Anda di halaman 1dari 6

Benang Jodoh

“Aamin”, ucapku sambil mengusapkan mukena dengan tangan.

Hembusan fajar menyusup di antara ventilasi kamar kosku. Mengiringi setiap doa

yang kupanjatkan dan syukur yang kucurahkan kepada Tuhan Subuh ini.

Mataku tertuju pada sebuah foto di meja riasku. Foto yang selalu membuatku

tersenyum ketika memandang senyumku dan umi –panggilan untuk ibu Mas Ridwan—seusai

acara sakral itu. Siapa sangka empat bulan sudah cincin itu melingkar di jari manis tangan

kiriku dan tinggal satu minggu hidupku tersisa sebagai seorang putri sebelum aku dinyatakan

sah sebagai seorang istri.

Kehidupanku berlanjut hari ini.

Seperti biasa, sebelum jam menunjukkan pukul enam pagi kulajukan mobilku ke arah

salah satu rumah sakit jiwa di daerah Pedurungan, Semarang. Aku tak mau sedetikpun

terlambat untuk mengikuti kegiatan ilmiah yang rutin diadakan tiap hari Selasa itu. Jalanan

kota Semarang tak pernah lengang. Jujur aku lelah setiap hari seperti ini, aku ingin segera

lulus pendidikan dokter spesialis jiwa ini dan segeran mengabdikan diri di kota yang tidak

padat penduduknya seperti Semarang ini. Enam tahun saja berlalu sejak sekolah sarjana

kedokteran, muak sudah.

“Mbak Susi, hari ini aku gantiin Bu Dona ya. Dia sudah pindah ke ruang tujuh.”

Ya, hari ini sudah waktunya aku pindah rotasi dari ruang Srikandi menuju ke ruang

tiga. Di ruang inilah harus kuhadapi pasien jiwa wanita dengan usia tua untuk satu bulan ke

depan.
“Bu, ini CM pasiennya. Total pasien ada dua puluh tiga. Satu pasien di fiksasi atas

nama Sutinah karena kemarin berusaha melarikan diri dan satu pasien diinfus atas nama

Ratmini karena kemarin diare dan dehidrasi,” lapor Mbak Susi sebagai kepala perawat di

ruang itu.

“Ya mbak, aku mulai follow up sekarang aja ya. Biar cepet kelar juga. Mau ngurusin

nikahaku nih.”

“Duh, asiknya calon manten. On the way to be Nyonya Ridwan,” sindir Mbak Susi

sambil berkipas-kipas menggunakan undangan pernikahanku yang tergeletak di meja

perawat.

“Iya nih. Seminggu ke depan ini aku udah izin sih sama dokter Tina karena emang

mau fokus dulu buat nyiapin pernikahan. Kalau ada apa-apa, nanti Pak Fajri juga bantu aku di

ruang ini.”

“Oke deh Bu, saya panggilkan ya. Pasien pertama, Bu Sri.”

Satu persatu pasien itu dipanggil sesuai urutan. Kebanyakan dari pasien jiwa di rumah

sakit ini didiagnosis Skizofrenia, dan khusus untuk pasien wanita biasanya terdapat variasi

penyakit lain seperti gangguan bipolar maupun Skizoafektif. Dua tahun sudah aku menjalani

hidup sebagai seorang residen jiwa dan tentunya sangat menikmati, karena inilah mimpiku

sejak aku masih menjadi koas dulu. Bukan menjadi residen tentunya, tetapi menjadi spesialis

kedokteran jiwa.

“Bu, ini pasien terakhir. Bu Mulyati namanya. Ini sudah tiga minggu di sini.

Sepertinya gejalanya sudah hilang semua. Besok tinggal dipindah ke ruang rehabilitasi.”

“Akhirnya,” senang sekali aku mendengarnya karena hampir selesai lebih cepat dari

yang ku kira. Pikiranku sudah mulai tak fokus lagi. Reminder di ponselku sudah dari tadi
muncul, mengingatkan jadwalku hari ini untuk mengunjungi vendor pernikahanku dan ke

tempat aku memesan souvenir pernikahanku.

“Selamat pagi Bu Mulyati. Saya dokter Aura yang baru jaga di ruang ini. Bagaimana

kabarnya bu, sudah enakan?” sapaku kepada pasien follow up terakhirku di ruang ini.

Wanita usia lima puluh tahunan itu duduk dengan hati-hati di depanku dengan pandangan

yang tajam ke arahku. Rambutnya putih dan digelung. Tampak rapi tetapi memang terlihat

sedikit kurang ramah.

“Baik dok. Sehat. Saya mau pulang.”

“Iya Bu, insyaallah ibu akan segera pulang kok. Sudah tidak ada suara yang

menngganggu atau bayangan bidadari yang sering muncul, Bu?”

“Sudah tidak ada kok dok. Saya sudah sehat. Ya dulu memang suka muncul, tapi

sekarang sudah tidak.”

“Lha ini saya bicara dengan Ibu Mulyati kan ya? Bukan Nyonya Eden?”

“Bukan, Dok. Nyonya Eden sudah pergi dari tubuh saya kok. Saya sudah nggak bisa

baca pikiran orang lagi, nggak bisa meramal lagi, nggak bisa tau jodoh orang lagi.”

“Oh, berarti sebelumnya ibu punya semua kemampuan itu?”

