Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Asfiksia
sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Klinik di Bagian/SMF Kedokteran
Forensik RSUP Dr. Kariadi/FK UNDIP Semarang.
Tujuan penulisan referat ini untuk memenuhi sebagian tugas dalam
menempuh Ujian Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Referat ini telah dibuat dengan pencarian melalui buku-buku rujukan dan
juga penelusuran situs medical serta telah mendapatkan beberapa bantuan dari
beberapa pihak untuk membantu dalam menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama proses mengerjakan referat ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini terutama dr. Santosa, Sp.Fselaku dokter penguji dan
juga dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH dan dr. Dadan Rusmanjaya sebagai
pembimbing refrat.

Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

Semarang, 2 Juli 2017

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 1


DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 3
1.1 Latar Belakang……………………………………………………….3
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………4
1.3 Tujuan………………………………………………………………...4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
2.1 Definisi Medikolegal………………………………………………...5
2.2 Hak dan Kewajiban Dokter…………………………………………..5
2.3 Standar Komptensi Dokter Umum dalam Bidang Forensik dan Medi
Kolegal……………………………………………………………….8
2.4 Peran Dokter Yang Berkaitan Dengan Pelayanan Forensik………..18
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………..30
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 31

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sebagai seorang dokter yang akan berkerja dalam masyarakat akan mendapat
pasien dengan berbagai masalah. Termasuk juga dokter akan berhadapan dengan kasus-
kasus yang berhubungan dengan tindakan pidana seperti kasus kecelakaan lalu lintas,
kasus pembunuhan, kasus tenggelam dan lain sebagainya. Maka peranan dokter umum
untuk membantu penyidik sangat diperlukan.
Sebagai dokter sudah kewajiban kita untuk memberi bantuan kepada penyidik
seperti yang tertulis dalam KUHAP pasal 133 ayat 1 yang berbunyi “ Dalam hal penyidik
untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mnegajukan permitaan keterangan ahli pada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan
atas ahli lainnya.“ Oleh karena itu dokter harus membantuk penyelidikan mengenai
tindakan yang dianggap tindak pidana.
Sebagai seorang dokter umum, tugas yang diemban untuk mambantu penyidik
adalah membuat Visum et repertum atas mayat ataupun atas orang hidup yang mengalami
tindakan pidana. Visum et Repertum (VER) ini sangat penting untuk mambantu
menemukan fakta-fakta dibalik kasus-kasus pidana. VER juga diakui secara hukum
sebagai alat bukti yang sah dalam peradilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya seorang
dokter umum mengetahui pembuatan VER ini.
Dokter umum juga berkewajiban menjadi saksi ahli dalam peradilan. Sebagai saksi
ahli seorang dokter harus bisa secara objektif mengungkapkan fakta-fakta yang dia
temukan dan menggunakan keahliannya untuk memeriksa korban. Saksi ahli juga
merupakan bukti yang sah dalam peradilan sehingga sangat perlu dihadirkan dalam
peradilan.

3
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan medikolegal ?
2. Apa peran dokter umum dalam bidang ilmi forensik dan medikolegal?
3. Apakah peraturan perundang undangan yang mengatur peran dokter dalam bidang
medikolegal?

1.3.Tujuan
1. Menjelaskan definisi medikolegal
2. Menjelaskan peran dokter umum dalam bidang ilmu forensik dan medikolegal
3. Menjelaskan peraturan perundang undangan yang mengatur peran dokter dalam
bidang medikolegal.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Medikolegal
Medikolegal secara harfiah berasal dari dua pengertian yaitu medik yang berarti
profesi dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan medikolegal adalah ilmu
hukum yang mengatur bagaimana profesi dokter ini dilakukan sehingga memenuhi
aturan-aturan hukum yang ada. Hal ini untuk mencegah penyelewengan pelaksanaan
profesional medis maupun mengantisipasi dengan berkembang serta lajunya ilmu-ilmu
kedokteran yang tentunya terdapat hal-hal yang rawan terhadap hukum.
Prosedur medikolegal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar
prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika
kedokteran.

Ruang lingkup prosedur medikolegal adalah pengadaan visum et repertum,


pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan ahli
di dalam persidangan, kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran, penerbitan
surat kematian dan surat keterangan medik dan kompetensi pasien untuk menghadapi
pemeriksaan penyidik.

2.2 Hak Dan Kewajiban Dokter


Di dalam profesi yang di embannya seorang dokter mempunyai hak dan
kewajiban. Adapun hak dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran adalah (Undang
– Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal (50) :

Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan


standar profesi dan standar prosedur operasional. Di dalam melaksanakan tugasnya

5
seorang dokter harus mendapatkan perlindungan hukum selama dalam menjalankan
profesinya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedural, dimana diwujudkan
dalam bentuk perlindungan hukum terhadap upaya medis yang dilakukan terhadap pasien
sepanjang memenuhi standar profesi dan prosedur operasional. Yang dimaksud standar
profesi adalah batasan kemampuan minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu
untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri.
Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi atau langkah –
langkah yang di bakukan untuk melakukan suatu proses kerja rutin tertentu, standar
prosedural memberikan langkah yang benar dan terbentuk berdasarkan atas konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur


operasional. Di dalam memberikan pelayanannya seorang dokter harus memberikan
pelayanan kepada pasien sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
yang telah di bakukan, adapun standar prosedur operasional seorang dokter sebelum
melakukan tindakan medis terhadap pasien adalah :

 Memberikan keterangan yang sebenar- benarnya tentang hasil diagnosa dan hasil
setelah di lakukanya suatu tindakan medis kepada pasien.
 Melakukan tindakan medis terhadap pasien sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.
 Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. Sebelum
di lakukannya suatu tindakan medis, seorang dokter harus mendiagnosa terlebih
dahulu kondisi pasien, kemudian baru mencari tindakan medis apa yang sesuai
dengan penyakit yang di derita pasien. Dalam mendiagnosa inilah pasien harus
memberikan keterangan yang jujur perihal seputar kondisi penyakitnya, dengan
demikian di harapkan dokter dapat dengan mudah memberikan terapi apa yang sesuai
dan cocok dengan penyakit yang di derita pasien.
 Menerima imbalan jasa. Seorang yang telah memberikan keahlian dan tenaganya
untuk keperluan orang lain, berhak untuk menerima upah. Demikian pula seorang

6
dokter, pertolongan dokter terutama di dasarkan pada peri kemanusiaan. Karena sifat
perbuatannya mulia, maka uang yang di terima tidak di beri nama upah atau gaji,
melainkan honorarium atau imbalan jasa. Besarnya tergantung kepada beberapa
faktor yaitu keadaan setempat, kemampuan penderita, lama dan sifatnya pertolongan
yang di berikan. Maka bila pelayanan medis telah di lakukan, dokter berhak menerima
honor sesuai dengan mutu pelayanan yang telah diberikan kepada pasien, ini
adalah wujud imbalan jasa dari pasien kepada dokter.

Dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban (Undang -Undang


No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal ( 51 ) :

Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien. Dokter dalam memberikan pelayanan medis
haruslah sesuai dengan standar profesi medis yang dimilikinya, artinya dokter dalam
memberikan pelayanan kesehatan harus senantiasa bertindak teliti dan seksama
dalam melakukantindakan medis kepada pasien.

Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu malakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan. Di dalam memberikan pelayanan medis, dokter harus mempunyai standar
minimal yang harus di kuasainya, apabila dalam memberikan pelayanan medis kepada
pasien dirasa tidak dapat atau tidakan mampu melaksanakannya sesuai dengan
kemampuan yang di miliki, maka seorang dokter wajib merujuk ke dokter lain yang lebih
mampu untuk menangani tindakan medis apa yang sesuai dengan kondisi pasien saat itu
demi terselamatkanya kondisi dan kesehatan pasien.

Melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, kecuali bila dia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Di dalam mengemban tugas,
seorang dokter dituntut untuk dapat mengamalkan kewajiban menolong pasien, bila
dipandang membutuhkan pertolongan, ini tidak hanya di lakukan dokter didalam

7
rumah sakit atau instansi di mana ia bekerja tetapi juga dilakukan di luar dari jam
kerja yang telah ditentukan tanpa membedakan pasien yang akan di tanganinya.

Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau


kedokteran gigi.Di dalam menjalankan profesi medis, seorang dokter diwajibkan
menambah ilmu pengetahuan agar lebih pandai dalam melakukan tindakan medis terhadap
pasien serta mengikuti perkembangan ilmu kedokteran agar terbuka wawasannya.

2.3 Standar Kompentensi Dokter Umum Dalam Bidang Forensik dan


Medikolegal
Pengertian Standar Kompetensi Dokter
Menurut SK Mendiknas No. 045/U/2002 kompetensi adalah ‘seperangkat
tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan
tertentu’.
Elemen-elemen kompetensi terdiri dari :
a. Landasan kepribadian
b. Penguasaan ilmu dan keterampilan
c. Kemampuan berkarya
d.Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan
keterampilan yang dikuasai
e. Pemahaman kaidah berkehidupan masyarakat sesuai dengan keahlian dalam
berkarya.

Epstein and Hundert (2002) memberikan definisi sebagai berikut : “Professional


competence is the habitual and judicious use of communication, knowledge, technical
skills, clinical reasoning, emotions, values, and reflection in daily practice to improve the
health of the individual patient and community”.

8
Carraccio, et.al. (2002) menyimpulkan bahwa : “Competency is a complex set of
behaviorsbehaviours built on the components of knowledge, skills, attitude and
competence as personal ability”.
Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa pengertian kompetensi dokter
lebih luas dari tujuan instruksional yang dibagi menjadi tiga ranah pendidikan, yaitu
pengetahuan, psikomotor dan afektif.
Dengan telah ditetapkannya keluaran dari program dokter di Indonesia berupa
standar kompetensi, maka kurikulum program studi pendidikan dokter perlu disesuaikan.
Model kurikulum yang sesuai adalah kurikulum berbasis kompetensi. Artinya
pengembangan kurikulum berangkat dari kompetensi yang harus dicapai mahasiswa.

2.3.1 Penjabaran Kompetensi Dokter di bidang Kedokteran Forensik


1. Area Komunikasi efektif 8
Seorang dokter dituntut mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan
non verbal dengan pasien (korban hidup) pada semua usia, anggota keluarga (pada korban
meninggal), masyarakat, kolega dan profesi lain.
Komunikasi antara dokter dan korban/pasien atau dengan keluarganya harus
dilakukan seefektif mungkin oleh dokter agar pasien atau keluarga pasien bersedia
dilakukan pemeriksaan walaupun secara hukum untuk pemeriksaan forensik dokter tidak
perlu izin keluarga melainkan kewajiban penyidik untuk memberitahu korban atau
keluarga korban (meninggal). Hal ini sesuai pasal 134 KUHAP.
Pasal 134 KUHAP
1. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menjelaskan dengan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukan pembedahan tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberi tahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang.

9
Ditinjau dari area komunikasi efektif di bidang kedokteran forensik, seorang
lulusan dokter harus mampu:
1. Berkomunikasi efektif dengan Korban atau dengan keluarga korban
 Berkomunikasi dengan korban serta anggota keluarganya, dengan cara memberi
penjelasan apa tujuan dilakukan pemeriksaan, cara dan prosedur pemeriksaan,
kemungkinan timbulnya rasa tidak nyaman saat dokter melakukan pemeriksaan,
dan informasi lainnya sesuai etika klinis.
 Bersambung rasa dengan korban dan keluarganya, seorang dokter saat melakukan
pemeriksaan forensik harus menunjukkan rasa simpati dengan kejadian yang
meninpa korban, menunjukkan rasa empati dan dapat dipercaya.
 Memberikan situasi yang nyaman bagi korban dengan menjaga privasi pasien,
 Aktif dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberi waktu yang cukup
pada pasien untuk menyampaikan keluhannya dan menggali permasalahan pasien
serta kronologis kejadiaan.
2. Berkomunikasi dengan sejawat
 Memberi informasi yang tepat kepada sejawat tentang kondisi pasien baik secara
lisan, tertulis, atau elektronik pada saat yang diperlukan demi kepentingan pasien
maupun ilmu kedokteran.
 Menulis surat rujukan dan laporan penanganan pasien dengan benar, demi
kepentingan pasien maupun ilmu kedokteran. Seorang dokter umum harus
merujuk korban apabila apa yang dimintakan penyidik bukan kompetensi dokter
umum. Misalnya, identifikasi tulang, identifikasi gigi (odontologi), pemeriksaan
DNA, dan lain-lain.
 Melakukan presentasi laporan kasus secara efektif dan jelas, demi kepentingan
pasien maupun ilmu kedokteran.
3. Berkomunikasi dengan masyarakat
 Menggunakan bahasa yang dipahami oleh masyarakat, menggali masalah
kronologis kejadian menurut persepsi masyarakat.

