Anda di halaman 1dari 24

Rapid Sequence Induction

Dr Will Ross, Dr Louise Ellard, Dr Luke Baitch

ATOTW 331 – Rapid Sequence Induction (24th May 2016)

PERTANYAAN

Sebelum melanjutkan, cobalah untuk menjawab pertanyaan berikut. Jawabannya


bisa ditemukan di akhir artikel bersama dengan penjelasan. Jawablah dengan
Benar atau Salah:
1. Rapid Sequence Induction:
a. selalu disertai dengan opioid intravena
b. membutuhkan titrasi agen anestesi hingga kehilangan kesadaran tercapai
c. tidak diperlukan dalam operasi elektif
d. sering dimodifikasi agar sesuai dengan keadaan klinis
e. membutuhkan setidaknya tiga personil

2. Tekanan krikoid:
a. membutuhkan tekanan konstan 30N
b. harus dilepas jika didapatkan pandangan buruk dengan laringoskopi
c. aman meskipun terdapat luka pada laring
d. mengurangi risiko aspirasi dengan mencegah pelepasan isi lambung yang
dimuntahkan
e. dapat dilakukan oleh asisten yang tidak terlatih

3. Risiko dari rapid sequence induction meliputi:


a. peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular
b. sadar

1
c. aspirasi isi lambung
d. henti jantung
e. bradikardia, pada anak-anak

PENGANTAR

Rapid sequence induction (RSI) adalah metode untuk mencapai kontrol

yang cepat dari jalan nafas sambil meminimalkan risiko regurgitasi dan aspirasi

isi lambung. Induksi anestesi intravena, dengan pemberian tekanan krikoid,

dengan cepat diikuti dengan penempatan pipa endotrakeal (endotracheal tube-

ETT). Penggunaan RSI merupakan prioritas utama dalam banyak situasi darurat

di saat terdapat ancaman jalan napas, dan biasanya merupakan komponen anestesi

yang penting untuk intervensi bedah darurat. RSI hanya diperlukan pada pasien

dengan refleks jalan nafas yang masih ada. Pada pasien dengan henti jantung atau

penurunan kesadaran total, pipa endotrakeal biasanya dapat diletakkan tanpa

menggunakan obat.

Sejarah RSI

RSI awalnya dijelaskan pada tahun 1961 oleh Sellick1 sebagai:

• Mengosongkan perut melalui selang lambung yang kemudian dilepas

• Pre-oksigenasi

• Posisikan pasien telentang dengan head-down tilt

2
• Induksi anestesi dengan barbiturat (misalnya thiopentone) atau volatile, dan

pelemas otot yang bekerja cepat (misalnya suxamethonium)

• Penerapan tekanan krikoid

• Laringoskopi dan intubasi trakea menggunakan ETT dengan balon segera

mengikuti fasikulasi

Poin-poin Utama

• Rapid sequence intduction (RSI) dimaksudkan untuk mengurangi risiko


aspirasi dengan meminimalkan durasi yang jalan nafas tidak terlindungi.

• Persiapan dan perencanaan - termasuk teknik, obat-obatan, peran anggota


tim, dan kontinjensi – adalah diinginkan sebelum setiap RSI.

• Terdapat variabilitas substansial dalam praktiknya, karena itu faktor


institusi dan keadaan klinis sebaiknya dipertimbangkan saat menentukan
bagaimana cara melakukan RSI.

Metode klasik di atas sekarang sangat jarang diikuti secara penuh. Dapat

praktik klinisnya sekarang, telah dibuat sejumlah modifikasi dari teknik RSI

tradisional (gambar 1). Istilah “RSI termodifikasi” kadang-kadang digunakan

untuk mendeskripsikan variasi tersebut namun istilah ini bukan merupakan istilah

yang disetujui secara umum.

