Anda di halaman 1dari 157

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH


DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUM ATERA UTARA

TESIS

Oleh

FLORA NAINGGOLAN
077005008/HK

K O L A
E
H
S
PA

A
N

C
A S A R JA
S

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Oleh

FLORA NAINGGOLAN
077005008/HK

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Judul Tesis : PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA
UTARA
Nama Mahasiswa : Flora Nainggolan
Nomor Pokok : 077005008
Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)


Ketua

(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum)
Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

Tanggal lulus : 9 Juli 2009

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Telah diuji pada
Tanggal 9 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum
2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH
4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MH

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
ABSTRAK

Kanwil Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal, dimana salah
satu kewenangannya adalah turut serta dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan di daerah. Prinsip otonomi daerah dengan sistem desentralisasi
yakni otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan, termasuk memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah berupa peraturan-peraturan. Hal ini mengakibatkan pelibatan
instansi vertikal dalam membuat kebijakan daerah akan semakin sulit.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pembentukan Peraturan Daerah
dikaitkan dengan peran Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara.
Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi
dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui
wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap. Data yang
terkumpul dipilah dan dianalisis secara yuridis dan terhadap data yang sifatnya
kualitatif ditafsirkan secara logis sistematis dengan metode deduktif dan induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dalam
pembentukan Peraturan Daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi
dan tugas pembantuan sebagaimana dapat dicermati dalam UUD 1945,UU
Pemerintahan Daerah dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kanwil
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara sebagai instansi vertikal
di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Propinsi memiliki
tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di
daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah
khususnya Peraturan Daerah. Hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen
Hukum dan HAM Sumatera Utara tentang pelibatannya dalam pembentukan
Peraturan Daerah adalah lemahnya landasan yuridis tentang pelibatannya dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah serta kurangnya
koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Sehingga dilakukan upaya untuk
mendorong dibentuknya suatu payung hukum yang kuat sebagai dasar pelibatannya
serta ditingkatkannya koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Untuk mendukung
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
Sumatera Utara sebagai vertikal Departemen Hukum dan HAM dalam proses
pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah perlu dibuat suatu Undang-
undang sebagai payung hukum atau landasan yang kuat sebagai dasar kewenangan
pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam
proses pembentukan peraturan daerah.

Kata Kunci : Pembentukan Peraturan Daerah, Kanwil Departemen Hukum dan


HAM Sumatera Utara.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
ABSTRACT

The Regional Office of Law and Human Rights Departement as a vertical


instance in which one of it’s authorites is to participate in drafting the regional
regulations. The principle of regional autonomy by decentralization system, i.e., the
regional autonomy in widest sense, has been delegated some authority to arrange for
and regulate all government activities, including to have the authority in making the
regional policies such as regulations. This makes the involvement of vertical instance
in formulation of regional policies more difficult.
The research had been conducted to know the formulation of regional
regulation related to the regional office role of law and human rights departement
north sumatera. This was a normative yuridical research. The library materials and
document study had been made as a primary material. While field data through
interview should be made as supporting data or complementary data. The data
collected was singled out and analyzed yuridically and the qualitative data was
interpreted by logic sytematically with deductive and inductive method.
The result of research indicated that the authority of regional government in
formulation of regional regulation was the manifestation of autonomic right
implementation and assitance task as contained in constitution 1945. The statute of
regional government and regulation formulation of statutes. The regional office of
law and human rights departement in north Sumatera as a vertical instance in scope
of law and human rights departement north Sumatera took a great responsibility as
lengthhand of law and human rights departement in formulation process of regional
regulations. The obstacles facing to regional office of law and human rights
departement in involvement in formulation of regional regulation included the weak
yuridical foundation regarding the involvement in formulation process of the statues
in region and the lack of coodination with related instancies. So some attempt had
been made to support the formulation of a strong law foundation for it’s involvement
in coordination with related instancies. To support the implementation of core task
and function of regional office of law and human rights departement in north
Sumatera as a vertical law and human right departement in process of law and
human right counselling in regions, there should be a firm law foundation as a basis
for authority of regional office involvement of law and human rights departemen
north Sumatera in process of regional regulation formulation.

Keywords :Formulation of Regional Regulation, Law and Human Rights


Departement of North Sumatera.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan segala hormat bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas
kuasa pengasihan-Nya memberikan rahmat dan hikmat bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pembentukan Peraturan Daerah
Dikaitkan Dengan Peran Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera
Utara”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh daripada sempurna
oleh karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada diri Penulis. Untuk itu, dengan
segala kerendahan hati Penulis mengharapkan berbagai masukan saran ataupun
kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan dikemudian hari.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, Penulis sampaikan
kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,
SpA(K), Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc,
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH,
Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum, atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk menyelesaikan
pendidikan Sekolah Pascasarjana.
2. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH selaku Ketua,
beserta Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum dan Ibu Dr. Sunarmi, SH,
MHum selaku Anggota, yang membimbing Penulis dengan sabar dan
memberikan banyak masukan dan koreksi serta meminjamkan berbagai literatur
dan buku-buku disepanjang penulisan tesis ini. Juga kepada Bapak Prof. Dr.
Budiman Ginting, SH, MH dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MH sebagai
Dosen Penguji.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
3. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kepala Kanwil
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya Bapak Untung
Sugiono, BcIP, SH, MH yang memberikan kepercayaan, kesempatan dan
rekomendasi bagi Penulis untuk mendapatkan beasiswa penuh dalam mengikuti
pendidikan Sekolah Pascasarjana di USU. Juga kepada para Pejabat struktural di
Kanwil Dep. Hukum dan HAM Sumatera Utara, khususnya Bapak M. Noor Aziz,
SH, MH, MM, Bapak Sahat Sinaga, SH, MH, MBL, Bapak Drs Rosman Siregar
SH, MH, MM, Bapak Adi Putra Harahap, SE, Saudara Kurniaman T, SH, MH.
Pada kesempatan ini dengan hati yang tulus, hormat dan penuh haru Penulis
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan orang-orang tercinta di
keluarga Penulis istimewa Papa Pendeta H. Nainggolan, Mama Nurhaisyah Harianja
dan Sweet little Angel S.Nugrah Pratama yang selalu berkata ...mama belajarlah
supaya ’lauser’ mama senang kalo mama pinter kayak abang...di lain waktu juga
mengatakan...bilang sama ’lauser’ mamalah, supaya nggak banyak-banyak kerjaan
mama...kan bisa bikin capek itu...
Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia pendidikan terutama bagi
Penulis sendiri, kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih memberkati.

Medan, Mei 2009


Penulis,

Flora Nainggolan

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP

Nama : FLORA NAINGGOLAN


Tempat/Tgl Lahir : Medan, 28 Juli 1976
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan :
Sekolah Dasar Negeri 173265 Onanhasang, lulus tahun
1989.
Sekolah Menengah Pertama Negeri Pahae Julu, lulus
tahun 1992.
Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Plus Soposurung, lulus
tahun 1995.
Fakultas Hukum Universitas Simalungun, lulus tahun
1999.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun
2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ................................................................................................ i

ABSTRACT............................................................................................... ii

KATA PENGANTAR............................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP .................................................................................. v

DAFTAR ISI.............................................................................................. vi

DAFTAR SINGKATAN........................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN…………………...…………………….. 1

A. Latar Belakang ………………..........….…………….. 1

B. Permasalahan …………………………............……… 23

C. Tujuan Penelitian ……………………….……………. 24

D. Manfaat Penelitian ....................................................... 24

E. Keaslian Penelitian ...................................................... 25

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ..................................... 25

1. Kerangka Teori ....................................................... 25

2. Konsepsi ................................................................. 34

G. Metode Penelitian ................................................. ..... 35

BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM


PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…...…….... 40

A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Konsepsi


Otonomi Daerah ........................................................ 40

B. Proses Pembentukan Peraturan Daerah...................... 50

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
1. Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah...…… 50

2. Persiapan dan Perumusan Rancangan


Peraturan Daerah …………...................………… 57

a. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Pemerintah 57

b. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah.................................. 69

c. Rancangan Peraturan Daerah dari Partisipasi


masyarakat............................................................ 79

BAB III KEWENANGAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN


HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…………….. 85

A. Kewenangan Departemen Hukum dan HAM di Bidang


Peraturan Perundang-undangan...................................... 85

B. Kewenangan Kanwil Departemen Hukum dan HAM


Dalam Pembentukan Peraturan Daerah.......................... 94

1. Tahap Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah… 94

2. Tahap Persiapan dan Teknik Penyusunan serta


Perumusan Rancangan Peraturan Daerah ….......… 98

a. Pelibatan dalam Penyusunan Naskah Akademik.. 98

b. Pelibatan dalam Harmonisasi Rancangan


Peraturan Daerah/Peraturan Daerah.................... 104

c. Inventarisasi, Analisa dan Evaluasi


Peraturan Daerah………….....…………………. 112

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DAN
UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KANTOR
WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…. 119

A. Hambatan................................................................…… 119

1. Di Bidang Substansi Hukum....................................... 119

2. Di Bidang Struktur Hukum......................................... 122

3. Di Bidang Sarana dan Prasarana................................. 126

B. Upaya yang Dilakukan ………………........……… 127

1. Di Bidang Substansi Hukum................................. 127

2. Di Bidang Struktur Hukum................................... 128

3. Di Bidang Sarana dan Prasarana................................. 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………….......………….. 132

A. Kesimpulan.........................................................…… 132

B. Saran.......................................................................... 135

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 138

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara

hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk

dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara

hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan

pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis.

Oleh karena itu pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional Tahun 2004-2009 1 di Bidang Hukum khususnya, antara lain

ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan

kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan

hierarki peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada

permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-

undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan

pelaksanaannya. 2 Maka politik hukum nasional diarahkan pada terciptanya hukum

1
Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
2
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya

konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah

serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya. 3 Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan

sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di

tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem,

asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan

dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.

Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level

pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority

model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat

melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. 4 Namun

demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan

bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah

pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap

pemerintah pusat. 5 Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter

3
Ibid, bagian “sasaran”.
4
Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur
Pemda dan Anggota DPRD, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2001), hal.5
5
Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,(Bandung: Alumni, 1978), hal.150-151.
Hubungan subordinasi ini dapat dijalankan menurut beberapa asas, yaitu asas desentralisasi, asas
konsentrasi dan asas dekonsentrasi. Hubungan ini jelas berbeda dengan konsep yang ada dalam negara
serikat (federasi). Hubungan antara negara federal dengan pemerintah negara bagian bukan merupakan
hubungan subordinasi karena kewenangan yang ada dalam menjalankan urusan-urusan yang ada, baik

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang

terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan

pemerintah pusat. 6 Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung

secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan

suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam

memberikan keleluasaan kepada daerah. 7 Dalam hubungan inilah pemerintah

melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan

istilah desentralisasi. 8

Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep

pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang

diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua

sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam

suatu negara. Bentuk dan susunan suatu negara terkait dengan pembagian

kekuasaan. 9 Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam

negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian

hukum tata negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut

urusan pemerintahan pusat (federal) maupun urusan pemerintahan lokal (negara bagian) telah
ditentukan dalam konstitusi dengan jelas dan terperinci.
6
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara,
(Jakarta: Rajawali, 1981), hal. 52. Menurut Strong, negara kesatuan adalah negara yang berada di
bawah satu pemerintahan pusat, yang mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara
tersebut, daerah (otonom) tidak mempunyai kekuasaan asli, tetapi diperoleh dari pemerintahan pusat.
7
Bambang Yudoyono, Op. cit.
8
Ibid hal. 20.
9
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Sinar Bakti, 1980), hal. 160. Ditinjau dari segi pembagian kekuasaan, maka kekuasaan dibagi menurut
garis horizontal dan vertikal. Secara horizontal, didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya,
yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedang secara vertikal melahirkan
dua garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam

penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah masing-

masing. 10

Secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari

perspektif administratif dan perspektif politik. 11 Berdasarkan perspektif administratif,

mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif sedang

perspektif desentralisasi politik merupakan devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah. 12 Hal senada juga disampaikan oleh Maddick, Brian

Smith dan Philip Mawhood yang memaknai desentralisasi sebagai desentralisasi

politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi). 13

Desentralisasi dimaknai dalam pembentukan pemerintahan daerah otonom

dan penyerahan kewenangan. Pembentukan daerah otonom merupakan ”perintah”

(amanat) konstitusi, sedangkan penyerahan kewenangan merupakan ”delegasi” dari

Undang-undang organik pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah sebagai

aspek pengakuan kewenangan pemerintahan daerah. 14 Penyelenggaraan

pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

10
Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah, (Bogor: Ghalia, 2007), hal. 5.
11
Lili Romli,Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2007), hal.4-5.
12
Ibid. Hal. 6.
13
Syamsuddin Haris,Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,(Jakarta : LIPI Press, 2005), hal. 41.
14
Benyamin Hoessein, “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah
Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara”,
Disertasi,(Jakarta: PPS-Fisipol-UI, 1993), hal 122.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran,

serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15

Dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia melaksanakan politik

desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah, di samping tetap

menjalankan politik dekonsentrasi. 16 Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 32

