksia adalah angio genesis.
b. Faktor ekstrinsik
Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi
malnutrisi, perubahan usia dan penyakit sepertidiabetes melitus. Malnutrisi
dapat mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan.
Kekurangan protein menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit.
Kekurangan lemak dan karbonhidrat memperlambat semua fase
penyembuhan luka karena protein di rubah menjadi energi selama
malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkanterlambatnya produksi dari
kolagen, respon imun dan respon koagulasi.
Pasien tua yang mengalami penurunan respon inflamatari yang
memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan
sirkulasi migrasi sel darah putihpada sisa luka dan fagositasis terlambat.
Ditambah pula kemungkinan Pasien mengalami gangguan yang secara
bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti Diabetes Melitus.
Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis, arterosklerosis,
kususnya pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai oksigen
jaringan.
Perokok adalah gangguan Vaso kontriksi dan hipoksiakarena kadar
Co2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok
meningkatkan arteri sklerosisdan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini
membatasi jumlah oksigen dalam luka.
Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan
menghambat kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami
penurunanstrenght luka, menghambat kontraksi dan menghalangi
epitilisasi. Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan
luka yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid

G. Dampak Pembedahan Terhadap Status Gizi


Respon yang kompleks terhadap stres fisik akibat pembedahan dan injury,
dimediasi oleh perubahan hormonal dan sistem saraf simpatis, salah satunya
adalah hipermetabolisme dan katabolisme (McWhirter &Pennington, 2004).
Terdapat retensi garam dan air bermakna serta peningkatan basal
metabolik rate dan produksi glukosa hepatic. Penyembuhan luka meningkatkan
produksi glukosa sebanyak 80% dan juga membutuhkan sintesis protein (Souba
& Wilmore, 2004). Lemak (jaringan adiposa) dan cadangan protein (lean muscle
mass) dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan sintesis glukosa dan protein yang
menghasilkan penurunan BB. Secara umum, respon katabolic meningkatkan
kebutuhan energi dan protein, besar dan durasinya tergantung dari lama
pembedahan (Souba & Wilmore, 2004).
Studi terbaru mengatakan bahwa respon katabolik terhadap pembedahan
dapat dicegah dengan intake yang adekuat (Souba & Wilmore, 2004;
Green,2003).
Intake energi dan protein adekuat penting untuk membatasi kehilangan
protein dan lemak. Namun, kebanyakan pasien tidak dapat makan dengan cukup
untuk memenuhi peningkatan dan/atau mencegah penurunan BB setelah
pembedahan. Masalah yang sering terjadi seperti nyeri, mual, pengobatan mulut
kering, rasa tidak nyaman di lambung dan distensi, puasa, prosedur tidak
menyenangkan, ansietas, makanan yang tidak familiar dan rutinitas rumah sakit
semuanya berpotensi menurunkan nafsu makan dan intake. Pasien yang tidak
makan atau tidak cukup makan, cadangan protein dan lemaknya akan berkurang
dengan cepat. Hal ini mendatangkan konsekuensi klinis yang signifikan,
khususnya bagi mereka dengan gizi kurang sebelum operasi.

H. Dampak status nutrisi terhadap hasil pembedahan


Hasil positif pembedahan sangat tergantung pada mekanisme imun yang
adekuat dan penyembuhan luka. Keduanya bergantung dari peningkatan sintesis
protein baru, yang secara signifikan membatasi keseimbangan nitrogen negatif
dan keseimbangan energi. Semi-starvasi akan terjadi dalam beberapa hari bukan
beberapa minggu, jika intake tidak memenuhi kebutuhan, khususnya protein dan
energi. Konsekuensi signifikan semi-starvasi pada orang sehat diringkas dalam
tabel dibawah ini. Masalah ini juga lazim terjadi setelah pembedahan,
kelihatannya gizi kurang yang berhubungan dengan pembedahan, menunjang
hasil yang buruk pada pasien bedah
Tabel: Variabel yang dihubungkan dengan Semi-Starvasi dan Gizi Kurang pada Orang Sehat dan
Pasien Bedah, Sumber : Souba & Wilmore, 2004
Semi-Starvasi: Gizi kurang:
1. Penurunan BB 1. Peningkatan infeksi pasca pembedahan
2. Ansietas, mudah marah 2. Terhambatnya penyembuhan luka
3. Depresi 3. Penurunan kualitas hidup
4. Apatis, malaise 4. Penurunan fungsi pencernaan
5.Penurunan fungsi organ (pencernaan, 5. Penurunan fungsi respirasi dan kardiovaskular
jantung,pernapasan) 6. Peningkatan komplikasi (pneunonia)
6. Penurunan fungsi termoregulasi 7. Peningkatan waktu pemulihan
7. Rusaknya imunitas 8. Peningkatan lama rawat
8. Penurunan resistensi terhadap infeksi 9. Peningkatan readmission
9. Penyembuhan luka buruk 10. Penurunan waktu dirumah
10. Penurunan fungsi intelektual 11. Peningkatan mortalitas
11. Penurunan konsentrasi 12. Peningkatan biaya
12. Penurunan kapasitas kerja

