BAB II Penelitian
BAB II Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang cukup besar, karena dapat menimbulkan kematian dalam kurun waktu yang
singkat dan sering menimbulkan wabah. DBD adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang
ditandai demam 2-7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, penurunan trombosit
seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri dibelakang bola mata.
Penyakit DBD dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saai ini penyakit DBD
lebih banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya
Penyebab penyakit DBD adalah Arthrophod borne virus famili Flaviviridae, genus
Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang
terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan dengue type 3
merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat. (Fasiah A Siregar,
2004). Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas akan menyebabkan
dengan dengue klasik ialah tingginya permabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan dan menimbulkan dugaan bahwa renjatan
terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah dengue hingga
kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the secondary heterologous
infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan
dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun.
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita
dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi ananmestik yang akan terjardi
dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan
menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel
30% dan berlangsung selama 24 - 48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekwat
Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia
merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai
trombosit mulai menurun pada masa demamdan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya
tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit. Kelainan sistem koagulasi mempunyai
juga peranan sebagai sebab perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun
termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun.
fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem koagulasi. Pembekuan
intravaskuler menyeluruh (PIM) secara potensial dapat terjadi juga pada penderita DBD tanpa
atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan respon imun yang diketahui berperan dalam
patogenesis DBD adalah a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan
dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi
virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut Antibody Dependent Enhancement
(ADE); b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
17 gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c)
Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya
Diagnosa DBD ditegakkan jika ada 2 kriteria klinis ditambah dengan 2 kriteria
laboratoris. Kasus DBD yang menjadi lebih berat, menjadi kasus Dengue Shock Syndrome
(DSS).
Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang
paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti karena hidupnya
di dalam dan disekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga
lebih jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh
pelosok Indonesia, kecuali ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas
permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-
rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian
badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari
bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini
lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari
mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai
petang hari (16.00-17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali
untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif
sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam
atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan
biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses pematangan
perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi
Mekanisme penularan penyakit DBD, berawal dari masuknya virus Dengue sewaktu
nyamuk Aedes aegypti menggigit dan mengisap darah orang yang sakit Demam Berdarah
Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang
didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam
berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.
Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap
masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu
setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain
(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap virus dengue itu
menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk
menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya
(proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue
Orang yang kemasukan virus dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti
yang spesifik sesuai dengan type virus dengue yang masuk. Tanda atau gejala yang timbul
ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalarn
Tanda – tanda demam berdarah dengue ialah demarn mendadak selama 2-7 hari. Panas
dapat turun pada hari ke 3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 panas mendadak turun.
Tetapi apabila orang yang sebelumnya sudah pemah kemasukkan virus dengue, kemudian
memasukkan virus dengue dengan tipe lain maka orang tersebut dapat terserang penyakit
1. Demam
berlangsung 2 - 7 hari, kenudiml turun secara cepat. Demam secara mendadak disertai
gejala klinis yang tidak spesifik seperti: anorexia lemas, nyeri pada tulang, sendi,
2. Manipestasi Pendarahan.
Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3 setelah demam. Sebab
- Ptechiae
- Purpura
- Echymosis
- Perdarahan cunjunctiva
- Perdarahan gusi
toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah
Dengue.
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat pembesaran hati tidak
sejajar dengan berapa penyakit Pembesan hati mungkin berkaitan dengan strain
4. Renjatan (ShocK).
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit.
Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler
- Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg atau kurang).
Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya mempunyai kemungkinan yang
lebih buruk.
GejaJa lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit
F. Diagnosa DBD
a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7
b. Manitestasi Perdarahan
Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis
1. Derajat I (ringan).
Demam mendadak 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain, dengan manifestasi perdarahan dengan
2. Derajat II (sedang).
Penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan
Penderita dengan gejala syok / kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi
gelisah.
