MATA KULIAH
ILMU ALAMIAH DASAR
Oleh :
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA
2017
Pendahuluan
Latar Belakang
First Edition : Bentuk kontrak Pertama di buat tahun 1957 dan terus di revised tahun
1963, 1977 dan terakhir 1987. Dan Indonesia adalah Negara yang mengadopsi bentuk
kontrak FIDIC
Pelaksanaan proyek Jembatan Suramadu dan juga proyek lain pada umumnya selalu
dihadapkan pada tiga kendala, yaitu: biaya, waktu, dan mutu. Ketiga kendala ini dapat
diartikan sebagai sasaran proyek, yang didefinisikan sebagai: tepat biaya, tepat waktu, dan
tepat mutu. Keberhasilan proyek dikaitkan dengan sejauh mana ketiga sasaran tersebut dapat
terpenuhi. Sehubungan dengan karakteristik proyek yang dinamis diperlukan pengelolaan
proyek yang baik agar ketiga sasaran tersebut dapat terpenuhi. Pengelolaan proyek yang baik
membutuhkan manajemen proyek, dimana manajemen proyek didefinisikan sebagai proses
pengelolaan proyek melalui pengelolaan, pengalokasian, dan penjadwalan sumberdaya dalam
proyek untuk mencapai sasaran tersebut. Dalam usaha mencapai ketiga sasaran proyek
tersebut maka pada setiap awal masing- masing pekerjaan yang terkandung di dalam proses
pembangunan Jembatan Suramadu perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya.
Secara universal, modal pembiayaan pembangunan perkotaan diperoleh dari 3
sumber, yaitu pemerintah, swasta, kerjasama antara pemerintah dan swasta. Sumber-sumber
pendanaan tersebut dapat diperoleh dari instrumen keuangan melalui pendapatan,
hutang/pinjaman dan kekayaan. Pembiayaan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan
kota atau negara di berbagai bidang terutaman di bidang infrastruktur perkotaan. Semakin
maju sebuah peradaban, maka semakin besar kebutuhannya dan secara otomatis anggaran
biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan kebutuhan tersebut juga semakin besar.
Pembangunan jembatan Suramadu merupakan inovasi besaryang diperuntukan
untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, yang meliputi bidang infrastruktur dan
ekonomi di Madura. Sudah dua tahun jembatan Suramadu berjalan dengan fungsinya dan
telah memberikan berbagai dampak (impact) yang cukup besar bagi Madura. Namun disisi
lain setelah berdirinya jembatan Suramadu masih ada masalah besar. Pembangunan Jembatan
Suramadu disubkontrakkan kepada Consortium of Indonesia Contractors (CIC), yang terdiri
dari PT Adhi Karya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, serta PT Wijaya Karya. Dari
CCC kemudian disubkan lagi kepada 17 vendor yang hingga kini belum menerima pelunasan
pembayaran pekerjaan yang sudah mereka lakukan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur
akhirnya menalangi dana pembangunan melalui Bank Jatim sebesar Rp 50 miliar sebelum
dana pinjaman dari Bank Exim of China sebesar 68,9 juta dollar AS cair. Sumber
pembiayaan Jembatan Suramadu diperoleh dari APBN dan APBD Propinsi Jawa Timur serta
APBD Kota Surabaya dan 4 kota di Madura. Pembiayaan pembangunan Suramadu 55%
ditanggung pemerintah, sedangkan 45 % sisanya pinjaman dari China. Dari total biaya
pembangunan Suramadu sebesar Rp 4,5 triliun, sekitar Rp 2,1 triliun di antaranya harus
berutang kepada China.
Sampai saat ini Pemprov masih menunggu balasan dari Pemerintah Pusat. Sikap
pemerintah baik Pemerintah Pusat atau Provinsi harusnya lebih profesional dalam
menghadapi permasalahan dengan pihak swasta, dalam konteks ini vendor rekanan CIC.
Ketidakprofesionalan pemerintah tergambar pada tidak jelasnya nasib vendor yang harus
menunggu pelunasan hutang sampai 17 bulan tanpa informasi yang jelas. Pemerintah
seharusnya memberikan solusi awal bagi vendor jika memang sedang tidak memiliki dana
untuk membayar vendor. Sikap pemerintah yang terkesan tidak profesional akan menurunkan
tingkat kepercayaan pihak swasta dalam menjalin kerjasama dengan pemerintah pada proyek
pembangunan yang lain. Dan seharusnya sebelum dimulai kerjasama telah ditandatangani
kesepakatan antar dua belah pihak, sehingga apabila di tengah atau di akhir kerjasama terjadi
permasalahan, masing-masing pihak dapat mengacu pada perjanjian yang telah disepakati.