10
 Menggunakan teknik komunikasi langsung yang efektif agar masyarakat
memahami bahwa pemeriksaan forensik demi penegakan keadilan sebagai hak
asasi manusia.
 Melibatkan tokoh masyarakat dalam mempromosikan kesehatan secara
professional.
4. Berkomunikasi dengan profesi lain
 Mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberi waktu cukup kepada profesi
lain untuk menyampaikan pendapatnya. Memberi informasi yang tepat waktu dan
sesuai kondisi yang sebenarnya ke perusahaan jasa asuransi kesehatan untuk
pemprosesan klaim demi kepentingan hukum.
 Memberikan informasi yang relevan kepada penegak hukum atau sebagai saksi
ahli di pengadilan (jika diperlukan), termasuk pembuatan visum et repertum atas
permintaan penyidik, pemeriksaan korban mati mendadak, tanda-tanda kematiaan
dan lain sebagainya.
 Melakukan negosiasi dengan pihak terkait dalam rangka pemecahan masalah yang
harus dipecahkan secara hukum.

2. Area Keterampilan Klinis


Seorang dokter umum harus mampu melakukan prosedur pemeriksaan forensik
klinis sesuai masalah, kebutuhan korban dan sesuai kewenangannya,.Kaitannya dengan
kedokteran forensik adalah seorang dokter umum harus mampu:
 Memeriksa dan membuat Visum et Repertum korban luka karena kecelakaan lalu
lintas.
 Memeriksa dan membuat Visum et Repertum luka karena penganiayaan.
 Memeriksa dan membuat Visum et Repertum Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
 Melakukan pemeriksaan luar korban meninggal. Pemeriksaan luar meliputi
pemeriksaan label, benda di samping mayat, pakaian, ciri identitas fisik, ciri
tanatologis, perlukaan dan patah tulang.

11
 Dokter berperan dalam memberikan keterangan ahli, sebagai saksi ahli pemeriksa
, menjelaskan visum et repertum, menjelaskan kaitan temuan VeR dengan temuan
ilmiah alat bukti sah lainnya. Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu
yang belum jelas dari sisi ilmiah. (Pasal 224 KUHP)

Hukum dengan tegas memberikan wewenang “utama” pemeriksaan forensik


kepada dokter forensik. Namum, karena ketidaktersediaan dokter forensik hukum
memberi peluang kepada dokter (umum dan spesialis apasaja) sebagai pemeriksa, hal ini
merujuk pada pasal 133 KUHAP.
Pasal 133 KUHAP:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara
tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu
jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Kurikulum pendidikan profesi dokter mengharuskan seorang dokter umum pada


waktu pendidikan harus mempelajari patologi forensik dan forensik klinik, maka dokter
umum berwenang melakukan pemeriksaan forensik.

Keterampilan Dokter di Bidang Forensik


Menurut Standar Kompetensi Dokter keterampilan adalah kegiatan mental dan
atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling
bergantung dari awal hingga akhir. Dalam melaksanakan praktik dokter di bidang

12
forensik, lulusan dokter perlu menguasai keterampilan klinis yang akan digunakan dalam
mendiagnosis, menjawab permintaan Visum et Repertum, maupun menjelaskan suatu
perkara hukum menurut keahliannya di bidang kedokteran. Keterampilan ini perlu
dilatihkan sejak awal pendidikan dokter secara berkesinambungan hingga akhir
pendidikan dokter.
Berikut ini pembagian tingkat kemampuan menurut Piramid Miller
1. Tingkat kemampuan 1
Mengetahui dan Menjelaskan
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini, sehingga
dapat menjelaskan kepada teman sejawat, pasien maupun klien tentang konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, serta cara melakukan, komplikasi yang timbul, dan
sebagainya. Contoh keterampilan ini adalah Pemeriksaan DNA untuk identifikasi.
2. Tingkat kemampuan 2
Pernah Melihat atau pernah didemonstrasikan
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik
konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya).
Selain itu, selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan
keterampilan ini. Contohnya autopsi, exhumasi, identifikasi tulang dan gigi.
3. Tingkat kemampuan 3
Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah supervisi
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik
konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya).
Selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini,
dan pernah menerapkan keterampilan ini beberapa kali di bawah supervisi.
Contohnya: Pemeriksaan luar Jenazah, termasuk label mayat, sebab-sebab kematian,
tanatologi,menentukan lama kematian dan lain sebgainya.
4. Tingkat kemampuan 4
Mampu melakukan secara mandiri
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik
konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya).

13
Selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan ketrampilan ini, dan
pernah menerapkan keterampilan ini beberapa kali di bawah supervisi serta memiliki
pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks
praktik dokter secara mandiri. Contohnya dokter harus mampu memeriksa korban
hidup dan membuat Visum et Repertum korban kecelakaan lalu lintas penganiyaan,
kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya.