4. Derajat IV (berat).
Penderita syok berat dengan tensi yang tak dapat diukur dan nadi yang tak
dapat diraba.3
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan Oleh
satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes aegypti
dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di antaranya
Pada banyak daerah tropis dan subtropis, penyakit DBD adalah endemik yang
muncul sepanjang tahun, terutama Saat musim hujan ketika kondisi optimal untuk
nyamuk berkembang biak. Biasanya sejumlah besar orang akan terinfeksi dalam waktu
Keempat virus dengue menglnfeksl manusia di daerah Afrika dan Asia Tenggara sejak
100-800 tahun yang IaILL Virus dengue berkembang pesat pada parang dunia ke-2 dirnana
penyebaran nyamuk terjadi secara massal bersama dengan pengiriman barang yang berperan
Sebelum tahun 1970. hanya 9 negara yang mengalami wabah OBO, namun sekarang
menjadi penyakit endemik pada lebih dari IDO negara, di antaranya adalah Afrika,
Amerika, Mediterania Tirnur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, Amerika, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat memiliki angka tertinggi kasus DBD. Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara
dan Pasifik Barat telah melewati jota kasus di tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010
pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebany•ak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687
Saat ini bukan hanya terjadi peningkatan jumlah kasus OBO. tetapl penyebaran di luar
daerah tropis dan subtropis, contohnya di Eropa, transmisi 10kaI pertama kali dilaporkan di
Perancis dan Kroasia pada tahun 2010. Pada tahun 2012, terjadi lebih dari 2.000 kasus DBD
pada dari 10 negara dl Eropa. Setidaknya 500.000 penderita OBD memerlukan rawat inap
setiap tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian besar adalah anak-anak dan di antaranya
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan saiah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia, Seinng dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk, jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah. Di Indonesia,
demam berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak
58 orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia, dengan Angka Kematian (AK)
mencapai 41 Sejak Saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal durma. Jumlah tersebut lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan sebanyak 907
penderita meninggal dunia pada tahun 2014, Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan iklim
1. Persebaran Kasus
terakhir. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan kabupaten/kota dari
2 provinsi dan 2 kota, menjadi 34 provinsi dan 436 (85%) kabupaten/kota pada tahun
2015. Terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus
menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD
tersebut dapat disebebkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah
perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk dan factor
2. Incidence Rate
Incidence rate (IR) penyakit DBD dari tahun 1968-2015 cenderung terus
meningkat. Berdasarkan Gambar 1 dapat terlihat bahwa tiga puncak epidemic terjadi
setiap 10 tahunan, yaitu tahun 1988, 1998 dan 2007. Hal ini dapat terjadi karena adanya
perubahan curah hujan, suhu, kelembaban dana rah udara, sehingga berpengaruh
Perubahan iklim tersebut dapat mempengaruhi vector penyakit, seperti nyamuk Aedes,
Incidance Rate DBD berdasarkan provinsi pada tahun 2015, 3 provinsi tertinggi
adalah Provinsi Bali, yaitu 208,7 per 100.000 penduduk, Provinsi Kalimantan Timur,
yaitu 183,12 per 100.000 penduduk dan Provinsi Kalimantan Tenggara dengan IR
sebesar 120,08 per 100.000 penduduk. Sedangkan 3 dengan Incidance Rate terendah
adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 0,68 per 100.000 penduduk, Provinsi
Maluku sebesar 4,63 per 100.000 penduduk dan Provinsi Papua Bara sebesar 7,57 per
100.000 penduduk. 5
Gambar 2. Incidence Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun
2015
Tabel 2. Lima Provinsi Tertinggi Incidence Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk di
3. Angka Kematian
Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) DBD sangat tinggi, yaitu sebesar 41,4%
pada awal kasus DBD merebak di Indonesia. Namun, kemudian menurun menjadi 24% pada
tahun 1969 sampai sebesar 0,97% pada tahun 2015. Penurunan CFR tersebut dimungkinkan
karena tatalaksana penanganan kasus semakin baik dan kewaspadaan dini masyarakat
