Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang cukup besar, karena dapat menimbulkan kematian dalam kurun waktu yang

singkat dan sering menimbulkan wabah. DBD adalah penyakit infeksi virus akut yang

disebabkan oleh infeksi virus dengue, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang

ditandai demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, penurunan trombosit

(trombositopenia), adanya homokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan

hematokrit,asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai gejala-gejala tidak khas

seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri dibelakang bola mata.

Penyakit DBD dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saai ini penyakit DBD

lebih banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya

kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa.1

B. Penyebab Penyakit DBD

Penyebab penyakit DBD adalah Arthrophod borne virus famili Flaviviridae, genus

flavivirus. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda. Borne Viruses (Arbovirosis).

Sampai saat ini dikenal ada 4 serotipe virus yaitu ;

1. Dengue 1 (DEN-1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.

2. Dengue 2 (DEN-2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

3. Dengue 3 (DEN-3) diisolasi oleh Sather

4. Dengue 4 (DEN-4) diisolasi oleh Sather.

Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang

terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan dengue type 3
merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat. (Fasiah A Siregar,

2004). Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas akan menyebabkan

kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan.2

C. Patogenesis dan Patofisiologi

Patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan membedakan penyakit DBD

dengan dengue klasik ialah tingginya permabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya

volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diabetes hemoragik. Meningginya

nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan dan menimbulkan dugaan bahwa renjatan

terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak

dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai ematokrit.

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah dengue hingga

kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the secondary heterologous

infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah

infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan

dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun.

Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita

dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi ananmestik yang akan terjardi

dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan

menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi

dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan

mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen- antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi

sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel

dinding pembuluh darah.


Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada

30% dan berlangsung selama 24 - 48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekwat

akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat yang

biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia

merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai

trombosit mulai menurun pada masa demamdan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.

Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya

tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit. Kelainan sistem koagulasi mempunyai

juga peranan sebagai sebab perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun

termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun.

Perubahan faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang

fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem koagulasi. Pembekuan

intravaskuler menyeluruh (PIM) secara potensial dapat terjadi juga pada penderita DBD tanpa

atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan

memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan respon imun yang diketahui berperan dalam

patogenesis DBD adalah a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan

dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang

dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi

virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut Antibody Dependent Enhancement

(ADE); b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun

seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon

17 gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c)

Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun

proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya

C3a dan C5a.

Diagnosa DBD ditegakkan jika ada 2 kriteria klinis ditambah dengan 2 kriteria

laboratoris. Kasus DBD yang menjadi lebih berat, menjadi kasus Dengue Shock Syndrome

(DSS).

D. Penularan penyakit DBD

Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan

oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang

paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti karena hidupnya

di dalam dan disekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga

lebih jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh

pelosok Indonesia, kecuali ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas

permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak

memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak.

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-

rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian

badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari

bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini

lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari

mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai

petang hari (16.00-17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali

untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif

sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam

atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan
biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses pematangan

telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat

perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi

jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air.

Mekanisme penularan penyakit DBD, berawal dari masuknya virus Dengue sewaktu

nyamuk Aedes aegypti menggigit dan mengisap darah orang yang sakit Demam Berdarah

Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang

didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam

berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.

Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap

masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar

diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu

setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain

(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang

hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap virus dengue itu

menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk

menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya

(proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue

dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.

Orang yang kemasukan virus dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti

yang spesifik sesuai dengan type virus dengue yang masuk. Tanda atau gejala yang timbul

ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalarn

virus dengue yang baru masuk.

Tanda – tanda demam berdarah dengue ialah demarn mendadak selama 2-7 hari. Panas

dapat turun pada hari ke 3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 panas mendadak turun.
Tetapi apabila orang yang sebelumnya sudah pemah kemasukkan virus dengue, kemudian

memasukkan virus dengue dengan tipe lain maka orang tersebut dapat terserang penyakit

demam berdarah dengue (teori infeksi skunder).