disisi lain pihak pemerintah tidak hanya menunggu dari APBN yang ada akan tetapi bisa bisa
melakukan pendayaan aset kota. Metode pembiayaan ini pada dasarnya merupakan suatu
bentuk upaya kerjasama dimana Pemerintah Kota atau BUMD menyewakan atau melakukan
kerjasama usaha atas lahan atau fasilitas yang dikuasainya. Karena itu, sebagai pemilik
fasilitas atau aset, khususnya lahan di perkotaan (biasanya HPL), Pemerintah dapat bekerja
sama dengan investor untuk mendayagunakan aset itu melalui berbagai bentuk solusi antara
lain dengan menerapkan Build Operate Transfer (BOT), memberi hak pengusahaan kepada
investor selama masa kontrak, dan pada akhir masa kontrak, fasilitas menjadi milik
Pemerintah. Kemudian Pemerintah memberi hak pengusahaan kepada investor untuk
mengoperasikan atau mengelola fasilitas tersebut untuk jangka waktu tertentu yang telah
disepakati. Selain itu juga bisa menerapkan profit share, misalnya mengambil keuntungan
dari tarif masuk tol, meski memakan waktu yang lama setidaknya dapat membantu
kekurangan dana yang belum terbayarkan. Cara lain untuk membantu masalah dana pasca
terbangunnya jembatan Suramadu, dengan cara pembiayaan alternatif yaitu Pengembangan
Wilayah Khusus. Metode pembiayaan ini maksudnya adalah pemerintah kota menetapkan
suatu bagian kota sebagai wilayah khusus dan memungut fee dari pemilik bisnis atau
properti, dalam bentuk Local Improvement District atau Business Improvement District.
Selain itu, salah satu bentuk kesepakatan alokasi risiko yang telah dibuat dalam
Contract Agreement ialah Pengguna Jasa yang dalam hal ini diwakilkan oleh Satuan
Kerja Sementara Jembatan Suramadu Sisi Tengah (SKS PJNSM Sisi Tengah) berkewajiban
menyediakan lahan yang akan digunakan CCC sebagai casting yard. Penentuan
kelayakan suatu lahan yang akan dipergunakan sebagai casting yard dilakukan oleh SKS
PJNSM Sisi Tengah dan CCC, hal ini terjadi karena SKS PJNSM Sisi Tengah membutuhkan
pertimbangan dari CCC berupa aspek teknis, sedangkan untuk aspek lainnya mutlak menjadi
pertimbangan SKS PJNSM Sisi Tengah. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan bentang
tengah baru terealisasi pada tanggal 15 Oktober 2005 dan akan selesai pada tanggal 15
Oktober 2008. Gambar desain yang diacu dan digunakan sebagai kesepakatan dalam
dokumen original contract adalah basic design. Basic design tersebut merupakan hasil
Design Proof Check yang dilaksanakan oleh China Road and Bridge Corporation (CRBC)
dan China Harbour Engineering Corporation (CHEC) yang dilaksanakan pada tahun 2003
sampai dengan 2004. Konfigurasi dan panjang pondasi pada basic design mengacu data
tanah yang digunakan pada proses desain oleh BPPT dan review design oleh PT. Virama
Karya. Data tanah yang digunakan pada proses desain ini sangat terbatas. Penetuan titik-
titik boring offshore dilaksanakan memakai 2 buah theodolite yang diletakkan pada So
(Centre Line Surabaya) dan BM-1 (Titik Bantu di Surabaya), hasil pengujian di cek lagi
dengan memakai trisponder. Sedangkan untuk proses pelaksanaannya dilakukan diatas
pontón, sehingga posisi titik yang diukur kurang maksimal keakuratannya Berdasarkan data
tanah yang ada, dihasilkan konfigurasi dan panjang pondasi Approach Bridge Sisi Surabaya.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan data yang digunakan pada design proof check,
direkomendasikan untuk melaksanakan sejumlah studi teknis lebih lanjut untuk digunakan
pada proses Detailed Engineering Design (DED). Untuk menentukan parameter desain
pondasi berdasarkan loading test, karakter tanah dan persyaratan settlement, maka perlu
dilakukan serangkaian technical studies sebagai pendukung proses DED. Technical studies
yang paling mempengaruhi antara lain soil investigation, geoelectric, ground motion, seismic
hazard dan local scouring.