3. Area Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran


Dokter umum harus mampu mengidentifikasi, menjelaskan dan merancang
penyelesaian masalah kesehatan dan hukum secara ilmiah menurut ilmu kedokteran
kesehatan mutakhir untuk mendapat hasil yang optimum dan dalam upaya maksimal
menghadirkan keadilan seobyektif mungkin.
Kemampuan lulusan dokter
Ditinjau dari segi landasan ilmiah seorang dokter dituntut mampu:
1. Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku,
dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer
·prinsip-prinsip ilmu kedokteran dasar yang berhubungan dengan terjadinya
masalah hukum sesuai pandangan ilmu kesehatan, beserta patogenesis dan
patofisiologinya.
2. Menjelaskan kaitan masalah hukum dan temuan pemeriksaan forensik baik secara
molecular maupun selular melalui pemahaman mekanisme normal dalam tubuh.
3. Menjelaskan faktor-faktor non biologis yang berpengaruh terhadap masalah
hukum dan kesehatan.
4. Menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam jenis pemeriksaan
forensik.
5. Menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan kaitan temuan
pemeriksaan forensik dengan kasus yang diusut penyidik baik peran dokter
sebagai ahli, atau melakukan pemeriksaan dan memberi keterangan tertulis.

4.Area Pengelolaan Masalah Kedokteran dan Hukum

14
Dokter harus mampu mengelola masalah-masalah yang sering ditemukan dalam
ilmu kedokteran forensik secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif,
dan kolaboratif dalam konteks memberikan pelayanan bantuan hukum terbaik kepada
masyarakat.
Dilihat dari segi pengelolaan masalah kedokteran dan hukum maka lulusan dokter
diharapkan mampu:
1. Menginterpretasi data klinis dan temuan hasil pemeriksaan forensik untuk
merumuskannya menjadi bukti sah penegakan hukum.
2. Menjelaskan penyebab, patogenesis, patofisiologi, dan perubahan-perubahan
klinis yang didapatkan dari korban suatu pelanggaran hukum.
3. Mengidentifikasi berbagai pilihan pengelolaan korban sesuai kondisi korban atau
penanganan lanjutan terhadap korban.
4. Melakukan konsultasi mengenai korban bila diperlukan, contohnya pada
pemeriksaan korban pemerkosaan bisa meminta konsultasi dokter ahli kandungan.
5. Merujuk ke sejawat lain sesuai dengan Standar Pelayanan Medis yang berlaku,
tanpa atau sesudah pemeriksaan.
6. Mengidentifikasi keluarga, lingkungan sosial sebagai faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit serta sebagai faktor yang mungkin berpengaruh
terhadap perubahan kondisi korban.
7. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran
hukum dan memotivasi masyarakat agar tidak keberatan dilakukan pemeriksaan
forensik pada diri maupun keluarganya demi penegakan hukum dan keadilan.
8. Mengenali keterkaitan yang kompleks antara faktor psikologis, kultur, sosial,
ekonomi, kebijakan, dan faktor lingkungan yang berpengaruh pada suatu masalah
kesehatan yang melibatkan korban dalam masalah hukum.
9. Mengelola sumber daya manusia dan sarana – prasarana secara efektif dan efisien
dalam pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan kedokteran forensik.
10. Menjalankan fungsi managerial (berperan sebagai pemimpin, pemberi informasi,
dan pengambil keputusan) dalam upaya memberikan pelayanan terbaik dalam
masalah hukum.

15
5. Area Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien
Di dalam praktik kedokteran seorang dokter mempunyai kewajiban antara lain:
 Berperilaku professional dan mendukung kebijakan kesehatan.
 Bermoral dan beretika serta memahami isu-isu etik maupun aspek medikolegal
dalam praktik kedokteran.
 Menerapkan program keselamatan pasien/korban.
Ditinjau dari segi etika, moral, medikolegal, dan Professionalisme serta keselamatan
pasien/korban seorang lulusan Dokter diharapkan mampu:
1. Memiliki Sikap profesional
 Menunjukkan sikap yang sesuai dengan Kode Etik Dokter Indonesia.
 Menjaga kerahasiaan dan kepercayaan pasien.
 Menunjukkan kepercayaan dan saling menghormati dalam hubungan dokter
pasien.
 Menunjukkan rasa empati dengan pendekatan yang menyeluruh.
 Mempertimbangkan masalah pembiayaan dan hambatan lain dalam
memberikan pelayanan kesehatan serta dampaknya.
 Mempertimbangkan aspek etis dalam penanganan pasien sesuai standar
profesi.
 Mengenal alternatif dalam menghadapi pilihan etik yang sulit.
 Menganalisis secara sistematik dan mempertahankan pilihan etik dalam
pemeriksaan/pengobatan setiap individu pasien/korban.
2. Berperilaku profesional dalam bekerja sama
 Menghormati setiap orang tanpa membedakan status social.
 Menunjukkan pengakuan bahwa tiap individu mempunyai kontribusi dan
peran yang berharga, tanpa memandang status sosial.
 Berperan serta dalam kegiatan yang memerlukan kerja sama dengan para
petugas kesehatan lainnya.
 Mengenali dan berusaha menjadi penengah ketika terjadi konflik.
 Memberikan tanggapan secara konstruktif terhadap masukan dari orang lain.

16
 Mempertimbangkan aspek etis dan moral dalam hubungan dengan petugas
kesehatan lain, serta bertindak secara professional.
 Mengenali dan bertindak sewajarnya saat kolega melakukan suatu tindakan
yang tidak professional.
3. Berperan sebagai anggota Tim Pelayanan Kesehatan yang Profesional dalam
masalah pasien dan menerapkan nilai-nilai profesionalisme
 Bekerja dalam berbagai tim pelayanan kesehatan secara efektif
 Menghargai peran dan pendapat berbagai profesi kesehatan
 Berperan sebagai manager baik dalam praktik pribadi maupun dalam sistem
pelayanan kesehatan.
 Menyadari profesi medis yang mempunyai peran di masyarakat dan dapat
melakukan suatu perubahan.
 Mampu mengatasi perilaku yang tidak profesional dari anggota tim pelayanan
kesehatan lain.
 Melakukan praktik kedokteran dalam masyarakat multikultural di Indonesia.
 Menghargai perbedaan karakter individu, gaya hidup, dan budaya dari pasien
dan sejawat.
 Memahami heterogenitas persepsi yang berkaitan dengan usia, gender,
orientasi seksual, etnis, kecacatan dan status sosial ekonomi.