E. Gambaran klinis DBD

Tanda-tanda dan gejala penyakit DBD adalah :

1. Demam

Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus

berlangsung 2 - 7 hari, kenudiml turun secara cepat. Demam secara mendadak disertai

gejala klinis yang tidak spesifik seperti: anorexia lemas, nyeri pada tulang, sendi,

punggung dan kepala.

2. Manipestasi Pendarahan.

Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3 setelah demam. Sebab

perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat berupa :

- Ptechiae

- Purpura

- Echymosis

- Perdarahan cunjunctiva

- Perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis)

- Perdarahan gusi

- Muntah darah (Hematenesis)

- Buang air besar berdarah (melena)

- Kencing berdarah (Hematuri)


Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan

toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah

Dengue.

3. Pembesaran hati (Hepotonegali).

Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat pembesaran hati tidak

sejajar dengan berapa penyakit Pembesan hati mungkin berkaitan dengan strain

serotype virus dengue.

4. Renjatan (ShocK).

Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit.

Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler

melalui kapilar yang rusak. Adapun tanda-tanda perdarahan:

- Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari dan kaki.

- Penderita menjadi gelisah.

- Nadi cepat, lemah, kecil sampai tas teraba.

- Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang)

- Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg atau kurang).

Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya mempunyai kemungkinan yang

lebih buruk.

5. Gejala Klinis Lain.

GejaJa lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit

perut, diare atau konstipasi dan kejang.

F. Diagnosa DBD

Diagnosa penyakit DBD ditegakkan jika ditemukan:

a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7
b. Manitestasi Perdarahan

c. Tombositopenia yaitu jumlah trombosit dibawah 150.000/mm3, biasanya Ditemukan antara

hari ke 3-7 sakit.

d. Mokonsentrasi yaitu meningkatnya hematokrit, merupakan indikator yang peka Terhadap

jadinya renjatan sehingga perlu dilaksanakan penekanan berulang secara periodik.

Kenaikan Ht 20% menunjang diagnosa klinis Demam Berdarah Dengue. 7

Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis

dapat dibagi atas (WHO 75).

1. Derajat I (ringan).

Demam mendadak 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain, dengan manifestasi perdarahan dengan

uji truniquet positif

2. Derajat II (sedang).

Penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan

spontan kulit dan perdarahan lain.

3. Derajat III (berat).

Penderita dengan gejala syok / kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi

gelisah.

4. Derajat IV (berat).

Penderita syok berat dengan tensi yang tak dapat diukur dan nadi yang tak

dapat diraba.3

G. Situasi Penyakit DBD di Indonesia

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan Oleh

satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes aegypti
dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di antaranya

kepulauan di Indonesia hingga bagian utaraAustraIia.

Pada banyak daerah tropis dan subtropis, penyakit DBD adalah endemik yang

muncul sepanjang tahun, terutama Saat musim hujan ketika kondisi optimal untuk

nyamuk berkembang biak. Biasanya sejumlah besar orang akan terinfeksi dalam waktu

yang singkat (wabah).

Keempat virus dengue menglnfeksl manusia di daerah Afrika dan Asia Tenggara sejak

100-800 tahun yang IaILL Virus dengue berkembang pesat pada parang dunia ke-2 dirnana

penyebaran nyamuk terjadi secara massal bersama dengan pengiriman barang yang berperan

dalam penyebaran global.

Sebelum tahun 1970. hanya 9 negara yang mengalami wabah OBO, namun sekarang

menjadi penyakit endemik pada lebih dari IDO negara, di antaranya adalah Afrika,

Amerika, Mediterania Tirnur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, Amerika, Asia Tenggara dan

Pasifik Barat memiliki angka tertinggi kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara

dan Pasifik Barat telah melewati jota kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010

pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebany•ak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687

kasus merupakan DBD berat.