Pelaksanaan soil investigation dalam proses penyusunan DED dilakukan dengan
lebih optimum. Penentuan titik-titik boring dilaksanakan menggunakan 2 buah total station
yang diletakkan diatas causeway (saat itu causeway telah dibangun ± 17 pier). Dalam
membantu menentukan atau mencari posisi rencana digunakan GPS, sedangkan pengeboran
dilaksanakan diatas platform baja. Pelaksanaan soil investigasi ini dilakukan pada bulan
Nopember tahun 2005.
Untuk mencegah terjadinya over-design oleh Perencana, maka pemilik proyek perlu
didampingi oleh pihak yang mampu memberikan informasi dan mencegah terjadinya over
design. Pekerjaan perencanaan yang bersifat kompleks dan membutuhkan perhitungan yang
rumit, hasil perencanaan perlu ditinjau oleh pihak ketiga yang independent. Tugas itu
kemudian digabungkan dengan tugas Independent Design Checker. Karena itu proses
pemeriksaan kembali desain oleh pihak ketiga yang disebut Independent Design Checker
yang dilaksanakan pada tahun 2005 sampai dengan 2006.
Dari hasil Independent Design Checker ada perubahan konfigurasi pondasi, diameter
dan panjang pondasi. Terjadi perdebatan mengenai kedalaman pondasi pada tahun 2006
antara tim Independent Design Checker dan Designer. Dari hasil diskusi antara Designer dan
Independent Design Checker menyepakati bahwa panjang akhir pondasi akan ditentukan
berdasarkan hasil load cell test. Hasil konfigurasi dan panjang pondasi bored piles pada
Approach Bridge Sisi Surabaya dari Detailed Engineering Design yang paling optimum.
Akibat terjadinya perubahan desain mengenai kedalaman dan konfigurasi pondasi,
maka pada tanggal 26 Juli 2008 Kontraktor mengajukan klaim perpanjangan waktu pada
pelaksanaan bentang tengah Jembatan Suramadu kepada Pengguna Jasa, dalam hal ini SKS
PJNSM Sisi Tengah. Klaim perpanjangan waktu yang diajukan Kontraktor akibat adanya
perubahan desain dan konfigurasi serta tambahan pekerjaan terkait adanya perbedaan
pendapat mengenai panjang pondasi sehingga perlu parameter untuk pemeriksaan daya
dukung tanah dan integritas pondasi bored piles. Hasil dari kedalaman pondasi bored
piles berdasarkan soil investigation harus diuji dan ditetapkan dengan loading test dan Sonic
test. Perpanjangan waktu yang diajukan oleh kontraktor yaitu 17 bulan sejak tanggal 15
Oktober 2008 yang jatuh temponya adalah 13 Maret 2010.
Pelaksana konstruksi bentang tengah jembatan Suramadu adalah CCC sebagai Main
Contractors, akan tetapi dalam perjanjian dalam kontrak sebagai prasyarat dalam loan ini
pelakasana konstruksi untuk Approach Bridge Sisi Surabaya dan Sisi Madura diberikan
kepada kontraktor lokal di Indonesia yaitu CIC (Consortium of Indonesian Contractors).
Akan tetapi karena minimnya pengalaman dalam pelaksanaan konstruksi jembatan bentang
panjang oleh kontraktor lokal tersebut sehingga mengakibatkan progres dari approach bridge
jauh tertinggal dari progres main bridge. Oleh karena itu dilakukan SCM (Show Cause
Meeting) dengan memberikan test case untuk mengukur performance CIC. Setelah masa test
case diketahui bahwa kemungkinan CIC untuk menyelesaikan Approach Bridge dan Vpier
Sisi Madura sesuai kontrak adalah kecil, sehingga perlu dilakukan take over. Setelah
dilakukannya SCM tersebut, porsi pekerjaan awal berubah menjadi CCC sebagai pelaksana
konstruksi main bridge, approach bridge sisi madura dan Vpier dan CIC sebagai pelaksana
konstruksi approach bridge sisi Surabaya.
Sesuai dengan uraian tersebut diatas, maka perlu melakukan penelitian untuk
menganalisa faktor-faktor yang menjadi dasar perhitungan klaim kontrak konstruksi terhadap
waktu sehingga dapat mengetahui waktu yang wajar dalam pelaksanaan konstruksi Approach
Bridge Sisi Surabaya akibat adanya perubahan pekerjaan bored piles.
Konflik di
mata
masyarakat
umum, terlihat
hanyalah
konflik yang
menguntungka
n salah satu
pihak. Tidak
banyak yang
memberikan
informasi lebih
mendalam
tentang awal
mula
munculnya
konflik.
Penelitian ini
kemudian
mencoba
memberikan
gambaran
bagaimana
proses tawar-
menawar
untuk
menyelesaikan
konflik serta
kepentingan
siapa yang
diuntungkan
dalam konflik
tersebut,
dengan
mengambil.