3
Modifikasi umum

• Tidak melakukan pemasangan NGT

• Posisi terlentang atau landai

• Titrasi dosis agen induksi hingga kehilangan kesadaran tercapai

• Penggunaan propofol, ketamin, midazolam atau etomidate untuk


menginduksi anestesi

• Penggunaan rocuronium dosis tinggi sebagai agen penghambat


neuromuskular

• Tidak melakukan tekanan krikoid

Gambar 1: Modifikasi teknik RSI dalam praktik saat ini

TEKANAN KRIKOID

Tekanan krikoid adalah penerapan gaya pada tulang rawan krikoid pasien

(Gambar 2). Alasannya adalah bagian atas esofagus akan tersumbat dengan

dikompres di antara trakea dan vertebra serviks, mencegah refluks pasif dari isi

lambung dan perkembangan selanjutnya dari pneumonitis aspirasi. Gaya 10

Newton diterapkan oleh jempol dan jari telunjuk asisten yang meningkat hingga

30N begitu kesadaran hilang. (10N setara dengan tekanan sekitar 1 kg.) Tekanan

ini dipertahankan sampai penempatan tabung endotrakeal dikonfirmasi.

Tekanan krikoid harus dikurangi atau dilepaskan jika laringoskopi sulit

dilakukan, atau jika terjadi muntah (untuk mengurangi kemungkinan ruptur

oesophageal dari muntah aktif).

4
Gambar 2. Anatomi permukaan untuk tekanan krikoid

INDIKASI

RSI diindikasikan pada pasien yang membutuhkan intubasi endotrakeal

dan berisiko mengalami refluks dan aspirasi isi lambung. Ini berarti bahwa RSI

hampir dibutuhkan secara universal dalam situasi yang membutuhkan munculnya

intubasi endotrakeal segera. Faktanya, intubasi non-RSI hampir secara eksklusif

merupakan domain lingkungan operasi elektif.

Faktor pasien mungkin mengatur kebutuhan poin-poin tertentu dari RSI

untuk dimodifikasi atau dihilangkan. Kontraindikasi untuk suxamethonium seperti

alergi, kerentanan terhadap malignan hipertermia atau hiperkalemia harus

mengarahkan untuk penggunaan pelemas otot alternatif seperti rocuronium dosis

tinggi. Cedera laring merupakan kontraindikasi dilakukan tekanan krikoid.2

Fraktur vertebra servikal yang tidak stabil akan membutuhkan kehati-hatian dalam

penerapan tekanan krikoid karena kemungkinan memperburuk kerusakan.3

5
Indikasi dari RSI

 Pasien yang tidak puasa atau status puasa tidak diketahui seperti
pada pasien trauma, operasi emergensi, situasi resusitasi dan pasien
dengan penurunan kesadaran
 Refluks gastroesofageal yang diketahui seperti karena hernia hiatal
 Kondisi-kondisi yang mengarahkan terlambatnya pengosongan
lambung seperti gastroparesis otonom (diabetes, penyakit Parkinson),
riwayat operasi pengikatan lambung, pasien dengan nyeri hebat atau
dengan riwayat baru saja menggunakan/diberikan opioid
 Kehamilan (dari trimester kedua dan seterusnya)

PERSIAPAN

Persiapan sangat penting, baik peralatan maupun anggota tim - terutama

jika tim tidak mengenal lingkungan atau rekan mereka. Antisipasi sulitnya

menguasai jalan nafas dan membuat rencana oksigenasi sebelum melakukan RSI

sangat penting. Banyak organisasi menganjurkan penggunaan checklist untuk

memastikan bahwa semua peralatan tersedia dan untuk urutan bekerja, dan urutan

pelaksanaan yang direncanakan telah dibagikan dengan semua anggota tim.

Contoh checklist intubasi darurat ditunjukkan pada gambar 3.

Persiapan pasien

Penjelasan harus diberikan kepada pasien, yaitu memberikan gambaran

teknik yang direncanakan termasuk tekanan krikoid. Kerja sama mereka untuk

preoksigenasi efektif (atau denitrogenasi) juga akan diperlukan. Pasien yang sadar

mungkin ditawarkan antasida non-partikulat sebelumnya, seperti natrium sitrat 0,3

molar 30 mL: ini adalah obat yang paling umum digunakan di populasi obstetri.