Saat ini bukan hanya terjadi peningkatan jumlah kasus OBO. tetapl penyebaran di luar

daerah tropis dan subtropis, contohnya di Eropa, transmisi 10kaI pertama kali dilaporkan di

Perancis dan Kroasia pada tahun 2010. Pada tahun 2012, terjadi lebih dari 2.000 kasus DBD

pada dari 10 negara dl Eropa. Setidaknya 500.000 penderita OBD memerlukan rawat inap

setiap tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian besar adalah anak-anak dan di antaranya

dilaporkan meninggal dunia.

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan saiah satu masalah kesehatan

masyarakat yang utama di Indonesia, Seinng dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk, jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah. Di Indonesia,

demam berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak

58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia, dengan Angka Kematian (AK)

mencapai 41 Sejak Saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.

Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di

Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal durma. Jumlah tersebut lebih tinggi

dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907

penderita meninggal dunia pada tahun 2014, Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan iklim

dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan

1. Persebaran Kasus

DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47 tahun

terakhir. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota dari

2 provinsi dan 2 kota, menjadi 34 provinsi dan 436 (85%) kabupaten/kota pada tahun

2015. Terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus

menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD

tersebut dapat disebebkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah

perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk dan factor

epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 4


Tabel 1. Jumlah dan Pesebaran Kasus DBD di Indonesia Tahun 1968-2015

2. Incidence Rate

Incidence rate (IR) penyakit DBD dari tahun 1968-2015 cenderung terus

meningkat. Berdasarkan Gambar 1 dapat terlihat bahwa tiga puncak epidemic terjadi

setiap 10 tahunan, yaitu tahun 1988, 1998 dan 2007. Hal ini dapat terjadi karena adanya

perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vector, di luar faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Menurut Mc. Michael (2006), perubahan iklim menyebabkan

perubahan curah hujan, suhu, kelembaban dana rah udara, sehingga berpengaruh

terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan.

Perubahan iklim tersebut dapat mempengaruhi vector penyakit, seperti nyamuk Aedes,

malaria dan lainnya.


Gambar 1. Incidance Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 1968-2015

Incidance Rate DBD berdasarkan provinsi pada tahun 2015, 3 provinsi tertinggi

adalah Provinsi Bali, yaitu 208,7 per 100.000 penduduk, Provinsi Kalimantan Timur,

yaitu 183,12 per 100.000 penduduk dan Provinsi Kalimantan Tenggara dengan IR

sebesar 120,08 per 100.000 penduduk. Sedangkan 3 dengan Incidance Rate terendah

adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 0,68 per 100.000 penduduk, Provinsi

Maluku sebesar 4,63 per 100.000 penduduk dan Provinsi Papua Bara sebesar 7,57 per

100.000 penduduk. 5
Gambar 2. Incidence Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun

2015

Tabel 2. Lima Provinsi Tertinggi Incidence Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk di

Indonesia Tahun 2011-2015


Gambar 3. Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 2012-2015

3. Angka Kematian

Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) DBD sangat tinggi, yaitu sebesar 41,4%

pada awal kasus DBD merebak di Indonesia. Namun, kemudian menurun menjadi 24% pada

tahun 1969 sampai sebesar 0,97% pada tahun 2015. Penurunan CFR tersebut dimungkinkan

karena tatalaksana penanganan kasus semakin baik dan kewaspadaan dini masyarakat

terhadap DBD semakin meningkat Penurunan CFR dari tahun 1968-2015 dapat dilihat pada

Gambar 4. Namun, bila dilihat dari jumlah absolut kematian, terlihat jumlah kematian

berfluktuasi walaupun CFR terus menurun.