“Iya, Dok. Itu berkat Nyonya Eden. Dia itu ibu saya yang punya kemampuan luar

biasa. Setelah dia meninggal sepuluh tahun lalu, saya merasa punya kemampuan itu. Kalau

dokter juga mau, saya bisa kasih dokter juga. Dokter mau yang mana?”

Seketika pikirku berubah. Aku kira beliau tidak ramah dan tak banyak bicara, ternyata

bukan. Hanya pandangan matanya saja yang sepertinya tajam, tapi sungguh ramah tutur

katanya.
”Aduh, Ibu. Kalau saya bisa sih saya ingin punya kemampuan bisa tau jodoh, Bu,”

jawabku sambil terkekeh bercanda.

Sebagai seorang calon psikiater tentunya sudah biasa menghadapi pasien dengan

tanda dan gejala yang sama. Tak heran hal-hal berbau magic, mistik, fantasi aku temui.

Seharusnya memang begitu pula cara yang baik untuk menghadapi pasien jiwa, ikuti alur

pikirannya, jangan coba terlihat membantah dan meragukan karena itu akan membuatnya tak

nyaman lagi membangun komunkasi dengan kita. Salah satunya pasien seperti Bu Mulyati

tersebut, sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang menawarkan kemampuan khusus

seperti beliau. Tak heran, karena memang itu sudah bagian dari tanda gejala gangguan jiwa

yang dialaminya.

“Bu, saya serius,” ucapnya sambil berlalu meninggalkan kursi pasien. Kali ini tatapan

matanya lebih tajam, ada yang berbeda.

“””

Selepas sholat dzuhur, aku izin pulang lebih awal untuk menjemput umi. Untuk

urusan pernikahan, bukan aku dengan Mas Ridwan yang mengurusi. Kesibukannya sebagai

dokter bedah saraf di Solo membuatku dan keluarga maklum jika dia tak bisa fokus

mengurusi pernikahan kami. Sebenarnya memang aku cenderung sudah terbiasa melakukan

apa-apa sendiri karena sejak pertama kali kami kenal pun, tak ada pendekatan interpersonal.

Yang aku tahu dia merupakan salah satu residen bedah saraf saat aku koas dulu. Kenal dekat

pun tidak karena dia bukan residen pembimbingku. Jauh beberapa tahun berlalu dan aku

sudah menjadi residen juga, tiba-tiba suatu hari dia berkunjung ke rumahku dan memohon

izin untuk mengkhitbahku. Entahlah, kalau memang jodoh pasti selalu ada cara untuk

dipersatukan. Ya, sesimple itu.


“Assalamualaikum, Umi,” sambil kucium tangan umi setelah umi membuka pintu

rumah.

“Waalaikumsalam. Yuk makan dulu, kamu capek kan pasti. Umi sudah masak.”

Sebenarnya aku sudah makan siang tadi, tapi ku iyakan saja permintaan umi. Namanya orang

jawa, akan merasa dihargai ketika penawarannya di-iyakan.

Tak berlama-lama kami makan siang bersama. Di rumah kebetulan hanya ada umi

dan abi yang memang sudah tidak lagi praktik sejak pensiun dari pegawai negeri. Usai

makan, harus kami tinggalkan abi sejenak di rumah karena tak tega mengajak abi yang sudah

susah berjalan untuk mengurus pernikahan anak bungsunya. Sudah ada perawat home care

yang memang fokus merawat abi setiap harinya.

Tempat tujuan pertama yaitu vendor pernikahan. Ballroom Masjid Agung Jawa

Tengah menjadi pilihan kami untuk mengadakan resepsi pernikahan. Hari ini kami membayar

DP sewa gedung yang harus dilunasi minimal tujuh puluh lima persen. Sangat mahal

memang, tapi ini pilihan kami. Lebih tepatnya keluarga Mas Ridwan.

Aku hanyalah dokter lulusan dari keluarga sederhana. Bahkan tak ada satupun

keluarganya yang menjadi dokter kecuali aku. Untuk biaya gedung semahal itu tentunya

orang tuaku tak sanggup. Tetapi karena keluarga Mas Ridwan yang menghendaki, mereka tak

enggan merogoh kocek lebih banyak untuk pernikahan anak terakhir di keluarga mereka yang

notabene adalah keluarga besar dokter. Syukurnya, mereka bisa menerimaku dan keluargaku

apa adanya.

Seusai menyelesaikan urusan gedung, kami lanjutkan perjalanan ke toko penjual

souvenir pernikahan untuk memastikan bentuk souvenir yang kami minta dan sekali lagi

membayar minimal tujuh puluh lima persen biaya untuk menyelesaikan souvenir
pernikahanku. Segala urusan pernikahan memang sebagian besar ditanggung oleh keluarga

Mas Ridwan dan untuk sebagian besar pelaksanaannya pun dilaksanakan di Semarang, bukan

di Kendal.

Jam tanganku sudah mulai menunjukkan pukul sepuluh malam. Kulajukan mobilku

menuju kos melewati jalan-jalan yang mulai sepi. Sepanjang jalan bukan urusan pernikahan

yang terpikirkan, justru teringat jelas wajah dan tatapan pasienku follow up terakhirku hari

ini, Bu Mulyati. Entah mengapa aku agak khawatir.

“””

Anda mungkin juga menyukai