6
Gambar 3. Sebuah Checklist yang digunakan untuk persiapan intubasi darurat untuk
memastikan obat dan peralatan tersedia dan semua anggota tim menyadari peran masing-
masing dan urutan pelaksanaan yang telah direncanakan

Peralatan yang disarankan


(** pilihan)
• Pasokan oksigen (mesin)
• Perangkat pemberian oksigen
• Self-inflating bag dengan katup satu arah
• Nasal prong**

• Perlengkapan jalan napas standar


• Masker wajah
• Gagang laringoskop x 2
• Blade laringoskop berbagai ukuran
• ETT oral dengan balon dengan ukuran yang sesuai, dengan tersedia
kisaran ukuran alternatif
• Pengikat ETT atau plester

7
• Perlengkapan jalan napas yang sulit, sesuai dengan rencana penguasaan
jalan napas yang sulit. Ini mungkin termasuk:
• Oro- dan naso-pharyngeal airway
• Bougie
• Laringoskop video (**)
• Perangkat penyelamatan supraglottik: Laryngeal mask airway atau jalan
nafas supraglotis alternatif
• Suction
• Monitor
• Pulse oxymeter
• Capnograf gelombang
• Manset tekanan darah dan sphygmomanometer, atau arterial line
• Elektrokardiograf

• Obat-obatan (lihat bagian Obat-obatan untuk detail lebih lanjut)


• Agen induksi
• Agen untuk anestesi maintenance
• Agen untuk blok neuromuskular yang bekerja cepat
• Obat darurat (vasopressor dan adrenalin, atropin)
• Cairan yang mengalir untuk bertindak sebagai flush untuk mengantarkan
obat dengan cepat ke sirkulasi

8
Persiapan obat

Hipnotik

Lima obat biasanya digunakan untuk menginduksi anestesi: propofol, ketamin,

etomidate, thiopentone dan midazolam.

Propofol (1-3 mg/kg) biasanya digunakan di ruang operasi untuk pasien

dengan hemodinamik stabil. Pada pasien lansia atau hipovolemik,

dosisnya dikurangi secara drastis: seringkali cukup 0,5-1mg / kg,

meski onset meningkat karena curah jantung yang lebih rendah.

Ketamin (1-2 mg/kg) semakin banyak digunakan di situasi pre-rumah sakit

dan pada pasien yang tidak stabil. Efek yang biasa terjadi adalah

peningkatan denyut jantung dan perubahan tekanan darah yang

bervaariasi namun kecil. Sekresi meningkat, yang mungkin

memerlukan penyedotan atau premedikasi dengan anti-sialagogue

seperti atropin atau glycopyrrolate.

Etomidate (0.3 mg/kg) juga memiliki efek hemodinamik yang sangat terbatas.

Penggunaan dibatasi oleh kekhawatiran supresi adrenal, dan

ketersediaan terbatas di beberapa negara.

Thiopentone (3-5 mg/kg) memiliki efek yang paling cepat dan dapat diprediksi,

dengan ketidakstabilan hemodinamik yang lebih sedikit daripada

propofol. Namun, mungkin jarang tersedia dan sekuele berbahaya

bila terjadi ekstravasasi atau injeksi intra-arterial.

Midazolam (0,1-0,2 mg/kg) dapat digunakan, walaupun waktu pengaruhnya

bisa sangat lama. Ini sangat cocok pada pasien yang sudah

9
mengalami penurunan kesadaran dan terutama membutuhkan

amnesia dari pada anestesi.

Pemberian dosis secara hati-hati dari obat apapun yang digunakan lebih

penting daripada pemilihan obat. Pada pasien syok dengan dosis hipnosis yang

sangat rendah mungkin sudah cukup karena obat ini dapat dengan mudah

menyebabkan kegagalan sirkulasi dan henti jantung. Obat resusitasi harus

tersedia.

Agen blok neuromuskular dan agen reversal

Selama beberapa dekade, suxamethonium (succinylcholine) telah

menjadi standar pemakaian untuk RSI. Ini biasanya mudah tersedia dan dapat

diandalkan. Dengan dosis penuh (1-2mg / kg), menghasilkan fasikulasi,

kelumpuhan, dan kondisi intubasi yang sangat baik dalam waktu satu sirkulasi

(15-45 detik).