Gambar 4. Jumlah Absolut Kematian DBD dan CFR di Indonesia Tahun 1968-2015

Gambar 5. Case Fatality Rate Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2015


Gambar 6. Lima Provinsi Tertinggi CFR DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia

Tahun 2011-2015

4. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD

Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan meningkat dari 1.081 kasus pada tahun 2014

menjadi 8.030 kasus pada tahun 2015. Demikian juga dengan jumlah provinsi dan

kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari tahun 2014-2015 meningkat, yaitu dari 5

provinsi dan 21 kabupaten pada tahun 2014 menjadi 7 provinsi dan 69 kabupaten pada tahun

2015. 4
Gambar 7. Kasus KLB DBD, Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2014-2015

Gambar 8. Jumlah Kematian dan CFR pada KLB DBD Tahun 2014-2015

H. Pengunaan Bubuk Abate

Larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan jentik Aedes aegypti

adalah temephos. Temephos 1% (abate ISG) telah digunakan secara masal sejak tahun 1980
untuk program pemberantasan jentik Aedes aegypti. (Gafur A Mahrina dan Hardiansyah

(2006), seperti yang dikutip oleh Ary Oktsari, Damar Tri Boewono dan Retno Hestiningsih

(2011). Temephos merupakan larvasida yang paling luas digunakan karena dalam bentuk abate

IG (larvasida butiran) yang dapat mengendalikan populasi nyamuk secara efektif langsung

ditempat perkembangbiakan, sangat ekonomis karena dengan biaya terjangkau populasi

nyamuk dapat dikendalikan hingga 2 bulan, cepat menurunkan populasi nyamuk karena

langsung membasmi jentik sehingga lebih banyak yang dapat dibasmi sebelum menjadi dewasa

dan aman karena dosis penggunaannya sangat rendah.6

Keamanan larvasida temephos terjamin bagi manusia dan binatang peliharaan.

Penggunaanya juga praktis, cukup taburkan bubuk abate sesuai takaran ke seluruh tempat

peampungan air yang dicurigai sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk seperti bak

mandi, tampayan, vas bunga, tempat miunm burung, drum kosong yang menampung air hujan

dan sebagainya. 7

Penggunaan insektisida dalam waktu lama untuk sasaran yang sama memberiksn

tekanan seleksi yang mendorong berkembangnya populasi jentik Aedes aegypti menjadi

resisten lebih cepat (Polson, 2011). Namun demikian berdasarkan hasil penelitian tentang

“Status Resistensi Vektor DBD (Aedes aegypti) terhadap Temephos (Organofosfat) di

Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga oleh Ary Oktsari, Damar Tri Boewono dan Retno

Hestiningsih (2011), menunjukan bahwa persentase kematian jentik Aedes aegypti dari

Kelurahan endemis, Kelurahan sporadis dan Kelurahan potensial terhadap temephos dengan

menggunakan konsentrasi standar dari WHO yaitu 0,0625, 0,125, 0,025 mg/l menunjukan

kematian jentik Aedes aegypti sebesar 100%, dan disimpulkan bahwa vektor Aedes aegypti

masih rentan terhadap temephos.8

Telah disampaikan bahwa penggunaan bubuk abate sangat baik dilakukan untuk

membunuh jentik-jentik nyamuk namun pertanyaan yang sering kali membuat banyak orang
ragu adalah apakah pemakaian abate pada air yang dikonsumsi aman bagi tubuh manusia. Hasil

uji klinis terhadap abate menunjukan bahwa: Senyawa ini tidak dapat diserap oleh tubuh dan

akan dikeluarkan melalui keringat ataupun urine. Pada penelitian yang dilakukan oleh sebuah

laboratorium di Amerika Serikat (AS) tahun 1967, tikus yang diberi makanan dengan campuran

abate setiap hari tidak mengalami gangguan klinis apapun. Di tahun yang sama, kelompok

peneliti yang lain juga melakukan percobaan terhadap beberapa sukarelawan. Selama beberapa

hari, 256 mg bubuk abate dicampurkan ke dalam makanan yang mereka konsumsi. Percobaan

ini pun tidak menunjukkan terjadinya gangguan klinis pada sukarelawan. Percobaan yang lebih

‘berani’ dilakukan pada 1968, di AS juga, dengan mencampurkan abate di bak persediaan air

penduduk sebanyak 1% dari total volume air. Di sini pun tidak ditemukan gangguan klinis

akibat konsumsi abate pada penduduk yang dimaksud.