terhadap DBD semakin meningkat Penurunan CFR dari tahun 1968-2015 dapat dilihat pada
Gambar 4. Namun, bila dilihat dari jumlah absolut kematian, terlihat jumlah kematian
Tahun 2011-2015
Jumlah kasus KLB DBD yang dilaporkan meningkat dari 1.081 kasus pada tahun 2014
menjadi 8.030 kasus pada tahun 2015. Demikian juga dengan jumlah provinsi dan
kabupaten yang melaporkan KLB DBD dari tahun 2014-2015 meningkat, yaitu dari 5
provinsi dan 21 kabupaten pada tahun 2014 menjadi 7 provinsi dan 69 kabupaten pada tahun
2015. 4
Gambar 7. Kasus KLB DBD, Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2014-2015
Gambar 8. Jumlah Kematian dan CFR pada KLB DBD Tahun 2014-2015
Larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan jentik Aedes aegypti
adalah temephos. Temephos 1% (abate ISG) telah digunakan secara masal sejak tahun 1980
untuk program pemberantasan jentik Aedes aegypti. (Gafur A Mahrina dan Hardiansyah
(2006), seperti yang dikutip oleh Ary Oktsari, Damar Tri Boewono dan Retno Hestiningsih
(2011). Temephos merupakan larvasida yang paling luas digunakan karena dalam bentuk abate
IG (larvasida butiran) yang dapat mengendalikan populasi nyamuk secara efektif langsung
nyamuk dapat dikendalikan hingga 2 bulan, cepat menurunkan populasi nyamuk karena
langsung membasmi jentik sehingga lebih banyak yang dapat dibasmi sebelum menjadi dewasa
Penggunaanya juga praktis, cukup taburkan bubuk abate sesuai takaran ke seluruh tempat
peampungan air yang dicurigai sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk seperti bak
mandi, tampayan, vas bunga, tempat miunm burung, drum kosong yang menampung air hujan
dan sebagainya. 7
Penggunaan insektisida dalam waktu lama untuk sasaran yang sama memberiksn
tekanan seleksi yang mendorong berkembangnya populasi jentik Aedes aegypti menjadi
resisten lebih cepat (Polson, 2011). Namun demikian berdasarkan hasil penelitian tentang
Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga oleh Ary Oktsari, Damar Tri Boewono dan Retno
Hestiningsih (2011), menunjukan bahwa persentase kematian jentik Aedes aegypti dari
Kelurahan endemis, Kelurahan sporadis dan Kelurahan potensial terhadap temephos dengan
menggunakan konsentrasi standar dari WHO yaitu 0,0625, 0,125, 0,025 mg/l menunjukan
kematian jentik Aedes aegypti sebesar 100%, dan disimpulkan bahwa vektor Aedes aegypti
Telah disampaikan bahwa penggunaan bubuk abate sangat baik dilakukan untuk
membunuh jentik-jentik nyamuk namun pertanyaan yang sering kali membuat banyak orang
ragu adalah apakah pemakaian abate pada air yang dikonsumsi aman bagi tubuh manusia. Hasil
uji klinis terhadap abate menunjukan bahwa: Senyawa ini tidak dapat diserap oleh tubuh dan
akan dikeluarkan melalui keringat ataupun urine. Pada penelitian yang dilakukan oleh sebuah
laboratorium di Amerika Serikat (AS) tahun 1967, tikus yang diberi makanan dengan campuran
abate setiap hari tidak mengalami gangguan klinis apapun. Di tahun yang sama, kelompok
peneliti yang lain juga melakukan percobaan terhadap beberapa sukarelawan. Selama beberapa
hari, 256 mg bubuk abate dicampurkan ke dalam makanan yang mereka konsumsi. Percobaan
ini pun tidak menunjukkan terjadinya gangguan klinis pada sukarelawan. Percobaan yang lebih
‘berani’ dilakukan pada 1968, di AS juga, dengan mencampurkan abate di bak persediaan air
penduduk sebanyak 1% dari total volume air. Di sini pun tidak ditemukan gangguan klinis
Beberapa alasan mengapa abate dianggap aman bagi tubuh antara lain :
Pada percobaan, seekor tikus jantan baru akan mati jika mengkonsumsi abate sebanyak
8, 6 gr abate/kg berat badan tubuhnya. Pada manusia yang mempunyai berat badan 10
kg (orang dewasa rata-rata 50 kg) mungkin baru akan meninggal jika mengkonsumsi
86 gr abate.
Dosis abate yang dibutuhkan untuk membunuh jentik nyamuk dalam air minum adalah
10 gr untuk 100 liter air. Untuk mencapai kadar 86 gr abate, dibutuhkan 860 liter air.
Jadi, seorang manusia berberat badan 10 kg (balita) baru akan meninggal jika
mengkonsumsi sebanyak 860 liter air mengandung abate dengan dosis sesuai aturan
pakai.
Dan untungnya lagi, tidak seperti DDT (dikloro difenil tetrakloroetana), abate tidak
ditaburkan, bubuk abate akan segera menempel di dinding penampung air, sehingga kadarnya
di dalam air minum lebih rendah dibanding di dinding penampung air. Daya tempelnya mampu
bertahan 2 sampai 3 bulan. Penaburan abate dapat diulangi setiap 2-3 bulan sekali. Abate
sebaiknya hanya diaplikasikan pada wadah penampungan air yang sulit dan jarang dikuras.