Pendahuluan
Salah satu contoh konflik yang terjadi dapat dilihat dari faktor apa yang
menyebabkan terjadinya konflik. Konflik yang terjadi sudah banyak di Indonesia karena
adanya kepentingan-kepentingan disetiap individu. Di Sidoarjo misalnya, bisa menjadi
salah satu contoh betapa kepentingan disetiap individu ataupun kelompok menjadi faktor
penting terjadinya konflik. Warga Porong berusaha mendapatkan hak dan
mempertahankan hak mereka guna melanjutkan kepentingan hidup. Sedangkan di pihak
perusahaan dan pemerintah telat membayar kepada warga. Karena berdasarkan
kesepakatan antara Pemerintah dengan PT. Lapindo Brantas, hingga tanggal 14 September
dana ganti rugi yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 1 Triliun, persoalannya hingga minggu
lalu baru Rp. 134 miliar yang dibayarkan ke warga [Okezone, 2013].
Peneliti akhirnya tertarik untuk mengkaji konflik yang terjadi di dalam proyek
Jembatan Surabaya Madura faktor-faktor yang terjadi hingga proses pelunasan
pembayaran ini dilakukan. Tujuannya adalah memberikan pengetahuan tambahan kepada
masyarakat seputar konflik yang terjadi dalam hal pembangunan, khususnya perihal
konflik.
Kajian teoritik
Dalam ilmu-ilmu sosial mengenal dua pendekatan yang saling bertentangan untuk
memandang masyarakat. Kedua pendekatan ini meliputi pendekatan struktural fungsional
(konsensus) dan pendekata struktural konflik. Pendekatan konsensus berasumsi masyarakat
mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi tetapi saling berhubungan satu sama lain
secara fungsional, serta masyarakat terintegrasi atas dasar suatu nilai yang disepakati
bersama sehingga masyarakat selalu dalam keadaan keseimbangan dan harmonis. Sedangkan
pendekatan konflik berasumsi masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki
kepentingan yang saling bertentangan, dan masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan
dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik [Surbakti,
1992].
Konflik yang terjadi antar individu ataupun antar kelompok akan selalu menuju ke
arah kesepakatan (konsensus). Selain hal itu juga, masyarakat tidak akan bisa terikat secara
permanen dengan mengandalkan kekuasaan dan paksaan dari kelompok yang dominan.
Sebaliknya, masyarakat yang terikat atas dasar konsensus sekalipun, tak mungkin bertahan
secara permanen tanpa adanya kekuasaan dan paksaan.
Ada sejumlah konflik yang dari sifatnya beraspek politik karena langsung
melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Termasuk dalam kategori ini,
yakni konflik antara kegiatan kelompok masyarakat yang menentang kebijakan
pemerintah, maupun kelompok masyarakat pengusaha yang menuntut atau mendapatkan
sumber-sumber kekayaan yang telah diputuskan dalam kebijakan pemerintah.
Di dalam Konflik sendiri dapat berkembang bila dibiarkan tanpa adanya kendali
serta dapat merusak masyarakat dan Negara/bangsa sehingga harus diambil tindakan-
tindakan nyata yang mampu menyelesaikan konflik sehingga mencapai kesepakatan, alur
pemikiran dalam konflik adalah (1) manusia cenderung hidup bersama dengan manusia
lainnya sehingga terbentuknya masyarakat, (2) begitu masyarakat terbentuk, terjadilah
konflik diantara anggota masyarakat baik secara pribadi maupun secara berkelompok. (3)
untuk mengatasi konflik, terbentuklah secara alamiah penguasa politik.
Konflik politik selalu berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh penguasa
politik dan jabatan yang diduduki oleh penguasa politik termasuk didalamnya kepentingan
para penguasa politik. Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Karena
tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik, tidak ada masyarakat yang
tidak mempunyai konflik.
Konflik yang selalu ada di masyarakat selalu terkait dengan adanya kekuasaan
dan wewenang. Hubungan wewenang adalah selalu berbentuk hubungan antara supra dan
subordinasi atau hubungan atas-bawah, dimana terdapat hubungan wewenang, disitu unsur
atas (superordinat) secara sosial diperkirakan dengan perintah dan komando, peringatan,
kebijakan, dan larangan-larangan yang mengendalikan perilaku unsur bawah. Perkiraan
demikian secara relatif lebih dilekatkan kepada posisi sosial daripada kepada kepribadian
individual. Hubungan wewenang selalu meliputi spesifikasi orang-orang yang harus
tunduk kepada pengendalian dan spesifikasi dalam bidang-bidang yang mana saja
pengendalian itu diperbolehkan. Wewenang adalah sebuah hubungan yang sah, apabila
tidak tunduk kepada perintah orang yang berwenang dapat dikenai sanksi tertentu
[Dahrendorf, 1986].