6. Aspek Medikolegal dalam praktik kedokteran Forensik


Dokter diwajibkan memahami dan menerima tanggung jawab hukum berkaitan dengan :
1. Hak asasi manusia
2. Penyalahgunaan tindakan fisik dan seksual
3. Kode Etik Kedokteran Indonesia
4. Pembuatan surat keterangan sehat, sakit, Visum et Repertum atau surat kematian.
Proses di pengadilan, dokter berperan memberikan keterangan ahli, sebagai saksi ahli
pemeriksa, menjelaskan visum et repertum, menjelaskan kaitan temuan VeR dengan
temuan ilmiah alat bukti sah lainnya. Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu
yang belum jelas dari sisi ilmiah.

17
1. Memahami UU RI No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
2. Memahami peran Konsil Kedokteran Indonesia sebagai badan yang mengatur
praktik kedokteran.
3. Menentukan, menyatakan dan menganalisis segi etika dalam kebijakan kesehatan.
2.4 Peran Dokter yang Berkaitan Dengan Pelayanan Forensik
Ruang lingkup ilmu kedokteran forensik berkembang dari waktu ke waktu. Pada
mulanya hanya pada kematian korban kejahatan, kematian yang tidak terduga, mayat tidak
dikenal hingga kejahatan korban yang masih hidup, bahkan pemeriksaan kerangka atau
bagian dari tubuh manusia.1-3 Jenis perkaranyapun semakin meluas dari pembunuhan,
penganiayaan, kejahatan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, child abuseand neglect,
perselisihan pada perceraian, ragu ayah (dispute paternity) hingga ke pelanggaran hak
asasi manusia.

Bentuk ekspertise dari dokter forensik saat ini, tidak hanya terbatas pada hasil
visum et repertum, akan tetapi juga pengeluaran surat keterangan kematian dan pengisian
asuransi. Dimana semua surat keterangan yang dikeluarkan tersebut mempunyai aspek
medikolegal.

Dalam penanganan medis korban yang masih hidup ataupun korban yang sudah
meninggal mungkin saja akan melibatkan berbagai dokter dengan keahlian klinis yang
tidak hanya dokter spesialis forensik, akan tetapi juga melibatkan dokter klinisi lain dan
yang tidak kalah pentingnya adalah dokter umum yang ada di Instalasi Gawat Darurat.

Siapapun dokter yang terlibat dalam penanganan korban tindak pidana, haruslah
memakai ilmu kedokteran forensik, yang memegang prinsip pengumpulan barang bukti
yang sebanyak – banyaknya. Dokter diharap-kan memberikan keterangan tentang luka
atau cedera yang dialami korban, penyebab luka, dan seberapa parah luka tersebut
mempengaruhi kesehatan korban (derajat luka atau kwalifikasi luka).

Adapun beberapa peran dari dokter yang sering terkait dengan pelayanan forensik adalah

1. Peran dokter dalam memeriksa korban tindak pidana hidup.

18
2. Peran dokter dalam pemeriksaan jenazah.

3. Peran dokter dalam menangani kasus DOA.

4. Tatacara pengeluaran surat keterangan kematian.

5. Peran dokter sebagai saksi ahli.

Peran Dokter Dalam Memeriksa Korban Tindak Pindana Hidup

Beban/kewajiban untuk membuat visum et repertum atas seorang korban tindak


pidana tidak bisa terlepas dari praktek sehari – hari. Dalam penyidikan untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang
penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179
KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaikbaiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan.

Pasal 179
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi saksi yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya
menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal 180

1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta
agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.

19
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2)
4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh
instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang
mempunyai wewenang untuk itu.

Ketentuan tentang bantuan dokter untuk kepentingan peradilan didalam KUHAP


tercantum didalam pasal 133 dan 179 dan 180. Seorang dokter jika dimintakan kepadanya
untuk membutkan visum et repertum, maka secara hukum dokter wajib melakukan dan
tidak ada alasan untuk menolak.
Menurut pasal 133 KUHAP permintaan visum et repertum merupakan wewenang
penyidik, resmi dan harus tertulis, visum et repertum dilakukan terhadap korban bukan
tersangka dan ada indikasi dugaan akibat peristiwa pidana. Bila pemeriksaan terhadap
mayat maka permintaan visum disertai identitas label pada bagian badan mayat, harus
jelas pemeriksaan yang diminta, dan visum tersebut ditujukan kepada ahli kedokteran
forensik atau kepada dokter di rumah sakit.

Sanksi Hukum bila Menolak membuat visum telah diatur dalam pasal 216 dan 222 KUHP
yang berbunyi:

Pasal 216 KUHP

Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yag diberi kuasa untuk mengusut atau
memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam
dengan pidana penjara selama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak
Sembilan Ribu Rupiah.

Pasal 222 KUHP

20
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara palling lama
Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Empat Ribu Lima Ratus Rupiah.

Pasien yang termasuk kedalam lingkup pelayanan forensik klinik adalah pasien
datang dengan surat permintaan visum, pasien korban tindak pidana penganiayaan, pasien
korban kecelakaan lalu lintas, pasien dengan luka yang tidak jelas penyebabnya, pasien
korban kekerasan seksual, pasien korban kecarunan/peracunan, pasien datang dengan
surat permintaan visum. Jika pasien yang diperiksa termasuk ke dalam salah satu kriteria
diatas, maka dokter mestinya sudah siap dengan pencatatan luka/cedera yang lengkap.
Dokter baru akan mengelurkan hasil visum et repertum jika ada permintaan tertulis dari
penyidik yaitu berupa surat permintaan visum (SPV). Pada praktek sehari – hari sering
SPV datang belakangan. Untuk beberapa hal ini bisa dimaklumi, mungkin dengan alasan
kondisi korban yang tidak memungkinkan untuk lapor ke polisi, kantor polisi yang jauh
atau tidak mengerti tatacara pelaporan ke polisi. Sehingga yang sering terjadi adalah
korban tindak pidana dengan surat permintaan visum yang datang terlambat, dokter
kesulitan dalam membuatkan visum karena luka sudah di rawat dan tidak ingat lagi
deskripsi luka pada saat pertama kali pasien datang, sehingga barang bukti menjadi tidak
asli/ hilang.

