Anda di halaman 1dari 57

TUBERKULOSIS DAN INFEKSI OLEH MIKOBAKTERIA ATIPIKAL

SEKILAS TENTANG TUBERKULOSIS

 InfekSi oleh Mycobacterium tuberculosis atau strain lain yang


berhubungan sangat dekat, termasuk reaksi radang dari hospes yang
menegaskan adanya penyakit (tuberculosis atau TB)
 1/3 populasi dunia terinfeksi oleh TB
 TB merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang terinfeksi oleh
Human Immunodeficiency Virus.
 TB biasanya menginfeksi paru-paru, namun sebenamya semua sistem
organ dapat terkena.
 TB pada kulit merupakan manifestasi yang relatif jarang dengan spektrum
klinis yang luas tergantung pada sumber infeksi dan status imun hospes.
 Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis, analisis histopatologi, penemuan
mikobakteria yang relevan dalam jaringan atau dalam kultur dan reaksi
hospes terhadap antigen M. tuberculosis.
 Pengobatan adalah dengan regimen multidrug standar. Kasus-kasus
multidrug-resistant (MDR) TB atau multidrug-resislant luas (XDR) TB
memerlukan perhatian khusus.
 Perjalanan penyakit dan prognosis tergantung pada status imun
hospes. Perawatan adalah kuratif kecuali untuk pasien dengan sistem
imunitas yang menurun berat.
BAB 184 : TUBERKULOSIS DAN INFEKSI OLEH MIKOBAKTERIA
ATIPIKAL
Aisha Sethi

Tuberculosis is still an important worldwide disease. There were an estimated


9.27 million incident cases globally of TB in 2007.1 This is an increase from 9.24
million cases in 2006, to 8.3 million cases in 2000 and 6.6 million cases in 1990.
Most of the estimated number of cases in 2007 were in Asia (55%) and Africa
(31%), with small proportions in the Eastern Mediterranean region (6%), the
European region (5%) and the Americas (3%). The five countries that ranked first
to fifth in terms of total numbers of cases in 2007 were India, China, Indonesia,
Nigeria, and South Africa. Of the 9.27 million incident cases in 2007, an
estimated 1.37 million (14%) were HIV positive; 79% of these HIV- positive
cases were in the African region.

Penyakit tuberkulosis masih merupakan permasalahan dunia yang sangat penting.


Diperkirakan terdapat 9.27 juta insiden kasus TB secara global di tahun 2007. Ini
merupakan peningkatan kasus dari 9,24 juta kasus pada tahun 2006 menjadi 8,3
juta kasus pada tahun 2000 dan 6,6 juta kasus pada tahun 1990. Sebagian besar
kasus di tahun 2007 terjadi pada ras Asia (55%) dan Afrika (31%), dengan
sebagian kecil pada daerah mediterania timur (6%), daerah Eropa (5%), dan
Amerika (3%). Lima negara yang menduduki peringkat 1 sampai 5 dalam hal total
jumlah kasus di tahun 2007 adalah India, China, Indonesia, Nigeria, dan Afrika
Selatan. Dari 9.27 juta insiden kasus di tahun 2007, sekitar 1.37 juta (14%) adalah
HIV positif; 79% dari kasus-kasus HIV positif ini berasal dari daerah Afrika.

In 2008, a total of 12,898 incident tuberculosis (TB) cases were reported in


the United States; the TB rate declined 3.8% from 2007 to 4.2 cases per 100,000
population, the lowest rate recorded since national reporting began in 1953. In
2008, the TB rate in foreign-born persons in the United States was 10 times higher
than in US-born persons. TB rates among Hispanics and blacks were nearly eight
times higher than among non-Hispanic whites, and rates among Asians were
nearly 23 times higher than among non-Hispanic whites. To ensure that TB rates
decline further in the United States, especially among foreign-born persons and
minority populations, TB prevention and control capacity should be increased.

Pada tahun 2008, sebanyak 12.898 insiden kasus tuberkulosis (TB)


dilaporkan di Amerika; angka kejadian TB menurun sebanyak 3.8% dari tahun
2007 menjadi 4.2 kasus per 100.000 populasi, ini merupakan angka terendah yang
tercatat sejak diberlakukan pencatatan nasional yang dimulai pada tahun 1953.
Pada tahun 2008, angka kejadian TB pada keturunan pendatang di Amerika 10
kali lebih tinggi daripada keturunan asli Amerika. Angka kejadian TB di antara
ras Hispanik dan kulit hitam 8 kali lebih tinggi daripada ras kulit putih non
hispanik, dan angka kejadian pada ras Asia hampir 23 kali lebih tinggi daripada
ras kulit putih non Hispanik. Untuk memastikan angka kejadian TB menurun
lebih jauh lagi di Amerika terutama pada keturunan pendatang dan populasi
minoritas, kapasitas pencegahan dan pengendalian TB harus ditingkatkan.

Additional capacity should be used to (1) improve case management and contact
investigations; (2) intensify outreach, testing, and treatment of high-risk and hard-
to-reach popu- lations; (3) enhance treatment and diagnostic tools; (4) increase
scienti c research to better understand TB transmission; and (5) continue
collaboration with other nations to reduce TB globally.2

Kapasitas tambahan sebaiknya digunakan untuk (1) memperbaiki manajemen


kasus dan investigasi kontak; (2) mengintensifkan penjangkauan, pemeriksaan,
dan perawatan populasi beresiko tinggi dan sulit terjangkau; (3) meningkatkan
perawatan dan alat diagnostik; (4) meningkatkan penelitian ilmiah untuk
memahami penularan TB dengan baik; dan (5) melanjutkan kolaborasi dengan
negara-negara lain untuk mengurangi TB secara global.

HIV-positive people are about 20 times more likely than HIV-negative


people to develop TB in countries with a generalized HIV epidemic, and between
26 and 37 times more likely to develop TB in countries where HIV prevalence is
lower.

Orang-orang dengan HIV positif 20 kali lebih rentan untuk menderita TB


daripada orang-orang yang HIV negatif di negara-negara dengan epidemik HIV,
dan berkisar antara 26 dan 37 kali lebih rentan menderita TB di negara-negara
dimana prevalensi HIV lebih rendah.

The so-called atypical Mycobacteria (Mycobacteria other than


Mycobacteria tuberculosis, or MOTT) cause skin disease more frequently than
does M. tuberculosis. They exist in various reservoirs in the environment. Among
these organisms are obligate and facultative pathogens as well as nonpathogens.
In contrast to the obligate pathogens, the latter do not cause disease by person-to-
person spread.

Mikobakteria atipikal (mikobakteria selain Mycobacteria tuberculosis, atau


MOTT) lebih sering menyebabkan penyakit kulit dibandingkan M. tuberculosis.
Diantara semua organisme ini ada sebagai patogen yang obligat, fakultatif,
maupun non patogen.
MYCOBACTERIA AND THE ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY
SYNDROME PANDEMIC

MIKOBAKTERIA DAN PANDEMI SINDROM IMUNODEFISIENSI


DAPATAN

The pandemic of acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), with its profound


and progressive
 suppression of cellular immune functions, has led
 to a
resurgence of tuberculosis and the appearance or recognition of new
mycobacterial pathogens. The Mycobacterium avium-intracellulare (MAI)
complex is the most common cause of disseminated bacterial infections in patients
with AIDS in the United States, but is much less frequently so in Europe. In AIDS
patients, Mycobacterium kansasii is more common than M. tuberculosis. The
incidence of tuberculosis in patients with AIDS is almost 500 times than that in
the general population. Cutaneous disease in AIDS patients is frequently caused
by MOTT.

Pandemik Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang kita ketahui dapat


menekan sistem imunitas seluler secara progresif, berakibat pada merebaknya
tuberkulosis dan munculnya mikobakteri patogen baru. Kompleks Mycobacterium
avium-intracellulare (MAI) merupakan penyebab utama penyebaran infeksi
bakteri pada pasien-pasien AIDS di Amerika Serikat, namun ini jarang dijumpai
di Eropa. Pada pasien AIDS, Mycobacterium kansasii lebih sering dijumpai
daripada M. tuberculosis. Insiden tuberkulosis pada pasien AIDS hampir 500 kali
lebih tinggi daripada populasi umum. Penyakit kulit pada pasien dengan AIDS
seringkali disebabkan oleh MOTT.

EPIDEMIOLOGY

Tuberculosis of the skin has a worldwide distribution. Once more prevalent in


regions with a cold and humid climate, it now occurs mostly in the tropics.
Cutane- ous TB incidence parallels that of pulmonary TB and developing
countries still account for the majority of cases in the world. The emergence of
resistant strains and the AIDS epidemic have led to an increase in all forms of TB
(Table 184-1).

EPIDEMIOLOGI

Penyakit tuberkulosis pada kulit tersebar di seluruh dunia. Dahulu lebih sering
terjadi di daerah yang beriklim dingin dan lembab, namun sekarang sering terjadi
di daerah tropis. Insiden TB kulit terjadi berbanding lurus dengan TB paru dan
sebagian besar kasus di dunia masih sering terjadi di negara-negara berkembang.
Munculnya strain resisten dan epidemi AIDS menyebabkan peningkatan semua
bentuk TB (tabel 184-1).

Gambar 184-1 Skrofuloderma pada scorang pasien Ethiopia.


(digunakan dengan izin dari Dr. Kassahun Bilcha)
TABEL 184-1
Klasifikasi Tuberkulosis Kutis

The two most frequent forms of skin tuberculosis are lupus vulgaris (LV)
and scrofuloderma (Fig. 184-1). In the tropics, LV is rare, whereas scrofuloderma
and verrucous lesions predominate. LV is more than twice as common in women
than in men, whereas tuberculosis verrucosa cutis is more often found in men.
Generalized miliary tuberculosis is seen in infants (and adults with severe
immunosuppression or AIDS), as is primary inoculation tuberculosis.
Scrofuloderma usually occurs in adolescents and the elderly, whereas LV may
affect all age groups.

Dua bentuk TB kulit yang paling sering terjadi adalah lupus vulgaris (LV)
dan skrofuloderma (gambar. 184-1). LV jarang terjadi di daerah-daerah tropis,
sedangkan skrofuloderma dan lesi-lesi verukosa lebih sering terjadi. LV dua kali
lipat lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, sedangkan tuberculosis
verrucosa cutis lebih sering ditemukan pada pria. Miliaria tuberkulosis
generalisata dijumpai pada bayi-bayi (dan orang dewasa dengan penekanan sistem
imun berat atau AIDS), dan merupakan inokulasi primer tuberkulosis.
Skrofuloderma biasanya terjadi pada dewasa muda dan lanjut usia, sedangkan LV
dapat terjadi pada semua kelompok umur.

THE MYCOBACTERIUM
Mycobacteria multiply intracellularly, and are initially found in large numbers in
the tissue.
M. tuberculosis, M. bovis, and, under certain condi- tions, the attenuated
BCG organism cause all forms of skin tuberculosis.

MIKOBAKTERIUM.
Mikobakteria bermultiplikasi secara intraselular, dan pada awalnya ditemukan
dalam jumlah besar di jaringan.

M. tuberculosis, M. bovis, dan organisme BCG yang dilemahkan dalam


kondisi tertentu dapat menyebabkan semua bentuk tuberkulosis kulit.

In LV, the bacteria often have virulence as low as that of the BCG. Large
number of bacteria can be found in the lesions of a primary chancre or of acute
miliary tuberculosis; in the other forms, their number in the lesions is so small that
it may be dif cult to nd them.

Pada LV seringkali bakteri memiliki virulensi serendah BCG. Bakteri


dalam jumlah banyak dapat ditemukan pada lesi chancre primer atau miliaria
tuberkulosis akut; di sisi lain jumlahnya dapat sangat sedikit sehingga sangat sulit
untuk menemukannya.

M. tuberculosis may become dormant in the host tissue. New diagnostic


tools are emerging,4,5 as described below.

M. tuberculosis dapat dormant pada jaringan hospes. Alat diagnostik baru


telah ditemukan seperti dijelaskan di bawah ini.
THE HOST. The human species is quite susceptible to infection by M.
tuberculosis, with big differences among populations and individuals. Populations
that have been in long-standing contact with tuberculosis are, in general, less
susceptible than those who have come into contact with Mycobacteria more
recently, presumably reflecting widespread immunity from subclinical infection.
Age, state of health, environmental factors, and particularly the immune system
are of importance. In Africans, tuberculosis frequently takes an unfavorable
course, and tuberculin sensitivity may be more pronounced than in whites.

HOSPES. Spesies manusia cukup rentan untuk terinfeksi oleh M. tuberculosis,


dengan perbedaan yang besar antar individu dan populasi. Populasi yang telah
mengalami kontak jangka panjang dengan tuberkulosis pada umumnya kurang
rentan untuk terinfeksi dibandingkan mereka yang kontak dengan mikobakteria
baru-baru belakangan ini, kemungkinan mencerminkan penyebaran imunitas dari
infeksi subklinis. Hal-hal yang berperanan penting antara lain: umur, kondisi
kesehatan, faktor lingkungan, dan terutama sistem imun. Tuberkulosis sering
menunjukkan perjalanan penyakit yang tidak baik di Afrika, dan sensitivitas
tuberkulin dapat lebih terlihat dibanding orang kulit putih.

TUBERCULIN REACTION (KOCH PHENOMENON). An


extract of M. tuberculosis (tuberculin) was shown to produce a different skin
reaction in sensitized individuals than in naive individuals, and this difference
became the basis of a widely used diagnostic test. This reaction is a delayed-type
hypersensitivity reaction, induced by Mycobacteria during primary infection. This
“old tuberculin” has now been replaced by purified protein derivative (PPD).
More recently, purified species-specific antigens have been developed.6

REAKSI TUBERKULIN (FENOMENA KOCH). Ekstrak dari M. tuberculosis


(tuberkulin) dapat menimbulkan reaksi kulit yang berbeda pada individu yang
tersensitisasi daripada individu naif, dan perbedaan inilah yang menjadi dasar tes
diagnostik yang secara luas dipergunakan.Reaksi ini adalah hipersensitivitas tipe
lambat yang disebabkan oleh mikobakteria selama infeksi primer. “Tuberkulin
lama” ini sekarang digantikan oleh derivative protein murni. Belakangan ini telah
dikembangkan antigen spesifik spesies murni.

Local intradermal injection (the method most widely used) leads to the
local tuberculin reaction, which usually reaches its maximum intensity after 48
hours. It consists of a sharply circumscribed area of erythema and induration, and
in highly hypersensitive recipients or after large doses, a pallid central necrosis
may appear.

Injeksi lokal intradermal (metode yang paling banyak digunakan)


menyebabkan reaksi tuberkulin lokal yang biasanya mencapai intensitas
maksimum setelah 48 jam. Ini tampak sebagai daerah eritema berbatas tegas dan
indurasi; dan pada resipien yang sangat hipersensitif atau setelah dosis tinggi,
dapat muncul nekrosis sentral pucat.

In an attempt to quantify the tuberculin reaction, an assay known as the


QuantiFERON®-TB Gold test was developed to measure speci c antigen-driven
interferon-synthesis by whole blood cells and was approved by the FDA in
2005.

Untuk mengukur reaksi tuberkulin, telah dikembangkan suatu uji yang


dinamakan QuantiFERON®-TB Gold Test untuk mengukur sintesis interferon-Y
pemicu antigen spesifik oleh seluruh sel-sel darah dan telah disetujui oleh FDA di
tahun 2005.

Tuberculin sensitivity usually develops 2–10 weeks after infection and


persists throughout life. The state of sensitivity of an individual infected with M.
tuberculosis is of considerable significance in the pathogenesis of tuberculosis
skin lesions.

Sensitivitas tuberkulin biasanya muncul 2-10 minggu setelah infeksi dan


bertahan seumur hidup. Keadaan sensitivitas individu yang terinfeksi M.
tuberculosis cukup berperan secara signifikan dalam patogenesis lesi kulit pada
tuberkulosis.

In patients with clinical tuberculosis, an increase in skin sensitivity usually


indicates a favorable prognosis, and in tuberculous skin disease accompanied by
high levels of skin sensitivity, the number of bacteria within the lesions is small.
Tuberculin sensitivity (skin reactivity) is not necessary for immunity, however,
and sensitivity and immunity do not always parallel each other.

Pada pasien dengan tuberkulosis klinis, peningkatan sensitivitas kulit


biasanya mengindikasikan prognosis yang baik dan pada penyakit kulit
tuberkulosis yang disertai sensitivitas kulit tingkat tinggi, menunjukkan bahwa
jumlah bakteri dalam lesi sedikit. Sensitivitas tuberkulin (reaktivitas kulit) tidak
diperlukan untuk imunitas, namun sesitivitas dan imunitas tidak selalu berbanding
lurus satu sama lain.

ROUTE OF INFECTION. Cutaneous inoculation leads to a tuberculous


chancre or to tuberculosis verrucosa cutis (Fig. 184-2), depending on the
immunologic state of the host.

RUTE INFEKSI. Inokulasi pada kulit menyebabkan munculnya chancre


tuberculous sampai tuberculosis verrucosa cutis ( Gambar 184-2 ), tergantung dari
keadaan imunologi hospes.

Spread of Mycobacteria may occur by continuous extension of a


tuberculous process in the skin (scrofuloderma) by way of the lymphatics (LV), or
by hematogenous dissemination (acute miliary tuberculosis of the skin or LV).

Penyebaran mikobakteria dapat terjadi karena perluasan yang


berkesinambungan dari proses tuberkulosa dalam kulit (skrofuloderma) melalui
penyebaran limfa (LV) atau melalui aliran darah (tuberkulosis milier akut pada
kulit atau LV)

Gambar 184-2 Tuberkulosis Vcrukosa kutis pada kaki scorang pasien dari
Ethiopia, Digunakan dengan izin dari Dr. Kassahun Bilcha)

HISTOPATHOLOGY

The hallmark of tuberculosis and infections with some of the slow-growing


atypical Mycobacteria is the tubercle: an accumulation of epithelioid histocytes
with Langhans-type giant cells among them and a varying amount of caseation
necrosis in the center, surrounded by a rim of lymphocytes and monocytes.
Although this tuberculoid granuloma is highly characteristic of several forms of
tuberculosis, it may be mimicked by deep fungal infections, syphilis, and leprosy,
as well as other diseases. As in leprosy, the histopathologic features of skin
tuberculosis may be re ective of the host’s immune status.

HISTOPATOLOGI

Tanda dari tuberkulosis dan infeksi oleh mikobakteria atipikal yang tumbuh
lambat adalah tuberkel yaitu akumulasi histiosit epiteloid dengan sel raksasa tipe
Langhans diantaranya dan berbagai macam nekrosis kaseasi yang bervariasi di
tengahnya, dikelilingi oleh limfosit dan monosit. Walaupun granuloma
tuberkuloid ini merupakan karakteristik khas dari beberapa bentuk tuberkulosis,
ini dapat juga dijumpai pada infeksi jamur, sifilis, kusta, dan penyakit lainnya.
Sebagaimana penyakit kusta, bentuk histopatologi tuberkulosis kulit merupakan
cerminan dari status imun hospes.

POLYMERASE CHAIN REACTION PROCEDURE

The polymerase chain reaction (PCR) procedure has been used increasingly to
ascertain the presence of mycobacterial DNA in skin specimens.7 Although the
detection of specific DNA in tissues has yielded valuable information and will
conceivably gain importance in the future, interpretation of the results of these
tests in individual patients is still problematic.8 In one study, samples from 16 of
20 patients with sarcoidosis contained mycobacterial DNA, both tuberculous and
nontuberculous.9 In another study of patients with con- rmed or highly probable
cutaneous tuberculosis or with erythema induratum, believed to indicate a host
response to the infection, PCR testing showed 100% sensitivity and specificity in
multibacillary disease. In paucibacillary disease, PCR testing showed 55%
sensitivity and specificity, and only 80% of PCR-positive patients responded to
antituberculosis therapy.7

PROSEDUR REAKSI RANTAI POLIMERASE

Prosedur reaksi rantai polimerase semakin banyak digunakan untuk memastikan


adanya DNA mikobakteria dalam suatu spesimen kulit.Walaupun deteksi DNA
spesifik dalam jaringan dapat menghasilkan infbrmasi yang berharga dan penting
untuk masa depan, interpretasi hasil dari tes ini pada tiap individu masih
menyisakan persoalan. Pada suatu penelitian, 16 sampel dari 20 pasien dengan
sarkoidosis berisi DNA mikobakteria, baik tuberkulosa dan non tuberkulosa. Pada
penelitian lain dari pasien tuberkulosis kulit, baik yang baru kemungkinan besar,
sudah terkonfirmasi, maupun eritema induratum, yang dipercaya mengindikasikan
respons hospes terhadap infeksi, tes PCR menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas 100% pada penyakit multibasiler. Pada penyakit pausibasiler, tes PCR
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas 55%, dan hanya 80% dari pasien dengan
hasil PCR positif yang menunjukkan respons terhadap terapi antituberkulosis.

QUANTIFERON®-TB GOLD (QFT-G) TEST

In 2005, the FDA approved QFT-G as an in vitro diagnostic aid. In this test, blood
samples are mixed with antigens and controls. For QFT-G, the antigens include
mixtures of synthetic peptides representing two M. tuberculosis proteins: (1)
ESAT-6 and (2) CFP-10. After incubation of the blood with antigens for 16–24
hours, the amount of interferon-(IFN-) is measured.

QUANTIFERON-TB GOLD (QFT-G) TEST

Pada tahun 2005, FDA menyetujui QFT-G sebagai alat diagnostik in vitro.
Pada tes ini, sampel darah dicampur dengan antigen dan kontrol. Untuk QFT-G,
antigen termasuk campuran peptidpeptidetis yang menunjukkan 2 protein M.
tuberculosis : (1) ESAT-6 dan (2) CFP-10. Setelah inkubasi darah dengan antigen
selama 16-24 jam, jumlah interferon-Y (IFN-Y) diukur.

If the patient is infected with M. tuberculosis, their white blood cells will
release IFN-in response to con- tact with the TB antigens. The QFT-G results
are based on the amount of IFN-that is released in response to the antigens.

Apabila pasien terinfeksi oleh M. tuberculosis, maka sel darah putih


mereka akan melepaskan IFN-Y sebagai respons kontak dengan antigen.

Although more sensitive than the tuberculin skin test, the QFT-G may be
negative in patients with early active tuberculosis and indeterminate results are
more common in immunocompromised individuals and young children. Another
similar assay, the T-SPOT®.TB test, measures the number of IFN--producing T
cells and is currently available in Europe. QFT-G testing is indicated for
diagnosing infection with M. tubercu- losis, including both TB disease and latent
TB infection. Whenever M. tuberculosis infection or disease is being diagnosed
by any method, the optimal approach includes coordination with the local or
regional public health TB control programs.

Walaupun lebih sensitif daripada tes kulit tuberkulin, QFT-G dapat


menunjukkan hasil negatif pada pasien dengan tuberkulosis aktif dini dan hasil
indeterminate lebih umum didapatkan pada individu dengan penurunan daya tahan
tubuh dan anak-anak. Tes lain yang serupa, T-SPOT®. Suatu tes TB yang
mengukur sel T penghasil IFN-Y dan saat ini tersedia di Eropa. Tes QFT-G
diindikasikan untuk mendiagnosis infeksi oleh M. tuberculosis, termasuk penyakit
TB dan infeksi laten TB. Saat infeksi atau penyakit M. tuberculosis telah
didiagnosis dengan salah satu metoda di atas, diperlukan adanya pendekatan
optimal termasuk koordinasi dengan bagian kesehatan masyarakat lokal atau
regional yang mengatur program pengendalian TB.

SKIN DISEASES CAUSED
 BY MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS/

BOVIS INFECTION

Infection with M. tuberculosis used to be thought to result in characteristic clinical


features.10 However, with increasing number of cases in immunocompromised
individuals and improved diagnostic tools, many uncharacteristic manifestations
have been discovered.

PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN OLEH MIKOBAKTERIUM


TUBERKULOSIS/ INFEKSI BOVIS

Infeksi oleh M. tuberculosis dulu diduga menyebabkan bentuk klinis yang khas.
Namun, dengan bertambahnya jumlah kasus pada individu dengan penurunan
daya tahan tubuh dan alat diagnostik yang telah diperbarui, banyak manifestasi
tidak khas yang ditemukan.

PRIMARY INOCULATION TUBERCULOSIS (TUBERCULOUS


CHANCRE, TUBERCULOUS PRIMARY COMPLEX)

EPIDEMIOLOGY. Tuberculous chancre and affected regional lymph nodes


constitute the tuberculous primary complex in the skin. The condition is believed
rare, but its incidence may be underestimated. In some regions with a high
prevalence of tuberculosis and poor living conditions, primary inoculation
tuberculosis of the skin is not unusual. Children are most often affected.

TUBERKULOSIS INOKULASI PRIMER (TUBERCULOUS CHANCRE,


KOMPLEKS PRIMER TUBERKULOSA)

EPIDEMIOLOGI

Kompleks tuberkulosa primer di kulit terdiri dari tuberculous chancre dan


kelenjar getah bening regional. Kondisi ini diduga jarang terjadi, namun
insidennya mungkin diabaikan. Inokulasi primer tuberkulosis pada kulit umum
dijumpai di daerah-daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi dan
keadaan hidup miskin. Anak-anak paling sering terjangkit.

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. Tubercle bacilli are introduced into


the tissue at the site of minor wounds. Oral lesions may be caused by bovine
bacilli in nonpasteurized milk and occur after mucosal trauma or tooth extraction.
Primary inoculation tuberculosis is initially multibacillary, but becomes
paucibacillary as immunity develops.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Basil tuberkel masuk ke jaringan melalui luka kecil. Lesi pada mulut dapat
disebabkan oleh basil bovine pada susu nonpasturisasi dan terjadi setelah trauma
pada mukosa atau ekstraksi gigi. Inokulasi tuberkulosis primer pada awalnya
multibasiler, namun menjadi pausibasiler seiring dengan berkembangnya
imunitas.
CLINICAL FINDINGS. The chancre initially appears 2–4 weeks after
inoculation and presents as a small papule, crust, or erosion with little tendency to
heal. Sites of predilection are the face, including the conjunctivae and oral cavity,
as well as the hands and lower extremities. A painless ulcer develops, which may
be quite insignificant or may enlarge to a diameter of more than 5 cm (Fig. 184-3).
It is shallow with a granular or hemorrhagic base studded with miliary abscesses
or covered by necrotic tissue. The ragged edges are undermined and of a reddish-
blue hue. As the lesions grow older, they become more indurated, with thick
adherent crusts.

TANDA-TANDA DAN GEJALA KLINIS


Awalnya muncul chancre pada 2-4 minggu setelah inokulasi dan tampak sebagai
papula kecil, krusta, atau erosi, dengan sedikit kecenderungan untuk sembuh.
Predileksi lokasi yang sering adalah wajah, termasuk konjungtiva dan rongga mulut,
tangan, dan ekstremitas bawah. Muncul ulkus yang tidak nyeri, dapat tidak signifikan
atau dapat membesar mencapai diameter lebih dari 5 cm (Gambar. 184-3). Ulkus ini
dangkal, dengan dasar granular atau berdarah ditutupi abses atau jaringan nekrosis.
Tepi tidak rata dan berwarna merah kebiruan. Seiring bertambahnya waktu, lesi
menjadi lebih indurasi, dengan krusta tebal yang melekat kuat.

Gambar 184-3 Inokulasi tuberculosis primer. Perhatikan chancre


tuberkulosa di paha dan pembesaran kelenjar getah bening regional. Reaksi
tuberkulin positif terjadi di lengan.

Wounds inoculated with tubercle bacilli may heal temporarily but break
down later, giving rise to granulating ulcers. Mucosal infections result in painless
ulcers or fungating granulomas. Inoculation tuber- culosis of the nger may present
as a painless paronychia. Inoculation of puncture wounds may result in
subcutaneous abscesses.

Luka yang diinokulasi basil tuberkel dapat sembuh sementara namun


akhirnya dapat pecah menimbulkan ulkus yang bergranulasi. Infeksi mukosa
menyebabkan ulkus yang tidak nyeri atau granuloma yang berjamur. Inokulasi
tuberkulosis pada jari dapat tampak sebagai paronikia yang tidak nyeri. Inokulasi
pada luka tusukan dapat menyebabkan abses subkutan.

Slowly progressive, regional lymphadenopathy develops 3–8 weeks after


the infection (Fig. 184-3) and may rarely be the only clinical nding. After weeks
or months, cold abscesses may develop that perforate to the surface of the skin
and form sinuses. The lymph nodes draining the primary glands may also be
involved. Body temperature may be slightly elevated. The disease may take a
more acute course, and in half of the patients, fever, pain, and swelling simulate a
pyogenic infection. Early, there is an acute nonspecific inflammatory reaction in
both skin and lymph nodes, and Mycobacteria are easily detected by Fite stain.
After 3–6 weeks, the in ltrate and the regional lymph nodes acquire a tuberculoid
appearance and caseation may occur.

Limfadenopati regional yang progresif lambat dapat terjadi 3-8 minggu


setelah infeksi (Gambar. 184-3) dan terkadang dapat merupakan satu-satunya
tanda klinis yang tampak. Setelah beberapa minggu atau bulan, dapat timbul abses
dingin yang berlubang sampai ke permukaan kulit dan membentuk sinus. Nodus
limfa yang mengaliri kelenjar utama dapat terkena. Suhu tubuh dapat sedikit
meningkat. Penyakit dapat berjalan akut dan pada sebagian pasien, demam, nyeri,
dan pembengkakan menunjukkan infeksi piogenik. Awalnya, terjadi reaksi radang
akut nonspesifik di kulit dan nodus limfa, dan mikobakteria dengan mudah
dideteksi dengan pewarnaan fite. Setelah 3-6 minggu, infiltrat dan nodus limfa
regional tampak dalam bentuk tuberkuloid dan dapat terjadi pengkejuan.

DIAGNOSIS. Any ulcer with little or no tendency to heal and unilateral


regional lymphadenopathy in a child should arouse suspicion. Acid-fast organisms
are found in the primary ulcer and draining nodes in the initial stages of the
disease. The diagnosis is con rmed by bacterial culture. The PPD reaction is
negative ini- tially and later converts to positive (Fig. 184-3).
DIAGNOSIS

Setiap ulkus dengan limfadenopati regional unilateral pada anak-anak yang


cenderung sedikit membaik atau tidak dapat sembuh sebaiknya dicurigai. Pada
tahap awal penyakit, organisme tahan asam ditemukan dalam ulkus primer dan
getah bening yang mengalirinya. Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur bakteri.
Pada awalnya, reaksi PPD negatif dan nantinya berubah menjadi positif (Gambar.
184-3).

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS. The differential diagnosis encompasses all


disease with a primary complex (Box 184-1).

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding meliputi semua penyakit dengan kompleks primer (kotak


184-1).

COURSE. If untreated, the condition may last up to 12 months. Rarely, LV


develops at the site of a healed tuberculous chancre. The regional lymph nodes
usually calcify.

PERJALANAN PENYAKIT. Apabila tidak diobati, penyakit dapat berlangsung


hingga 12 bulan. Terkadang, muncul LV pada lokasi chancre tuberkulosa yang
menyembuh. Nodus limfa regional biasanya mengalami pengapuran.

The primary tuberculous complex usually produces immunity, but


reactivation of the disease may occur. Hematogenous spread may give rise to
tuberculosis of other organs, particularly of the bones and joints. It may also lead
to acute miliary disease with a fatal outcome. Erythema nodosum occurs in
approximately 10% of cases.

Kompleks tuberkulosa primer biasanya menghasilkan imunitas, namun


dapat terjadi reaktivasi penyakit. Penyebaran melalui aliran darah dapat
menyebabkan tuberkulosis pada organ tubuh lain, terutama tulang dan sendi. Hal
ini dapat menimbulkan penyakit milier akut dengan dampak yang fatal. Eritema
nodosum terjadi pada kira-kira 10% kasus.
KOTAK 184-1 DIAGNOSIS BANDING TUBERKULOSIS INOKULASI
PRIMER

Kemungkinan besar
 Sifilis
 Sporolrikosis

Pertimbangkan
 Tularemia
 Bartonelosis

Selalu singkirkan kemungkinan


 Mikobakteriosis lainnya

TUBERCULOSIS VERRUCOSA CUTIS (WARTY TUBERCULOSIS,


PROSECTOR’S WART, LUPUS VERRUCOSUS)

TUBERKULOSA VERUKOSA KUTIS (WARTY TUBERCULOSIS,


PROSECTOR'S WART, LUPUS VERRUCOSUS)

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. Tuberculosis verrucosa cutis is a


paucibacillary disorder caused by exogenous reinfection (inoculation) in
previously sensitized individuals with high immunity.

Inoculation occurs at sites of minor wounds or, rarely, from the patient’s
own sputum. Members of professional groups handling infectious material are at
risk. Children may become infected playing on contaminated ground.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS. Tuberkulosis verukosa kutis adalah


kelainan pausibasiler disebabkan oleh reinfeksi eksogenus (inokulasi) pada
individu yang dulunya tersensitisasi oleh imunitas tinggi.

Inokulasi terjadi pada lokasi luka kecil atau dari sputum pasien sendiri.
Orang yang berprofesi menangani material infeksius sangat beresiko untuk
terkena. Anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi dapat terinfeksi.

CLINICAL FINDINGS. Lesions usually occur on the hands or, in


children, on the lower extremities as a small asymptomatic papule or
papulopustule with a purple inflammatory halo. They become hyperkeratotic and
are often mistaken for a common wart. Slow growth and peripheral expansion
lead to the development of a verrucous plaque with an irregular border (Fig. 184-
4). Fissures discharging pus extend into the underlying brownish-red to purplish
in ltrated base. The lesion usually is solitary, but multiple lesions may occur.
Regional lymph nodes are rarely affected.

Lesions progress slowly and, if untreated, persist for many years.


Spontaneous involution eventually occurs, leaving an atrophic scar.

TANDA-TANDA DAN GEJALA KLINIS. Lesi biasanya terjadi pada tangan


atau pada anak-anak terjadi di ekstremitas bawah sebagai papula kecil
asimtomatis atau papulopustul dengan halo radang berwarna ungu. Ini menjadi
hiperkeratotik dan sering disalahartikan sebagai kutil biasa. Pertumbuhan yang
lambat dan perluasan ke sekitarnya menyebabkan munculnya plak verukosa
dengan tepi yang ireguler (Gambar. 184-4). Fisura yang mengeluarkan nanah
meluas hingga ke dasar infiltrat yang berwarna merah kecoklatan. Lesi biasanya
soliter namun dapat juga muncul lesi yang multipel. Nodus limfa regional jarang
terkena.

Lesi berkembang dengan lambat dan bila tidak diobati dapat berlangsung
bertahun-tahun. Involusi spontan terjadi perlahan-lahan menghasilkan scar atropi.

HISTOPATHOLOGY. The most prominent histopathologic features are


pseudoepitheliomatous hyperplasia with marked hyperkeratosis, a dense
inflammatory infiltrate, and abscesses in the superficial dermis or within the
pseudoepitheliomatous rete pegs. Epithelioid cells and giant cells are found in the
upper and middle dermis. Typical tubercles are uncommon, and the infiltrate may
be nonspecific.

HISTOPATOLOGI. Temuan histopatologi yang paling menonjol adalah


hiperplasia pseudoepitheliomatus dengan hiperkeratosis, infiltrat radang padat,
abses di dermis superficial atau dalam pseudoepitheliomatous rete pegs. Sel
epiteloid dan sel raksasa ditemukan di dermis atas dan tengah. Tuberkel tipikal
jarang ditemukan dan infiltrat dapat nonspesifik.
Gambar 184-4 Tubcrkulosis vcrukosa kutis pada punggung tangan.

KOTAK 184-2 DIAGNOSIS BANDING TUBERKULOSIS VERUKOSA


KUTIS

Kemungkinan besar
 Kutil atau keratosis
 Lupus vulgaris hiperkeratotik
 Blastomikosis
 Liken planus hipertropik

Pertimbangkan
 Kromomikosis
 Bromoderma
 Sifilis tcrsier

Selalu singkirkan
 lesi karena mikobaktcria lain

DIAGNOSIS BANDING. ( kotak 184-2)


LUPUS VULGARIS (TUBERCULOSIS LUPOSA)

EPIDEMIOLOGY. LV is an extremely chronic, progressive form of


cutaneous tuberculosis occurring in individuals with moderate immunity and a
high degree of tuberculin sensitivity. Once common, LV has declined steadily in
incidence. It has always been less common in the United States than in Europe.
Females appear to be affected two to three times as often as males; all age groups
are affected equally.

LUPUS VULGARIS (TUBERKULOSIS LUPOSA)


EPIDEMIOLOGI. LV adalah bentuk tuberkulosis kulit yang sangat kronis dan
progresif pada individu dengan imunitas sedang dan sensitivitas tuberkulin derajat
tinggi. Insiden LV telah mengalami penurunan yang stabil. Jarang terjadi di
Amerika bila dibandingkan dengan di Eropa. Lebih sering terjadi pada wanita 2
sampai 3 kali lipat dibanding pria. Terjadi pada semua umur dengan perbandingan
yang sama.

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. LV is a post- primary,


paucibacillary form of tuberculosis caused by hematogenous, lymphatic, or
contiguous spread from elsewhere in the body. Spontaneous involution may
occur, and new lesions may arise within old scars. Complete healing rarely occurs
without therapy.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS. LV adalah bentuk tuberkulosis pausibasiler


postprimer yang disebabkan oleh penyebaran lewat darah, limfa, atau karena
letaknya yang berdekatan dengan bagian lain pada tubuh. Involusi spontan dapat
terjadi dan lesi baru muncul dalam jaringan parut lama. Jarang terjadi
penyembuhan sempurna tanpa terapi.

CLINICAL FINDINGS. Lesions are usually solitary, but two or more


sites may be involved simultaneously. In patients with active pulmonary
tuberculosis, multiple foci may develop. In approximately 90% of patients, the
head and neck are involved. LV usually starts on the nose, cheek, earlobe, or scalp
and slowly extends onto adjacent regions. Other areas are rarely involved.

