Anda di halaman 1dari 10

Makalah Ushul Fiqh "Taqlid, Ittiba' dan Talfiq"

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna
untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat
dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan
dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.

Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan
maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan
dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:

1. Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan talfiq ?

2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?

3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?

C. Tujuan

Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :

1. Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan
Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.

2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang
diberikan dosen pembimbimg.
BAB II

PEMBAHASAN

ْ َّ َ
A. TAQLID (‫)التق ِل ْيد‬

1. Pengertian Taqlid

Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru
menurut seseorang dan sejenisnya.

Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
َ َ َ ْ َ َْ َ َ َ َ َ َ
‫ قاله أ ْي َن ِم ْن ت ْعلم ل َوأنت الق ِائ ِل ق ْو ِل قب ْول‬.

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.”[1]

Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :


َ َ َ ْ َ َ
‫ ح َّج ِت ِه د ْون الغ ْ ري الق ِائ ِل ق ْو ِل قب ْول‬.

“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”

Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya
tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah
menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan
Qiyas.

2. Hukum Taqlid

para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:

a) Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah,
taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang
sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.

b) Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha
menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya
sementara.

c) Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah,
yaitu Rasulullah saw.[2]
3. Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam
masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat
dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik
buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.

Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:

1. Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal
itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman
Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:

Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala.
Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu
muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya andai kami taat
kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”

2. Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan
menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh
Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:

Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah. Adapun orang-
orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu-ketika mereka
melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah
sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika
melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.

3. Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah
dalam surah Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:

Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan
al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada
Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.

Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah,
padahal di lehernya tergantung salib. L alu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib
itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai
tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kammu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang
diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula
mengharamkannya?[3]
Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah,
tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena mode,
lalu diikuti juga. Hal ini sangat dicela oleh Allah.

Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka jumhur
ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal ini
didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]: 43 “maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.

Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti
pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu
perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan
hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang
ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang
ditaqlidinya tadi.

Ø Pesan Para Ulama mengenai Taqlid

Imam Abu hanifah berkata :

,,Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini.
Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.

Imam Malik berkata :

,,Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah dan kadang-kadang benar. Selidiki pendapat saya.
Kalau sesuai dengan Qur’an dan hadis, maka ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan”.

Imam Syafi’i berkata :

,,perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari kayu
diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak
tahu”.

Imam ahmad bin Hanbal berkata :

,,jangan mengikuti (taqlid) saya atau malik atau Tsauri atau Auzai’i, tetapi ambillah dari mana mereka
mengambil”.

Ibnu Mas’ud berkata :

,,Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir.
Tidak ada tauladan dalam hal-hal buruk”.[4]
ِّ َ
B. ITTIBA’ (‫)ا ِلت َباع‬

1. Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”,
yang artinya adalah mengikut atau menurut.

Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:


َ َ َ ْ َ َْ َ َ َ َ َ
‫ قاله أ ْي َن ِم ْن ت ْعلم َوأنت الق ِائ ِل ق ْو ِل قب ْول‬.

“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.”

Di samping ada juga yang memberi definisi :


َ َ َ ْ َ
‫ َر ِاجح ِبد ِل ْيل الق ِائ ِل ق ْو ِل قب ْول‬.

“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”

Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau
menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat
pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat
dengan jalan membanding.

2. Hukum Ittiba’

Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat
ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan
“Muttabi”[5]

Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana
firmannya:
َّ ُْ ُ َ ُ َ َّ َ َ‫َ ا‬ َ َّ َ َ
‫ تذكر ْون َما ق ِل ْيل أ ْو ِل َي َاء د ْو ِن ِه ِم ْن تت ِبع ْوا َول َ ِّربك ْم ِم ْن ِإل ْيك ْم أن رز َل َما ِات ِبع ْوا‬. (‫ األعرف‬: ۳)

Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin.
Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-
tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.

Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:


ُ َ َّ َّ ََ ْ
‫الر ِش ِد ْي َن الخلف ِاء سنة َو ِبسن ِت َعل ْيك ْم‬
َّ ‫)داود ابو رواه( ـ َب ْع ِدى ِم ْن‬

Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu
Daud)

3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’


Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang
diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti
pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.

Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan

b. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]:
3
َّ ُْ ُ َ ُ َ َّ َ َ‫َ ا‬ َ َّ َ َ
‫ تذكر ْون َما ق ِل ْيل أ ْو ِل َي َاء د ْو ِن ِه ِم ْن تت ِبع ْوا َول َ ِّربك ْم ِم ْن ِإل ْيك ْم أن رز َل َما ِات ِبع ْوا‬. (‫ األعرف‬: ۳)

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai
pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan
pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain
mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan
alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang
punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu
adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan
pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak
melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul,
bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak
dibenarkan berittiba’ kepadanya.

Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib
bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam.
Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan
ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan
dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.

Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan
kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain
untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’
tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah
mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.[6]
ْ َّ َ
C. Talfiq ( ( ‫التل ِف ْيق‬

1. Pengertian Talfiq

Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Adapun
“Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
َْ ْ َّ َ َْ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ
‫ي مؤلف ِبحك ِم ال َع َمل‬ ‫يب‬ ‫أ كي أو مذهب ر‬

“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”

Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi’iy dalam masalah iddah wanita yang
ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali
mujbir dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang
demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.

Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti
dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam
hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki
misalnya.

2. Hukum Talfiq

Para ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau seseorang bertalfiq, bahkan
pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan
bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Nereka juga
memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.

Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki agar semua orang muslim
supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan ijtihad, atau
sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang demiikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.

Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq adalah dalam perselisihan
para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada
mazhab, berfatwa bahwa para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang
berpindah mazhab.

Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah
pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-talfiq. Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah
sebagai berikut:

1. Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan
masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam satu bidang masalah saja.

2. Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di talfiqkan itu bukan
dalam satu bidang masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu menurut mazhab syafi’i,
sedang pembatalannya menurut mazhab Hanafy. Atau menyapu muka daloam berwudhu menurut
mazhab Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut mazhab Maliki.[7]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut
tidak mengetahui alasan perkataannya itu.

Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui
alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan
alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau dapat dikatakan
bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu mazhab dengan mazhab
lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena
mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja,
karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya
terhadap hasil penulisan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.

A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.


Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.

[1] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 195.

[2] M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006), hal. 109-110.

[3] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 134

[4] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: 1963), hal 159.

[5] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 196.

[6] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 129-131

[7] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209.

Anda mungkin juga menyukai