I. Estinasi kebutuhan energi & protein


Intervensi nutrisi hanya bisa efektif jika kebutuhan energi secara akurat
diperhitungkan kemudian dicapai. Pendekatan standar adalah dengan
memperkirakan kebutuhan energi dari basal energi expenditure, menggunakan
regression equations dan faktor stres dan aktivitas (lihat rumus di bawah).
Kebutuhan energi berkisar antara 85-150 kJ/kg. Kebutuhan protein biasanya
diset antara 7-8% kebutuhan energi, meskipun pasien yang sakit parah atau
injury mungkin membutuhkan 15-20% energi mereka dalam bentuk protein. Ini
sekitar 1.5-2.0 g protein/kg BB (Souba & Wilmore, 2004).
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan pasien. Ini juga menjamin bahwa pasien
menerima dukungan nutrisi pada tingkat yang seharusnya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Estimasi Basal Energy Expenditure dan Total Energy Requiretment (Thomas, 2001) :.
Estimasi kebutuhan energy (kalori/hari) = basal energi expenditure + faktor aktivitas +
faktor stres

Basal energi expenditure (menurut Harris-Benedict Equations) :


Laki-laki (kalori/24 jam) = 13.8(W) + 5 (H) – 6.8(A) + 66,5
Perempuan (kalori/24 jam) = 9,6(W) + 1.8(H) – 4,7(A) + 65,5
A = age (tahun)
W = weight (kg)
H = height (m)

Faktor aktifitas (persentase dari basal energi expenditure) :


Berbaring, immobilisasi + 10%
Berbaring, duduk + 15 – 20%
Beraktivitas di bangsal + 25%

Faktor stres (persentase dari basal energy expenditure) :


Pembedahan, single fraktur + 10%
Pembedahan mayor, trauma + 20%
Indfeksi + 1-20C + 10 – 30%
Multiple fraktur, sepsis berat,
multiple trauma + 20 – 50%
Luka bakar 25-90% + 20-65%