Beberapa hal yang akan dituangkan dalam visum et repertum korban hidup adalah :
1. Kronologis kejadian
2. Keadaan umum pasien
3. Luka/cedera yang ditemukan
4. Tindakan yang dilakukan terhadap pasien
5. Keadaan sewaktu dalam perawatan dan keadaan waktu pulang
6. Pada kesimpulan harus dijelaskan luka/cedera, kekerasan penyebab dan
derajat/kwalifikasi luka.

Penandatanganan visum et repertum dilakukan oleh dokter yang memeriksa. Jika


yang memeriksa korban hanya satu orang dokter, penandatanagan tidak menjadi masalah.

21
Permasalahan akan muncul jika, korban ditangani oleh beberapa orang dokter,untuk kasus
seperti ini tidak ada ketentuan tentang siapa yang seharusnya menandatangai, bisa dokter
di IGD atau dokter yang merawat atau semua dokter yang terlibat. Ketentuan siapa yang
harus menandatangani harus disepakati oleh rumah sakit masing – masing. Untuk rumah
sakit yang ada dokter spesialis forensik, biasanya pengeluaran visum et repertum,
ditandatangan oleh dokter spesialis forensik jika dia yang memeriksa, akan tetapi jika
bukan dokter forensik yang memeriksa, dan untuk meningkatkan nilai dari visum et
repertum, maka dokter spesialis forensik ikut menandatangani sebagai yang mengetahui.

Peran Dokter Dalam Pemeriksaan Korban Tindak Pidana Mati


Pemeriksaan korban tindak pidana yang sudah meninggal, permintaan visum
biasanya meliputi dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam
(otopsi). Dokter umum, sebenarnya tidak dibebankan untuk bisa melakukan pemeriksaan
dalam, kalau masih memungkinkan untuk mendatangkan dokter spesialis forensik.
Sedangkan untuk pemeriksaan luar jenazah merupakan kompetensi dokter umum untuk
melakukannya. Tatacara pemeriksaan dan pencatatan dalam visum et repertum adalah
memeriksa semua bagian tubuh jenazah dengan mencatat ke dalam formulir laporan
obduksi. Prinsipnya tidak ada satu bagian tubuhpun yang luput dari pemeriksaan. Pada
bagian kesimpulan dokter hanya menulis luka yang ditemukan, kekerasan penyebab dan
cara kematian. Sebab mati bukan kewenangan dokter untuk menyatakan dalam visum et
repertum.

Peran Dokter dalam Penanganan Kasus Death On Arrival


DOA (Death on Arrival) adalah merupakan keadaan dimana pasien atau korban
ditemukan dalam keadaan sudah meninggal ditempat pelayanan. Biasanya kasus DOA
masuk ke IGD suatu rumah sakit. Jika dokter menemukan kasus DOA, yang harus
dilakukan adalah memeriksa pasien, melihat ada tanda kekerasan/ kemungkinan kasus
tindak pidana dan sebelumnya sudah melakukan wawancara dengan pengantar mengenai
kondisi terakhir jenazah dan kronologis kejadian. Jika ditemukan/dicurigai suatu tindak
pidana atas kematian korban, maka dokter menganjurkan pengantar atau petugas rumah

22
sakit untuk melapor ke polisi di wilayah tempat kejadian perkara. Selanjutnya jenazah
ditahan di rumah sakit sampai penyidik memutuskan untuk tindakan forensik selanjutnya.
Sedangkan jika dalam pemeriksaan dan wawancara dengan pengantar, disimpulkan
kematian wajar maka jenazah boleh dibawa pulang. Untuk kasus DOA, prinsip utama
yang harus diperhatikan dokter adalah memperkirakan cara kematian korban, apakah
wajar atau tidak wajar guna penatalaksanaan selanjutnya.

Tatacara Pengeluaran Surat Kematian


Surat keterangan kematian termasuk kedalam salah satu dari sekian banyak surat
keterangan yang dikeluarkan oleh dokter. Surat keterangan dokter adalah keterangan
tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit
pasien, atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan persetujuan
pasien atau atas perintah undang – undang.
Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa seseorang sudah
meninggal. Surat keterangan kematian dibuat atas dasar pemeriksaan jenazah, minimal
pemeriksaan luar. Dalam hal kematian berkaitan dengan tindak pidana tertentu, pastikan
bahwa prosedur hukum telah dilakukan sebelum dikeluarkan surat keterangan kematian.
Surat keterangan kematian tidak boleh atas seseorang yang mati diduga akibat
suatu peristiwa pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forenik terlebih dahulu. Pembuatan
surat keterangan kematian harus dibuat secara hati-hati, mengingat aspek hukum yang
luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil, warisan, santunan asuransi, hingga
adanya kemugkinan pidana sebagai penyebab kematian.(2)
Surat keterangan kematian minimal berisi, identitas korban, tanggal kematian,
jenis pemeriksaan, sebab kematian. Pada rumah sakit yang sudah ada dokter spesialis
forensik dan sistem pengeluaran jenazah satu pintu ke Bagian forensik, maka surat
keterangan kematian untuk seluruh mayat yang meninggal di rumah sakit dikeluarkan oleh
dokter spesialis forensik. Jika kematian korban akibat suatu tindak pidana, maka surat
keterangan kematian boleh dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan forensik terhadap
jenazah.