Efek buruknya bisa dikenali, meski jarang terjadi. Mialgia adalah yang

paling umum, tapi bradikardia, henti jantung yang dicetuskan hiperkalemia,

anafilaksis, dan hipertermia maligna semuanya bisa terjadi. Banyak dokter terus

menggunakan suxamethonium kecuali ada bukti kerentanan terhadap satu atau

lebih dari efek samping berat tersebut di atas-misalnya: luka bakar baru, cedera

sumsum tulang belakang atau riwayat distrofi otot.

Rocuronium adalah agen alternatif. Dalam dosis tinggi (kisaran 0,9-1,6

mg/kg) relaksasi yang mendalam diperoleh dalam 45-60 detik.4 Salah satu

10
kelemahannya adalah kurangnya fasikulasi, sehingga metode lain untuk

memastikan kelumpuhan laring yang memadai harus digunakan. Durasi aksi yang

berkepanjangan harus diperhitungkan jika jalan nafas cenderung sulit dan jika

agen reversal spesifik tidak tersedia. Anafilaksis masih merupakan kemungkinan,

namun risiko mialgia, hiperkalemia, dan hipertermia maligna dapat dihindari.

Manfaat lebih lanjut dari rocuronium adalah adanya agen reversal spesifik.

Sugammadex mengikat rocuronium dengan kuat, menyebabkan rocuronium tidak

bisa mengikat di taut neuromuskular dan membalikkan efeknya. Ini berguna untuk

pembalik sebelum ekstubasi elektif, dan juga untuk memulihkan fungsi

neuromuskular dengan cepat jika diperlukan oleh rencana penguasaan jalan napas

yang sulit. Sugammadex 16mg/kg dapat dengan cepat membalikkan efek

rocuronium namun penggunaan dapat dihambat oleh biaya tinggi sehingga

stoknya terbatas. Ini mungkin juga sama sekali tidak tersedia dalam beberapa

situasi, dan mungkin terdapat masalah dengan ketidakbiasaan penggunaannya.

Efek sampingnya meliputi interaksi dengan obat kontrasepsi hormonal. Hanya ada

sedikit ketersediaan di beberapa negara (sugammadex baru mendapai persetujuan

FDA AS pada bulan Desember 2015). Agen penghambat neuromuskular umum

lainnya terlalu lambat dalam onset untuk menyediakan kondisi intubasi yang

cukup cepat sehingga membutuhkan ventilasi masker yang lebih panjang untuk

pasien.

11
Farmakologis tambahan

Pada pasien yang syok, tidak ada tambahan yang mungkin diperlukan.

Namun, pada pasien dengan kondisi sistemik yang baik, atau pasien berisiko

mengalami hipertensi maligna selama induksi (misalnya preeklampsia, cedera

kepala atau aneurisma intrakranial yang tidak terlindungi), menghilangkan respon

terhadap laringoskopi seringkali diinginkan.

Opioid yang umum digunakan: fentanil (1-2 mcg/kg), alfentanil (10-15

mcg/kg), atau remifentanil (0,5-1 mcg/kg) semuanya memiliki onset cukup cepat

untuk digunakan dalam RSI. Lidokain (lignokain) (1-1,5 mg/kg) juga efektif

untuk mengurangi batuk dan bronkospasme, digunakan tunggal atau kombinasi

dengan opioid.5

Persiapan anggota tim

Tugas yang perlu dialokasikan dan dilakukan meliputi:

• Pre-oksigenasi

• Intubasi

• Membantu intubator (memberikan peralatan, dll.)

• Pemberian obat

• Pemberian tekanan krikoid (jika digunakan)

• Stabilisasi in-line manual (jika diindikasikan)

12
Minimal dua orang diharuskan mengisi peran ini. Biasanya intubator

utama juga akan memberikan pre-oksigenasi dan memberikan obat-obatan,

sementara asistennya memberikan tekanan krikoid, dan meneruskan peralatan ke

intubator. Orang ketiga mungkin diperlukan untuk stabilisasi in-line pada leher

jika terdapat dugaan cedera pada tulang belakang.