J. Diet pasca bedah


Pengobatan melalui diet sebelum dan setelah operasi atau pembedahan
adalah hal yang sangat penting dalam kesuksesan operasi tersebut, sama
pentingnya dengan keselamatan dan kenyamanan pasien. Diet Pasca Bedah
atau opearsi adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani
pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada
macam operasi atau pembedahan dan jenis penyakit penyerta. Waktu
ketidakmampuan pasien setelah operasi atau pembedahan dapat diperpendek
melalui pemberian zat gizi yang cukup. Hal yang juga harus diperhatikan dalam
pemberian diet pasca operasi untuk mencapai hasil yang optimal adalah
mengenai karakter individu pasien.
1. Tujuan diet pasca bedah
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi
pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut:
a. Memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein),
b. Mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain,
c. Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan.
2. Syarat diet pasca bedah
Syarat diet pasca bedah adalah memberikan makanan secara bertahap
mulai dari ebntuk cair, saring, lunak dan biasa. Pemberian makanan dari
tahap ke tahap tergantung dari macam pembedahan dan keadaan pasien,
seperti:
a. Pasca bedah minor →makanan diusahakan secepat mungkin kembali
seperti biasa atau normal.
b. Pasca bedah mayor →makanan diberikan secara hati-hati disesuaikan
dengan kemampuan pasien untuk menerimanya.
3. Pengaturan umum diet pasca bedah
Kebanyakan operasi memberikan Diet Pasca Bedah harian yang
dipesan untuk pasiennya. Beberapa dokter membuat formula porgram diet
mereka sendiri, yang dilakukan berdasarkan percobaan. Ada beberapa prinsip
umum yang dapat digunakan dalam Diet Pasca Bedah. Pada umumnya,
pemenuhan zat gizi pasien akan mengurangi waktu pemulihan atau
penyembuhan, infeksi, dan komplikasi.
a. Protein
Jika program diet mengandung protein, tubuh harus menyediakannya
sendiri. Sekitar 150 gram/hari diberikan kepada pasien setelah operasi.
Segera setelah luka atau penyakit, malnutrisi, khususnya yang kehilangan
protein, hampir selalu terjadi. Ini merupakan hasil dari sebuah peningkatan
kerusakan jaringan atau mengurangi asupan makanan karena
ketidakmampuan atau ketidaksukaan pasien untuk mengkonsumsi
makanan yang sebenarnya dia butuhkan.
Jika tidak terdapat karbohidrat yang cukup dalam diet, protein akan
dipecah melalui proses metabolik untuk mengganti karbohidrat yang
kurang. Jika terdapat pengurangan atau pelepasan yang terjadi di
peritonitis atau luka terbuka, kemungkinan sebanyak 50 gram protein akan
hilang dalam sehari. Kemungkinan terdapat kehilangan protein dikarenakan
pendarahan atau pengeluaran dari ginjal. Penipisan atau kehabisan protein
dalam tubuh merupakan hal yang serius, dapat menyebabkan edema,
mencegah penyembuhan luka, membuat hati bekerja lebih keras dalam
menghancurkan racun, mengganggu regenerasi hemoglobin, mencegah
permulaan aktivitas gastrointestinal, dan menunda pengembalian kekuatan
otot. Hal inilah yang menyebabkan pasien pasca bedah menjadi lemah.
Protein Hidrolisat (protein sebelum dicerna) secara frekuensi
digunakan sebagai suplemen dalam diet untuk kasus pemulihan sesudah
operasi. Mereka tidak mempunyai keuntungan gizi yang utuh, seluruh
protein dan keberadaannya hanya diindikasikan pada kasus penyakit
pankreas dimana saluran pencernaan tidak mampu mencerna seluruh
protein atau pemberian makan secara parenteral.
b. Vitamin.
Dewasa ini, asam askorbat merupakan satu-satunya zat gizi yang jika
kekurangan dalam tubuh, maka akan mengakibatkan penundaan dan
mencegah penyembuhan luka. Kekurangan vitamin K menunjukkan
kekurangan protrombin di dalam darah yang dihasilkan akibat
penggumpalan. Oleh karena itu, vitamin dibutuhkan dalam diet pasca
operasi. Vitamin B kompleks, khususnya Thiamin adalah hal yang penting
untuk dipertimbangkan. Dalam hal pembedahan, vitamin A dapat
mengganggu proses epitalisasi yang normal.
c. Cairan.
Secara langsung setelah operasi, setiap pasien seharusnya
memperoleh asupan cairan yang cukup untuk memelihara keseimbangan
cairan di dalam tubuh. Pada saat itu, pasien mengalami kesulitan
memasukkan air dalam jumlah banyak melalui mulutnya, dan cairan akan
diatur oleh proses proctoclysis atau oleh suntikan pada pembuluh darah
atau jaringan subkutan.
d. Makanan.
Makanan yang dikenalkan pada kondisi setelah oeprasi atau bedah
bergantung pada kondisi sistem gastrointestinal pasien. Untuk dapat
memakan semua protein yang dibutuhkan, pangan sumber protein kualitas
tinggi dalam jumlah banyak seperti susu, daging dan telur, adalah perlu.
Ketika kebutuhan sejumlah makanan tidak dapat dipenuhi, protein dalam
bentuk hidrolisat atau ikatan protein lainnya, yang juga dihasilkan dari
mineral, vitamin dan kalori, harus diperoleh.

Dapus: nb: yg dimerahi diatas le golek angel


Taylor L, La Mone. 1997. Fundamentals of Nursing: The art and Science of Nursing Care
B. Third Edition. Philadhelpia: Lippincoott
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Frudamental: konsep, proses dan praktik. Jakarta: EGC
Kozier, Erb, Blais, and Wilkinston. 1995. Fundamental of Nursing: Concept Proses and
Practise. California: Addison-Wesley Publishing Company.Inc
Anaya & Dellinger. 2008. Surgical Complication. Dalam: Townswnd, Beauchamp, Evers,
Mattox.2008. Sabiston Texbook of Surgery The Biological Basic of Modern
Surgical Practice. Philadelphia: Saunders Company
Black & Jacobs. 1997. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Continuity of
Care. Philadelphia: Saunders Company

Anda mungkin juga menyukai