23
Peran Dokter Sebagai Saksi Ahli

Dalam hal hakim ingin memperoleh kejelasan mengenai suatu peristiwa, kecuali
diperoleh dari saksi atau alat bukti lainnya, hakim juga memperolehnya dari ahli yang di
pengadilan sering disebut sebagai saksi ahli. Hal tersebut dapat terjadi misalnya dalam
suatu pemeriksaan perkara mengenai fakta hukum yang untuk peninjauan atau
pengamatannya diperlukan suatu keahlian khusus dimana hakim biasanya tidak
menguasai atau mengetahui atau kurang yakin terhadap masalah tersebut, maka hakim
memerlukan penerangan tau penjelasan dari orang-orang yang berdasar pengetahuan dari
pekerjaan atau profesinya dapat dianggap tahu mengenai masalah-masalah demikian itu.
Disamping itu, dalam pemeriksaan nyata hakim dapat menunjuk orang yang
dianggap lebih tahu daripada dirinya, orang tersebut tidak dapat dikatakan ahli melainkan
terampil atau dapat dianggap mengetahui suatu pengetahuan profesional.
Ahli adalah juga merupakan saksi, hanya bedanya jika saksi bisa memberikan
kesaksian berdasar apa yang dilihat, didengar, atau dilami sendiri, maka keterangan ahli
diberikan berdasarkan keahlian atau pengetahuan berdasar profesi yang dimiliknya.
Dalam hal barang bukti itu berupa jenazah, orang hidup, bagian tubuh manusia,
atau sesuatu yang berasal dari tubuh manusia maka ahli yang tepat adalah dokter, karena
dokter menguasai ilmu anatomi, fisiologi, biologi, biokimiawi, patologi, psikiatri, dan
dapat melakukan berbagai macam pemeriksaan forensik.
Yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang
objektif dengan tujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan perkara guna
menambah pengetahuan hakim sendiri mengenai perkara yang sedang diperiksanya. Pasal
251 menentukan:
1. Hakim atas jabatan atau atas permintaan pihak dengan putusan dapat
memerintahkan supaya seorang ahli mengadakan penelitian atau pemeriksan
mengenai suatu masalah.
2. Putusan ini berisi:
a. Penunjukkan tiga orang ahli (ayat 3) dimana para pihak dapat mengusulkan
hanya satu ahli saja.

24
b. Siapa yang menjadi saksi ahli terserah para pihak, jika tidak ada persesuaian
diantara mereka, maka hakim yang akan memutuskannya (pasal 216 RV)
c. Objek aatau sasaran apa yang akan diteliti atau diamati harus diterangkan ssecara
jelas.
d. Ketentuan hari dan tanggal sidang dimana ahli akan memberikan laporannya baik
secar tertulis maupun secara lisan.

Beberapa alasan yang sah menurut undang-undang bahwa yang bersangkutan


boleh mengundurkan diri atau tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi ahli
adalah:

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu
atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan
anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.

Perbandingan hakim dalam mengizinkan kesaksian ahli ini ialah pembuktian


fakta-fakta yang bersangkutan adalah berkaitan dengan permasalahan, menentukan dan
dapat dipakai untuk memutuskan perkara. Apabila hakim merasa bahwa ia sendiri dapat
mengetahui, meskipun harus dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal yang
dihadapinya itu, maka hakim tidak akan memerintahkan expertise.
Laporan ahli ini disampaikan secara tertulis disertai dengan pertimbangan-
pertimbangannya. Namun demikian hak ini dapat juga memanggil ahli untuk memberikan
keterangan secara lisan. Apabila keterangan ahli diberikan secara tertulis yang disebut
Visum et Repertum (dimana ahli sendiri tidak datang), maka hakim diberi wewenang
untuk memanggil ahli yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan secara lisan
menegenai laporannya itu. Apabila keterangan ahli diberikan secara lisan, maka hal ini
akan dicatat (dituangkan dalam tulisan). Apabila hakim setuju dengan pendapat yang

25
diberikan oleh ahli, maka dalam putusan dinyatakan bahwa pendapat ahli itu dianggap
sebagai pendapat hakim sendiri.

Cara Kerja Ahli


Apabila hakim memerintahkan seorang ahli memberikan keterangan atau
kesaksiannya, maka setelah disumpah atau dengan mengingat sumpah jabatannya ahli
menerangkan pendapatnya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya
berdasar atas pengamatan atau pemeriksaan sendiri atas obyeknya, atau berdasar
pandangan atau pendapat ilmiahnya sendiri. Ini berarti bahawa seorang ahli tidak boleh
mendasarkan pendapat teknis ilmiahnya berdasar keterangan orang lain meskipun orang
lain ini menjadi saksi biasa dalam pemeriksaan perkara itu.
Sifat Pemeriksaan Ahli:
1. Merupakan insiden, jika dalam suatu pemeriksaan perkara hakim menganggap
perlu adanya ketereangan ahli.
2. Kemungkinan lain, undang-undang menetukan adanya pemeriksaan oleh ahli guna
mendapat alat bukti tertentu.

Kedudukan dokter dalam pengadilan dapat sebagai:

 Saksi mata atau saksi biasa (melihat atau mendengar peristiwa tersebut RIB pasal
286)
 Saksi ahli, dimana dokter lulusan Indonesia sebagai ahli tidak perlu disumpah lagi
(LN No.350 tahun 1937). Ada beberapa situasi dimana dokter tidak diperkenankan
untuk memberikan kesaksian (HR 274).

a. Bantuan dokter di tingkat penyelidikan


Dokter dapat dimintai bantuannya dalam kapasitasnya sebagai ahli, dengan tujua
utamanya adalah untuk menentukan fakta-fakta medik yang dapat untuk menentukan
peristiwa itu merupakan tindak pidana atau bukan. Bantuan tersebut dapat berupa
pemeriksaan jenazah di TKP atau Rumah Sakit. Untuk mnentukan car kematian, yang

26
dapat dilakukan dokter adalah memeriksa kondisi jenazah dan kondisi sekitarnya jika
dokter diajak ke TKP.
b. Bantuan dokter di tingkat penyidikan
Tindakan penyidikan dilakukan setelah penyelidikan menghasilkan kesimpulan
bahwa peristiwa tersebut merupakan peristiwa pidana. Tujuan adalah mengumpulkan
barang bukti supaya dengan bukti itu perkaranya menjadi jelas dan pelakunya dapat
ditangkap. Jelas artinya mengetahui identitas korban, proses kejadian dan identitas
pelakunya dikenali. Untuk itu, bantuan dokter diperlukan untuk memberikan
keterangan tentang:
a. Keterangan tentang suatu obyek
1. Obyek tersangka/terdakwa
a. Tersangka/tedakwa yang diduga menderita kelainan jiwa yang tidak
mampu bertanggung jawab atas perbuatannya membutuhkan dokter untuk
membuktikan betul menderita gangguan jiwa atau tidak, jenis gangguan
jiwa, apakah jenis gangguan tersebut menyebabkan ketidakmampuan
bertanggung jawab.
b. Menentukan apakah tersangka/terdakwa dewasa/anak karena
perlakuannya berbeda.
c. Tersanga/terdakwa tindak pidana seksual yang mengaku menderita
impotensia, karena orang dengan impotensi tidak akan mampu
melakukan persetubuhan yang menjadi unsur esensial dari tindak pidana
seksual tertentu (perkosaan)
d. Pada tersangka kasus pembunuhan bayi sendiri tetapi menyangkal telah
melahirkan anak, maka dokter menentukan ada tanda bekas melahirkan
anak atau tidak, ada hubungan darah atau tidak antara tersangka dengan
jenazah bayi yang ditemukan.

2. Obyek korban hidup


Dalam hal korban tindak pidana penganiayaan atau kelalaian orang lain masih
hidup maka perlu segera dimintakan bantuan dokter untuk membuktikan

27
adanya luka atau tidak, benda apa yang menyebabkan luka, bagaimana cara
benda tersebut sampai menimbulkan luka, bagaimana pengaruh luka
tersebut/derajat lukanya.
Pada korban tindak pidana seksual, bantuan dokter dibutuhkan untuk
mengetahui apakah ada tanda persetubuhan baru atau tidak, identitas laki-laki
yang menyetubuhi, dan apakah terdapat tanda-tanda kekerasan fisik atau obat-
obatan yang membuat tidak sadar.

c. Bantuan dokter di sidang pengadilan


Mengenai kategorinya, keterangan dokter dalam kapasitasnya sebagai ahli dapat
berupa:
1. Alat bukti: dapat berupa keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk lisan di
sidang pengadilan. Dan dalam bentuk surat yang dibuat dengan mengingat
seumpah sewaktu menerima jabatan sebagai dokter atau dengan mengucapkan
sumpah sebagai ahli ketika hendak melakukan pemeriksaan.
2. Keterangan yang disamakan nilainya dengan alat bukti apabila keterangan dokter
tersebut pernah diberikan dalam bentuk lisan dengan sumpah/janji di depan
penyidik dan kemudian dibacakan di hadapan sidang pengadilan karena dokter
berhalangan hadir.
3. Keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, yaitu apabila diberikan
secar lisan pengadilan sesudah dokter menjalani penyanderaan maksimal (14 hari)
karena ia menolak mengucapkan sumpah/janji di sidang pengadilan.

28
BAB 3
KESIMPULAN

Ilmu kedokteran forensik adalah pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan hukum
dan peradilan. Kebijakan di Indonesia bahwa setiap dokter harus dapat memberikan
pelayanan Kedokteran Forensik dimanapun bertugas, artinya dari rumah sakit sampai ke
puskesmas hanya untuk pelayanan autopsi dan pemeriksaan korban perkosaan terdapat
kendala. Dalam ketentuan hukum KUHAP dijelaskan bahwa pemeriksaan Kedoketran
Forensik dilakukan oleh spesialis forensik atau oleh “dokter”(umum atau spesialis
lainnya). Dalam hal ini maka dokter umum harus mengetahui aspek – aspek medikolegal
serta dapat mengetahui kompetensi seorang dokter umum dalam bidang forensik dan
medikolegal sehingga dapat memberikan pelayan forensik di sebuah rumah sakit ataupun
puskesmas tempat dokter tersebut bekerja.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.P.V.Chadha. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi V.Jakarta:


1995.Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 14-15.
2. Amir A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Kedua. Medan: Ramadhan.
2005.
3. Budiyanto A. Widiatmaka w. Sudiono S, dkk.Ilmu Kedokteran Forensik.Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI.1997.
4. Sampuran B, Syamsu Z, Siswaja TD. Peranan ilmu forensik dalam penegakkan
hukum. Jakarta: Ilmu Kedokteran Forensik Univesitas Indonesia. 2008.
5. Idries AM, Sugiharto AF. Visum et repertum, pedoman praktis ilmu kedokteran
forensik bagi praktisi hokum. Jakarta: Sagung Seto. 2009.
6. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Indonesia. 2009
7. Afandi D. Visum et repertum tata laksana dan Teknik pembuatan. Pekanbaru: UR
Press. 2011.
8. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan derajat
luka. Majalan Kedokteran Indonesia. 2010; 60(4): 188-95.

30
9. Kristanto E, Isries AM. Hak undur diri dalam pemeriksaan di sidan pengadilan
dalam konteks rahasia kedokteran. Dalam: Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan Edisi Revisi. Jakarta: Sagung Seto. 2008. Hal 252-6
10. Atmadja DS. Aspek medikolegal pemeriksaan korban perlukaan dan keracunan di
rumah sakit. Dalam: Prosiding ilmiah Simposium Tatalaksanan Visum et
Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan dan Keracunan di Rumah Sakit.
Jakarta: Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading. 2004.
11. Amir A. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan:Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran USU. 2007
12. Sampurna B.Malpraktek kedokteran pemahaman dari segi kedokteran dan hukum.
2009
13. Suryadi T.Pengantar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal buku penuntun
kepaniteraan klinik kedokteran forensik dan medikolegal. Banda Aceh: FK
Unsyiah/RSUDZA. 2009
14. Mulyo RCA .Perananan dokter dalam proses penegakan hukum
kesehatan.Semarang: Universitas Negeri Semarang. 2006.
15. Aji JP.Peranan dokter forensik dalam praktek peradilan perkara pidana.Purworejo.
2008.
16. Konsil Kedokteran Indonesia.Standar Pendidikan Profesi Dokter.Jakarta. 2006
17. Konsil Kedokteran Indonesia.Standar Kompetensi Dokter. Jakarta. 2006
18. Perhimpunan Dokter Spesialis Forensik Indonesia.Buku Panduan Pelaksanaan
Program P2KB untuk Dokter Spesialis Forensik.Jakarta. 2008

31

Anda mungkin juga menyukai