TANDA DAN GEJALA KLINIS. Lesi biasanya soliter, namun dapat muncul di
dua atau lebih lokasi secara bersamaan. Dapat timbul fokus multipel pada pasien
dengan tuberkulosis paru aktif. Pada sekitar 90% pasien, kepala dan leher dapat
terkena. LV biasanya muncul berawal di hidung, pipi, lobus telinga, atau kulit
kepala dan perlahan-lahan meluas ke regio yang berdekatan. Daerah lainnya
jarang terkena.

The initial lesion is a brownish-red, soft or friable macule or papule with a


smooth or hyperkeratotic sur- face. On diascopy, the in ltrate exhibits a typical
apple jelly color. Progression is characterized by elevation, a deeper brownish
color (Fig. 184-5), and formation of a plaque (see Fig. 184-5). Involution in one
area with expansion in another often results in a gyrate outline border. Ulceration
may occur. Hypertrophic forms appear as a soft nodule (see eFig. 184-3.1 in
online edition) or plaque with a hyperkeratotic surface (eFig. 184-3.2 in online
edition). The mucosae may be pri- marily involved or become affected by the
extension of skin lesions. Infection is manifest as small, soft, gray or pink papules,
ulcers, or friable granulating masses.

Lesi awal berupa makula atau papula lunak berwama merah kecoklatan
dengan permukaan yang halus atau hiperkeratotik. Pada pemeriksaan diaskopi,
infiltrat tampak berwarna apple jelly. Perkembangan penyakit ditandai dengan
adanya peninggian berwarna coklat pekat (Gambar. 184-5), dan terbentuknya
plak. (lihat gambar. 184-5). Involusi pada satu area diikuti dengan perluasan ke
area lain sering berakibat pada timbulnya tepi yang berbentuk seperti spiral. Dapat
terjadi ulkus. Bentuk hipertropik muncul sebagai nodul lunak atau plak dengan
permukaan yang hiperkeratotik. Mukosa dapat terkena dari awal maupun terkena
akibat perluasan dan lesi kulit. Infeksi pada mukosa bermanifestasi sebagai papula
kecil, lunak, berwama abu-abu atau merah muda, ulkus, atau, masa granulasi yang
mudah pecah.

After a transient impairment of immunity, particularly after measles (thus


the term lupus postexanthematicus), multiple disseminated lesions may arise
simultaneously in different regions of the body as a consequence of hematogenous
spread from a latent tuberculous focus. During and after the eruption, a previously
positive tuberculin reaction may become negative but will usually revert to
positive as the general condition of the patient improves.

Setelah terjadi gangguan imunitas sementara, terutama setelah menderita


campak (maka digunakan istilah lupus postexanthematicus), dapat muncul lesi
diseminata multipel secara bersamaan di beberapa regio tubuh yang berbeda
sebagai konsekuensi penyebaran dari fokus tuberkulosa laten lewat aliran darah.
Selama dan sesudah erupsi, reaksi tuberkulin yang awalnya positif dapat menjadi
negatif namun biasanya akan kembali positif seiring dengan membaiknya keadaan
umum pasien.

HISTOPATHOLOGY. The most prominent histopathologic feature is the


formation of typical tubercles. Secondary changes may be superimposed:
epidermal thinning and atrophy or acanthosis with excessive hyperkeratosis or
pseudoepitheliomatous hyperpla- sia. Acid-fast bacilli are usually not found.
Nonspecific inflammatory reactions may partially conceal the tuberculous
structures. Old lesions are composed chie y of epithelioid cells and may be
impossible to distinguish from sarcoidal infiltrates (see eFig. 184-4.1 in online
edition).
HISTOPATOLOGI. Tanda histopatologi yang paling menonjol adalah adanya
tuberkel tipikal. Perubahan sekunder dapat tumpang tindih. Penipisan epidermis
dan atropi atau akantosis dengan hiperkeratosis berlebih atau hiperplasia
pseudoepiteliomatus. Biasanya tidak ditemukan basil tahan asam. Sebagian
struktur tuberkulosa dapat ditutupi oleh reaksi radang nonspesifik. Lesi lama
sebagian besar terdiri dari sel epiteloid dan sangat mustahil untuk dapat
membedakannya dari infiltrat sarkoidal.

Gambar 184-5 A. Plak kecoklatan yang sedikit meninggi pada lupus vulgaris.
B. Plak luas pada lupus vulgaris yang sudah berlangsung selama 10 tahun
yang mengenai pipi, rahang dan telinga

DIAGNOSIS. Typical LV plaques may be recognized by the softness of the


lesions, brownish-red color, and slow evolution. The apple jelly nodules revealed
by diascopy are highly characteristic; nding them may be decisive, especially in
ulcerated, crusted, or hyper- keratotic lesions. The result of the tuberculin test is
strongly positive except during the early phases of postexanthematic lupus.
Bacterial culture results may be negative, in which case the clinical diagnosis can
usually be supported by positive PCR results for M. tuberculosis.

DIAGNOSIS. Plak LV tipikal dapat dikenali dari lesinya yang lunak, warna
merah kecoklatan. dan evolusi yang lambat. Melalui tes diaskopi dapat dilihat
adanya nodul apple jelly yang sangat khas. dengan menemukan ini dapat
ditegakkan diagnosis pasti terutama pada lesi yang mengalami ulserasi, berkrusta,
atau hiperkeratotik. Hasil tes tuberkulin adalah positif kuat kecuali pada fase awal
lupus postexanthematicus. Hasil kultur bakteri dapat negatif, sehingga diagnosis
klinis dapat ditunjang dengan hasil tes PCR yang positif untuk M. tuberculosis.

DIAGNOSIS BANDING. (Kotak 184-3)

COMPLICATIONS. Involvement of the nasal or auricular cartilage may


result in extensive destruc- tion and dis gurement (Fig. 184-6). Atrophic scarring,
with or without prior ulceration, is characteristic, as is recurrence within a scar.
Fibrosis may be pronounced and mutilating.

Dry rhinitis is often the only symptom of early nasal LV, but lesions may
also destroy the cartilage of the nasal septum. Scarring of the soft palate and
laryngeal stenosis also occur.

KOMPLIKASI. Keterlibatan hidung atau kartilago aurikula dapat berakibat pada


kerusakan yang luas dan perubahan bentuk (Gambar. 184-6). Skar atropi dengan
atau tanpa ulserasi sebelumnya sangat khas terjadi. Fibrosis sangat jelas dan dapat
memutilasi.
Rhinitis kering sering merupakan satu-satunya gejala awal LV pada
hidung, namun lesi dapat juga menghancurkan kartilago septum nasal. Dapat juga
terjadi skar pada palatum dan stenosis laring.
KOTAK 184-3 DIAGNOSIS BANDING LUPUS VULGARIS

Kemungkinan besar
 Sarkoidosis
 Lupus critcmatus discoid

Pertimbangkan
 Limfositoma
 Sifilis tersier
 Lepra
 Lupoid leishmaniasis

Selalu singkirkan
 Blastomikosis atau infeksi mikosis dalam lainnya

COURSE. LV is a very long-term disorder and with- out therapy progresses


over many years to functional impairment and dis guration (see Fig. 184-6). Long-
standing LV may lead to the development of carcinoma (see Fig. 184-6).
Squamous cell carcinomas outnumber basal cell carcinomas by far, and the risk of
metastases is high. In 40% of patients, there is associated tuberculous
lymphadenitis, and 10%–20% have active pulmonary tuberculosis or tuberculosis
of the bones and joints.11 Pulmonary tuberculosis is 4–10 times more frequent in
patients with LV than in the general population.

PERJALANAN PENYAKIT. LV merupakan kelainan jangka panjang dan bila


tanpa terapi dapat berlangsung bertahun-tahun sehingga mengakibatkan gangguan
fungsional dan disfigurasi (Lihat gambar. 184-6 ). LV yang sudah berlangsung
lama dapat menyebabkan keganasan (lihat gambar 184-6). Sejauh ini angka
insiden karsinoma sel skuamosa melebihi insiden karsinoma sel basal, dan resiko
metastase tinggi. Pada 40% pasien, terdapat limfadenitis tuberkulosa yang
menyertai dan pada 10-20% pasien memiliki tuberkulosis paru aktif atau
tuberkulosis tulang dan sendi. Tuberkulosis paru 4-10 kali lebih sering terjadi
pada pasien dengan LV daripada populasi umum.
Gambar 184-6. Lupus vulgaris yang sudah berlangsung lama dan telah
mengakibatkan kerusakan hidung. Karsinoma sel skuamosa yang ulserasi muncul
di bibir bagiang atas.

SCROFULODERMA (TUBERCULOSIS COLLIQUATIVA CUTIS)

SKROFULODERMA ( TUBERCULOSIS COLLIQUATIVA CUTIS )

EPIDEMIOLOGY. Prevalence is higher among chil- dren, adolescents, and


the aged.

EPIDEMIOLOGI. Prevalensinya lebih tinggi pada anak-anak, dewasa muda,


dan usia lanjut.

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. Scrofuloderma is


subcutaneous tuberculosis leading to cold abscess formation and a secondary
breakdown of the overlying skin. It may be either multibacillary or pauc-
ibacillary.

Scrofuloderma represents contiguous involvement of the skin overlying another


site of infection (e.g., tuberculous lymphadenitis, tuberculosis of bones and joints,
or tuberculous epididymitis).
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS. Skxofuloderma adalah tuberkulosis
subkutan yang dapat menimbulkan pembentukan abses dan penghancuran
sekunder kulit yang ada di atasnya. Dapat multibasiler maupun pausibasiler.

Pada skrofuloderma terjadi penyebaran penyakit ke kulit yang melapisi


tempat-tempat infeksi di lokasi yang lain (contoh: limfadenitis tuberkulosa,
tuberkulosis tulang dan sendi, atau epididimitis tuberkulosa).

CLINICAL FINDINGS. Scrofuloderma most often occurs in the


parotidal, submandibular, and supraclavicular regions and may be bilateral. It rst
pres- ents as a rm, subcutaneous nodule, usually well de ned, freely movable, and
asymptomatic. As the lesion enlarges, it softens. After months, liquefaction with
perforation occurs, causing ulcers and sinuses (Fig. 184-7). The ulcers are linear
or serpiginous with undermined, inverted, bluish edges and soft, granulating oors.
Sinusoidal tracts undermine the skin. Clefts alternate with soft nodules. Scar tracts
develop and bridge ulcerative areas or even stretches of normal skin. Tuberculin
sensitivity is usually pronounced.

TANDA DAN GEJALA KLINIS. Skrofuloderma sering terjadi di regio parotid,


submandibular, dan supraklavikular dan dapat bilateral. Pada awalnya muncul
sebagai nodul subkutan yang teraba keras, berbatas tegas, mudah digerakkan, dan
asimtomatis. Seiring bertambah besarnya lesi, nodul ini melunak. Setelah
beberapa bulan, terjadi likuefaksi dengan perforasi menyebabkan terbentuknya
ulkus dan sinus (Gambar. 184-7). Distribusi ulkus linear atau serpiginosa, dengan
tepi tidak rata, lunak, berwarna kebiruan, dan dasar jaringan granulasi yang lunak.
Saluran sinus merusak kulit. Terdapat banyak celah-celah yang muncul bergantian
dengan nodul lunak. Terbentuk skar pada saluran sinus dan area ulkus berbentuk
jembatan atau bahkan pengenduran kulit normal. Sensitivitas tuberkulin biasanya
jelas.
Gambar 184-7. Skrofuloderma di region klavikula. Perhatikan pembentukan
abses, ulkus dan ekstrusi material purulent dan kaseasi.

HISTOPATHOLOGY. Massive necrosis and abscess
 formation in the


center of the lesion are nonspecific. However, the periphery of the abscesses or
the mar- gins of the sinuses contain tuberculoid granulomas.

HISTOPATOLOGI. Nekrosis masif dan pembentukan abses di pusat lesi tidak


spesifik. Namun daerah sekitar abses atau tepi sinus berisi granuloma tuberkuloid.

DIAGNOSIS. If there is an underlying tuberculous lymphadenitis or bone


and joint disease, the diagnosis usually presents no difficulty. Positive results on
culture confirm the diagnosis.

DIAGNOSIS. Apabila terdapat limfadenitis tuberkulosa di bawahnya atau


penyakit tujang dan sendi, penegakan diagnosis biasanya tidak sulit. Hasil kultur
yang positif mengkonfirmasi diagnosis.

DIAGNOSIS BANDING. (Kotak 184-4)


KOTAK 184-4 DIAGNOSIS BANDING SKROFULODERMA

Kemungkinan besar
 Sporotrikosis
 Hidradenitis supuratif

Pertimbangkan
 Infeksi Mycobacteriurn scrofulaceum
 Giraima sifilis
 Aktinomikosis
 Akne konglobata berat

Selalu singkirkan
 Mycobacterium avium-intracellulare lymphadenitis

COURSE. Spontaneous healing does occur, but the course is very protracted,
and it may be years before lesions have been completely replaced by scar tissue.
Presence of the typical cribriform scars permits a correct diagnosis, even after the
process has become quiescent. LV may develop at or near the site of
scrofuloderma.