Beberapa alasan mengapa abate dianggap aman bagi tubuh antara lain :

 Pada percobaan, seekor tikus jantan baru akan mati jika mengkonsumsi abate sebanyak

8, 6 gr abate/kg berat badan tubuhnya. Pada manusia yang mempunyai berat badan 10

kg (orang dewasa rata-rata 50 kg) mungkin baru akan meninggal jika mengkonsumsi

86 gr abate.

 Dosis abate yang dibutuhkan untuk membunuh jentik nyamuk dalam air minum adalah

10 gr untuk 100 liter air. Untuk mencapai kadar 86 gr abate, dibutuhkan 860 liter air.

Jadi, seorang manusia berberat badan 10 kg (balita) baru akan meninggal jika

mengkonsumsi sebanyak 860 liter air mengandung abate dengan dosis sesuai aturan

pakai.

 Dan untungnya lagi, tidak seperti DDT (dikloro difenil tetrakloroetana), abate tidak

terakumulasi di dalam tubuh.


Pemakaian abate yang aman adalah 1 gram untuk setiap 10 liter air. Sebenarnya setelah

ditaburkan, bubuk abate akan segera menempel di dinding penampung air, sehingga kadarnya

di dalam air minum lebih rendah dibanding di dinding penampung air. Daya tempelnya mampu

bertahan 2 sampai 3 bulan. Penaburan abate dapat diulangi setiap 2-3 bulan sekali. Abate

sebaiknya hanya diaplikasikan pada wadah penampungan air yang sulit dan jarang dikuras.

Pada penampungan air yang bisa dikuras sekali seminggu, tidak perlu diberi abate karena jentik

nyamuk juga keburu tewas saat pengurasan (perkembangan dari telur sampai nyamuk dewasa

butuh waktu sekitar 9 hari). Sebagaimana fungsinya, penggunaan abate ditujukan untuk

membunuh larva-larva nyamuk yang doyan dengan air bersih yang menggenang. Sebenarnya,

untuk membunuh larva-larva tersebut, tidak selalu harus menggunakan abate. Genangan-

genangan air sering ditemukan di botol-botol tanpa tutup, ban, kaleng, dan penampungan air.

Oleh karena itu, mencegah pertumbuhan larva-larva nyamuk dapat dilakukan dengan

mengubur ban, kaleng, serta botol-botol tanpa tutup. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan

menguras bak penampungan air secara teratur. Jika bak penampungan terbuat dari

keramik/plastik yang dikuras secara teratur, maka penggunaan bubuk abate tidak lagi

diperlukan karena pengurasan akan menghilangkan tujuan penggunaan bubuk abate. Apalagi,

dengan bak berbahan licin seperti itu, bubuk abate hanya akan mengendap di dasar bak. Lain

halnya jika bak penampungan terbuat dari permukaan yang kasar seperti semen. Penggunaan

bubuk abate sangat bermanfaat karena bubuk abate yang terlarut dalam air akan terperangkap

di pori-pori bak.