Tahun 2004 mendefinisikan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17 Sedang

dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa

dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada

Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah

tertentu. 18 Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national

15
Konsideran menimbang Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
16
E. Koswara, Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,(Jakarta :Yayasan
PARIBA, 2001), hal.13.
17
UU No. 5/1974 menegaskan dalam Pasal 1 huruf (b) bahwa desentralisasi adalah
penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi
urusan rumah tngganya. UU No. 22/1999 menegaskan dalam Pasal 1 huruf € bahwa desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal. 89. Dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau
pemencaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk
melaksanakan kebijakan pusat. Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat
menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang
tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat
keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
goverment sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai

bentuk pendekatan. Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit

pemerintahan yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan

pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah

daerah dalam menyediakan pelayanan publik.19 Tujuan utama desentralisasi adalah

mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah

kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan

kapasitas teknis dan managerial. 20

Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8

tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang

Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 21

lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada

pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

19
Oentarto SM, I Made Suwandi, Dodi Riyadmadji, Format Otonomi Daerah Masa Depan,
(Jakarta: Samitra Media Utama, 2004), hal. 8-9.
20
Syaukani, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid,Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan,(Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2004), hal.34-35.
21
Perubahan pertama Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah sementara Perubahan kedua mengatur tentang pengisian
kekosongan jabatan Kepala Daerah atau Wakil kepala Daerah yang meninggal dunia, mengundurkan
diri atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan. Dengan demikian pasal-pasal
yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat

dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan

aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui peran

serta dan pemberdayaan masyarakat. 22

Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk

mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan

keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. 23

Otonomi bukanlah sekedar penyerahan kekuasaan kepada daerah, melainkan

daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk mengatur

dirinya sendiri sangat penting untuk kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah

harus membentuk Peraturan daerah, guna memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat

daerahnya. 24

Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya

untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan

22
Ibid, hal.76
23
Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
24
Sebagai contoh berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah provinsi dimungkinkan ikut
memikirkan soal kekurangan yang ada di daerah termasuk soal kekurangan aparat keamanan. Ryaas
Rasyid, ”Pemerintah Serius laksanakan Desentralisasi”, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor
Menteri Negara Otonomi Daerah, No.85,Jakarta: 2000, hal.7.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
kebutuhan masyarakat, dengan demikian otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu

instrumen untuk mencapai tujuan. 25

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 26 Penjelasan Umum

Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan supaya otonomi daerah juga harus

mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya

harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas


penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di
samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan
global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan
yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

25
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global,(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 6-7.
26
Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. 27

Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan penerapan otonomi daerah

dilaksanakan didasarkan pada prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Prinsip otonomi daerah menurut Laica tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang

luas dan bertanggung jawab, tetapi harus diwujudkan dalam format otonomi daerah

yang seluas-luasnya. 28 Penjelasan umum Undang-undang tentang Pemerintahan

Daerah menyebutkan bahwa otonomi luas adalah daerah mempunyai tugas,

wewenang, hak dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak

ditangani oleh pemerintah pusat dengan leluasa untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat daerah. Sementara Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi

seluas-luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk

menjadi urusan rumah tangga sendiri. 29 Otonomi nyata berarti menangani urusan

pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang

senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai

dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. 30 Otonomi yang

bertanggung jawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan

27
Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
28
Sebagaimana dikutip oleh Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah Kajian Politik
dan Hukum,(Bogor: Ghalia, 2007), hal.109.
29
Soehino,Perkembangan Pemerintahan di Daerah,(Yogyakarta: Liberty, 1980), hal.50.
30
Ibid

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu pemberdayaan daerah dan peningkatan

kesejahteraan rakyat. 31

Kewenangan membuat Peraturan daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan

hak otonomi secara luas yang dimiliki oleh suatu daerah,32 juga merupakan suatu

kewenangan atribusi (attributie van wetgevings-bevoegdheid), 33 yaitu kewenangan

pembentukan peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet atau wet

kepada suatu lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian

suatu daerah dan memberdayakan masyarakat. 34

Peraturan perundang-undangan di daerah dibuat berdasarkan Pasal 18 ayat

(6) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan

bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Peraturan daerah

selanjutnya disebut Perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan

peraturan perundang-undangan, 35 menurut Pasal 136 ayat (3) Undang-undang Nomor

32 Tahun 2004, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

31
Rozali Abdullah,Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Desa Secara
Langsung,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.4-6
32
Ibid, hal 131
33
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hal 102.
34
Ibid, hal.133
35
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
perundangundangan, perda telah secara resmi menjdi sumber hukum dan masuk kedalam tata urutan
peraturan perundang-undangan. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa materi muatan Perda
merupakan seluruh materi muatan dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. 36 Secara tegas, ketentuan ni dijelaskan dalam

Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

yang menyebutkan bertentangan dengan kepentingan umum ialah kebijakan yang

berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan

umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat

diskriminatif. Sementara Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

Selain itu Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang dengan alasan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku. 37

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan “pembentukan peraturan perundang-

undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada

dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,

pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan”. Hal tersebut tentunya

36
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan,
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
37
Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1986 tentang
Mahkamah Agung

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
berlaku pada seluruh peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan

peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 38

Mengingat peranan Perda yang demikian penting dalam penyelenggaraan

otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat

hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat

dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang

jelas yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah selanjutnya disebut

Prolegda. 39 Oleh karena itu, instrumen Prolegda sebagai bagian dari tahap

perencanaan pembentukan Perda sangat diperlukan.

Terdapat beberapa alasan pentingnya Prolegda dalam pembentukan Perda,

yaitu : 40

1. untuk memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai


permasalahan pembentukan Perda;
2. untuk menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan Perda untuk jangka
waktu panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama DPRD
dan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda;
3. untuk menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk
Peraturan Daerah;
4. untuk mempercepat proses pembentukan Perda dengan memfokuskan kegiatan
penyusunan Rancangan Perda menurut skala prioritas yang ditetapkan;
5. menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan Perda.

Mekanisme pembentukan Perda selain prolegda pada tahap perencanaan,

masih melalui beberapa tahapan lanjutan seperti penyusunan Naskah Akademik,

38
Maria Farida Indrati Soeprapto,Op. cit.
39
Lihat Pasal 15 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004, perencanaan penyusunan Peraturan Daerah
dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
40
A.A Oka Mahendra, “Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”,
Makalah, yang disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Daerah, diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, Bali, 13-15 September 2005.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah selanjutnya disebut Ranperda, upaya

pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan,

konsultasi publik, pembahasan Ranperda dan penetapan serta pengundangannya.

Oleh karena itu unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah dituntut

kemampuannya untuk dapat menetapkan kebijakan-kebijakan daerah dalam

melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya masing-masing dan

selanjutnya menterjemahkannya ke dalam peraturan-peraturan daerah yang

memenuhi unsur filosofis, yuridis dan sosiologis. 41 Untuk mendukung pembentukan

peraturan perundang-undangan, termasuk Perda diperlukan tenaga perancang

peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang

bertugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan rancangan peraturan perundang-

undangan. 42 Tenaga ahli yang menguasai substansi Perda dan sumber daya manusia

pada jajaran birokrasi di daerah turut menentukan keberhasilan pengelolaan Prolegda.

Tenaga fungsional hendaknya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta dasar filosofis bangsa dan negara,

konstitusi, asas-asas peraturan perundang-undangan serta teknik penyusunan

peraturan perundang-undangan. 43 Berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan

seksama dalam proses pembentukan Undang-undang agar semua ketentuan yang

41
Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa,Otonomi Daerah Evaluasi dan
Proyeksi, (Jakarta : CV. Trio Rimba Persada, 2003), hal. 64.
42
Lihat Penjelasan umum UU No. 10 Tahun 2004.
43
A.A. Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan
Perundang-undangan,(Jakarta:Departemen Hukum dan HAM RI,2006), hal 96.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
diatur benar, tepat dan dapat dilaksanakan. 44 Merancang peraturan perundang-

undangan juga menyangkut perancangan materi hukum yang merupakan sarana untuk

menggerakkan perubahan sosial secara tertib. 45 Hal senada juga diungkapkan oleh

Suroyo bahwa lazimnya Undang-undang bersifat material dan formil. 46

Tenaga fungsional perancang yang berkualitas perlu memiliki kemampuan

untuk berpikir jernih dan logis, berkomunikasi secara efektif, mengidentifikasikan isu

hukum yang berkembang dalam masyarakat secara nyata, mengambil keputusan,

menyerap aspirasi masyarakat, melakukan riset hukum, mengorganisir proses

penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dan merumuskan rancangan

secara jernih dan efektif. 47

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan juga menyatakan untuk menunjang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan diperlukan peran tenaga perancang sebagai tenaga fungsional

yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan

suatu rancangan Peraturan Perundang-undangan. 48 Menteri Hukum dan HAM telah

menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.73.K.P.04.12 Tahun

2006 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan

Perundang-undangan yang dalam pelaksanaannya pesertanya diambil dari seluruh

44
Iman Sudarwo,Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang tentang
Protokol,(Surabaya :Penerbit Indah, 1988), hal, 7.
45
A.A. Oka Mahendra,op.cit, hal, 324.
46
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Gunung Agung, 1969), hal, 44.
47
A.A. Oka Mahendra, Loc.cit, hal 96
48
Lihat penjelasan umum UU No. 10 tahun 2004.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang tentunya untuk mendukung

pembentukan Peraturan Perundang-undangan di daerah yang taat asas.

Pembentuk Perda seyogyanya harus menguasai tata cara penyusunan Perda

sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

peraturan Tata Tertib DPRD. 49 Dalam Pasal 146 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa untuk melaksanakan suatu Perda,

Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan/atau Keputusan Kepala

Daerah.

Pembangunan hukum sebagai bagian integral dari sistem pembangunan

nasional, secara strategis merupakan landasan dan menjadi perekat bidang

pembangunan lainnya serta sebagai faktor integratif dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan RI melalui pembangunan sistem hukum

nasional berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945.

Pembangunan hukum yang dilaksanakan secara komprehensif mencakup

substansi hukum, kelembagaan hukum dan budaya hukum serta dibarengi dengan

penegakan hukum secara tegas, konsisten dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi

manusia, akan mampu mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana

pembaharuan dan pembangunan, instrumen penyelesaian masalah secara adil serta

sebagai pengatur perilaku masyarakat untuk menghormati hukum.

49
A.A. Oka Mahendra, op. cit, hal. 20.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Fungsi peraturan perundang-undangan di dalam negara yang berdasar atas

hukum bukan untuk menciptakan kodifikasi melainkan menciptakan modifikasi atau

perubahan dalam kehidupan masyarakat, maka diharapkan bahwa suatu Undang-

undang itu tidak lagi berada di belakang dan kadang-kadang ketinggalan, tetapi dapat

berada di depan dan tetap berlaku sesuai dengan perkembangan masyarakat. 50

Teraktualisasinya fungsi hukum akan memastikan tegaknya wibawa hukum

yang akan memperkokoh peranan hukum dalam pembangunan. Pembangunan

nasional dapat berjalan tertib, terarah dan konsekuensi dari berbagai kebijakan dapat

diprediksi berdasarkan kepada asas kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 51 Pasal 1 angka 2 UU

No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan

bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara

perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan

dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur

penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Rencana

pembangunan jangka menengah kementerian/lembaga yang selanjutnya disebut

Rencana strategis kementerian/lembaga ditetapkan dengan peraturan pimpinan

kementerian/lembaga setelah disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka

50
Maria Farida Indrati Soeprapto, op. cit, hal. 2.
51
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Menengah Nasional (RPJM) 52 yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,

program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi

kementerian/lembaga tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 25

Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen dalam Pasal 1

Ayat (1) dan ayat (2) menyatakan Departemen dalam Pemerintahan Negara Republik

Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah, dipimpin oleh Menteri Negara

yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 12 Keputusan

Presiden tersebut juga menyatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 13 huruf c Keputusan

Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan,

susunan organisasi, dan tata kerja departemen disebutkan bahwa dalam melaksanakan

tugasnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi 53

pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan, pendidikan dan pelatihan tertentu

serta penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka

mendukung kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam Pasal 14
52
Pasal 19 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
53
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Pemahaman tentang
Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 11. Logemann mengartikan fungsi sebagai
lingkungan kerja tertentu dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Fungsi itu dalam hubungan
dengan negara disebut ambt/jabatan. Negara adalah organisasi jabatan, jabatan adalah badan/person.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
huruf f Keputusan Presiden itu juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan

fungsinya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewenangan

pembinaan hukum dan peraturan perundang-undangan nasional.

Tugas unit-unit utama Departemen Hukum dan HAM di antaranya

merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis perundang-

undangan serta pembinaan di bidang hukum nasional. 54 Undang-undang Nomor 10

Tahun 2004 selain menentukan Program Legislasi Nasional sebagai instrumen

perencanaan pembentukan undang-undang juga memberikan peran yang strategis

kepada Departemen Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam penyusunan

Program Legislasi Nasional di lingkungan pemerintah 55 dan dalam pengharmonisan,

pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari

Presiden agar dapat dibentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan

asas, prinsip-prinsip dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai-

mana ditentukan dalam Undang-undang. 56

Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia di daerah dilaksanakan oleh instansi vertikal. 57 SM. Oentarto menyebutnya

54
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana
Strategis Departemen Hukum dan HAM.
55
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004.
56
Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang
berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004.
57
Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi,
susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
sebagai refleksi dari pengedepanan kebijakan sentralisasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. 58 Instansi vertikal di lingkungan Departemen Kehakiman dan

Hak Asasi Manusia adalah Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia di Propinsi. 59 Unit organisasi ini diberikan tanggung jawab besar sebagai

perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah (law making process)

khususnya Peraturan Daerah dan dalam koordinasi program legislasi daerah. 60

Dalam menjalankan fungsinya itu timbulnya permasalahan selalu

dimungkinkan. Salah satu permasalahan itu adalah lemahnya landasan yuridis tentang

pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal

Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan di daerah.

Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab itu Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM khususnya bidang Hukum melakukan inventarisasi

peraturan perundang-undangan daerah yang berasal dari Pemerintah Daerah, baik dari

Biro Hukum maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota

(Pemkab/Pemko). Selanjutnya, menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-

58
SM. Oentarto dkk, Op. cit, hal. 9. Sebagai illustrasi, pada masa orde baru, pemerintah lebih
memberikan kewenangan kepada Kanwil sebagai perpanjangan tangan Departemen atau Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) untuk menyediakan pelayanan publik.
59
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi,
susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
60
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
undangan di daerah 61 termasuk harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda

dari segi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan serta menjaga agar setiap

Perda tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 62

Istilah harmonisasi berasal dari kata harmoni, yang sebenarnya merupakan

peristilahan dalam musik untuk menunjukkan adanya keselarasan atau keserasian dan

keindahan nada-nada. 63 Istilah ini menjadi relevan untuk digunakan dalam bidang

hukum, khususnya peraturan perundang-undangan mengingat perundang-undangan

juga memerlukan suatu keselarasan atau keserasian agar dapat dirasakan manfaatnya

oleh masyarakat. 64 Pengharmonisasian merupakan upaya untuk menyelaraskan suatu

peraturan perundang-undangan dengan berbagai kepentingan yang ada dan dengan

peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun

yang lebih rendah sehingga tersusun secara sistematis, tidak tumpang tindih. 65

Dengan pengharmonisasian maka tergambar dengan jelas dalam pemikiran

atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian

integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Oleh

61
Ibid.
62
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal
Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah.
63
Wicipto Setiadi,”Mekanisme Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, pada
Seminar Harmonisasi Perundang-undangan tanggal 21 September 2006 yang diadakan oleh Direktorat
Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI.
64
Ibid.
65
Ibid.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
karenanya harus ada skala prioritas, mana yang paling penting di harmonisasi, yang

menyangkut hajat hidup masyarakat luas. 66

Pada akhir tahun biasanya diadakan lokakarya untuk membahas hasil dari

analisis dan tanggapan Tim Panitia yang dibentuk dengan mengundang wakil-

wakil/peserta yang mewakili Kantor wilayah, Biro Hukum dan Dinas-dinas terkait

dilingkungan Pemerintah Provinsi, Bagian hukum dan Dinas-dinas terkait di

lingkungan Pemkab/Pemko. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Biro Hukum dan

Dinas-dinas terkait dilingkungan Pemerintah Provinsi, Bagian hukum dan Dinas-

dinas terkait di lingkungan Pemerintah kabupaten/Pemerintah kota.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli

2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah angka 7

menyatakan para Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para

Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing

untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. Hal ini

dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan

perundang-undangan termasuk Peraturan daerah dengan peraturan perundang-

undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, sehingga tersusun secara

sistematis dan tidak tumpang tindih (overlaping). 67

66
Baldwin Simatupang, ”Harmonisasi Peraturan Daerah Dalam rangka Pelaksanaan
RANHAM 2004-2009”,Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007, hal. 14.
67
Harkristuti Harkrisnowo , ”Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”,Jurnal Mediasi, Edisi 6,
Vol 4, Desember 2007, hal. 7.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Lahirnya Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dimaksudkan untuk

meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-

undangan. 68 Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan disebabkan karena masih adanya egoisme sektoral, dan belum mantapnya

landasan yuridis yang mengatur tata cara penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan

dan akses publik untuk berpatisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan. 69 Akibatnya tidak sedikit peraturan perundang-undangan yang tumpang

tindih, tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi atau dengan yang sederajat dan masih belum berwawasan gender dan

HAM serta masih terdapatnya peraturan yang sulit dilaksanakan karena kurang jelas

sehingga dapat terjadi perbedaan interpretasi dan kurang responsif terhadap aspirasi

masyarakat. Permasalahan lainnya adalah peraturan pelaksanaan undang-undang

tidak segera dibentuk atau sangat terlambat pembentukannya sehingga menghambat

implementasinya secara efektif.

Arahan Presiden di depan Sidang Paripurna DPD-RI Tanggal 23 Agustus

2006, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah dikoordinasikan dengan instansi

pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan Perda itu menjadi lebih baik jika

dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung

maupun dengan Kantor Wilayah departemen itu yang ada di setiap Provinsi. Namun

68
Sebagaimana dimaksudkan dalam konsideran menimbang huruf b UU No. 10 Tahun 2004
yang menyatakan bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan
peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas
hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
69
A.A. Oka Mahendra, op.cit, hal 87.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
didaerah tentunya tidak semua daerah yang melaksanakan arahan ataupun Surat

Edaran yang diterbitkan.

Dari gambaran keadaan dan permasalahan pembentukan peraturan perundang-

undangan khususnya pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam

pembentukan Perda yang telah dikemukakan, maka Penulis tertarik untuk

mengadakan penelitian dan melakukan analisis dengan judul, ”Pembentukan

Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

HAM Sumatera Utara”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan

dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan

Daerah?

2. Bagaimana kewenangan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah?

3. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dan upaya apa yang dilakukan oleh

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam

pembentukan Peraturan Daerah?

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan

Peraturan Daerah.

2. Untuk mengetahui kewenangan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya yang

dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara

dalam pembentukan Peraturan Daerah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih

lanjut dan bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang peraturan

perundang-undangan khususnya pembentukan peraturan daerah.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk

pemahaman khususnya bagi perancang perundang-undangan dalam pembentukan

peraturan daerah dan umumnya bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana

peranan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam

pembentukan peraturan daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara

pribadi dengan melihat perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum

masyarakat khususnya pada permasalahan pembentukan suatu peraturan daerah.

Tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis

orang lain.

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap

hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera

Utara, penelitian mengenai pembentukan peraturan daerah dikaitkan dengan peranan

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara , belum pernah

dilakukan.

Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut

sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Karena itu keaslian penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang

dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran

teoritis”. 70

Tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban

merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi

masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia,

masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan. 71 Agar tercapai

ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian

disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum.

Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama

adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah

adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 72

Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya

berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah

suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah

hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah

hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya. 73

Menurut teori jenjang norma hukum (stufentheorie), Hans Kelsen berpendapat

bahwa suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu

hierarki tata susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada

70
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 37.
71
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42.
72
Ibid.
73
Ibid.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
norma yang lebih tinggi (superior) dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya

(inferior). 74

Adolf Merkl mengembangkan stufentheorie dengan mengemukakan


bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah (das Doppelte
Rechtsantlitz) dimasa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan
berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan
menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum
itu mempunyai masa berlaku (rechtskraht) yang relatif oleh karena masa
berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang
berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang di atasnya itu
dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di
bawahnya tercabut atau terhapus pula. 75

Hans Nawiasky salah seorang murid Hans Kelsen berpendapat, selain norma

hukum berlapis dan berjenjang, norma hukum dalam suatu negara juga

berkelompok-kelompok. 76

Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu


negara menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas :
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma Fundamental Negara)
Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ’Formal’)
Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana &
Aturan Otonom) 77

Istilah Staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonegoro dalam

pidatonya pada acara Dies natalis Universitas Airlangga (10 Nopember 1955) dengan

’Pokok Kaidah Fundamentil Negara’, 78 Kemudian Joeniarto, disebut dengan istilah

74
Hans Kelsen, General Theory of Law and State,(New York : Russell & Russel, 1945), hal,
113
75
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 26
76
Ibid, hal. 27
77
Ibid,sebagaimana dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als Syatem lichen
Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet. 2, 1948, hal. 31.
78
Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok
persoalan tentang Pancasila), cet. 7, (Jakarta: Bina Aksara, 1988) hal. 27.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
’Norma Pertama’, 79 sedangkan oleh A. Hamid S. Attamimi disebut dengan istilah

’Norma Fundamental Negara’. 80

Aturan dasar atau aturan pokok negara ini merupakan landasan bagi

pembentukan Undang-undang (Formell Gesetz) dan peraturan yang lebih rendah, 81

seperti peraturan pelaksana dan peraturan otonom (Verordnung & Autonome Satzung)

yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan

Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya. 82

Aturan dasar atau aturan pokok negara Indonesia tertuang dalam Batang

Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang

sering disebut konvensi ketatanegaraan dan peraturan pelaksana dan peraturan

otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan

Otonom lainnya.

Tesis ini didasarkan pada teori jenjang norma hukum (stufentheorie) bahwa

suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata

susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi (superior) dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya (inferior),

karena dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) didasarkan pada asas bahwa

79
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. ke-1, (Jakarta : Bina Aksara,
1982) hal. 6.
80
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
penyelenggaraan Pemerintah negara” (studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi
pengaturan dalam kurun waktu Pelita I Pelita VI), Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta,1990, hal.359.
81
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 30.
82
Ibid, hal. 39.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau hirarki perundang-undangan

sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya dalam penjelasanUmum

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7

ditegaskan pula bahwa “Kebijakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah

lain.

Sebagai salah satu sumber hukum dalam hirarki perundang-undangan


83
Indonesia Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

menyatakan bahwa Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan

otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa

83
Sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan Jenis dan hierarki
Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah. 84 Perda pada

dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 85 Kewenangan

membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh

suatu daerah 86 dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan

memberdayakan masyarakat 87 UU No. 32 tahun 2004 menciptakan konteks politik

yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara Pemerintah

daerah dan DPRD membentuk kebijakan publik yang menentukan. 88

Kesemua hal yang berkaitan dengan itu (pembentukan Peraturan Daerah)

berlangsung dalam proses perundang-undangan. 89 Tentang proses perundang-

undangan M. Solly Lubis 90 menyebutkan sebagai proses pembuatan peraturan negara.

Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan,

pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan.

Proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu

keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya. 91 Maka peraturan

perundang-undangan berupa UU, Perpu, PP, Peraturan Daerah dan sebagainya adalah

84
Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
85
Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
86
Rozali Abdullah, op. cit hal 131.
87
ibid , hal. 133
88
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 232.
89
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,(Jakarta : Raja
Grafindo Persada,1996), hal.185.
90
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: PT Alumni, 1983),
hal 13.
91
Faried Ali, Op. cit.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
produk atau hasil dari kegiatan pembuatan perundang-undangan itu. Peraturan

perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari

kegiatan perundang-undangan. 92

Selanjutnya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 1

angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan merumuskan pengertiannya, yakni proses pembuatan peraturan

perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik

penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan

penyebarluasan. Sedang Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan

yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama

Kepala Daerah.

Dari defenisi pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Undang-

undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dan pendapat beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa Pembentukan Peraturan

Daerah adalah:

1. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan;

2. Dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,

pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan;

3. Dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

92
M Solly Lubis, ”Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah,
disampaikan pada Seminar tentang ”Partisipasi publik dalam Proses Legislasi sebagai pelaksanaan Hak
politik”, dilaksanakan oleh Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 2 Mei
2007. hal. 2.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Secara politik, kedudukan Peraturan Daerah tidak lain merupakan produk

hukum lembaga legislatif daerah.93 Peraturan Daerah sebagaimana produk hukum

pada umumnya, akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang

kekuasaan dominan. 94 Pemerintah, termasuk Pemerintah daerah, dalam merumuskan

suatu kebijakan kadangkala bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang

penuh dari suatu kepentingan tertentu, melainkan cenderung mengumpulkan berbagai

preferensi daripada untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari satu atau

sektor lain. 95 Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan

bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya, sehingga

penyusunannya harus melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai

aspek, kepentingan dan kewenangan. 96

Tentu saja tidak diinginkan adanya Perda yang menunjukkan fungsi

instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa

daripada fungsi-fungsi lainnya, 97 yang akan mengakibatkan Perda yang dilahirkan

semakin tidak otonom dari pengaruh politik.

Asas keterbukaan perlu diperhatikan dalam pembentukannya, artinya dalam

dalam penyusunan prolegda sebagai tahap perencanaan, pembentukan Peraturan

93
Ni’matul Huda, Op cit. hal 238-239
94
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2001), hal. 9.
95
Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di indonesia,(Jakarta : Pusat
Studi Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005),hal. 263.
96
Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan
Analisis Kebijakan Bagi pengelola Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1997),
hal. 10.
97
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, teori dan Kebijakansanaan Hukum,(Jakarta :
Rajawali, 1986), hal. 29

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
daerah harus bersifat transparan. Masyarakat diberikan kesempatan berpatisipasi

dalam penyusunan prolegda agar prolegda benar-benar aspiratif. 98

Penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah daerah dilakukan secara

terkoordinasi, terarah dan terpadu antar unit-unit kerja dengan instansi lain yang

terkait. sebagaimana arahan Presiden pada sidang paripurna Dewan Perwakilan

Daerah Tahun 2006 yang menyatakan, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah

dikoordinasikan dengan instansi pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan

Peraturan Daerah itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah

departemen itu yang ada di setiap Provinsi.99

Upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan termasuk

Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi,

sederajat, sehingga tersusun secara sistematis dan tidak tumpang tindih perlu

melibatkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya

masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda

tersebut. 100

Dengan landasan teori yang dikemukakan diatas, maka analisa dan

pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini akan terjawab dengan baik secara

98
Lihat Pasal 5 huruf g dan Penjelasan UU No. 10 tahun 2004.
99
Dikutip dari Arahan Presiden pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2006.
100
Lihat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006,
Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
teoritis maupun secara praktis sebagaimana terjadi dalam praktek hukum di bidang

Pembentukan Perda.

2. Konsepsi

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan

dengan konsep yang digunakan oleh penulis.

Konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain:

a. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dalam tesis ini

adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya

dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,

pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. 101

c. Program legislasi daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan

Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. 102

d. Kanwil Departemen Hukum dan HAM adalah instansi vertikal Departemen

Hukum dan HAM yang berkedudukan di Provinsi yang berada dibawah dan

101
Pasal 1 angka (7) UU No. 10 Tahun 2004
102
Pasal 1 angka (10) UU No. 10 Tahun 2004

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia. 103

G. Metode Penelitian

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran

dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian

sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip

pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut:

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang


didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan
di dalam gejala yang bersangkutan. 104

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, deskriptif maksudnya

menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum dalam pembentukan

Peraturan Daerah dikaitkan dengan peran Kantor Wilayah Departemen Hukum

dan HAM serta pengaturan penyelesaiannya. Sedangkan analitis maksudnya data

hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan

secara cermat mengenai pembentukan Peraturan Daerah dikaitkan dengan peran

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara berdasarkan

103
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor. M-01.PR.07.10
Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, (Jakarta :Departemen Hukum dan HAM RI,2005).
104
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal. 43.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
ketentuan hukum dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh

Soeryono Soekanto, “penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang

bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang

diselidiki”. 105

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian

semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal 106 (doctrinal

research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam

buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh

hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial

process). 107 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen

dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui

wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.

105
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.
106
Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang
mempergunakan data sekunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988), hal. 10.
107
Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”,
Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum
pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder 108 , yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang

pembentukan Peraturan Daerah, antara lain Undang-undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan

peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pembentukan

Peraturan Daerah;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar

hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan

pembentukan Perda;

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 109

108
Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian
Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14.
109
Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1985), hal. 23.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui:

a. Studi kepustakaan (library research).

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan

data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi

literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan

tentang pembentukan Perda dan peraturan perundang-undangan lain yang

relevan dengan materi penelitian.

b. Wawancara

Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh

dengan melakukan wawancara dengan pejabat di Direktorat Jenderal

Perundang-undangan, Pejabat di Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara,

Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dan pejabat pada Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara.

4. Analisis Data

Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library

research) serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka

dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian

data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif

ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif

dan induktif.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam

praktek pembentukan Perda. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-

peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan

dasar hukum dalam pembentukan Perda.

Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif ini, maka akan diperoleh

persesuaian tentang bagaimana sebenarnya pola pembentukan Perda dikaitkan

dengan peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara.

Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang

memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
BAB II

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH


DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Konsepsi Otonomi Daerah

Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Ketentuan

konstitusional ini memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia dibangun

dalam bentuk kerangka negara yang berbentuk kesatuan, bukan federasi. Oleh karena

itu daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri (otonomi daerah) tanpa lepas dari bingkai negara kesatuan sebagaimana

diamanatkan UUD 1945.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah mengalami pasang surutnya

pemerintahan melalui beberapa kali penggantian Undang Undang Dasar. Secara rinci

Mohammad Hatta menguraikan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945

menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk

Republik”. Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 menegaskan bahwa “Republik

Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara Hukum yang Demokratis

dan berbentuk Federasi”. Pasal 1 ayat (1) UUD Sementara 1950 menegaskan,

“Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
demokratis dan berbentuk kesatuan”. 110 Perubahan bentuk negara dan pemerintahan,

mulai dari sistem presidentil berubah menjadi sistem parlementer, dan kembali lagi

menjadi sistem presidentil. Undang Undang Dasar 1945 dengan Negara Kesatuan,

Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dengan negara federal dan

Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 menganut negara kesatuan. 111

Negara Federal bukanlah nomenklatur kenegaraan dalam negara Kesatuan

(eenheidsstaat atau unitary state). Negara kesatuan tidak mengenal bentuk

pemerintahan federal. Negara Federal bukan negara kesatuan, tetapi negara persatuan.

Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan

mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. 112

Dalam negara kesatuan adalah adanya organisasi yang dibentuk sebagai

daerah swatantra didalamnya, namun hak otonominya tidak boleh melampaui

volume yang akan menjadikan daerah itu sebagai satu negara bagian seperti halnya

dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia. 113

Dengan adanya perbedaan tersebut di atas, maka dalam Negara Kesatuan

dapat diidentifikasi ciri batasan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan
110
Mohammad Hatta, Uraian Pancasila, (Jakarta:Mutiara, 1977), hal. 7. UUD 1945
ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang merupakan hasil rancangan BPUPKI tanggal 25
Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Juni 1945. Diundangkan dalam Berita Repoeblik, Tahoen II
Nomor 7, Percetakan Repoeblik Indonesia, tanggal 15 Pebruari 1946. Sebagaimana dikutif oleh
Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah, (Bogor: Ghalia, 2007), hal. 5.
111
Harun Al-Rasyid, “Peraturan Perundang-undangan dalam Konstitusi Indonesia”, Makalah,
disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008,
Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008, hal. 1.
112
Harun Al-Rasyid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta: UI-
Press, 2007), hal 26.
113
Andi Mallarangeng,Dkk, Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis,
(Yogyakarta: Bigraf Publishing,1999), hal 122.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
pemerintah daerah yaitu: Pemerintah Daerah tidak memiliki kedaulatan secara

sendiri-sendiri dan terlepas dari kedaulatan negara kesatuan, dan kedudukan

pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah negara kesatuan.

Prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan pada negara kesatuan, dapat

diuraikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu; 114

Pertama, kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik pemerintah pusat,


daerah diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan. Jadi, terjadi
proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan. Kedua, Pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan
hierarkis. Pemerintah sebagai subordinasi pemerintah pusat namun hubungan
yang dilakukan tidak untuk mengintervensi atau mendikte pemerintah daerah
dalam berbagai hal. Ketiga, kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan
kepada daerah dalam kondisi tertentu, dimana daerah tidak dapat
menjalankannya dengan baik, maka kewenangan tersebut dapat ditarik
kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan tersebut.

Kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah pusat ditetapkan secara umum

dalam Undang-undang Dasar, sedangkan kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah

daerah termasuk dalam pembentukan produk hukum ditetapkan oleh lembaga

pembuatan undang-undang di tingkat pusat. 115

114
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal.71-72. Sebagaimana dikutip dari Shahid Javed
Burki, Guilermo E. Perry, William R. Dilinger, “ Beyond The Centre : Dcentralizing The State”, The
World Bank, 1999, hlm. 18.
115
Ibid, Disarikan dari pendapat Leon P. Baradat, Political Ideologis, Their Origin and
Impact,(New Jersey: Prentice Hall Inc, 1979), hal. 111. yang menyatakan bahwa Negara kesatuan
merupakan negara yang bersusunan tunggal yang diorganisasikan di bawah sebuah pemerintah pusat.
Kekuasaan dan kewenangan yang terletak pada sub nasional (wilayah atau daerah), dijalankan atas
diskresi pemerintah pusat sebagai pemberi kekuasaan khusus kepada bagian-bagian pemerintah yang
ada dalam negara kesatuan. Struktur kekuasaan dalam negara kesatuan adalah sederhana karena
seluruh kekuasaan pemerintahan konstitusional terpusat di tingkat pemerintahan yang tunggal
(nasional). Pemerintah daerah bergantung pada pemerintah pusat karena segala kewenangan dan
kekuasaan yang dimilikinya berasal/diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak
memiliki justifikasi secara atributif dari konstitusi.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Di dalam Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Negara Kesatuan

Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi

atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang Undang. Penggunaan istilah dibagi

atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten

dimaksudkan untuk menegaskan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah

yang bersifat hirarkis dan vertikal. 116

Negara Indonesia adalah negara yang berbentuk kesatuan (unitary state).

Kekuasaan asal berada di pemerinta pusat, namun kewenangan (authorithy)

pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam UUD dan Undang-undang,

sedangkan kewenangan yang tidak disebutkan dalam UUD dan Undang-undang

ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. 117

Asas pemerintahan daerah ditegaskan di dalam Pasal 18 Ayat (2) bahwa

pemerintahan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 118

116
Pengaturan mengenai desentralisasi dalam negara kesatuan cenderung diletakkan dalam
aturan konstitusi, dimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah hierarki, tidak seperti
dengan negara federal, dimana hubungan antara pemerintah federal dengan negara tidak otomatis
hierarki (bawahan).
117
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, (Jakarta: The Habibie
Centre, 2001), hal. 28.
118
Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke-2 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Oleh sebab itu secara universal asas pemerintahan daerah mencakup 3 (tiga)

asas penting yaitu:

1. Asas desentralisasi

2. Asas dekonsentarsi

3. Tugas pembantuan. 119

Pemerintah pusat sebagai pihak yang melimpahkan wewenang tetap

bertanggungjawab terhadap pelaksanaan urusan yang telah

dilimpahkan. Penyelenggaraan asas desentralisasi dan dekonsentralisasi

dilaksanakan di propinsi.

Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional ke pemerintahan

lokal dan juga menggambarkan pendelegasian atau devolusi kewenangan pembuatan

keputusan kepada pemerintah yang tingkatannya lebih rendah. 120 Dengan kata lain

desentralisasi merupakan pelaksanaan pembagian kewenangan antara Pemerintah

Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam negara kesatuan dalam rangka otonomi

daerah. 121

119
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Sinar Harapan, 2000), hal
32.
120
Ibid.
121
Mustamin Dg Matutu, dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: UIII Press, 2004), hal. 35-36. Desentralisasi berarti pemencaran atau penyebaran
wewenang dari pusat ke bagian-bagian organisasi di bawahnya, baik secara teritorial, fungsional,
teknis maupun kultural. Dekonsentrasi diartikan pada penyebaran atau pemencaran kewenangan pusat
kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat.
Sedangkan desentralisasi diartikan sebagai pengalihan (pendelegasian) sebagian kewenangan petugas
pusat secara peerseorangan yang sengaja di bentuk untuk mengurusi dan menangani sendiri sejumlah
urusan yang diberi status otonom. Desentralisasi merupakan lawan dari sentralisasi, sedangkan
dekonsentrasi lawan dari konsentrasi. Sentralisasi berarti pemusatan kewenangan dan pengambilan
keputusan berada di pusat dan tidak ada pendelegasian ke daerah. Sedangkan konsentrasi pada

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Undang Undang yang mengatur otonomi daerah saat ini adalah Undang

Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang

Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah.

Di dalam Undang Undang 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 Angka 6 pengertian

daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pembentukan daerah otonom merupakan

“perintah” (amanat) konstitusi. 122 Daerah otonom tersebut pada dasarnya merupakan

satu kesatuan wilayah sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai ikatan serta

mempunyai kewenangan untuk mengurus kepentingan dengan tetap berada dalam

ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 123 Daerah otonom dibangun melalui

perangkat substansi (kaidah) hukum, yang memiliki kewenangan “otonomi”.

Penguatan otonomi menciptakan keseimbangan antara penyerahan dan pelimpahan

kewenangan kepada pemerintah daerah dan menjaga keutuhan NKRI.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

dikemukakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 124

hakikatnya sama dengan sentralisasi, yang keduanya berarti peneumpukan atau pemusatan kekuasaan
di pusat organisasi.
122
Benyaminn Hoessein, Loc. cit
123
Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
124
Pemberian sebagian kewenangan (kekuasaan) kepada daerah berdasarkan hak otonomi
(negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir, kekuasaan tertinggi tetap di

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran

serta masyarakat dan daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan

yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan

otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.125

Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa prinsip yang dipakai dan

melandasai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan undang-undang no. 32 Tahun

2004 ini adalah “Otonomi seluas-luasnya yang nyata dan bertanggungjawab”.

Porsi otonomi daerah menurut Laica, 126 tidak cukup dalam wujud otonomi

daerah yang luas dan bertanggung jawab, tetapi juga harus diwujudkan dalam format

otonomi yang seluas-luasnya. Konsep pemerintahan otonomi yang seluas-luasnya

merupakan salah satu upaya untuk menghindari ide negara federal. Cakupan otonomi

yang seluas-luasnya adalah bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkun ke

daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri.

tangan pemerintah pusat. Lihat juga Penjelasan umum angka 1 Dasar Pemikiran Undang -Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
125
Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 1 huruf a.
126
Laica Marzuki, op. cit, hal. 9.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Di sisi lain, Soehino 127 berpandangan bahwa cakupan otonomi yang seluas-

luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk

menjadi urusan rumah tangga sendiri. Nasroen 128 berpendapat bahwa otonomi daerah

yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan negara kesatuan.

Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi tidak boleh meretakkan,

apalagi memecah negara kesatuan.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah berupa

peraturan-peraturan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 129

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata

dimana urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. 130 Hal senada diungkapkan

oleh Hatta 131 bahwa dasar kedaulatan rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan

nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pemerintah negeri, melainkan juga pada

127
Soehino, Op. cit,, hal. 50.
128
M. Nasroen, Masalah-masalah di Sekitar Otonomi Daerah, (Jakarta: Wolters, 1951), hal. 28,
sebagaimana dikutip ulang oleh Agussalim Andi Gadjong.
129
Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 1 huruf b.
130
Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
131
Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka Kumpulan Karangan Jilid I, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), hal. 103.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
setiap tempat (daerah). Tiap-tiap golongan atau bagian rakyat mendapat otonomi

(membuat dan menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan

peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena

keperluan tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berbeda-beda.

Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama

dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung

jawab menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah 2004 adalah otonomi yang

dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud

pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan

nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu

penyelenggaraan otonomi daerah, juga harus menjamin keserasian hubungan antara

Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah

untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar

Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu

menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus

mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.

Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam Undang Undang

Nomor 32 Tahun 2004 yaitu: “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,

pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang

lain”. 132

Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak

diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi wewenang

pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. 133 Sebagai

demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan daerah mempunyai

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan dan aspirasi

masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap

pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah

merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur,

mengurus dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri.

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas,

nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk

132
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
133
Wahidudin Adam,”Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan Peraturan Daerah”,
Makalah, disampaikan pada disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-
undangan Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008, hal. 3.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan

memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya.

Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan

kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam hal ini

pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi hanya diberi kewenangan meliputi

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua

aspek pemerintahan.

B. Proses Pembentukan Peraturan Daerah

1. Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah

Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menyatakan bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu

Program Legislasi Daerah selanjutnya disebut Prolegda. 134 Program legislasi

merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan

yang memuat skala prioritas program legislasi dengan jangka waktu tertentu yang

disusun secara berencana, terpadu dan sistematis 135 oleh DPRD dan Pemerintah

Daerah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka

mewujudkan sistem hukum di daerah.

134
Pasal 15 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
135
Pasal 1 angka 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Program legislasi merupakan pedoman dan pengendali penyusunan peraturan

perundang-undangan yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk Peraturan

Daerah. 136 Pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan

program legislasi tidak saja akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang

diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai

dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan

reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maupun di masa

yang akan datang. 137 Pengelolaan Prolegda diarahkan agar program penyusunan

peraturan daerah dapat dilaksanakan pembentukannya sesuai dengan skala prioritas

yang ditetapkan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah yang disusun

berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem

peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, dalam sistem hukum

nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 atau Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang mekanisme penyusunan Prolegda.

Kedua Undang-undang tersebut juga tidak memerintahkan secara tegas untuk

mengatur lebih lanjut tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam

136
A.A. Oka Mahendra, op.cit, hal 114.
137
Hasil wawancara dengan Maria Farida Indrati Soeprapto sebagai Pengajar/Widyaswara
pada Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Tahun 2008 di Jakarta pada Tanggal 16 Desember
2008.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
peraturan pelaksanaan sebagaimana penyusunan Prolegnas. Padahal Prolegda

dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap

berada dalam kesatuan sistem hukum nasional, 138 maka instrumen perencanaannya

juga perlu diselaraskan dengan Prolegnas.

Pedoman penyusunan Prolegda diatur dalam Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Prolegda. Keputusan

ini ditetapkan pada 26 Agustus 2004 atau 2 (dua) bulan 4 (empat) hari setelah

ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Sehingga tampak Keputusan ini belum mengacu

kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Mekanisme penyusunan Prolegda secara garis besar dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Pimpinan unit kerja menyiapkan Rencana Prolegda setiap tahun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan tugas dan fungsi masing-
masing unit kerja;
2. pembahasan rencana Prolegda tersebut dikoordinasikan Biro Hukum Sekretariat
Provinsi/Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota;
3. hasil pembahasan Prolegda tersebut diajukan oleh Biro Hukum Sekretariat
Provinsi kepada Gubernur dan oleh Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota
kepada Bupati/Walikota;
4. Prolegda provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan Prolegda Kabupaten/Kota
ditetapkan oleh Bupati/Walikota. 139

138
M. Solly Lubis, “Dasar-Dasar Paradigmatik Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”, Makalah yang disampaikan pada Diklat Legislatif Drafting-Peningkatan Kapabilitas
Aparatur Pemerintah Daerah dalam Penyusunan Perda di Era Otonomi Daerah, diselenggarakan atas
kerja sama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dengan Laboratorium Konstitusi Sekolah
Pascasarjana USU dan JICA (Japan International Cooperation Agency) Human Resources
Development for local Goverment, di Medan 27 Nopember -1 Desember 2006.
139
Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Prolegda.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Penyusunan Prolegda di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani

bidang legislasi. Penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah

dikoordinasikan oleh unit kerja yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang

peraturan perundang-undangan. Biro hukum di provinsi dengan melibatkan Kantor

wilayah Departemen Hukum dan HAM 140 sedangkan di Kabupaten/Kota koordinasi

Prolegda dilakukan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota.

Pada prakteknya, koordinasi dalam penyusunan Prolegda di Provinsi

Sumatera Utara jarang melibatkan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

Sumatera Utara. Pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera

Utara dalam penyelenggaraan Prolegda lebih sering dilakukan pada tahapan

pengharmonisasian dan pemantapan program Ranperda yang diterima dengan

Pimpinan unit-unit kerja pemrakarsa program. Seperti yang dilakukan pada Ranperda

Provinsi Sumatera Utara tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan

Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan.

Hubungan antar instansi atau koordinasi dalam penyelenggaraan Prolegda

selama ini dilakukan bekerja sama dengan Biro Hukum Pemerintahan Provinsi,

Sekretariat DPRD, perguruan tinggi, dan seluruh Bagian Hukum Pemerintahan

140
Sebagaimana arahan Presiden di depan Sidang Paripurna DPD-RI Tanggal 23 Agustus
2006, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah dikoordinasikan dengan instansi pemerintah pusat.
Aspek-aspek hukum penyusunan Perda itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah
departemen itu yang ada di setiap Provinsi.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Kabupaten/Kota. Perencanaan penyusunan Prolegda juga mengikutsertakan dan

mempertimbangkan masukan dari masyarakat.

Alur persiapan penyusunan Prolegda pada unit kerja Pemerintah daerah yang

tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam hal ini

Biro Hukum meminta kepada Pimpinan unit kerja di lingkungan Pemerintah daerah

rencana-rencana penyusunan Perda di lingkungan kerja masing-masing sesuai dengan

lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan penyusunan

perda ini disertai dengan konsepsi Ranperda.

Konsepsi Ranperda memuat pokok materi yang akan diatur yang meliputi:

1. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

2. Sasaran yang akan diwujudkan;

3. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan

4. Jangkauan dan arah pengaturan. 141

Konsepsi Ranperda tersebut dilakukan pengharmonisasian dan pemantapan

program Ranperda yang diterima dengan Pimpinan unit-unit kerja pemrakarsa

program dan Pimpinan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM oleh Biro

Hukum. 142 Untuk itu dibentuk Panitia Prolegda Pemerintah daerah. Dalam Panitia

Prolegda Pemerintah daerah dapat diikutsertakan kalangan Praktisi, Akademisi,

141
Dikutip dari makalah Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Suharyono, AR, Pengaturan tentang
Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda, yang disampaikan pada Temu Konsultasi Panitia Legisasi
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, diselengarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM,
Medan 27-29 Maret 2007.
142
Dikutip dari makalah Kepala Biro Hukum Setdaprovsu Ferlin Nainggolan,Program
Legislasi Daerah, yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Legal Drafter Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara Tahun Anggaran 2008.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
perorangan yang memiliki keahlian dibidangnya, organisasi kemasyarakatan dan

Lembaga Swadaya Masyarakat sesuai kebutuhan. Pembentukan Panitia Prolegda

Pemerintah daerah diatur dengan Keputusan Kepala daerah.

Program Ranperda yang telah diharmonisasikan dimintakan persetujuan

terlebih dahulu kepada Kepala daerah sebagai Prolegda yang disusun di lingkungan

Pemerintah Daerah untuk dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilaan Rakyat

Daerah. Persetujuan Kepala Daerah terhadap Prolegda yang disusun di lingkungan

Pemerintah Daerah diberitahukan secara tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi.

Hasil penyusunan Prolegda di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dan Pemerintah Daerah dibahas bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah

yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPRD. Hasil konsultasi ini dilaporkan

kepada Kepala Daerah dan dilaporkan pada rapat Paripurna DPRD untuk

mendapatkan penetapan.

Dalam keadaan tertentu dimana pelaksanaan pembentukan Perda yang

menjadi program penyusunan peraturan dalam Prolegda belum dapat diselesaikan

dalam tahun berjalan sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan, maka

pembentukan Perda tersebut dapat dijadikan Prolegda tahun berikutnya dengan skala

prioritas (carry over program). 143 Disisi lain, dalam keadaan tertentu dengan

memperhatikan kebutuhan masyarakat, program penyusunan peraturan dalam

143
Hasil wawancara dengan Ridwan sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Sumatera Utara pada Tanggal 16 Desember 2008.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Prolegda jangka panjang menengah atau tahunan dapat diubah skala prioritasnya

setelah disepakati bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah. 144

Sehubungan dengan itu, ada beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan

pedoman dalam mengatur mekanisme atau tata cara penyusunan Prolegda sebagai

berikut:

1. Cakupan Peraturan Daerah mengacu kepada Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 10 Tahun 2004 yang menentukan bahwa, Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: (a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat
oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur; (b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota berama Bupati/Walikota; (c) Peraturan
Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Dewan Perwakilan Desa atau nama
lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya;
2. memperhatikan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, artinya dalam proses penyusunan Prolegda sebagai tahap perencanaan
pembentukan Peraturan Daerah harus bersifat transparan. Masyarakat diberikan
kesempatan berpartisipasi dalam penyusunan Prolegda agar Prolegda betul-betul
aspiratif;
3. penyusunan Prolegda dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota bersama dengan
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sebagai lembaga yang berwenang untuk
membentuk Peraturan Daerah;
4. penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah dilakukan secara terkoordinasi,
terarah dan terpadu antar unit-unit kerja di lingkungan sekretariat daerah dngan
instansi lain yang terkait;
5. dalam Prolegda ditetapkan skala prioritas jangka panjang, menengah atau tahunan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat di daerah dan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah serta tugas pembantuan;
6. dalam Prolegda perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya
dengan peraturan perundang-undangan lainnya;
7. pelaksanaan Prolegda perlu dievaluasi setiap tahun dalam rangka melakukan
penyesuaian seperlunya dengan dinamika perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat. 145
Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang

Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa pembiayaan

144
Ibid
145
A.A. Oka Mahendra, op.cit, hal 117-118.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
program penyusunan peraturan dalam Prolegda dilakukan atas beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah. Anggaran DPRD untuk Prolegda yang disusun di

lingkungan DPRD dan anggaran Pemerintah Daerah perencana/pemrakarsa program

penyusunan Perda untuk Prolegda yang disusun di lingkungan Pemerintah Daerah.

2. Persiapan dan Perumusan Rancangan Peraturan Daerah

a. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Pemerintah

Persiapan pembentukan Perda pada bagian ketiga Pasal 26 Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menyebutkan Ranperda dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau

Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah

Provinsi, Kabupaten/Kota. Ranperda menjalani serangkaian tahapan penyusunan

sampai akhirnya menjadi suatu produk hukum daerah yaitu Peraturan Daerah.

Rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak perencanaan sampai

dengan penetapan disebut prosedur penyusunan produk hukum daerah. 146 Menurut

Peraturan Menteri Dalam Negeri, Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah dapat

diuraikan sebagai berikut:

146
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
1). Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan pimpinan Unit Kerja/Dinas/Leading Sector dapat

memprakarsai rencana penyusunan produk hukum daerah (Ranperda). 147 Rencana

penyusunan Perda tersebut diajukan oleh Pimpinan Unit Kerja/Dinas/ kepada

Sekretaris Daerah untuk dilakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan.

Seperti Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Penanganan Gelandangan dan

Pengemis diprakarsai oleh Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, Ranperda Provinsi

Sumatera Utara tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara diprakarsai oleh

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Ranperda tentang Tata Ruang oleh

Dinas Tata Ruang dan Pemukiman.

Pengajuan rencana penyusunan produk hukum tersebut harus dilampiri dengan

pokok-pokok pikiran. Isi pokok-pokok pikiran terdiri dari: maksud dan tujuan

pengaturan, dasar hukum, materi yang akan diatur dan keterkaitan dengan peraturan

perundangan-undangan lain. Hal ini lebih dikenal dengan istilah Naskah Akademik

yaitu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi

yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan

lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan substansi rancangan peraturan

perundang-undangan. 148 Perlu tidaknya Naskah Akademik dalam Perpres tersebut

147
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.
148
Lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden dan
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
merupakan pilihan bagi Pemerintah untuk menyediakan, 149 sedangkan bagi DPR-RI

melalui Tata Tertibnya, penyediaan Naskah Akademik diwajibkan dalam setiap

penyusunan RUU. Secara tidak langsung, kewajiban tersebut berimbas bagi

Pemerintah untuk selalu menyediakan. Jika Pemerintah tidak menyediakan,

kemungkinan besar RUU yang diajukan tidak dapat masuk dalam Prolegnas sebagai

daftar prioritas. Seharusnya kewajiban itu juga memiliki imbas bagi Pemerintah

Daerah dalam penyusunan Prolegda.