Teknik RSI

Pasien harus diposisikan dengan tepat untuk pre-oksigenasi dan intubasi;

Ini mungkin melibatkan posisi landai, stabilisasi in-line manual, atau posisi semi-

telentang untuk pre-oksigenasi jika fungsi pernapasan terganggu bila berbaring

terlentang.

Intravena harus ditempatkan, dan cairan harus berjalan bebas untuk

memaksimalkan pemberian obat ke sirkulasi pusat. Sebagai alternatif, suntikan

saline dalam jumlah besar bisa digunakan untuk mengalirkan obat setelah

pemberian.

Preoksigenasi, atau denitrogenasi, harus dilakukan semaksimal mungkin

dengan memperhatikan urgensi klinis. Minimal, tiga menit dari pernapasan tidal,

atau delapan dari kapasitas vital dalam satu menit harus dilakukan dengan

konsentrasi oksigen terinspirasi sebesar 100%. Sebagai alternatif, jika alat analisa

gas tersedia, Fraksi oksigen akhir tidal harus mencapai paling sedikit 0,8. Jika

perangkat yang tersedia menawarkan pilihan untuk tekanan akhir ekspirasi positif

13
(positive end-expiratory pressure/PEEP) atau tekanan positif selama awal nafas

pasien (tekanan pendukung ventilasi, BiPAP atau sejenisnya), maka ini mungkin

berguna untuk membantu pra-oksigenasi pada beberapa pasien.

Bila pre-oksigenasi yang memuaskan telah diperoleh, dan semua anggota

tim siap untuk melanjutkan, obat yang sudah dipilih harus diberikan dan pasien

harus diobservasi untuk bukti efeknya. Jika tekanan krikoid akan digunakan, harus

diberikan in situ dan meningkat dari 10N menjadi 30N pada saat kesadaran

hilang.

Bila kondisi intubasi diperoleh, baik dengan mengamati fasikulasi (jika

suxamethonium digunakan), menunggu periode waktu yang tepat, atau

menggunakan monitor neuromuskular, intubasi harus dilakukan. Mengingat

kebutuhan untuk mengamankan jalan nafas dengan cepat, kesuksesan saat

percobaan pertama sangat diinginkan. Dengan demikian, banyak praktisi

menggunakan bougie atau stylet secara rutin, dan jika tersedia laringoskop video

bisa memaksimalkan peluang sukses.

Jika terlihat ada regurgitasi, pengisapan harus segera dilakukan, dan

tempat tidur harus diposisikan dengan kepala di bawah (Trendelenburg) untuk

meminimalkan kemungkinan aspirasi ke trakea.

Begitu pipa endotrakea ditempatkan, balon segera digelembungkan dan

posisi yang benar harus dikonfirmasi dengan beberapa cara. Mengamati kenaikan

dan kejatuhan dada, uap air di ujung tabung, dan perasaan aliran udara masuk dan

14
keluar normal dari ETT berguna, tapi tidak cukup sensitif maupun spesifik.

Standar baku emas adalah dengan penampilan 4 fase gelombang capnografi untuk

5 napas, meski ini bergantung pada curah jantung. Auskultasi, bersamaan dengan

metode penilaian klinis yang dijelaskan di atas, harus digunakan jika capnografi

tidak tersedia. Tekanan krikoid, jika digunakan, harus dilepaskan hanya bila

intubasi endotrakeal telah dikonfirmasi. Auskultasi dada juga membantu

mengesampingkan intubasi endobronkial (walaupun kurang sensitif untuk

diagnosis ini), dan di lingkungan sumber daya yang tinggi, dada radiografi sering

diperoleh bila intubasi berkepanjangan diantisipasi (misalnya, di unit perawatan

intensif setelah intubasi untuk cedera kepala). Sedasi yang sedang

berkelangsungan harus disediakan, dan jika diperlukan, relaksan otot yang bekerja

jangka panjang mungkin diberikan.

GAGAL INTUBASI

Untuk intubasi yang sulit pada pasien bisa menggunakan RSI , yang harus

dikomunikasikan ke tim sebelum induksi. Namun, jika indikasinya, misalnya,

gagal napas, membiarkan pasien untuk bangun dan bernapas spontan mungkin

tidak layak dilakukan.