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD diutamakan pada pengendalian

vektor penular Aedes aegypti pada fase pradewasa (telur, larva/ jentik, pupa) maupun fase

dewasa (nyamuk dewasa). Pengendalian vektor penular Aedes aegypti ditujukan untuk

menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat

perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara
vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Pengendalian vektor dapat

dilakukan secara fisik, biologi dan kimia namun yang dilaksanakan selama ini adalah

Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) yaitu fisik, biologi dan kimia yang dilakukan secara

bersama-sama, dengan melibatkan berbagai sumber daya lintas program dan lintas sektor

termasuk masyarakat. (Kementerian Kesehatan RI, 2013).9

I. Kegiatan pokok pengendalian penyakit DBD meliputi:

a. Surveilans epidemiologi

Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun

pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor

risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta

surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change).

b. Penemuan dan tatalaksana kasus

Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan penderita di

Puskesmas dan Rumah Sakit.

c. Pengendalian vektor

Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada

fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan

antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan

kegiatan 3M Plus :

1) Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas

2) Secara kimiawi dengan larvasidasi

3) Secara biologis dengan pemberian ikan

4) Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa

dll)
Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara :

1) Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan dimonitor olah petugas

Puskesmas.

2) Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim penularan.

3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakan oleh petugas

Puskesmas.

4) Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada pimpinan wilayah pada

rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas Jentik

(ABJ).

d. Peningkatan peran serta masyarakat

Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi

kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi

(kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah). Berbagai upaya secara polotis telah

dilaksanakan seperti instruksi Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran Mendagri, Mendiknas,

serta terakhir pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu komitmen bersama pimpinan daerah

Gubernur dan Bupati/Walikota untuk pengenadalian DBD.

e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB

Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan

apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Upaya dilapangan

yaitu dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan penanggulangan

seperlunya

meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.

Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik penyediaan

tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam.

Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu.
f. Penyuluhan

Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan

leaflet atau poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku dalam

pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi setempat.

g. Kemitraan/jejaring kerja

Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan

saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah

terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan nama

Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan

jejaring kemitraan dalam pengendalian DBD.

h. Capacity building

Peningkatan kapasitas dari sumber daya baik manusia maupun sarana dan prasarana

sangat mendukung tercapainya target dan indikator dalam pengendalian DBD. Sehingga secara

rutin perlu diadakan sosialisasi/penyegaran/pelatihan kepada petugas dari tingkat kader,

Puskesmas sampai dengan pusat.

i. Penelitian dan survei

Penelitian dan upaya pengembangan kegiatan pengendalian tetap terus dilaksanakan

oleh berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM dll. Penelitian ini

menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan kasus, laboratorium, perilaku,

obat herbal dan saat ini sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD.

j. Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa

sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan pengendalian DBD.

Monitorng adalah kegiatan pengumpulan informasi selama pelaksanaan program, sehingga

dapat dilakukan penilaian dan identifikasi masalah dan upaya penyelesaian. Melalui kegiatan
monitoring akan tersedia data yang diperlukan untuk pengambiloan arah kebijakan

pengendalian demam berdarah.

Evaluasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang tepat tentang kemajuan

pelaksanaan program. Disamping itu evaluasi bertujuan untuk mengidentifikasi adanya

kebutuhan seperti SDM, biaya, logistik, peralatan, bahan KIE dan lain sebagainya.10
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes, RI, 2008, Modul Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dengan Pendekatan Komunikasi
Perubahan Prilaku, Jakarta, Dirjen PP & PL

2. Depkes, RI, 2010, Demam Derdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-2009,


Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2., Agustus 2010

3. Ginanjar, 2008, Demam Berdarah, a survival quide, Cet. 1., Yogyakarta, B. First (PT
Benteng Pustaka)

4. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-
2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Agustus 2010, 2: 1-14. Kementerian Kesehatan RI:
Jakarta

5. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara. 2016. Badan Metereologi Klimatologi &
Geofisika (BMKG)

6. Siregar, F.A., 2004, Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di


Indonesia, Digitized by USU Digital Library

7. Soegianto, 2004, Demam Berdarah Dengue, Cet. 1., Surabaya, Airlangga University Press

8. Suroso, 2004, Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue


(DBD) di Indonesia Saat Ini, Jakarta, FK, UI

9. Widiyono, 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya, Jakarta, Erlangga

10. Wulandari, L. et al, 2004, Demam Berdarah Dengue, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Depkes, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai