PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vascular pada kulit akibat berbagai macam sebab,
ditandai dengan adanya edema setempat yang cepat timbul dan menghilang
perlahan-lahan, berwarna pucat atau kemerahan, meninggi di permukaan kulit,
umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal yang
berat, rasa tersengat atau tertusuk.
Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi
pada lapisan kulit yang lebih dalam, dapat di submukosa atau di subkutis, serta
dapat mengenai saluran nafas, saluran cerna, dan organ kardiovaskular. Secara
klinis ditandai dengan pembengkakan jaringan. Rasa gatal tidak lazim terdapat
pada angioedema, lebih sering diertai rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi
di bagian tubuh manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral,
periorbital, lidah, genetalia, dan ekstremitas.
Sinonim dari urtikaria Hives, nettle rash, biduran, gidu dan kaligata.
2
2.2 Epidemiologi
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor usia, ras,
jenis kelamin, pekerjaan, lokasi georafis, dan musim mempengaruhi jenis
pajanan yang akan dialami oleh seseorang. Urtikaria digolongkan sebagai akut
bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan dianggap kronis bila lebih dari 6
minggu. Urtikaria kronis umumnya dialami oleh orang dewasa, dengan
perbandingan perempuan : laki-laki adalah 2 : 1. Sebagian besar anak-anak
(85%) yang mengalami urtikaria, tidak disertai angioderma. Sedangkan 40%
dewasa yang mengalami urtikaria, juga mengalami angioderma. Sekitar 50%
pasien urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% sembuh dalam
waktu 3 tahun dan 85 % akan sembuh dalam waktu 5 tahun. Pada kurang dari 5
% pasien, lesi akan meneatp lebih dari 10 tahun. Penderita atopi lebih mudah
mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal.
2.3 Etiologi
Pada penelitian, ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya: obat, makanan,
gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma
fisik, infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik.
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun non-imunologik. Hampir semua obat sistemik
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya ialah obat-
obatan golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan
diuretik. Ada pula obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel
mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras.
Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari
asam arakidonat.
3
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan
pengawet sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang
sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, cokelat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka serta bahan yang dicampurkan
ke dalam makanan seperti asam nitrat, asam benzoat, dan ragi.
3. Gigitan/sengatan Serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat. Hal
ini sering diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom
dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria berbentuk papular di
sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa
hari, minggu, atau bulan.
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu
binatang, dan aerosol umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik
(tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan
pernapasan.
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia seperti
4
insect repelent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini
disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat disebabkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau
memegang benda dingin; faktor panas misalnya sinar matahari, sinar UV,
radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat,
ikat pinggang, atau semprotan air; faktor vibrasi dan tekanan yang berulang-
ulang contohnya pijatan dapat menyebabkan urtikaria fisik baik secara
imunologik maupun non-imunologik. Dapat timbul urtikaria setelah goresam
benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini
disebut dermografisme atau fenomena Darier.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11.5%
penderita urtikaria menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan
memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria.
5
Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang
eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Diantaranya
ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familial localized
heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria
deafness and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.
2.4 Klasifikasi
Terdapat berbagai macam paham golongan urtikaria, berdasarkan
lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Dikatakan
akut bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama
4 minggu tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan
sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda,
umumnya laki-laki lebih sering pada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering
pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui,
sedang pada urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada kecenderungan urtikaria
lebih sering diderita oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya,
yaitu urtikaria papular bila berbentuk papul, gutata bila besarnya sebesar
tetesan air, dan girata bila ukurannya besar-besar. Terdapat pula anular dan
6
arsinar. Menurut luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena dibedakan
urtikaria lokal, generalisata, dan angioedema. Ada pula menggolongkan
berdasarkan penyebab urtikaria dan mekanisme terjadinya, maka dikenal
urtikaria imunologik, non imunolgik dan idiopatik seperti berikut :
1. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a. Bergantung pada IgE (reaksi alaergik tipe I)
i. Pada atopi
ii. Antigen spesifik (polen, obat, venom)
b. Ikut sertanya komplemen
i. Pada reaksi sitotoksik ( reaksi alergi tipe II )
ii. Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
iii. Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)
c. Reaksi alergi tipe IV ( urtikaria kontak )
2. Urtikaria atas reaksi non-imunologik
a. Langsung memacu sel mast sehingga terjadi pelepasan mediator
(misalnya obat golongan opiat dan bahan kontras)
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam
arakidonat (misalnya aspirin, obat anti inflamasi non-steroid,
golongan azodyes)
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas
atau sinar, dan bahan kolinergik.
3. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya digolongkan
idiopatik
2.5 Patofisiologi
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan
pengumpulan cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai
eritema. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat
pelepasan mediator, misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA) dan prostaglandin oleh sel mast dan atau
7
basofil. Sel mast adalah sel efektor utama pada urtikaria. Selain itu terjadi pula
inhibis proteinase oleh enzim proteolitik misalnya kalikrin, tripsin, plamin, dan
hemotripsin di dalam sel mast. Baik faktor imunologi maupun non-imunologi
mampu merangsang sel mast maupun basofil untuk melepaskan mediator
tersebut.
8
Faktor
Bahan
Efek
FAKTOR fisik
Alkohol, kimia
Kolinergik
(panas,
pelepas
dingin,
NON-IMUNOLOGIK
Idiopatik
Emosi, Demam Pelepasan Mediator:
Vasodilatasi,
Sel Mas
URTIKARIA Reaksi
Pengaruh
Reaksi
Aktivasi
Tipe
Tipe
Reaksi
Reaksi
FAKTOR II inhalan,
komplemen
komplemen
ITipe
(IgE)
IV (kontaktan)
Tipe
IMUNOLOGIK
Faktor III
Genetik:
mediator
trauma, (morfin,
sinar X, cahaya
kodein) Peningkatan obat, makanan, infeksi
H1Permeabilitas
, SRSA, Basofil
serotonin,
Kapiler - (Ag-Ab, venom,
Defisiensi toksin)
C1 esterase
kinin, PEG, PAF inhibitor
Basofil
- Familial cold urticaria
- Familial heat urticaria
9
Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan
subkutis atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan disebut
angioedema. Pada keadaan ini yang lebih sering terkena adalah bagian muka
disertai sesak nafas, serak dan rhinitis. Angioedema di saluran cerna
bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare.
Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat
yang tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan
tekanan yang menjadi penyebab. Pada pasien seperti ini, uji dermografisme
menimbulkan lesi urtika yang linier pada kulit setelah digores dengan benda
tumpul.
Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu urtika
dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikular, dan dipicu oleh peningkatan suhu
tubuh akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi.
Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu urtika
dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikular, dan dipicu oleh peningkatan suhu
tubuh akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi.
Urtikaria kolinergik terutama dialami oleh remaja dan dewasa muda. Urtikaria
akibat obat atau makanan umumnaya timbul secara akut dan generalisata.
10
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada urtikaria terutama ditujukan untuk mencari
penyebab atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah:
1. Pemerisaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
2. Pemeriksaan kadar IgE total dan eosinophil untuk mencari kemungkinan
kaitannya dengan factor atopi.
3. Pemeriksaan gigi, THT, dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari
focus infeksi.
4. Tes kulit dapat diggunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch
test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat dipergunakan
untuk mencari alergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makan yang
dicurigai untuk beberapa waktu lalu mencobanya kembali satu persatu.
6. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat
kemungkinan urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakuakn tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikari
kolinergik
9. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari
penyebab fisik.
10. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk
membuktikan adanya kelainan autoimun.
11
2.10 Penatalaksanaan
Hal terpenting dalam penatalaksanaan urtikaria adalah identifikasi dan
eliminasi penyebab dan atau faktor pencetus. Pasien juga dijelaskan tentang
pentingnya menghindari konsumsi alkohol, kelelahan fisik dan mental, tekanan
pada kulit misalnya pakaian yang ketat, dan suhu lingkungan yang sangat
panas. Karena hal-hal tersebut dapat memperberat urtikaria.
Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV pada tahun
2011 untuk pengelolaan urtikaria kronis dengan menggunakan antihistamin H1
non-sedasi, yaitu :
1. Anti histamine H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala menetap setelah 2
minggu
2. AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila gejala menetap
setelah 1-4 minggu.
3. AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + antagonis leukotriene, bila
terjadi eksaserbasi gejala, tambahkan kortikosteroid sistemik 3-7 hari.
4. Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambah siklosporin A, AH2,
dapson, omalizumab.
5. Eksaserbasi diatasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7 hari.
12
gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan terapi lini kempat yaitu
penambahan antihistamin H2 dan imunoterapi. Imunoterapi dapat beruka
siklosporin A, omalizumab, immunoglobulin intravena (IVIG), plasmaferesis,
takrolimus oral, metotreksat, hikroksiklorokuin dan dapson. Eksaserbasi lesi
yang terjadi selama terapi lini keempat diatasi dengan pemberian kortikosteroid
sistemik (prednisone 10-30 mg) selama 3-7 hari.
Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik dianjurkan untuk
pemberian terapi topical untuk mengurangi gatal, berupa bedak kocok atau
losio yang mengandung mentol 0.5-1% atau kalamin. Dalam praktek sehari-
hari, terapi lini pertama dan lini kedua dapat diberikan oleh dokter umum, dan
apabila penatalaksanaan tersebut tidak berhasil, sebaiknya pasien dirujuk untuk
penatalaksaanaan lebih lanjut.
Pada urtikaria yang luas atau disertai angioedema, perlu dilakukan rawat
inap dan selain pemberian antihistamin, juga diberikan kortikosteroid sistemik
( metilprednisolon dosis 40-200 mg) untuk waktu yang singkat. Bila terdapat
syok anafikalsis, dilakukan protocol anafilaksis termasuk pemberian epinefrin
1:1000 sebanyak 0,3 ml IM setiap 10-20 menit sesuai kebutuhan.
2.11 Prognosis
Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui
dengan mudah, untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis merupakan
tantangan bagi dokter maupun pasien, karena membutuhkan penanganan yang
komprehensif untuk mencari penyebab dan menentukan jenis pengobatannya.
Walaupun umumnya tidak mengancam jiwa, namun dampaknya terhadap
kualitas hidup pasien sangan besar. Urtikaria yang luas atau disertai dengan
angioedema merupakan kedaruratan dalam ilmu kesehatan kulit dan kelamin,
sehingga membutuhkan penanganan yang tepat untuk menurunkan mortalitas.
13
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. X
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : PNS
Status : Menikah
Alamat : Bukittinggi
Suku : Minang
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Timbul bentol kemerahan dan gatal dipunggung sejak tadi pagi.
14
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada Riwayat penyakit yang sama
Lokasi : Di punggung
Distribusi : Terlokalisir
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Konfluens
Ukuran : Lentikular sampai Plakat
Efloresensi : Makula eritema, urtika.
Status Venerologikus : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Kuku dan jaringan sekitar kuku tidak ditemukan
kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kelenjar limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB.
15
Gambar 2. Urtikaria pada punggung
1. Pemerisaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
2. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test)
3.7 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan umum
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, kemungkinan faktor
penyebab atau pencetus dan pentingnya upaya menghindarinya serta
pengobatan penyakitnya
Jangan menggaruk lesi
16
Minum obat teratur
Beristirahat yang cukup
2. Penatalaksanaan Khusus
Sistemik :
Cetirizin HCL tablet 10 mg 1 kali sehari
Topikal :
Caladine lotion 60 ml, dioleskan pada lesi 2 kali sehari sesudah mandi
Resep
Pro : Tn.X
Umur : 50 tahun
Alamat : Bukittinggi
17
Gambar 3. Cetirizin tablet 10 mg
3.8 PROGNOSIS
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
19
DAFTAR PUSTAKA
Aisah, Siti.dkk. 2013. Urtikaria. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke 6.
Jakarta: FK UI
Aisah, Siti.dkk. 2015. Urtikaria dan Angioedema. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi ke 7. Jakarta: FK UI
Siregar. 2013. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi ke-3. Jakarta:EGC
20