Naskah Akademik dalam proses penyusunan suatu RUU (juga Ranperda)

merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin

dipecahkan melalui produk hukum yang akan dibentuk dan disahkan. Dari potret itu

dapat ditentukan apakah peraturan itu akan melembagakan apa yang telah ada dan

berjalan di masyarakat (formalizing) atau membuat aturan yang bertentangan

sehingga dapat mengubah masyarakat (law as a tool for social engineering). 150

Makna yang sering dikemukakan oleh pembentuk undang-undang bahwa dalam

pertimbangan RUU/Raperda selalu dicantumkan segi filosofis, sosiologis, dan

yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur 151 mengingatkan kepada kita

149
Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan
Presiden dinyatakan bahwa “Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-Undang dapat terlebih
dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Undang-
Undang”. Kata “dapat” berarti tidak merupakan suatu keharusan.
150
Hikmanto Juwana, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan
Pembentukan Rancangan Undang-undang”, Makalah, disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan
Prolegnas Pemerintah di Cisarua Bogor Tahun 2006, hal. 2.
151
Lihat Pasal 5 ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
semua betapa segi tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada

dan bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang filosofis dan

yuridis. 152

Dengan Naskah Akademik, fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan secara

bersama oleh Pemerintah (Pemda) dan DPR-RI (DPRD), tanpa mementingkan

golongan atau kepentingan individu. Jika Naskah Akademik selalu mendasarkan pada

urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran,

lingkup, atau objek yang akan diatur, serta jangkauan serta arah pengaturan yang

memang dikehendaki oleh masyarakat, maka proses bottom up yang selama ini

diinginkan oleh masyarakat, akan terwujud. Jika suatu RUU/Raperda yang dihasilkan

melalui proses bottom up, diharapkan perundang-undangan yang dihasilkan akan

berlaku sesuai dengan kehendak rakyat dan berlakunya langgeng. 153

Untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan, Sekretaris

Daerah menugaskan kepada Biro/Bagian Hukum. Rancangan produk hukum daerah

dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja

perangkat daerah terkait, 154 menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip

mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. 155 Ketua Tim Antar

152
H.A.S. Natabaya, “Upaya Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi”, Majalah Hukum Nasional, No.2, Tahun 1999, hal. 7.
153
Hasil wawancara dengan Maria Farida Indrati Soeprapto sebagai Pengajar/Widyaswara
pada Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Tahun 2008 di Jakarta pada Tanggal 16 Desember
2008.
154
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.
155
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum

daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk memperoleh

arahan. 156

2). Tahap Perancangan

a). Setelah mendapat persetujuan Sekretaris Daerah, Pimpinan Unit Kerja

menyiapkan draf awal dan melakukan pembahasan. Dalam pembahasan draf

awal melibatkan Biro/Bagian Hukum dan Unit Kerja terkait.

b). Tanpa mengurangi prakarsa Unit Kerja/Dinas Biro/Bagian Hukum dapat

melakukan penyusunan produk hukum daerah. Unit kerja dapat

mendelegasikan kepada Biro/Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan

dan pembahasan rancangan produk hukum daerah. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006

tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

c). Penyusunan produk hukum dapat dibentuk Tim Antar Unit Kerja di uraikan

dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun

2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Tim tersebut

diketuai oleh Pejabat Pimpinan Unit Kerja yang ditunjuk oleh Kepala

Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum berkedudukan selaku Sekretaris

Tim. Penunjukan ini di dasarkan pada Pasal 5 ayat (4) Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk

156
Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Hukum Daerah . Dari hasil penelitian, Tim Antar Unit Kerja dalam

pembentukan suatu Ranperda tidak selalu diketuai oleh Pejabat Pimpinan

Unit Kerja tetapi dapat dilimpahkan kepada wakil instansi terkait yang

dihunjuk. Seperti pada penyusunan Ranperda Provinsi Sumatera Utara

tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Ranperda itu diprakarsai

oleh Dinas Sosial tetapi tim menghunjuk Wakil dari perguruan

tinggi/akademisi untuk mengetuai tim tersebut.

d). Setelah rencana produk hukum selesai dilakukan pembahasan, Pimpinan

Unit Kerja menyampaikan kepada Sekretaris Daerah melalui Biro/Bagian

Hukum untuk selanjutnya diajukan kepada Kepala Daerah.

e). Sebelum rancangan produk hukum disampaikan kepada Kepala Daerah,

harus terlebih dahulu mendapat paraf dari Pimpinan Unit Kerja terkait.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum

Daerah. Pelaksanaan paraf dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah yang

dalam hal ini Biro/Bagian Hukum.

f). Rancangan produk hukum yang telah mendapat paraf koordinasi Pimpinan

Unit Kerja, disampaikan oleh Kepala Biro/Bagian Hukum kepada Sekretaris

Daerah 157 untuk diajukan kepada Kepala Daerah.

157
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
g). Dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun

2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ditegaskan

bahwa Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau

penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah yang telah

diparaf koordinasi. Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan produk

hukum daerah dikembalikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah

pemrakarsa. 158 Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah

tersebut disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf

koordinasi oleh Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan

pimpinan satuan perangkat daerah terkait. 159

3). Tahap Pembahasan

Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16

Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, menegaskan

sebagai berikut;

a). Pada tahapan ini, Ranperda disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan pembahasan. Sebelum

disampaikan kepada DPRD terlebih dahulu dilakukan Penomoran produk

hukum Biro/Bagian Hukum. Rancangan produk hukum yang telah

158
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.
159
Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
ditetapkan dan diberikan nomor, harus diautentikasi oleh Kepala

Biro/Bagian Hukum.

b). Pembahasan Ranperda atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pejabat Unit Kerja yang

ditunjuk oleh Kepala Daerah. Dari hasil penelitian, selalu disesuaikan

dengan materi Ranperda yang akan dibahas. Misalnya, Ranperda Provinsi

Sumatera Utara tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan maka pejabat unit

yang dihunjuk adalah Kepala Dinas Kesehatan.

c). Pembahasan Ranperda di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas

inisiatif Pemerintah maupun atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau

pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah, dengan sekretariat berada pada

Biro Hukum atau Bagian Hukum.

4). Tahap Pengundangan

Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16

Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah mengatur secara

rinci tahap pengundangan Ranperda yang telah mendapat persetujuan DPRD

ditetapkan menjadi Perda. Setelah ditandatangani oleh Gubernur Bupati/Walikota

serta dibubuhi cap jabatan diserahkan kepada Sekretaris Daerah untuk diundangkan

dalam Lembaran Daerah selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah

ditetapkan. Pengundangan peraturan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah namun

dapat didelegasikan kepada kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
5). Tahap Sosialisasi

a). Sosialisasi produk hukum dilakukan secara bersama-sama antara

Biro/Bagian Hukum dan Unit Kerja pemrakarsa. Pada prakteknya tidak saja

dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum dengan instansi pemrakarsa tetapi juga

melibatkan instansi terkait lainnya termasuk Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM Sumatera Utara. Kantor Wilayah Departemen Hukum

dan HAM Sumatera Utara bekerja sama dengan Biro Hukum Provinsi

Sumatera Utara dalam mensosialisasikan beberapa Perda Provinsi Sumatera

Utara, seperti Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 4

Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Sosialisasi

Perda tersebut dilakukan di Ibukota Provinsi dan di beberapa Kabupaten di

Provinsi Sumatera Utara.

b). Penggandaan, Pendistribusian dan pendokumentasian produk-produk

hukum, dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum.

c). Biaya penyusunan produk hukum, dibebankan pada anggaran pendapatan

dan belanja. 160

Berdasarkan uraian tentang Teknik dan Prosedur Penyusunan Peraturan

Daerah di atas, dalam konteks pembaharuan dan rekayasa model pembentukan

160
Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Peraturan Daerah yang lebih baik di masa depan, ada beberapa catatan bagi rujukan

Teknik dan Prosedur Penyusunan Perda sebagai berikut:

Pertama, secara umum Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah tersebut masih menganut paradigma lama yang

cenderung executive heavy, karena masih mencerminkan kekuatan pembentuk

Peraturan Daerah adalah eksekutif (Gubernur/Bupati/Walikota). Jika merujuk pada

semangat dan perubahan yang terjadi pasca amandemen UUD 1945, pihak yang

mengesahkan semestinya bukan Gubernur/Bupati/Walikota tetapi Dewan Perwakilan

Rakyat. 161 Lembaga yang mengundangkan Perda kedalam Berita dan Lembaran

Daerah juga semestinya bukan Sekretaris Propinsi/Kabupaten/Kota, melainkan

Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kedua, rujukan prosedur penyusunan Perda tersebut tidak secara tegas

menekankan pentingnya proses penelitian (riset), pembuatan makalah inti (position

paper), dan naskah akademik yang semestinya mendasari setiap perancangan/

penyusunan Perda. Padahal, agar setiap Perda yang dikeluarkan benar-benar mampu

menjawab permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan tidak

bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, serta tidak

menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat perlu melalui suatu proses

penelitian secara ilmiah.

161
Hasil wawancara dengan Harun Al-Rasyid sebagai Pengajar/Widyaswara pada Pelatihan
Perancangan Perundang-undangan Tahun 2008 di Jakarta pada Tanggal 17 Desember 2008.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Ketiga, rujukan prosedur penyusunan Perda tersebut juga tidak secara tegas

membuka partisipasi publik seluas-luasnya dalam proses penyusunan Perda, mulai

dari tahapan perencanaan, perancangan, permbahasan, hingga sosialisasi. Dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis, penyusunan Peraturan

Daerah, perlu mengikut sertakan masyarakat, misalnya melalui dengar pendapat,

diseminasi aspirasi, dan sebagainya, dengan tujuan agar dapat mengakomodasikan

kepentingan masyarakat luas tersebut untuk dituangkan dalam Perda. Peran serta

masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila

Perda ditetapkan dan diundangkan.

Keempat, di era demokratisasi dan otonomi dewasa ini, beberapa ketentuan

Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah

tersebut dirasakan cukup kaku (rigid) untuk mampu mengimbangi dinamika aspirasi

masyarakat daerah. Semakin luasnya kewenangan daerah sesuai dengan konsepsi

otonomi daerah, berbanding lurus dengan semakin kompleksnya urusan dan

permasalahan di daerah, dan itu berarti para penyelenggara pemerintahan di daerah

harus semakin responsif dan proaktif, termasuk dalam proses penyusunan regulasi

daerah. Pedoman penyusunan Perda yang rigid dan kaku, akan menjadi salah satu

faktor penghambat yang cukup berarti bagi para penyelenggara pemerintahan di

daerah. 162 Untuk kepastian hukum, setiap produk hukum harus dirancang dengan

format dan teknis penulisan yang baik dan benar, serta berdasarkan prosedur yang

162
Hasil wawancara dengan Ridwan sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Sumatera Utara pada Tanggal 16 Desember 2008.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
sah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu perlu adanya standarisasi

bentuk produk hukum daerah. Namun demikian, standardisasi yang kaku dan tidak

mampu mengimbangi perkembangan aspirasi masyarakat, justru akan melahirkan

“penolakan” dan “pelanggaran” dari masyarakat sendiri, terbukti dengan banyaknya

Perda yang dianggap “bermasalah” dan dibatalkan oleh Departemen Dalam Negeri.

Sebagaimana Peraturan daerah di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Utara yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri maupun direkomendasikan

pembatalannya oleh Menteri Keuangan, diantaranya Perda Kabupaten Asahan

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perijinan Usaha Perkebunan, Perda pada Kabupaten

yang sama Nomor 13 Tahun 2004 tentang Izin Pemakaian Kekayaan Daerah. Perda

Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 12 Tahun 2006 tentang Retribusi Angkutan

Hasil Alam, Perda Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 34 Tahun 2005 tentang

Retribusi Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Perda Kabupaten yang sama

Nomor 38 Tahun 2005 tentang Izin Usaha Angkutan Kendaraan Bermotor Umum

dan Kendaraan Bermotor Khusus, Nomor 39 Tahun 2005 tentang Retribusi Izin

Bongkar Muat Barang Dagangan dan Nomor 46 Tahun 2005 juga tentang Retribusi

Izin Usaha Perkebunan.Perda Kabupaen Toba Samosir Nomor 3 Tahun 2003 tentang

Retribusi Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Perda Kabupaten yang sama Nomor

8 Tahun 2006 tentang Retribusi Surat Izin Usaha dan Trayek Angkutan, Perda

Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan,

Perda Kabupaten Samosir Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Pembuangan

Limbah Cair. Juga termasuk Perda Provinsi Sumaera Utara Nomor 7 Tahun 2002

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
tentang Retribusi Penyelenggaraan Angkutan Barang. 163 Pada umumnya Perda yang

dibatalkan adalah Perda yang menyangkut Retribusi karena Retribusi yang

dibebankan dalam Perda Pemerintah Kabupaten/Kota bukan hanya membebani

pengusaha tetapi juga membebani warga sehingga beban yang ditanggung oleh

pemegang komoditi juga ditanggung oleh konsumen. Hal ini bertentangan dengan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang

Retribusi Daerah. 164

b. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Amandemen Undang Undang Dasar 1945 menyiratkan kekuasaan

pembentukan Undang Undang bergeser ke Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan

Pasal 20 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang

kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Pada Ayat (2) ditentukan bahwa “Setiap

Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama”.

Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) perubahan pertama UUD 1945, maka

mestinya Kepala Daerah tidak lagi memegang kekuasaan membentuk peraturan

daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif Daerah yang

163
Laporan Kepala Biro Hukum Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Rapat
Koordinasi/ Pertemuan Sekretaris DPRD dan Para Kepala Bagian Hukum Kabupaten/Kota Se-
Sumatera Utara di Biro Hukum Kantor Gubernur Provsu-Medan, Tanggal 23 Pebruari 2009.
164
Hasil wawancara dengan Ferlin Nainggolan sebagai Kepala Biro Hukum Provinsi
Sumatera Utara di Kantor Gubernur Sumatera Utara Medan pada Tanggal 24 Pebruari 2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah. 165 Kepala Daerah hanya berhak

mengajukan rancangan peraturan daerah dan menetapkannya sebagai peraturan

daerah. Paradigma ini telah berubah dengan lahirnya Undang Undang Pemerintahan

Daerah yang baru yaitu Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang Undang

Nomor 32 Tahun 2004, dimana dalam Pasal 136 ditentukan bahwa “Peraturan daerah

ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Sejalan dengan konsep hukum di atas, di dalam pedoman pelaksanaan

pembentukan Peraturan Daerah yaitu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib

DPRD sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 53 Tahun 2005 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah

Nomor 23 Tahun 2003 tentang Prosedur penyusunan Produk Hukum Daerah,

menghendaki bahwa dalam penyusunan peraturan daerah hak prakarsa/inisiatif bisa

berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dari eksekutif (Kepala

Daerah/Bupati).