Jika upaya intubasi awal tidak berhasil, upaya maksimal untuk ventilasi

masker harus dilakukan saat menyiapkan jalan nafas supraglotis, teknik

laringoskopi yang berbeda atau operator baru. Upaya intubasi harus dibatasi, dan

risiko regurgitasi dan aspirasi harus terus-menerus diingat. Jarangnya, jalan nafas

15
lewat bedah mungkin diperlukan dan peralatan untuk ini harus tersedia di setiap

RSI. Beberapa algoritma untuk mengelola intubasi yang gagal telah diproduksi,

termasuk pedoman Difficult Airway Society 6 dan pendekatan Vortex.7

KONTROVERI TERKAIT TEKANAN KRIKOID

Meski rutin dilakukan di banyak belahan dunia-terutama Inggris, Amerika

Utara, dan Australia-Tekanan krikoid tidak dipraktikkan di tempat lain dan

diperdebatkan. Ini bukan merupakan praktik umum di Eropa, dan beberapa

organisasi pre-rumah sakit tidak mendukung penggunaannya. Ini mungkin juga

tidak digunakan di wilayah dunia di mana terdapat kurangnya tenaga yang

berdedikasi untuk membantu ahli anestesi.

Kekhawatiran meliputi:

• mengurangi kualitas laringoskopi,

• Kurangnya bukti efektivitas dalam mencegah refluks dan aspirasi,

• mengurangi tonus sfingter esofagus yang lebih rendah sehingga meningkatkan

risiko refluks,

• Memburuknya cedera tulang belakang laring atau serviks yang tidak terdeteksi,

• lokasi, arah, dan tingkat kekerasan yang tidak terukur dan mungkin sangat

bervariasi, yang diterapkan oleh operator,8

16
• ketidaknyamanan pasien, tersedak atau batuk, dan

• meningkatkan beban kerja fisik dan kognitif bagi operator.

Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini tidak menemukan data dari uji

coba secara acak yang memberikan hasil klinis yang relevan.9 Meskipun

kontroversi terus berlanjut, penggunaannya dianggap standar perawatan di banyak

situasi. Dianjurkan untuk mencari bimbingan dari institusi individu tentang

harapan dan pedoman mereka.

PERKEMBANGAN TERBARU

Klasiknya, ventilasi biasanya tidak diberikan selama periode apnoeik,

(untuk menghindari inflasi pada perut dan yang terkait peningkatan risiko

regurgitasi) namun beberapa ahli anestesi dapat memberikan satu nafas, atau

beberapa napas lembut, yang keduanya memastikan ventilasi masker

memungkinkan dan mengurangi perkembangan terjadinya hiperkapnia, asidaemia,

dan hipoksia. Beberapa pedoman terbaru sekarang menganjurkan penggunaan

ventilasi masker untuk alasan ini pada pasien dengan risiko hipoksia yang lebih

tinggi, misalnya, pasien hamil.10,11

Baru-baru ini, Oksigenasi apnoeik semakin banyak digunakan, terutama

pada pasien yang secara kritis tidak sehat, untuk memberikan lingkungan kaya

oksigen di orofaring untuk meminimalkan hipoksia selama periode apnoeik RSI.12

Ini disediakan oleh sumber oksigen alternatif; Biasanya melalui nasal prong

17
dengan aliran oksigen 10 liter per menit atau lebih, atau melalui insersi tabung

pembawa oksigen ke dalam orofaring. Keterbatasan bisa meliputi kesulitan

dengan segel masker wajah, kerusakan yang diinduksi tekanan dari penempatan

letak tabung yang salah (misalnya ruptur lambung), dan kurangnya efikasi dalam

setidaknya satu percobaan.13

SITUASI KLINIK KHUSUS

Obstetri

Pasien pada trimester kedua atau ketiga kehamilan memiliki risiko aspirasi

yang lebih tinggi karena perubahan anatomis dan fisiologis. Pasien ini juga

cenderung sulit diintubasi, dan lebih cepat mengalami desaturasi daripada wanita

yang tidak hamil.