Awalnya pembangunan ini berjalan lancar dan sangat baik dalam persoalan
pembayaran dalam perkerjaan proyek Jembatan Surabaya Madura tanpa ada suatu
halangan apapun, tidak ada permasalahan-permasalahan yang berarti. Namun seiringnya
bergulirnya waktu, permasalahan-permasalahan itu muncul ditengah proses pengerjaan
yang sudah menempuh 65% pengerjaan. Permasalahan ini muncul pada bulan September
dimana masyarakat pengusaha ini seharusnya mendapat pembayaran, namun kendala yang
terjadi dana yang digunakan untuk membayar ini sudah habis dana ini didapat dari
pinjaman China. Pembayaran ini harus dibayarakan dari Kementrian Pekerjaan Umum
selaku owner, kepada Consorcium Indonesian Contractor kepada sub kontrak yakni para
vendor-vendor. Karena dana ini tidak ada maka para pekerja memboikot pekerjaan atau
mogok kerja, serta tidak transparansinya dalam dana tersebut membuat para pekerja ini
tidak tahu kalau dana tidak ada.
Proses pembayaran yang telat ini memunculkan rasa tidak percaya dari
masyarakat pengusaha pekerja Jembatan Surabaya Madura kepada Consorcium Indonesian
Contractor serta kepada Pemerintah yakni Kementrian Pekerjaan Umum. Sehingga
memunculkan wacana mogok kerja tersebut.
Berawal dari sinilah konflik mulai muncul. Seperti yang dituturkan oleh Lewis
A.Coser. Konflik adalah perselisihan atau pertentangan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-
tuntutan berkenaan dengan status dan sumber-sumber kekayaan yang tidak mencukupi
persediaannya. Pada awal pengerjaan proyek kondisi stabil, tenang,tidak ada permasalahan
berarti yang timbul namun kemudian tidak adanya pembayaran kepada para pekerja ini
akhirnya mereka menuntut untuk dibayar karena sumber-sumber kekayaan para pekerja ini
tidak mencukupi persediaan perusahaan serta tidak adanya transparansi dalam pendanaan
tersebut.
Perubahan Jadwal
Setelah adanya mogok kerja di bulan Sepetember 2008 serta adanya kesepakatan
pembayaran hutang pemerintah kepada para masyarakat pengusaha. Ditengah-tengah
proyek Jembatan Surabaya Madura ini hampir selesai, munculah permasalahan kembali
pada bulan februari pada tahun 2009. Permasalahan ini muncul dari adanya perintah dari
pemerintah yakni tentang tenggat waktu penyelesaian. Munculnya perintah tentang tenggat
waktu penyelesaian menimbulkan masalah yakni adanya perubahan jadwal yang tidak
sesuai dengan kontrak. Penyelesaian yang seharusnya selesai di bulan september, di
majukan menjadi juni dan kalau bisa sebelum pemilu. Dengan adanya perintah itu
menimbulkan permasalahan baru yang ada pada masyarakat pengusaha yang sedang
mengerjakan proyek tersebut
Pasca Peresmian
Pada tahun 2010 vendor atau masyarakat pengusaha ini melakukan aksi yang
dilakukan di sisi Surabaya Jembatan Surabaya Madura, hasil yang didapat yakni baru 30
persen pembayaran hutang yang terbayarkan. Seharusnya pemerintah ini wajib membayar
100 miliar kepada pihak-pihak vendor atau masyarakat pengusaha.Pada bulan November
2011 vendor atau masyrakat pengusaha ini melakukan demo, demo ini dilakukan di sisi
kaki jembatan yang berada di wilayah di Suramadu.
Dalam proyek Jembatan Surabaya Madura ini banyak pihak yang terlibat untuk
proses pengerjaan. Mulai dari pihak China yang diwakilkan oleh CCC (Consorcium China
Contractor), pemerintah yang diwakilkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum Balai Besar
Pelaksanaan Jalan Nasional V serta CIC (Consorcium Indonesian Contractor) yang di sub
kontrakan lagi kepada vendor-vendor.
Setelah ada kesepakatan yang disepakati antara dua belah pihak, muncul
permasalahan kembali, yakni adanya kebijakan perubahan jadwal. Perubahan jadwal ini
perintah langsung dari pemerintah. Dengan adanya perubahan jadwal ini vendor atau
masyarakat pengusaha merasakan sistem kerja yang tidak ideal, pagi, siang, sore malam.