165
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:
(1) DPRD mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam membentuk Peraturan
Daerah bersama Kepala Daerah serta dalam Pasal 20 huruf (a) yang menyatakan DPRD mempunyai
tugas dan wewenang membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Fungsi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah fungsi DPRD yakni

fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran yang dijabarkan kedalam

tugas dan wewenang DPRD.

Menurut Poerwadarminta DPRD adalah:

1. Majelis atau badan yang terdiri dari beberapa anggota yang pekerjaannya

memberi nasehat, memutuskan sesuatu hal dan sebagainya dengan jalan

berunding.

2. Dewan yang anggotanya wakil rakyat, bertujuan untuk memperhatikan

pemerintahan daerah. 166

Sedangkan menurut Budiardjo, menyebutkan : “DPRD adalah lembaga yang

legislatif atau membuat peraturan, peraturan perundang-undangan yang dibuatnya

mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia

merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkutkepentingan umum”. 167

Dari beberapa pengertian tersebut jelaslah bahwa DPRD merupakan

representasi kepentingan dan kehendak rakyat di daerah yang kedudukannya sebagai

badan legislatif daerah sekaligus mitra sejajar pemerintah daerah.

Menurut Budiardjo peranan DPR atau DPRD yang paling penting adalah:

1. menentukan Policy (kebijaksanaan) dan membuat Undang-Undang. Untuk itu

DPR atau DPRD diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen

166
Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal.33.
167
Budiardjo Dasar-Dasar llmu Politik,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1989), hal.173.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
terhadap rancangan Undang-Undang atau rancangan Peraturan Daerah yang

disusun oleh dan hak budget;

2. mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan eksekutif

sesuai dengan kebijakansanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan

tugas ini badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus. 168

Kemudian menurut Boboy lembaga perwakilan rakyat atau parlemen

mempunyai fungsi yaitu: 169

1. Fungsi perundang-undangan ialah fungsi membentuk undang-undang

2. Fungsi pengawasan ialah fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap

eksekutif. Aktualisasi fungsi ini, lembaga perwakilan diberi hak seperti: hak

meminta keterangan (interpelasi), hak mengadakan penyelidikan (angket) hak

bertanya, hak mengadakan perubahan (amandemen), hak mengajukan

rancangan Undang-Undang (inisiatif) dan sebagainya.

3. Sarana pendidikan politik, melalui pembicaraan lembaga perwakilan, maka

rakyat di didik untuk mengetahui berbagai persoalan yang menyangkut

kepentingan umum dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

168
Budiardjo,Fungsi Lembaga Legislatif di Indonesia, (Jakarta:CV. Rajawali, 1985). hal. 151-
152.
169
Max Boboy, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan tata Negara. Jakarta: Sinar Harapan,
1994) hal.28-29.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
1). Tahap Penyusunan dan Perancangan

Sebagaimana produk hukum pada umumnya, Peraturan Daerah diwarnai oleh

kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan di daerah. 170

Tahap penyusunan dan perancangan Rancangan Peraturan Daerah inisiatif yang

akan diterbitkan oleh DPRD yang dituangkan dalam suatu Keputusan DPRD tentang

Tata Tertib DPRD 171 , yaitu:

(a). Beberapa pertimbangan untuk memilih Ranperda inisiatif DPRD, yakni;

1. Memilih Ranperda yang dinilai kurang memiliki bobot politis, yang

potensial menimbulkan banyak pertentangan antar fraksi atau partai;

2. Memilih Ranperda yang menurut anggota dewan betul-betul berkaitan

langsung dengan kepentingan rakyat terutama yang mendorong upaya

meningkatkan kesejahteraan rakyat;

3. Memilih Ranperda yang menjadi concern bersama Anggota Dewan;

4. Memilih Ranperda yang secara substansial tidak terlalu bersifat teknis.

(b). Tahap penyusunan dan perancangan Ranperda inisiatif DPRD, yakni;

Tahap I

(1). Menetapkan Ranperda yang akan dirancang (atas permintaan anggota atau

Komisi Dewan yang didasarkan pada Prolegda);

(2). Permintaan asistensi oleh instansi pemrakarsa;

170
Moh. Mahmud MD, Op.cit, hal 9, mengatakan produk hukum lebih banyak diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.
171
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 12/K/2006
tentang Perubahan atas Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor.
3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
(3). Sekretariat perancangan membentuk tim asistensi yang terdiri dari para

ahli yang terkait dengan materi;

(4). Diskusi awal tim asistensi dengan pemrakarsa mengenai gambaran umum

materi Ranperda.

Tahap II (Penyusunan Draf I)

(1). Tim kerja melakukan pengkajian atau penelusuran informasi;

(2). Merancang Naskah Akademik yang memuat latar belakang, tujuan, ruang

lingkup yang akan diatur serta jangkauannya;

(3). Merancang draf awal;

(4). Menyampaikan/mempresentasikan draf awal/draf I kepada Anggota

Komisi instansi pemrakarsa.

Tahap III (Penyusunan Draf II)

(1). Sosialisasi dan public hearing dalam rangka diskusi dengan publik dan

dengan pihak terkait, baik instansi pemerintah ataupun Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) serta Perguruan Tinggi;

(2). Perbaikan draf awal/draf I;

(3). Penyelesaian draf awal/draf II;

(4). Presentasi Draf II haasil diskusi publik atau masukan dari masyarakat

kepada Pemrakarsa.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Tahap IV (Penyusunan Draf III)

(1). Penyempurnaan draf berdasarkan diskusi publik dan masukan pemrakarsa;

(2). Perbaikan teknis perancangan;

(3). Penyusunan penjelasan umum dan Pasal demi Pasal;

(4). Draf III selesai disusun;

(5). Persiapan persyaratan administratif pengajuan Ranperda penandatanganan

pengusul, pembuatan penjelasan pengusul dan penyampaian usul inisiatif

kepada Dewan.

Tahap V (Pembahasan ranperda berdasarkan tata tertib Dewan)

(1). Proses persetujuan menjadi Ranperda usul inisiatif Dewan;

(2). Pembahasan Ranperda inisiatif Dewan.

2). Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau

Bupati/Walikota. 172 Dalam pembahasan ini Gubernur atau Bupati/Walikota dapat

diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. Pembahasan

bersama tersebut dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan

dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang

legislasi dan rapat paripurna. Pada tahap pembahasan DPRD atau Gubernur atau

Bupati/Walikota dapat menarik kembali Raperda yang diajukan sebelum dibahas,

172
Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini

diatur secara tegas dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pembahasan Ranperda usul inisiatif DPRD diuraikan dalam beberapa tahapan

ataupun tingkatan pembicaraan, yaitu; 173

(1). Pembicaraan Tahap I

Penjelasan dalam rapat paripurna oleh Pimpinan Komisi/Rapat Gabungan

Komisi/Panitia Khusus atas nama DPRD terhadap Ranperda usul inisiatif.

(2). Pembicaraan Tahap II

Pendapat Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap Ranperda serta

jawaban Pimpinan Komisi/Rapat Gabungan Komisi/Panitia Khusus atas nama

DPRD terhadap pendapat Kepala Daerah.

(3). Pembicaraan Tahap III

Pembahasan dalam rapat komisi/rapat gabungan komisi/panitia khusus yang

dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang dihunjuk oleh Kepala Daerah.

(4). Pembicaraan Tahap IV

Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan laporan

hasil pembicaraan tahap III dan pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh

anggotanya serta pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk

menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut.

173
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 12/K/2006
tentang Perubahan atas Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor.
3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Berbeda dengan RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden,

yang kemudian disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan

menjadi Undang-Undang, Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan

Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur

atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7

(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Hal ini sesuai dengan Pasal

42 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Agar segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh

Gubernur atau Bupati/Walikota ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini

juga ditatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat

(2) UUP3 dan Pasal 144 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, apabila Ranperda tidak ditandatangani oleh Gubernur atau

Bupati/Walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Ranperda

disetujui bersama maka Ranperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib

diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. 174

174
Hal senada juga dicantumkan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan dalam hal Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah
tersebut disetujui bersama, maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah
dan wajib diundangkan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar memiliki

kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran

Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Dengan

diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi (Lembaran Daerah) maka

setiap orang dianggap telah mengetahui. Fiksi hukum yang mengatakan bahwa

dengan telah diundangkannya peraturan daerah dalam Lembaran Daerah maka setiap

orang dianggap telah mengetahui hukum. Bagi Indonesia yang secara fakta geografis

terdiri dari 17.000 pulau lebih dalam satu wilayah yang sangat luas perlu ada upaya

penyebarluasan. 175 Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang

tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Pemerintah Daerah wajib

menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah.

Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui dan

mengerti/memahami isi serta maksud yang terkandung dalam Peraturan Daerah.

Penyebarluasan dilakukan melalui media elektronik seperti Televisi Republik

Indonesia, Radio Republik Indonesia , stasiun daerah, atau media cetak yang terbit di

daerah yang bersangkutan. 176

Peran DPRD dewasa ini sangat kuat, sebagaimana UU No. 10 Tahun 2004 dan

UU no. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Peraturan Daerah yang telah disetujui

175
Max Boboy, Op.cit
176
Penjelasan Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari

tidak ditetapkan oleh Kepala Daerah maka sah berlaku dan wajib diundangkan.

c. Rancangan Peraturan Daerah dari Partisipasi Masyarakat

Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa salah satu asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas keterbukaan yang selanjutnya

dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan

pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan

masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan

dalam proses pembuatan perundang-undangan.

Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi

terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo.

Menurut S.W. Couwenberg, lima asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, dua

diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas public

(openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas,

dan asas perwakilan.177 Senada dengan itu, Sri Soemantri M.178 mengemukakan

bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam lima hal, dua diantaranya adalah:

177
P. M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),
hal 76
178
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni,
1992), hal 29

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya

rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan

pejabat yang dianggap merugikan.

Implementasi dari asas keterbukaan adalah dalam bentuk peran serta

masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun

2004 yang berbunyi: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau

tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-undang dan

Rancangan Peraturan Daerah.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 (Rancangan) Peraturan Presiden

tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan

Pasal 27 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Pasal 140 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa:

(1). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis sebagai

bahan penyempurnaan dalam tahap penyiapan rancangan Peraturan Daerah.

(2). Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara

lengkap dan jelas.

(3). Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat pokok-pokok materi

yang diusulkan.

(4). Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat

diagendakan dalam rapat penyiapan Rancangan Peraturan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah baik di lingkungan

Pemerintah Daerah maupun di DPRD, masyarakat tetap dapat berperan serta secara

aktif untuk memberikan masukan dalam penyempurnaan Rancangan Peraturan

Daerah, demikian juga pada saat dilakukan pembahasan bersama antara DPRD dan

Pemerintah Daerah, DPRD dapat menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum

untuk mendapatkan lagi masukan dari masyarakat. 179

Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan Peraturan Daerah

dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip akses informasi dan partisipasi. Dalam

rangka akses informasi, Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan rancangan atau

peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Penyebarluasan bagi Peraturan

Daerah dan peraturan perundang-undangan dibawahnya dilakukan sesuai dengan

perintah Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa : Pemerintah Daerah wajib

menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah

dan peraturan dibawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.

Penyebarluasan dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui peraturan perundang-

undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud

yang terkandung didalamnya. Penyebarluasan dapat dilakukan melalui media

179
Hal ini dituangkan juga di dalam Pasal 139 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
elektronik, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan serta media

komunikasi langsung. 180

Akses partisipasi publik dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur secara tegas dalam

Pasal 53 yang menyatakan bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-

undang dan Rancangan Peraturan Daerah. Hal ini sejalan dengan kebijakan Menteri

Dalam Negeri yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41

Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah.

Dari sini dapat dilihat bahwa Keputusan Menteri tersebut memberi peluang kepada

masyarakat yang merasa haknya dilanggar untuk mengajukan Hak uji materiil

terhadap Peraturan Daerah ke Mahkamah Agung.

Disamping itu Joseph Riwu Kaho, mengatakan bahwa adanya partisipasi

masyarakat merupakan salah satu faktor dari keberhasilan otonomi daerah.

Masyarakat daerah baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu merupakan

bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena secara

prinsip penyelenggaraan otonomi daerah ditujukan guna mewujudkan masyarakat

sejahtera didaerah yang bersangkutan. 181 Dengan demikian partisipasi masyarakat

mempunyai peran yang besar dalam menentukan arah kebijakan pemerintah daerah.

180
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
181
Josef Riwu Kaho,Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia :
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet III, (Jakarta: Rajawali
Press, 2003), hal 120

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Sehingga mau tidak mau partisipasi harus dilaksanakan secara maksimal oleh

masyarakat.

Pada kebanyakan negara pemanfaatan partisipasi masyarakat lokal dalam

keikutsertaaan di dalam proses pengambilan keputusan (decision making process)

pemerintahan daerahnya terbukti banyak membantu aparatur pemerintah daerahnya

dalam memecahkan setiap persoalan masyarakat daerahnya. 182 Dari hasil penelitian

persoalan trackfiking dan pemakaian tenaga kerja anak merupakan salah satu masalah

yang memiliki jumlah kasus yang cukup besar di Sumatera Utara. Hal ini merupakan

persoalan masyarakat yang harus dituntaskan. Masyarakat berinisiatif membantu

Pemerintah untuk memecahkan masalah ini. Diprakarsai oleh salah satu Lembaga

Swadaya Masyarakat Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) bersama-sama dengan

unsur masyarakat lainnya mengajukan sebuah terobosan untuk memecahkan masalah

ini. 183 Berdasarkan aksesbilitas publik dalam pembentukan Perda maka dirancang

suatu Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2004 tentang Trackfiking atas

inisiatif PKPA dan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Pemberian Pekerjaan Terburuk Bagi Anak 184 atas inisiatif Yayasan

Pusaka. Dari sini dapat dilihat bahwa perananan masyarakat sangat berpengaruh

dalam pembentukan suatu Perda untuk membantu Pemerintah untuk menyelesaikan

berbagai persoalan dalam penentuan prioritas kebijakan di daerahnya.