Untuk alasan ini, RSI dilakukan dengan perhatian cermat pada penentuan

posisi, pre-oksigenasi, dan ketersediaan alat dan ahli penguasaan jalan nafas yang

sulit. Ventilasi masker wajah yang rutin dan lembut bisa dilakukan.10 Penggunaan

opioid sebagai tambahan induksi mungkin diperlukan jika kehamilan dipersulit

oleh hipertensi atau preeklampsia.

Seperti semua kehamilan lanjut, wanita harus diposisikan dengan miring

kiri menggunakan penyangga atau meja yang miring.

18
Pediatri

Neonatus, bayi dan anak-anak mengalami desaturasi dengan cepat dan

dapat memberikan respons vagal terhadap laringoskopi. Sebuah pendekatan

standar untuk RSI umumnya dilakukan, dengan kisaran ukuran peralatan tepat,

dan dosis obat yang dihitung dengan hati-hati. Dosis yang dibutuhkan mungkin

lebih tinggi daripada orang dewasa secara per kilogram - misalnya, anak berusia 3

tahun akan sering membutuhkan 5 mg/kg propofol, beberapa kali lebih tinggi dari

dosis dewasa proporsional karena distribusi volume yang lebih besar. Atropin

sebagai tambahan tambahan sering digunakan dengan dosis 20 mcg/kg untuk

mengurangi bradikardia.

Cedera tulang belakang yang dicurigai atau diketahui

Pada pasien yang memiliki cedera vertebra serviks yang tidak stabil,

laringoskopi dengan manipulasi kepala dan leher oleh petugas menimbulkan

risiko memburuknya cedera. Tidak ada konsensus mengenai cara teraman untuk

mengintubasi pasien ini, tapi dua pendekatan alternatif biasanya dilakukan. Salah

satunya adalah melakukan laringoskopi dengan gerakan minimal pada vertebra

serviks, sering dengan laringoskop video hiper-angulasi jika tersedia, sementara

leher diimobilisasi oleh asisten melakukan stabilisasi in-line manual. Pilihan

kedua adalah teknik fibre-optic saat pasien terjaga, menggunakan hanya anestesi

lokal.

19
SITUASI GAWAT DARURAT

Pada pasien yang RSI diindikasikan karena risiko aspirasi, situasi gawat

darurat tetap merupakan waktu yang berisiko tinggi untuk kejadian aspirasi lebih

jauh. Pertimbangan kuat harus diberikan untuk melakukan ekstubasi pada pasien

yang terjaga dengan pembalikan penuh blokade neuromuskular. Posisi lateral kiri

dengan kepala lebih di bawah dapat mengurangi lebih jauh kemungkinan aspirasi,

dengan mengorbankan berkurangnya akses ke jalan napas.

RINGKASAN

• Rapid sequence induction dilakukan untuk mengamankan jalan napas pada

pasien dengan peningkatan risiko aspirasi.

• Persiapan peralatan, obat-obatan, tim dan pasien sangat penting; komunikasi

yang baik harus rutin.

• Teknik ini mungkin disesuaikan dengan skenario klinis spesifik.

20
JAWABAN UNTUK PERTANYAAN

1) Rapid sequence induction:


a) Salah. RSI sering disertai dengan opioid, tapi bisa dilakukan tanpa tambahan.
b) Salah. RSI secara klasik digambarkan sebagai pemberian obat anestesi yang
telah ditentukan sebelumnya, dan beberapa praktisi melakukan RSI dengan cara
ini saat kecepatan menjadi prioritas (misalnya, anestesi umum darurat untuk
operasi caesar).
c) Salah. Mungkin diperlukan saat situasi pasien elektif yang sudah puasa, jika
berisiko tinggi mengalami aspirasi karena kehamilan, refluks gastroesofagus,
pengikatan lambung, dll.
d) Benar. RSI biasanya dimodifikasi dari deskripsi klasik.
e) Salah. Dua orang adalah jumlah minimal yang aman saat melakukan RSI,
meskipun asisten lebih lanjut mungkin berguna.