PERJALANAN PENYAKIT. Penyembuhan spontan dapat terjadi namun


perjalanannya sangat panjang, dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum
lesi digantikan sempurna oleh jaringan parut. Adanya jaringan parut kribiform
tipikal menyokong diagnosis yang tepat, bahkan setelah proses sudah tidak aktif.
LV dapat muncul pada atau lokasi di dekat skrofuloderma.

ORIFICIAL TUBERCULOSIS (TUBERCULOSIS ULCEROSA CUTIS ET


MUCOSAE, ACUTE TUBERCULOUS ULCER)

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. Orificial tuberculosis is a rare


form of tuberculosis of the mucous membranes and ori ces that is caused by
autoinoculation of Mycobacteria from progressive tuberculosis of internal organs.

The underlying disease is far advanced pulmonary, intestinal, or, rarely,


genitourinary tuberculosis. Myco- bacteria shed from these foci in large numbers
are inoc- ulated into the mucous membranes.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS. Orificial tuberculosis adalah bentuk


tuberkulosis pada membran mukosa dan lubang-lubang alam yang jarang terjadi
disebabkan oleh autoinokulasi mikobakteria tuberkulosis progresif yang berasal
dari organ dalam.

Penyakit yang mendasari adalah penyakit paru, usus, atau tuberkulosis


saluran kencing. Mikobakteria dari focus-fokus ini inokulasi ke dalam membrane
mukosa dalam jumlah yang banyak.

CLINICAL FINDINGS. A small yellowish or red- dish nodule appears


on the mucosa and breaks down to form a soft ulcer with a typical punched-out
appearance, undermined edges, and circular or irregular border (Fig. 184-8). The
ulcer floor often exhibits multiple yellowish tubercles and bleeds easily. The
surrounding mucosa is edematous and in amed. Lesions may be single or multiple
and are extremely painful, resulting in dysphagia.

The tongue is most frequently affected, particularly the tip and the lateral
margins, but the soft and hard pal- ates are also common sites. In advanced cases,
the lips are involved, and the oral condition often represents an extension of
ulcerative tuberculosis of the pharynx and larynx. In patients with intestinal
tuberculosis, lesions develop around the anus, and in females with active
genitourinary disease, the vulva is involved.

TANDA DAN GEJALA KLINIS. Muncul nodul kecil berwarna kekuningan


atau kemerahan di mukosa yang pecah membentuk ulkus lunak dengan
penampakan punched-out tipikal, tepi tidak rata. dan batas yang sirkular atau
iiregular (Gambar. 184-8 ). Dasar ulkus sering menampakkan tuberkel kekuningan
multipel yang mudah berdarah. Mukosa di sekitarnya edema dan meradang. Lesi
dapat tunggal atau multipel, dan sangat nyeri, menyebabkan nyeri menelan.

Lidah paling sering terkena, terutama ujung dan tepinya, namun langit-
langit mulut juga merupakan lokasi yang umum terkena. Pada kasus yang parah,
bibir dapat terkena dan kondisi mulut sering menunjukkan perluasan tuberkulosis
ulserasi faring dan laring. Pada pasien dengan tuberkulosis usus. lesi muncul di
sekitar anus, dan pada wanita dengan penyakit saluran kemih yang aktif, vulva
dapat terkena.

HISTOPATHOLOGY. There is a massive nonspecific inflammatory


infiltrate and necrosis, but tubercles with caseation may be found deep in the
dermis. Myc bacteria are easily demonstrated.

HISTOPATOLOGI. Terdapat infiltrat radang nonspesifik dan dan nekrosis.


namun tuberkel dengan kaseasi dapat ditemukan jauh di dalam dermis.
Mikobakteria sangat mudah ditemukan.
Gambar 184-8. Orificial Tuberculosis pada tuberkulosis paru kavitari yang parah

DIAGNOSIS BANDING. (Kotak 184-5)

KOTAK 184-5 DIAGNOSIS BANDING DARI ORIFICIAL TUBERCULOSIS

Kemungkinan besar
 Aphthous ulcer
Pertimbangkan
 Lesi sifilis (tidak nyeri)
Selalu singkirkan
 Karsinoma sel skuamosa

COURSE. Orificial tuberculosis is a symptom of advanced internal disease


and usually portends a fatal outcome.

PERJALANAN PENYAKIT. Orificial Tuberculosis merupakan gejala dari


penyakit dalam yang parah dan biasanya menadakan akibat yang fatal.

SEQUELAE OF BACILLE CALMETTE– GUÉ RIN INOCULATION

SEKUEL DARI INOKULASI BACILLE CALMETTE-GVERIN

Vaccination with attenuated bovine BCG appears to pro- tect infants and young
children from the more serious forms of tuberculosis, but its ability to prevent
disease in adults remains uncertain. In the United States, guidelines for BCG
immunization have been developed.12,13

In the normal course of BCG vaccination, an in ltrated papule develops


after approximately 2 weeks, attains a size of approximately 10 mm after 6–12
weeks, ulcerates, and then slowly heals, leaving a scar. Vaccination may provoke
an accelerated reaction in a previously infected person. The regional lymph nodes
may enlarge, but usu- ally heal without breaking down. Tuberculin sensitivity
appears 5–6 weeks after vaccination.

Vaksinasi dengan BCG bovin yang telah dilemahkan tampaknya dapat


melindungi bayi dan anak-anak dari bentuk tuberkiilosis yang lebih serius, namun
kemampuannya untuk mencegah penyakit pada orang dewasa masih belum dapat
dipastikan. Di Amerika Serikat, telah dikembangkan panduan imunisasi BCG.

Pada rangkaian vaksinasi BCG normal, Papul infiltrat muncul setelah 2


minggu mencapai ukuran kira-kira 10 mm setelah 6-12 minggu, mengalami
ulserasi, dan kemudian sembuh perlahan meninggalkan jaringan parut. Vaksinasi
dapat memicu percepatan reaksi pada orang yang telah terinfeksi. Nodus limfa
regional membesar, namun biasanya sembuh tanpa pecah. Sensitivitas tuberkulin
muncul 5-6 minggu setelah vaksinasi.

The true incidence of complications caused by the BCG organism is dif


cult to ascertain, but it is extremely low in comparison to the great number of
vaccinations performed in Europe in the past 50 years.14 Problems include the
following:

 LV at or near the vaccination site (latency of months to years)



 Koch phenomenon in individuals sensitive to tuberculin [see Section
“Tuberculin Reaction (Koch Phenomenon)”]
 Regional adenitis, sometimes severe and with systemic symptoms, more often
in children

 After deep injection, local abscesses, excessive ulceration
 Scrofuloderma with suppuration for 6–12 months
 Generalized tuberculid-like reactions (rare)
 Generalized adenitis, osteitis, organ tuberculosis (e.g., in the joints)
occasionally

Angka insiden komplikasi karena organisme BCG yang sebenarnya sulit


untuk diketahui, namun ini sangat rendah bila dibandingkan dengan banyaknya
vaksinasi yang dilakukan di Eropa dalam 50 tahun belakangan ini. Masalah-
masalah yang dijumpai antara lain :
 LV di dekat atau di lokasi penyuntikan vaksin (laten selama berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun)
 Fenomena Koch pada individu yang sensitif terhadap tuberkulin
 Adenitis regional, terkadang berat dengan gejala sistemik, sering pada anak-
anak.
 Setelah injeksi yang dalam. abses lokal, ulkus berlebih
 Skrofuloderma dengan supurasi selama 6-12 bulan
 Reaksi menyerupai tuberkulid generalisata (jarang)
 Adenitis generalisata, osteitis, kadang-kadang tuberkulosis organ
(contgh: di sendi)

TUBERKULID

Lichen scrofulosorum, erythema induratum, papulo- necrotic tuberculids, lupus


miliaris disseminatus faciei, and other eruptions with rather exotic designations
were originally included in the tuberculids (Table 184-2).

Liken skrorulosorum, eritema induratum, tuberkulid papulonekrotik, dan lupus


miliaris diseminata fasiei sebenarnya termasuk tuberkulid. ( label 184-2).
With the sharp decline in incidence and the effective treatment of
tuberculosis in developed countries, the tuberculids also became rare. However,
this does not apply to areas in which tuberculosis is still com- mon, and with the
recent resurgence of tuberculosis associated with AIDS in some Western
countries, some tuberculids are also being observed again.

Dengan penurunan insiden tuberkulosis yang tajam dan perawatan


tuberkulosis yang efektif di negara maju, tuberkulid juga menjadi jarang. Namun
ini tidak berlaku di daerah yang masih sering terjadi tuberkulosis, dan tuberkulid
muncul kembali seiring dengan munculnya kembali tuberkulosis yang menyertai
AIDS pada banyak negara-negara barat.

The pathogenic relationship of the tuberculids to tuberculosis is still poorly


understood. Although there is no doubt that such a relationship exists for some
tuberculids, in other cases it appears highly unlikely.

PCR testing revealed M. tuberculosis DNA in skin lesions of erythema


induratum/nodular vasculitis and papulonecrotic tuberculid in one series of
patients, but in another, results were uniformly negative.18,19 Thus, M. tuberculosis
infection may be responsible directly or indirectly for some cases of these diseases
but not all, and the usefulness of lesional PCR testing may vary among clinical
settings. Consistent with this statement, antituberculosis drugs are bene cial in
some cases but not all; spontaneous involution may occur, and some patients
appear to respond well to other therapies. It should be noted that, although not
considered a tuber- culid, sarcoidosis has been postulated to result from an
immunologic reaction to mycobacterial antigens.20
Hubungan patogenik tuberkulid terhadap tuberkulosis masih sedikit
dipahami.

Tes PCR menunjukkan DNA M. tuberculosis pada lesi kulit eritema


induratum/vaskulitis nodular dan tuberkulid papulonekrotik pada satu pasien,
namun pada pasien lain dapat negatif. Maka, infeksi M. tuberculosis bertanggung
jawab secara langsung maupun tidak langsung untuk beberapa kasus namun
tidak semuanya, dan manfaat tes PCR pada lesi dapat bervariasi pada masing-
masing kondisi. Sejalan dengan pernyataan ini, obat-obat antituberkulosis juga
berguna pada baiiyak kasus namun tidak semuanya. Involusi spontan dapat
terjadi, dan beberapa pasien nampaknya dapat memberikan respon yang baik
terhadap terapi yang lain. Sebaiknya dicatat bahwa, walaupun tidak
dipertimbangkan sebagai tuberkulid, sarkoidosis telah didalilkan berasal dari
reaksi imunologik terhadap antigen mikobakterial.

The following discussion includes only those condi- tions for which a
preponderance of the evidence sup- ports a tuberculous etiology (see Table 184-
2).

Pembahasan di bawah ini terdiri dari kondisi-kondisi yang menunjukkan


bukti yang jauh lebih banyak mengenai tuberkulosis sebagai etiologi (lihat tabel
184-2)

LICHEN SCROFULOSORUM

EPIDEMIOLOGY AND
PATHOGENESIS.Lichen
 scrofulosorum is an uncommon lichenoid
eruption
 ascribed to hematogenous spread of Mycobacteria in an
 individual
strongly sensitive to M. tuberculosis. Usually associated with chronic tuberculosis
of the lymph
 nodes, bones, or pleura, it has also been observed after
 BCG
vaccination and in association with M. avium-intracellulare infections.21

EPIDEMIOLOGI DAN PATOGENESIS. Lichen scrofulosorum adalah erupsi


likenoid yang jarang terjadi diduga berasal dari penyebaran mikobakteria melalui
aliran darah pada individu yang sensitif kuat terhadap M. tuberculosis. Biasanya
disertai dengan tuberkulosis kronis nodus limfa, tulang, atau pleura, hal ini juga
ditemukan setelah vaksinasi BCG dan berhubungan dengan infeksi M. avium
intraselular.
KOTAK 184-6 DIAGNOSIS BANDING LIKEN SKROFULODERMA

Kemungkinan besar
 Liken planus
 Liken nitidus

Pertimbangkan
 Sifilis sekunder likenoid
 Sarkoidosis bcntuk mikropapular

CLINICAL FINDINGS. Lesions are usually confined to the trunk and


occur most often in children and adolescents with active tuberculosis. The lesions
are asymptomatic, rm, follicular or perifollicular flattopped yellowish or pink
papules, sometimes with ne scale. Lichenoid grouping is pronounced, and lesions
may coalesce to form rough, discoid plaques. Lesions persist for months, but
spontaneous involution eventually occurs. Antituberculosis therapy results in
com- plete resolution within weeks.