Pada penampungan air yang bisa dikuras sekali seminggu, tidak perlu diberi abate karena jentik
nyamuk juga keburu tewas saat pengurasan (perkembangan dari telur sampai nyamuk dewasa
butuh waktu sekitar 9 hari). Sebagaimana fungsinya, penggunaan abate ditujukan untuk
membunuh larva-larva nyamuk yang doyan dengan air bersih yang menggenang. Sebenarnya,
untuk membunuh larva-larva tersebut, tidak selalu harus menggunakan abate. Genangan-
genangan air sering ditemukan di botol-botol tanpa tutup, ban, kaleng, dan penampungan air.
Oleh karena itu, mencegah pertumbuhan larva-larva nyamuk dapat dilakukan dengan
mengubur ban, kaleng, serta botol-botol tanpa tutup. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan
menguras bak penampungan air secara teratur. Jika bak penampungan terbuat dari
keramik/plastik yang dikuras secara teratur, maka penggunaan bubuk abate tidak lagi
diperlukan karena pengurasan akan menghilangkan tujuan penggunaan bubuk abate. Apalagi,
dengan bak berbahan licin seperti itu, bubuk abate hanya akan mengendap di dasar bak. Lain
halnya jika bak penampungan terbuat dari permukaan yang kasar seperti semen. Penggunaan
bubuk abate sangat bermanfaat karena bubuk abate yang terlarut dalam air akan terperangkap
di pori-pori bak.
vektor penular Aedes aegypti pada fase pradewasa (telur, larva/ jentik, pupa) maupun fase
dewasa (nyamuk dewasa). Pengendalian vektor penular Aedes aegypti ditujukan untuk
perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara
vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Pengendalian vektor dapat
dilakukan secara fisik, biologi dan kimia namun yang dilaksanakan selama ini adalah
Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) yaitu fisik, biologi dan kimia yang dilakukan secara
bersama-sama, dengan melibatkan berbagai sumber daya lintas program dan lintas sektor
a. Surveilans epidemiologi
Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun
pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor
risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta
Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan penderita di
c. Pengendalian vektor
Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada
fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan
antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan
kegiatan 3M Plus :
4) Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa
dll)
Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara :
1) Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan dimonitor olah petugas
Puskesmas.
2) Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim penularan.
3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakan oleh petugas
Puskesmas.
4) Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada pimpinan wilayah pada
rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas Jentik
(ABJ).
Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi
kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi
(kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah). Berbagai upaya secara polotis telah
serta terakhir pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu komitmen bersama pimpinan daerah
Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan
apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Upaya dilapangan
seperlunya
meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta larvasidasi.
Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik penyediaan
tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam.
Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi pasien tidak mampu.
f. Penyuluhan
g. Kemitraan/jejaring kerja
Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan
saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah
Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan
h. Capacity building
Peningkatan kapasitas dari sumber daya baik manusia maupun sarana dan prasarana
sangat mendukung tercapainya target dan indikator dalam pengendalian DBD. Sehingga secara
oleh berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM dll. Penelitian ini
menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan kasus, laboratorium, perilaku,
obat herbal dan saat ini sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD.
Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa
dapat dilakukan penilaian dan identifikasi masalah dan upaya penyelesaian. Melalui kegiatan
monitoring akan tersedia data yang diperlukan untuk pengambiloan arah kebijakan
kebutuhan seperti SDM, biaya, logistik, peralatan, bahan KIE dan lain sebagainya.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes, RI, 2008, Modul Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dengan Pendekatan Komunikasi
Perubahan Prilaku, Jakarta, Dirjen PP & PL
3. Ginanjar, 2008, Demam Berdarah, a survival quide, Cet. 1., Yogyakarta, B. First (PT
Benteng Pustaka)
4. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia Tahun 1968-
2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Agustus 2010, 2: 1-14. Kementerian Kesehatan RI:
Jakarta
5. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara. 2016. Badan Metereologi Klimatologi &
Geofisika (BMKG)
7. Soegianto, 2004, Demam Berdarah Dengue, Cet. 1., Surabaya, Airlangga University Press
10. Wulandari, L. et al, 2004, Demam Berdarah Dengue, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Depkes, Jakarta