2) Tekanan krikoid
a) Salah. Tekanan krikoid pada awalnya sebesar 10N, kemudian meningkat
menjadi 30N dengan hilangnya kesadaran.
b) Benar. Jika laringoskopi sulit, tekanan krikoid harus dilepas.
c) Salah. Cedera laringeal merupakan kontraindikasi dilakukan tekanan krikoid.
d) Salah. Muntah adalah kontraindikasi terhadap tekanan krikoid karena ini
berisiko menyebabkan ruptur esofagus. Hanya regurgitasi pasif yang dikurangi
dengan tekanan krikoid.
e) Salah. Beberapa instruksi diperlukan untuk tekanan krikoid agar diterapkan
dengan aman dan efektif.

3) Risiko rapid sequence intubation meliputi


a) Benar. Peningkatan tekanan intrakranial dan intraokular dapat terjadi akibat
stimulasi laringoskopi, atau dari penggunaan suxamethonium.
b) Benar. RSI adalah faktor risiko untuk kesadaran, karena usaha intubasi yang
berkepanjangan, kurang dosis relatif dari obat induksi, atau mengabaikan
meberikan sedasi berkelanjutan.
c) Benar. Aspirasi adalah risiko kapanpun intubasi dicoba dilakukan.
d) Benar. Henti jantung bisa diakibatkan oleh overdosis obat induksi, hipoksemia,
asidaemia, atau anafilaksis.

21
e) Benar. Respons vagal yang telah berkembang dengan baik pada anak-anak
dapat menyebabkan bradikardi sebagai respon terhadap laringoskopi.

22
REFERENSI DAN SUMBER BACAAN LEBIH LANJUT

1. Sellick BA. Cricoid pressure to control regurgitation of stomach contents

during induction of anaesthesia. Lancet 1961; 2: 404-406.

2. Cicala RS, Kudsk KA, Butts A, et al. Initial evaluation and management of

upper airway injuries in trauma patients. J Clin Anesth 1991; 3: 91-98.

3. Prasarn ML, Horodyski M, Schneider P, et al. The effect of cricoid pressure on

the unstable cervical spine. J Emerg Med 2015 Oct 13. pii: S0736-

4679(15)00939-7. doi: 10.1016/j.jemermed.2015.09.009.

4. Han T-H, Martyn JAJ. Onset and effectiveness of rocuronium for rapid onset of

paralysis in patients with major burns: priming or large bolus. Br J Anaesth 2009;

102: 55-60.

5. Davidson JA, Gillespie JA. Tracheal intubation after induction of anaesthesia

with propofol, alfentanil and i.v. lignocaine. Br J Anaesth 1993; 70: 163.

6. Difficult Airway Society Guidelines available online at:

https://www.das.uk.com/guidelines/das_intubation_guidelines (accessed on

21/11/15).

7. Chrimes N, Fritz P. The vortex approach: management of the unanticipated

difficult airway. Available online at: http://www.vortexapproach.com (accessed

on 21/11/15).

23
8. Walton S, Pearce A. Auditing the application of cricoid pressure. Anaesthesia

2000; 55: 1028.

9. Algie CM, Mahar RK, Tan HB, et al. Effectiveness and risks of cricoid

pressure during rapid sequence induction for endotracheal intubation. Cochrane

Database Syst Rev 2015, Issue 11. Art. No.: CD011656. DOI:

10.1002/14651858.CD011656.pub2.

10. Mushambi MC, Kinsella SM, Popat M, et al. Obstetric Anaesthetists'

Association and Difficult Airway Society guidelines for the management of

difficult and failed tracheal intubation in obstetrics. Anaesthesia 2015; 70: 1286-

1306.

11. Law JA, Broemling N, Cooper RM, et al. The difficult airway with

recommendations for management. Can J Anesth 2013; 60: 1089-1118.

12. Moran C, Karalapillai D, Darvall J, et al. Is it time for apnoeic oxygenation

during endotracheal intubation in critically ill patients? Crit Care Resusc 2014;

16: 233-235.

13. Semmler MW, Janz DR, Lentz JR, et al. Randomized trial of apneic

oxygenation during endotracheal intubation of the critically ill. Am J Respir Crit

Care Med 2015 Oct 1. doi: 10.1164/rccm.201507-1294OC.

24

Anda mungkin juga menyukai