TANDA DAN GEJALA KLINIS. Lesi biasanya terbatas pada badan dan terjadi
paling sering pada anak-anak dan dewasa muda dengan tuberkulosis aktif. Lesi
bersifat asimtomatis, teraba keras, papula merah muda atau kekuningan datar
folikuler atau perifolikuler, kadang dengan skuama tipis. Likenoid berkelompok
jelas terlihat, dan lesi dapat bergabung membentuk plak discoid yang kasar. Lesi
menetap selama berbulan-bulan, namun involusi spontan terjadi perlahan-lahan.
Terapi antituberkulosis menghasilkan resolusi sempurna dalam beberapa minggu.

HISTOPATHOLOGY. Super cial tuberculoid granulomas develop around


hair follicles or independent of the adnexa. Mycobacteria are not seen in the
sections and cannot be cultured from biopsy material.

HISTOPATOLOGI. Muncul granuloma tuberkuloid superfisial di sekitar folikel


rambut atau di adneksa. Mikobakteria tidak dapat terlihat pada irisan dan tidak
dapat dikultur dari material biopsi.

DIAGNOSIS BANDING. (Kotak 184-6)


PAPULONECROTIC TUBERCULID

TUBERKULID PAPULONEKROTIK

EPIDEMIOLOGY. Papulonecrotic tuberculid is a symmetric eruption of


necrotizing papules, appearing in crops and healing with scar formation that
occurs preferentially in children or young adults. It is rarely reported but may not
be uncommon in populations with a high prevalence of tuberculosis.

EPIDEMIOLOGI. Tuberkulid papulonekrotik adalah erupsi simetris berupa


papula nekrotik, muncul di badan dan sembuh dengan pembentukan jaringan parut
yang sering terjadi pada anak-anak atau dewasa muda.

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. As a rule, bacteria cannot be


demonstrated in lesions. In most cases, the tuberculin test shows a positive
reaction, and associated pulmonary or extrapulmonary tuberculosis is common.
LV has been reported to evolve with papulonecrotic tuberculid. Lesions are
reported to respond promptly to antituberculosis therapy whether or not a
tuberculous focus is identi ed.

In studies of skin lesions in patients with papulone- crotic tuberculid, M.


tuberculosis DNA was detected in approximately 50% of the skin biopsies (11 out
of 22 samples).22,23,24 M. kansasii infection was documented in one patient.25

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS. Bakteri tidak didapatkan di lesi. Pada


sebagian besar kasus, tes tuberkulin menunjukkan reaksi positif, dan sering
disertai pulmonary atau extrapulmonwy tuberculosis. LV dapat berkembang
menjadi tuberkulid papulonekrotik. Lesi berespons baik terhadap terapi anti
tuberkulosis walaupun fokus tuberkulosa belum diidentifikasi.

Pada penelitian lesi kulit pasien dengan tuberkulid papulonekrotik, DNA


M. tuberculosis dideteksi pada kira-kira 50% biopsi kulit (11 dari 22 sampel).
Infeksi oleh M. kansasii didapatkan pada satu pasien.

Some cases of papulonecrotic tuberculid have been associated with discoid


lupus erythematosus, arthritis, or erythema nodosum. Although papulonecrotic
tuber- culid is classi ed as an id reaction and therefore, by de nition, is not due to
direct involvement of the skin by the organism, some of the lesions have been
positive on culture. It seems most likely that papulonecrotic tuberculid is a
reaction to particulate tuberculous antigen and, in some cases, to living organisms
as well.26
Beberapa kasus tuberkulid papulonekrotik disertai lupus diskoid
eritematosus, arthritis, atau eritema nodosum. Walaupun tuberkulid
papulonekrotik diklasifikasikan sebagai reaksi id dan karenanya, berdasarkan
definisi, tidak disebabkan langsung oleh pengaruh organisme pada kulit, beberapa
lesi ternyata menunjukkan hasil kultur yang positif. Tampaknya kemungkinan
besar tuberkulid papulonekrotik merupakan reaksi terhadap antigen tuberkulosa
dan pada beberapa kasus juga terhadap organisme hidup.

CLINICAL FINDINGS. Sites of predilection are the extensor aspects of


the extremities, buttocks, and lower trunk (Fig. 184-9), but the eruption may
become wide- spread. Distribution is symmetric, and consists of disseminated
crops of livid or dusky red papules with a central depression and an adherent crust
over a crater-like ulcer. There is spontaneous involution, which leaves pitted
scars.

TANDA DAN GEJALA KLINIS. Lokasi predileksi antara lain : bagian


ekstensor ekstremitas, bokong, dan badan bagian bawah (Gambar. 184-9), namun
erupsi dapat menyebar luas. Distribusi simetris. dan terdiri dari papul-papul merah
kehitaraan tersebar di badan dengan depresi sentral dan krusta yang menempel di
atas ulkus berbentuk kawah. Terdapat involusi spontan yang meninggalkan
jaringan parut.

Gambar 184-9. Tuberkulid papulonekrotik pada lengan bawah

HISTOPATHOLOGY. Characteristically, a wedge- shaped necrotic area


in the upper dermis extends into the epidermis. The inflammatory in ltrate
surrounding this necrotic area may be nonspecific, but is usually tuberculoid.
Involvement of the blood vessels is a cardinal feature and consists of an
obliterative and sometimes granulomatous vasculitis leading to thrombosis and
complete occlusion of the vascular channels.
HISTOPATOLOGI. Tampak area nekrotik berbentuk baji di dermis bagian atas
yang meluas sampai ke epidermis. Infiltrat radang yang mengelilingi area nekrotik
dapat tidak spesifik namun biasanya tuberkuloid. Keterlibatan pembuluh darah
merupakan bentuk utama dan terdiri dari obliteratif dan kadang vaskulitis
granulomatous yang menyebabkan trombosis dan oklusi total pembuluh darah.

DIAGNOSIS BANDING. ( Kotak 184-7 )

KOTAK 184-7 DIAGNOSIS BANDING TUBERKULID PAPULONEKROTIK

Kemungkinan besar
 Pityriasis Liehenoides et varioliformis acuta
 Prurigo

Pertimbangkan
 Liken urtikatus
 Sifilis sekunder

Selalu singkirkan
 Leukocytoclastic necrotizing vasculitis

TREATMENT OF CUTANEOUS TUBERCULOSIS


TERAPI TUBERKULOSIS KUTIS

In general, the management of cutaneous tuberculosis is similar to that of


tuberculosis of other organs.27–30 Chemotherapy is usually the treatment of choice
(Table 184- 3A and eTable 184-3B in online edition), but ancillary measures may
be required. Vaccines against M. tuberculosis have been attempted,27 but are still
not available.

Although they are not yet established as a therapeutic option, cytokines


such as interleukin 2, interferon-, interleukin 12, and granulocyte-macrophage
colony- stimulating factor may help to control intracellular pathogens and thereby
shorten the duration of therapy and overcome drug resistance.31 The
immunomodulatory drug thalidomide (see Chapter 235) may prove to be useful in
controlling problems related to the inflammatory response that may follow
treatment of multibacillary infection and could become a useful adjunctive drug,
as it is in the treatment of leprosy.

Secara umum, manajemen tuberkulosis kutis serupa dengan terapi tuberkulosis


pada organ lain. Biasanya, kemoterapi merupakan pilihan terapi utama (Kotak
184-3A), namun langkah-langkah tambahan mungkin diperlukan. Vaksin M.
tuberculosis telah diusahakan, namun masih tidak tersedia.
Walaupun belum ditetapkan sebagai pilihan terapi. sitokin-sitokin seperti
interleukin 2, interferon-Y, interleukin 12, dan granulocyte-macrophage colony
stimulating factor dapat membantu untuk mengendalikan patogen intraselular dan
dengan demikian memperpendek durasi terapi serta mengatasi resistensi obat.
Obat imunomodulator thalidomide (Lihat bab 235) terbukti berguna dalam
mengendalikan masalah-masalah terkait respon radang yang dapat muncul pada
pengobatan infeksi multibasiler dan dapat menjadi terapi tambahan yang
bermanfaat sebagaimana pada pengobatan kusta.
SPECIAL CONSIDERATIONS IN TREATING TUBERCULOSIS OF THE
SKIN

PERTIMBANGAN UTAMA DALAM PENGOBATAN TUBERKULOSIS


PADA KULIT

In contrast to systemic infection, for which triple-drug therapy is recommended,


tuberculosis verrucosa cutis and localized forms of LV without evidence of
associ- ated internal tuberculosis may be treated with isoniazid alone for up to 12
months. Because viable Mycobacteria have been found in clinically healed
lesions, treatment should be continued for at least 2 months after complete
involution of the lesions. Surgical intervention is quite helpful in scrofuloderma,
because it reduces morbidity and shortens the required length of chemotherapy.
Small lesions of LV or tuberculosis verrucosa cutis are also best excised, but
tuberculostatics should be given concomi- tantly. Plastic surgery is important as a
corrective mea- sure in cases of long-standing LV with mutilation.

Berbeda dengan infeksi sistemik yang membutuhkan terapi triple-drug,


tuberkulosis verukosa kutis dan LV bentuk lokal tanpa disertai bukti adanya
tuberkulosis internal yang menyertai, dapat diobati dengan isoniazid saja selama
12 bulan. Karena masih ditemukan mikrobakteri hidup pada lesi yang secara
klinis tampak sembuh, maka pengobatan sebaiknya dilanjutkan selama sekurang-
kurangnya 2 bulan setelah involusi sempurna dari lesi. Intervensi bedah cukup
bermanfaat pada skrofuloderma , karena mengurangi morbiditas dan
memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk kemoterapi. Lesi LV kecil atau
tuberkulosis verukosa kutis juga lebih baik dieksisi. namun sebaiknya diberikan
tuberkulostatik pada saat yang bersamaan. Bedah plastic sangat penting sebagai
langkah perbaikan pada kasus LV jangka panjang dengan mutilasi.

Extensively drug resistant (XDR) TB is de ned as resistance to at least


rifampicin and isoniazid from among the rst line anti-TB drugs (which is the de -
nition of MDR TB) in addition to resistance to any uoroquinolone, and to at least
one of the three inject- able second-line anti-TB drugs used in TB treatment [(1)
capreomycin, (2) kanamycin, and (3) amikacin]. The CDC and WHO have
outlined that XDR TB poses a grave global public health threat and has a higher
risk of death as it renders patients virtually untreatable with currently available
drugs.32
Resistensi obat TB ekstensif (XDR) didefinisikan sebagai resistensi
terhadap sekurang-kurangnya rifampicin dan isoniazid dari obat anti-TB lini
pertama (yang merupakan definisi dari MDR-TB) selain resistensi terhadap
fluoroquionolone, dan terhadap sekurang-kurangnya satu dari tiga obat anti TB
injeksi lini kedua yang digunakan pada pengobatan TB [(1) capreomycin, (2)
kanamycin, (3) amikacin]. CDC dan WHO telah menguraikan bahwa XDR TB
merupakan ancaman bagi kesehatan umum global dan memiliki risiko kematian
yang lebih tinggi karena pasien tidak dapat diobati dengan obat yang tersedia saat
ini.

DISEASES CAUSED BY MYCOBACTERIA OTHER THAN M.


TUBERCULOSIS
PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH MIKOBAKTERIA SELAIN M.
TUBERCULOSIS

MOTT were identi ed as human pathogens in 1938 (Mycobacterium fortuitum), in


1948 (Mycobacterium ulcerans), and in 1954 (Mycobacterium marinum).
However, overshadowed by the infectious disease burden due to M. leprae and M.
tuberculosis, the pathogenic potential of slow-growing MOTT species has been
recognized only in recent decades. Because MOTT infections usu- ally closely
mimic infections with M. tuberculosis, and the bacteria have strict and often
unusual requirements for culture, they are still probably underdiagnosed.

MOTT diidentifikasi sebagai patogen manusia di tahun 1938 (Mycobacterium


fortuitum), di tahun 1948 (Mycobacterium ulcer ans), dan di tahun 1954
(Mycobacterium marinum). Namun, karena dibayangi penyakit infeksius oleh M.
leprae dan M. tuberculosis, potensi patogenik dari spesies MOTT yang tumbuh
lambat hanya ditemukan pada beberapa dekade belakangan ini. Karena infeksi
MOTT biasanya sangat menyerupai infeksi oleh M. tuberculosis.
SEKILAS TENTANG PENYAKIT
YANG DISEBABKAN OLEH
MIKOBAKTERIA SELAIN M.
TUBERCULOSIS

 Kelompok penyakit heterogen yang


disebabkan oleh mikobakteria
patogenik obligat atau fakultatif selain
kompleks Mycobacterium tuberculosis.
 Bagian tubuh yang terkena tergantung
dari tipe mikobakterium, rute infeksi,
dan status imun hospes.
 Berbagai macam organ dapat terkena.
 Mycobacteria other than M.
tuberculosis (MOTT) lebih sering
menyebabkan penyakit kulit daripada
M. tuberculosis.
 Diagnosis bergantung pada analisis
histopaiologi dan hasil kultur.
 Insiden tidak diketahui, namun terdapat
area endemik untuk beberapa tipe
MOTT.
 Pengobatannya tidak seperti pada
pengobatan tuberkulosis, dan tidak
terdapat pedoman pengobatan
intemasional yang ketat. Antibiotika
yang sensitif untuk masing-masing
spesies mikobakteria sudah diketahui
namun sebaiknya dicek kembali dengan
tes sensitivitas.

IDENTIFICATION OF MYCOBACTERIA OTHER THAN M.


TUBERCULOSIS

IDENTIFIKASI MIKOBAKTERIA SELAIN M. TUBERCULOSIS

As with other infectious diseases, the diagnosis of mycobacterial infection


depends on the identification of the microorganism isolated from the host.
Specimens for culture should be sent to a special laboratory familiar with the
special growth requirements of these organisms.

Seperti pada penyakit infeksius lainnya, diagnosis infeksi mikobakterial


bergantung pada identifikasi dari mikroorganisme yang diisolasi dari hospes.
Spesimen untuk kultur seharusnya dikirim ke laboratorium khusus yang familiar
dengan pertumbuhan khas yang biasa ditemukan untuk organisme ini.

Antigens for intradermal skin testing (PPDs) for many of the clinically
relevant mycobacterial species have been prepared in analogy to PPD from M.
tuberculosis, but their accessibility is very limited and they are therefore little
used.

Histopathologic analysis is supportive but cannot distinguish among


mycobacterial species, because all share similar histopathologic features.33

Treatment is summarized in Table 184-4. Importantly, some MOTT


organisms are resistant to standard tuberculosis therapy. PCR testing for
mycobacterial DNA is not yet reliable enough to play a role in the diagnosis of
disease but can sometimes be useful in distinguishing among species.

Antigen untuk tes kulit intradermal (PPDs) untuk beberapa spesies


mikobakterial yang secara klinis relevan telah disiapkan dalam analogi terhadap
PPD dari M. tuberculosis, namun aksesnya sangat terbatas maka dari itu jarang
digunakan.

Analisis histopatologi merupakan penyokong, namun tidak dapat


membedakan antara spesies mikobakterial, karena semua memiliki tanda
histopatologi yang serupa.

Terapi dirangkum pada table 184-4. Penting untuk diketahui bahwa,


banyak organisme MOTT yang resisten terhadap terapi tuberkulosis standar. Tes
PCR untuk DNA mikobakterial belum cukup dipercaya untuk memegang peranan
dalam mendiagnosis penyakit namun kadang-kadang dapat berguna untuk
membedakan antar spesies.

ETIOLOGY AND PATHOGENESIS. MOTT are widely distributed


in nature and are usually commensals or saprophytes, rather than pathogens.
Atypical Mycobacteria are usually acquired from environmental sources such as
water or soil, and their role in disease re ects their natural distribution and,
possibly, local life- styles. These organisms are thought to cause mycobacterial
skin disease more often than does M. tuberculosis. Cases tend to be sporadic, but
certain types of exposures may lead to small community outbreaks.3,34 Any organ
or organ system may be affected (Table 184-5), but MOTT seem much less likely
to disseminate than M. tuberculosis, and infections usually run a more benign and
limited course. As a rule, MOTT are much less responsive to antituberculosis
drugs but may be sensitive to other chemotherapeutic agents.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

MOTT tersebar luas secara alami dan biasanya lebih bersifat komensal atau
saprofit daripada patogen. Mikobakteria atipikal biasanya bersumber dari
lingkungan seperti air atau tanah, dan peranan mereka dalam penyakit
merefleksikan distribusi alami mereka dan kemungkinan gaya hidup local.
Organisme ini diduga lebih sering menyebabkan penyakit kulit mikobakterial
daripada M. tuberculosis. Kasus yang terjadi cenderung sporadik namun tipe
paparan tertentu dapat berakibat pada wabah komunitas kecil. Tiap organ atau
sistem organ dapat dipengaruhi (table 184-5), namun tampaknya MOTT lebih
kecil kemungkinannya untuk menjadi diseminata bila dibandingkan dengan M.
tuberculosis, dan infeksi biasanya beijalan lebih ringan dengan perjalanan
penyakit yang terbatas. Biasanya, MOTT jauh lebih tidak berespons terhadap
obat-obat antituberkulosis narnun dapat sensitif terhadap agen kemoteraputik
lainnya.

Only two organisms, M. ulcerans and M. marinum, produce a


characteristic clinical picture. An immunosuppressed state of the host or damage
to a particular organ (e.g., in M. kansasii infection of the lung) facilitates these
infections.

New mycobacterial pathogens are described from time to time, which


suggests that their full pathogenic potential is not yet appreciated. Recently, an
outbreak of skin disease caused by a nontuberculous Mycobac- teria in Paci c
Islanders from Satowan was reported in the literature.35 These patients presented
with long- standing verrucous and keloidal plaques (locally known as “spam”
disease) (Fig. 184-10). Histopatho- logical and PCR data demonstrated a
nontuberculous mycobacterial infection as the cause.

Hanya dua organisme yakni M. ulcerans dan M. Marinum, yang dapat


menimbulkan gambaran klinis. Penurunan daya tahan tubuh hospes atau
kerusakan salah satu organ (contoh: infeksi M. kansasii pada paru-paru)
memfasilitasi infeksi ini.

Patogen mikobakterial baru dijabarkan dari waktu ke waktu, yang


memperlihatkan bahwa potensi patogenik mereka belum dapat diketahui.
Belakangan ini, dilaporkan adanya wabah penyakit kulit yang disebabkan oleh
mikobakteria nontuberkulosa di Pulau Pasifik dari Satowan. Pasien-pasien ini
menunjukkan adanya verukosa jangka panjang dan plak keloid (secara lokal
disebut penyakit spam) (Gambar. 184-10). Data histopatologi dan PCR
menunjukkan infeksi mikobakterial nontuberkulosa sebagai penyebabnya.
Gambar 184-10 Plak verukosa penyakit Spam
pada lutut seorang pasien di Pulau Pasifik
(digunakan dengan izin dari dr.Joseph Lilis)
Gambar 184-11 infeksi Mycobacterium
ulcerans pada anak di Uganda. Terdapat ulkus
dengan infiltrate pada batasnya dengan dasar
adipose nekrotik dan jaringan ikat.
(Digunakan dengan ijin dari M. Dietrich,MD.

SKIN INFECTIONS WITH MYCOBACTERIA OTHER THAN M.


TUBERCULOSIS

INFEKSI KULIT OLEH MIKOBAKTERIA SELAIN M. TUBERCULOSIS

MYCOBACTERIUM ULCERANS (BURULI ULCER


DISEASE). The natural habitat of M. ulcerans is still not known, and it has
never been found outside the human body, but M. ulcerans infection occurs in
wet, marshy, or swampy areas and seems to have to do with contami- nated water.
M. ulcerans is the third most frequent myco- bacterial pathogen, after M.
tuberculosis and M. leprae.

MYCOBACTERIUM ULCERANS (BURULI ULCER DISEASE). Habitat alami


M.ulcerans masih belum diketahui. dan orgarnsme ini belum pemah ditemukan di
luar tubuh manusia, namun infeksi M.ulcerans terjadi pada area yang basah atau
rawa-rawa dan tampaknya berhubungan dengan air yang terkontaminasi.
M.ulcerans adalah patogen mikobakterial tersering ketiga setelah M. tuberculosis
dan M.leprae.

Clinical Findings. The disease is found most often in children and young
adults, and affects females more often than males. A subcutaneous nodule
gradually enlarges and eventually ulcerates. A blister may develop before
ulceration. The ulcer is deeply undermined, and necrotic fat is exposed (Fig. 184-
11). The preceding nodule as well as the ulcer is painless, and the patient
continues to feel well. The painless nature of the ulcer has been attributed to nerve
damage and tissue destruction caused by the toxin mycolactone. The lesions may
occur anywhere on the body but tend to be limited to the extremities in adults.
They may be large, involving a whole limb. The ulceration may persist for months
and years, and healing and progression of the ulceration may occur in the same
patient. This process may lead to appreciable and sometimes disabling scarring
and lymphedema. Neither lymph- adenopathy nor any constitutional signs appear
at any time unless the disease process is complicated by bacterial superinfection.

Tanda dan Gejala Klinis. Penyakit ini paling sering ditemukan pada anak-anak
dan dewasa muda. dan lebih banyak mengenai wanita daripada laki-laki. Nodul
subkutan perlahan-lahan membesar dan mengalami ulserasi. Dapat muncul lepuh
terlebih dahulu sebelum ulserasi. Ulkus menggerogoti lebih daJam dan lemak
nekrotik terpapar (Gambar. 184-11). Nodul dan ulkus yang muncul sebelumnya
tidak nyeri dan pasien merasa baik-baik saja. Ulkus yang tidak nyeri dikaitkan
terhadap kerusakan saraf danjaringan yang disebabkan toksin mikolakton. Lesi
dapat terjadi di mana saja pada tubuh namun cenderung terbatas pada ekstremitas
pada orang dewasa. Lesi dapat berukuran besar melibatkan seluruh angota gerak.
Ulkus dapat menetap selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, perbaikan dan
perburukan ulkus dapat terjadi pada pasien yang sama. Proses ini dapat
menyebabkan jaringan parut dan limfedema. Tidak akan tampak adanya
limfadenopati maupun tanda konstitusional lainnya pada waktu apapun jika proses
penyakit tidak diperberat oleh superinfeksi bakteri.
Diagnosis Banding. (Kotak 184-8)

MYCOBACTERIUM MARINUM (MYCOBACTERIUM


BALNEI, FISHTANK/SWIMMING POOL GRANULOMA).
M. marinum occurs in freshwater and saltwater, including swimming pools and sh
tanks.

MYCOBACTERIUM MARINUM (MYCOBACTERIUM BALNEI,


FISHTANK/SWIMMING POOL GRANULOMA). M.marinum terdapat pada
air tawar dan air laut, termasuk kolam renang dan tangki ikan.

Clinical Findings. Risk factors for M. marinum infection are a history of


trauma and water- or sh/ seafood-related hobbies and occupations. The disease
begins as a violaceous papule at the site of a trauma 2–3 weeks after inoculation.
Patients may have a nod- ule or a psoriasiform or verrucous plaque at the site of
inoculation, usually the hands, feet, elbows, or knees (Fig. 184-12). The lesions
may ulcerate. Usually, the lesions are solitary, but occasionally lymphocutaneous
spread occurs. They may heal spontaneously within 1–2 years, with residual
scarring. Occasionally, the lesions are suppurative, rather than granulomatous, and
may be multiple in both normal or immunosuppressed hosts.

Tanda dan Gejala klinis. Faktor resiko untuk infeksi M.marinum adalah riwayat
trauma dan pekerjaan atau hobi yang berhubungan dengan air atau ikan dan
makanan laut. Penyakit ini diawali dengan munculnya papul pada tempat trauma
dalam 2-3 minggu setelah inokulasi. Pasien dapat memiliki nodul atau plak
psoriasiform atau verukosa di tempat okulasi, biasanya di tangan, kaki. siku, atau
lutut (Gambar. 184-12). Lesi dapat mengalami ulserasi. Biasanya lesi
soliter, namun terkadang penyebaran limfokutaneus dapat terjadi. Ini dapat
sembuh spontan dalam 1-2 tahun, dengan meninggalkan jaringan parut. Kadang-
kadang, lesi tampak lebih supuratif daripada granulomatus, dan dapat multipel
baik pada hospes yang nonnal maupun dengan penurunan daya tahan tubuh.

Diagnosis Banding, (kotak 184-9)


KOTAK 184-9 DIAGNOSIS BANDING LESIMYCOBACTERIUM
MARINUM

Kemungkinan besar
 Blastomikosis
 Coccidioidomycosis
 Sporotrikosis
Pertimbangkan
 Histoplasmosis
 Nokardiosis
 Sifilis tersier
 Yaws
Selalu singkirkan
 Infeksi mikobakterial lainnya

MYCOBACTERIUM KANSASII . M. kansasii is the atypical


Mycobacterium most closely related to M. tuber- culosis. It is usually acquired
from the environment. Endemic areas include Texas, Louisiana, the Chicago area,
California, and Japan. Skin disease caused by M. kansasii usually occurs in adults,
and is more com- mon in individuals with underlying immunosuppres- sion
caused by Hodgkin disease, treatment for organ transplantation, or AIDS.
Inoculation is usually attrib- utable to minor trauma such as a puncture wound.

MYCOBACTERIUM KANSASII. M. kansasii merupakan mikobakterium


atipikal yang paling berhubungan dekat dengan M. tuberculosis. Biasanya
bersumber dari lingkungan. Area endemik meliputi Texas, Louisiana, area
Chicago, California, dan Jepang. Penyakit kulit yang disebabkan M. kansasii
biasanya terjadi pada orang dewasa, dan lebih umum terjadi pada individu dengan
penurunan daya tahan tubuh yang mendasari seperti pada penderita penyakit
Hodgkin. terapi transplantasi organ, atau AIDS. Inokulasi biasanya dikaitkan
dengan trauma minor seperti luka tusukan.

Clinical Findings. M. kansasii infection may pres- ent in several forms.


Most frequently, there are papules in a sporotrichoid distribution. Sometimes,
subcutane- ous nodules extend to deeper structures and may result in a carpal
tunnel syndrome or joint disease. An ulcer- ated plaque may also develop as a
metastatic lesion. Disseminated disease caused by M. kansasii infection occurs in
immunosuppressed patients, and such patients have cellulitis and abscesses rather
than granulomatous lesions. The most commonly affected organ is the lung,
usually in patients with other pulmonary conditions (silicosis, emphysema).
Infection may also cause cervical lymphadenopathy. As with M. tubercu- losis, M.
kansasii present in nasopharyngeal secretions can lead to periori cial cutaneous
infection. These infections usually progress slowly, although a chronic stable
lesion or even spontaneous regression may occur. Drug therapy should be initiated
as soon as the diagnosis is made.

Tanda dan gejala klinis. Infeksi M. kansasii dapat muncul dalam beberapa
bentuk. Paling sering terdapat papul dengan distribusi sporotrichoid. Kadang-
kadang nodul subkutan meluas ke struktur yang lebih dalam dan dapat
menyebabkan sindrom carpal tunnel atau penyakit sendi. Dapat juga terjadi plak
dengan ulserasi sebagai lesi metastase. Penyakit diseminata karena infeksi M
kansasii terjadi pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, dan pada pasien-
pasien ini cenderung menderite selulitis dan abses daripada lesi granulomatous.
Organ yang paling sering terkena adalah paru-paru, biasanya pada pasien dengan
penyakit paru-paru yang lain (silicosis, emfisema). Infeksi juga dapat
menyebabkan limfadenopati servikal. Seperti halnya pada M. tuberculosis, M.
kansasii yang tampak pada sekresi nasofaring dapat menyebabkan infeksi
periorifisial kutis. Infeksi ini biasanya berkembang lambat, namun lesi kronis
stabil atau bahkan regresi spontan dapat terjadi. Pengobatan sebaiknya dimulai
segera setelah diagnosis ditegakkan.

Gambar 184-12 A. Infeksi Mycobacterium marinum pada bagian belakang


tangan. Lesi granulomatous nodular dengan ulserasi sentral di tempat
inokulasi. (Digunakan dengan izin dari A. Kuhlwein,MD) B. Plak verukosa
dengan bagian tengah bersih terjadi pada tempat abrasi yang didapatkan
dari tangki ikan. Lesi disebabkan oleh M. marinum.

Diagnosis Banding. (Kotak 184-10)


KOTAK 184-10 DIAGNOSIS BANDING LESI MIKOBAKTERIUM
KANSASII

Kemungkinan besar
 Sporotrikosis
Pertimbangkan
 Tuberkulosis
Selalu singkirkan
 Infeksi granulomatous pada kulit lainnya

MYCOBACTERIUM SCROFULACEUM. Mycobacterium


scrofulaceum is widely distributed in the envi- ronment.

Clinical Findings. The usual manifestation of M. scrofulaceum infection is


cervical lymphadenitis, frequently unilateral, in children, mainly between the ages
of 1 and 3 years. Submandibular and submaxillary nodes are typically involved,
rather than the tonsillar and ante- rior cervical nodes, as is characteristic for M.
tuberculosis infection. There are no constitutional symptoms. Involved lymph
nodes enlarge slowly over several weeks, and eventually ulcerate and develop
stulae. There is rarely an evidence of lung or other organ involvement. In most
cases, the disease is benign and self-limited.

Differential Diagnosis. The differential diagno- sis includes other forms


of bacterial lymphadenitis; viral infections, including mumps and mononucleosis;
and malignancy, including solid tumors, lymphoma, and leukemia.

MYCOBACTERIUM SCROFULACEUM. Mycobacterium scrofulaceum


tersebar luas di lingkungan.

Tanda dan gejala klinis. Manifestasi yang umum dari infeksi M. scrofulaceum
adalah limfadenitis servikal, sering unilateral pada anak-anak berumur 1-3 tahun.
Lebih sering melibatkan nodus submandibular dan submaksilaris daripada nodus
tonsilar dan servikal anterior, seperti halnya temuan khas pada M. tuberculosis.
Tidak terdapat gejala-gejala konstitusional. Kelenjar getah bening yang terkena
perlahan membesar dalam beberapa minggu dan perlahan mengalami ulserasi dan
membentuk fistula. Jarang terdapat keterlibatan paru-paru atau organ lain. Pada
sebagian besar kasus, penyakit ini jinak dan dapat sembuh sendiri.

Diagnosis banding. Diagnosis banding termasuk bentuk lain limfadenitis


bakterial; infeksi virus, termasuk gondok dan mononukleosis; dan keganasan,
termasuk tumor solid, limfoma, dan leukemia.

MYCOBACTERIUM AVIUM-INTRACELLULARE. M. avium-


intracellulare encompasses organisms with a wide variety of microbiologic and
pathogenic properties. Well over 20 subtypes can be separated by immu- nologic
techniques, although this is not necessary for clinical purposes.

MYCOBA CTERIUM A VIUM-INTRA CELLULARE


M. avium-intracellulare meliputi organisme dengan variasi properti mikrobiologi
dan patogenik yang luas. Didapatkan lebih dari 20 subtipe dengan teknik
imunologi, walaupun ini tidak diperlukan untuk tujuan klinis.

These organisms are usually grouped together with M. scrofulaceum in the


so-called M. avium-intracellu- lare-scrofulaceum complex, but are separated here
for clinical reasons. Whereas M. scrofulaceum produces only a benign, self-
limited lymphadenopathy with no organ involvement, M. avium-intracellulare
infection usually causes lung disease or, less frequently, osteomyelitis. It may also
produce a cervical lymphadenitis with sinus formation that is clinically
indistinguishable from tuberculous scrofuloderma.

Organisme-organisme ini biasanya berkelompok bersama dengan M.


scrofulaceum dalam kompleks M. avium-inlracellulare-scrofulaceum namun tidak
dituliskan disini dengan alasan klinis. Lain halnya dengan M. scrofulaceum yang
menyebabkan limfadenopati ringan, yang dapat sembuh sendiri tanpa keterlibatan
organ dalam, infeksi oleh M. avium-intracellulare biasanya menyebabkan
penyakit paru-paru atau yang lebih jarang, osteomielitis. Ini juga dapat
menyebabkan limfadenitis servikal dengan pembentukan sinus yang tidak dapat
dibedakan secara klinis dari skrofuloderma tuberkulosa.

Clinical Findings. Primary skin disease caused by M. avium-intracellulare


has been reported in rare instances, presenting as single or multiple painless, scaly
yellowish plaques, sometimes resembling LV, or as subcutaneous nodules with a
tendency to ulceration and a slowly progressive, chronic course. Sometimes, skin
involvement occurs secondary to disseminated infection with M. avium-
intracellulare. Skin lesions have included generalized cutaneous ulcerations,
granulomas, in ltrated erythematous lesions on the extremities, pustules, and soft-
tissue swelling. M. avium-intracellulare infections are an important cause of
morbidity in patients with AIDS (see Chapter 198).
Tanda dan Gejala Klinis. Penyakit kulit primer yang disebabkan oleh M. avium-
intracellulare pernah dilaporkan sebagai plak kekuningan bersisik tunggal atau
multipel. kadang-kadang menyerupai LV, atau sebagai nodul subkutan dengan
kecenderungan untuk mengalami ulserasi dan berkembang lambat dengan
perjalanan penyakit yang kronis. Kadang-kadang, keterlibatan kulit terjadi
sekunder terhadap infeksi oleh M. avium-intracellulare disseminate. Lesi kulit
termasuk ulkus kutis generalisata, granuloma, lesi eritema infiltratif pada
ekstremitas, pustul, dan pembengkakan jaringan lunak. Infeksi M. avium-
intracellulare merupakan penyebab yang penting dari morbiditas pada pasien
dengan AIDS.

MYCOBACTERIUM SZULGAI, MYCOBACTERIUM


HAEMOPHILUM, MYCOBACTERIUM GENAVENSE.
Mycobacterium szulgai, Mycobacterium haemophilum, and M. genavense are
rarely found to cause human disease in cases of otherwise unexplained cervical
lymphadenitis, cellulitis, draining nodules and plaques, bursitis, pneumonia, and
subcutaneous granulomatous eruptions.

MYCOBACTERIUM SZULGAI, MYCOBACTERIUM HAEMOPHILUM,


MYCOBACTERIUM GENAVENSE. Mycobacterium szulgai. Mycobacterium
haemophilum, dan M. genavense jarang ditemukan menyebabkan penyakit pada
manusia jika tidak pada kasus-kasus limfadenitis servikal, selulitis, plak dan nodul
yang mengeluarkan cairan, bursitis, pneumonia, dan erupsi granulomatous
subkutan yang tidak dapat dijelaskan.

MYCOBACTERIUM FORTUITUM, MYCO- BACTERIUM


CHELONAE, MYCOBACTERIUM ABSCESSUS. M. fortuitum,
Mycobacterium chelonae, and Mycobacterium abscessus—three species of fast-
growing, facultative pathogenic Mycobacteria—were previously grouped in the
M. fortuitum complex but are now recognized as distinct species. These organ-
isms seem to be widely distributed and can commonly be found in soil and water.
Contamination of various materials, including surgical supplies, occurs but does
not always result in clinical disease.

MYCOBACTERIUM FORTUITUM, MYCOBACTERIUM CHELONAE,


MYCOBACTERIUM ABSCESSUS. M. fortuitum, Mycobacterium chelonae,
dan Mycobacterium abscessus merupakan tiga spesies yang tumbuh cepat,
mikobakteria patogenik fakultatif yang sebelumnya dikelompokkan dalam
kompleks M. fortuitum namun sekarang dikenal sebagai spesies yang berbeda.
Organisme ini tampaknya tersebar luas dan umumnya dapat ditemukan di tanah
dan air. Dapat terjadi kontaminasi banyak material termasuk suplai bedah, namun
tidak selalu menyebabkan penyakit klinis.
Clinical Findings. M. fortuitum, M. chelonae, and M. abscessus cause
similar clinical diseases. Infection usually follows a puncture wound or a surgical
pro- cedure. The disease manifests itself as a painful red in ltrate at the site of
inoculation; there are no signs of dissemination and no constitutional symptoms.
Cold postinjection abscesses, especially in the tropics, may also be caused by fast-
growing Mycobacteria. Recent cases in the United States have followed after
pedicures and water immersion in salons.

The lesion is a dark red nodule, often with abscess formation and clear uid
drainage. Healthy children and adults may become infected, but disseminated
disease usually occurs in hemodialysis patients or other immunologically
compromised individuals. The dis- ease course consists of multiple recurrent
episodes of abscesses on the extremities or a generalized macular and papular
eruption. Internal organs may be involved.

Tanda dan Gejala klinis. M, fortuitum, M. chelonae, dan M. abscessus dapat


menyebabkan penyakit klinis yang serupa. Infeksi biasanya terjadi setelah luka
tusukan atau prosedur bedah. Penyakit bermanifestasi sebagai infiltrat merah yang
sangat nyeri di tempat inokulasi. Tidak terdapat tanda-tanda disseminate dan tidak
ada gejala-gejala konstitusional. Abses dingin postinjeksi, terutama di daerah
tropis, dapat juga disebabkan oleh mikobakteria yang tumbuh cepat. Kasus yang
terjadi belakangan ini di Amerika terjadi setelah pedicure dan berendam di salon.

Lesi berupa nodul berwama merah, gelap, sering dengan pembentukan


abses dan mengeluarkan cairan jemih. Anak-anak dan orang dewasa yang sehat
dapat terinfeksi, namun penyakit diseminata biasanya terjadi pada pasien
hemodialisis atau individu dengan penurunan daya tahan tubuh. Perjalanan
penyakit terdiri dari episode abses berulang multipel pada ekstremitas atau erupsi
makular dan papular generalisata. Dapat terjadi keterlibatan organ dalam.

Histopathology. There is simultaneous occurrence of polymorphonuclear


leukocyte microabscesses and granuloma formation with foreign body-type giant
cells, the so-called dimorphic in ammatory response. There is usually necrosis but
no caseation. Acid-fast bacilli may occasionally be found within microabscesses.

Diagnosis. Organisms of the M. fortuitum complex may be identi ed by


special laboratories to permit a rational treatment.

Histopatologi. Terdapat mikroabses leukosit polimorfonuklear dan pembentukan


granuloma dengan sel raksasa tipe benda asing yang disebut respons radang
dimorfik. Biasanya juga terjadi nekrosis. Kadang-kadang ditemukan basil tahan
asam dalam mikroabses.

Diagnosis. Organisme kompleks M. fortuitum dapat diidentifikasi dengan metode


laboratorium khusus agar bisa diterapi dengan rasional.

Anda mungkin juga menyukai