182
Faisal Akbar Nasution, “Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca Berlakunya UU Nomor 22
Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik)”, Makalah, 2004, hal 9.
183
Hasil wawancara dengan Suryani sebagai pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat
Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara, Tanggal 13 Januari 2009.
184
Hasil wawancara dengan Emas Aritonang sebagai Kasi Perundang-undangan pada Biro
Hukum Provinsi Sumatera Utara Tanggal, 10 Januari 2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dan representasi dari

terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Partisipasi masyarakat harus diartikan

sebagai kesediaan dan/atau perilaku para warga di masyarakat untuk turut mengambil

bagian dalam suatu program aktivitas yang besar. 185 Demokrasi juga

mensyaratkan adanya pengakuan kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk

pengakuan civil society sebagai kekuatan penekan dan pengimbang vis a vis negara.

Civil society yang kuat akan mendorong state untuk memperkuat dirinya agar terjadi

balance of power sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan yang bermuara pada

terjadinya check and balances dalam proses penyelenggaraan negara. 186 Partisipasi

publik dalam proses pengambilan kebijakan adalah cara efektif untuk mencapai pola

hubungan yang setara antara pemerintah dan masyarakat.

185
Soetandyo Wignjosoebroto,Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
(Jakarta:Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002), hal 579-580.
186
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,
sebagaimana dikutip dari Muslimin B. Putra, Menimbang Partisipasi Publik dalam Proses
Legislasi,(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hal. 152.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
BAB III

KEWENANGAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM


DAN HAM SUMATERA UTARA DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH

A. Kewenangan Departemen Hukum dan HAM di Bidang Peraturan


Perundang-undangan

Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang. Kewenangan berdasarkan

hukum publik adalah kemampuan yuridis dari badan. Hal ini mengandung pengertian

yang sangat luas. Misalnya menyangkut kewenangan Menteri, sebagai wakil negara

melakukan tindakan hukum berdasar hukum perdata. 187

Pasal 35 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 20

Tahun 2008, menyatakan bahwa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Dalam Pasal 36 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 juga diuraian bahwa

dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi :

a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di

bidang hukum dan hak asasi manusia;

187
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Pemahaman tentang
Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal.24

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;

c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;

d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;

e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden.

Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen dalam Pasal 1

ayat (1) dan ayat (2) menyatakan Departemen dalam Pemerintahan Negara Republik

Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah, dipimpin oleh Menteri Negara

yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 12 Keputusan

Presiden tersebut juga menyatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 13 huruf c Keputusan

Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan,

susunan organisasi, dan tata kerja departemen disebutkan bahwa dalam melaksanakan

tugasnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi 188

pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan, pendidikan dan pelatihan tertentu

serta penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya

188
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Pemahaman tentang
Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 11. Logemann mengartikan fungsi sebagai
lingkungan kerja tertentu dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Fungsi itu dalam hubungan
dengan negara disebut ambt/jabatan. Negara adalah organisasi jabatan, jabatan adalah badan/person.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka

mendukung kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Dalam Pasal 14 huruf f Keputusan Presiden itu juga dinyatakan bahwa dalam

menyelenggarakan fungsinya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

mempunyai kewenangan pembinaan hukum dan peraturan perundang-undangan

nasional. Tapi dalam interpretasi dari tindakan beralasan hukum perdata itu, dasar

hukum publik dari tindakan badan itu dapat juga turut berperan. Maka, tindakan

hukum publik dari setiap tindakan pemerintah, karena juga menyangkut sebagai

badan adalah untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan badan atau wakil.

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan

atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, telah terdapat

ketetapan perundang-undangan untuk mengalihkan seluruh pembinaan administrasi

dan keuangan di bidang peradilan yang semula berada dibawah Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Maka,

terhitung mulai 1 April 2004, telah dibuka lembaran sejarah baru dalam sistem

ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu penyerahan kekuasaan

kehakiman ke dalam satu atap (one roof) dibawah Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

Sebagai konsekwensinya, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia harus

mengubah fungsinya untuk lebih memfokuskan pada peningkatan keahlian teknis

hukum serta berperan aktif dalam advokasi pembaharuan hukum dan hak asasi

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
manusia. Dimana dengan perubahan fungsi ini diharapkan menjadi ”pemicu”

terwujudnya sistem hukum nasional yang lebih baik, beralaskan hak asasi manusia

dan responsif terhadap kepentingan semua kalangan dalam masyarakat.

Tugas unit-unit utama Departemen Hukum dan HAM di antaranya

merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis perundang-

undangan serta pembinaan di bidang hukum nasional. 189 Salah satu unit utama

Departemen Hukum dan HAM dalam menyelenggarakan tugas di bidang peraturan

perundang-undangan adalah Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 14 ayat (2) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Unit organisasi dan

tugas eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa

kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2008 menyatakan

bahwa Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan mempunyai tugas

merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang

peraturan perundang-undangan, yang meliputi :

1. Perancangan peraturan perundang-undangan;

2. Harmonisasi peraturan perundang-undangan;

3. Publikasi, kerja sama dan pengundangan;

4. Litigasi perundang-undangan;

5. Fasilitasi perancangan peraturan daerah;

189
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana
Strategis Departemen Hukum dan HAM.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
6. Pelayanan teknis dan administratif. 190

Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-

undangan menyelenggarakan fungsi: 191

1. Penyiapan perumusan kebijakan departemen di bidang peraturan perundang-

undangan;

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang peraturan

perundang-undangan;

4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;

5. Pelaksanaan urusan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat

jenderal;

6. Penerbitan dan publikasi rancangan, proses dan hasil rancangan peraturan

perundang-undangan serta bahan pendukung rancangan peraturan perundang-

undangan;

190
Sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.09-PR.07.10
Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.OT.01.01 Tahun 2008,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.OT.01.01 Tahun
2009 Tanggal 27 Maret 2009. Perubahan dari Tahun 2007 ke Tahun 2008 dan terakhir Tahun 2009
memuat tentang perubahan tugas atas pengalihan Direktorat Daktiloskopi pada Direktorat Administrasi
Hukum Umum (AHU) menjadi Pusat Daktiloskopi pada Sekjen Dep. Hukum dan HAM. Maka
pengaturan mengenai tugas dan fungsi di bidang peraturan dan perundang-undangan tetap mengacu
pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.09-PR.07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI.
191
Ibid.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
7. Penyelenggaraan sistem informasi peraturan perundang-undangan, pengelolaan

data peraturan perundang-undangan, pendokumentasian, pengundangan dan

pendistribusian peraturan perundang-undangan;

8. Penyelenggaraan kegiatan litigasi perundang-undangan dan pelaksanaan fasilitasi

peraturan daerah.

Seiring dengan itu, Undang-undang No. 10 Tahun 2004 juga menuntut peran

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai penjaga proses legislasi

nasional. 192 Menyiapkan Draft Akademik, Rancangan Peraturan Perundang-

undangan, Harmonisasi, mewakili pemerintah dalam pembahasan dengan DPR, serta

mengawal hingga pengundangannya.

Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia di daerah dilaksanakan oleh instansi vertikal. 193 SM. Oentarto menyebutnya

sebagai refleksi dari pengedepanan kebijakan sentralisasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah. 194 Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dengan

mekanisme pelimpahan melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari

192
Undang-undang tentang Pembentukan Pertauran Perundang-undangan dalam Pasal 15 dan
Pasal 16 menyatakan, Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program
Legislasi Nasional. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah di-
koordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-
undangan. Dalam Pasal ini termaktub pengertian bahwa menteri yang di maksud adalah Menteri
Hukum dan HAM RI.
193
Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi,
susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
194
SM. Oentarto dkk, Op. cit, hal. 9. Sebagai illustrasi, pada masa orde baru, pemerintah lebih
memberikan kewenangan kepada Kanwil sebagai perpanjangan tangan Departemen atau Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) untuk menyediakan pelayanan publik.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
pusat ke daerah melalui suatu undang-undang. 195 Sementara Laica Marzuki,

dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevegdheid,

yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi

bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam menyelenggarakan

pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi

bawahan melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat. 196 Pendelegasian

wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan

peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk

peraturan, yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat

keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula. 197 Jika

kewenangan dijalankan oleh pembuat undang-undang formal, Raja, Menteri atau

dijalankan oleh badan yang berada dalam hubungan hierarkis dengan raja/menteri

disebut dekonsentrasi. Dalam hal ini pelaksanaan kewenangan oleh pemerintah pusat.

Dalam hubungan ini hirearkis semata-mata untuk perimbangan atas dasar posisi para

pejabat departemen. Dari sini terlihat bahwa antara menteri dan badan yang

didekonsentrasikan terdapat hubungan yang hierarkis dan mempunyai kewenangan

bertindak berdasarkan hukum publik. Badan-badan yang didekonsentrasikan adalah

badan-badan yang memiliki hubungan hierarkis terhadap menteri. 198 Asas

dekonsentrasi tidak dimuat secara eksplisit dalam UUD 1945, baik sebelum atau

195
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal.173.
196
H.M. Laica Marzuki,Berjalan-jalan di Ranah Hukum,(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 151.
197
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit , hal 89
198
F.A.M. Stroink, Op. cit, hal. 30.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
sesudah di amandemen, namun dimuat secara tegas dalam UU No. 5 tahun 1974

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa tugas dan wewenang

pejabat dekonsentrasi disebut sebagai tugas dan wewenang kepala wilayah. Hal ini

disebut sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945. Dimana sumber ketentuan tentang

dekonsentrasi dalam UUD 1945 secara umum ditafsirkan sebagai konsekuensi logis

dari susunan pemerintah menurut Pasal 2 UUD 1945. 199

Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan itu didasarkan

pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah tetapi

tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut.

Sedangkan dalam delegasi, kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan

didasarkan pada undang-undang dan suatu peraturan pemerintah yang sebelumnya

diamanatkan dalam suatu pasal undang-undang untuk ditindaklanjuti. 200 Instansi

vertikal di lingkungan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia adalah

Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Propinsi. 201 Unit

organisasi ini diberikan tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan202

Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan peraturan

199
Disarikan ulang oleh Ateng Syafrudin dari ringkasan karya ilmiah F.A.M. Stroink dalam
seminar di FH Uttrecht tahun 1986. Hal ini ditulis sebagai pengantar dalam buku pemahaman tentang
dekonsentrasi.
200
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal 102. Sebagaimana dikutip ulang dari H.D. van
wijk, hoofdstukken van administratief Rech, Vuga Uitgevenhage, 1984, hal.25.
201
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi,
susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
202
Dari sini terlihat bahwa antara menteri dan badan yang didekonsentrasikan terdapat
hubungan yang hierarkis dan mempunyai kewenangan bertindak berdasarkan hukum publik. Badan-
badan yang didekonsentrasikan adalah badan-badan yang memiliki hubungan hierarkis terhadap
menteri yaitu antara Departemen dengan Kantor Wilayah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
perundang-undangan di daerah (law making process) khususnya Peraturan Daerah
203
dan dalam koordinasi program legislasi daerah. Semua wewenang yang dilakukan

oleh badan yang didekonsentrasikan merupakan bagian dari attributie/delegatie dari

wewenang berdasarkan hukum publik. 204

Sehubungan dengan kewenangan yang di dekonsentrasikan itu, Kantor

Wilayah sebagai instansi vertikal dari Departemen Hukum dan HAM dilibatkan

dalam pembentukan Peraturan Daerah yang dibuat oleh Gubernur dan Bupati

/Walikota bersama DPRD. 205 Otomatis hal ini mengakibatkan Kanwil harus

bersinggungan dengan instansi horizontal atau badan-badan di daerah baik

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sera dengan DPRD. 206

Pelaksanaan wewenang dari berbagai badan ini dapat saling menyilang, sehingga

koordinasi sangat diperlukan. 207

203
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.
204
F.A.M. Stroink, Op. cit, hal. 70
205
Hal ini ditegaskan juga dalam tugas pokok dan fungsi dari Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan HAM yang berkedudukan di setiap provinsi.
206
Ada wewenang yang pelaksanaannya membawa serta akibat hukum berdasarkan hukum
publik bagi rakyat dan ada wewenang yang ditujukan pada terjadinya akibat hukum berdasarkan
hukum sipil. Di samping itu ada wewenang tanpa akibat hukum bagi rakyat, tetapi berakibat bagi
orgaan pemerintah lain. Seperti yang diungkapkan oleh Stroink dalam deconsentration. Wewenang
pemerintahan tidak langsung adalah kewenangan berdasarkan undang-undang formal yang bukan
wewenang untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan hukum publik, tetapi wewenang yang
pelaksanaannya terarahkan pada tindakan hukum yang dilakukan oleh badan lain.
207
F.A.M. Stroink, Op. cit, hal. 80.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
B. Kewenangan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam Pembentukan
Peraturan Daerah

1. Tahap Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah

Penyusunan perencanaan pembentukan Perda dilakukan berdasarkan Prolegda

yang disusun secara terkoordinasi, terarah dan terpadu. Pengkoordinasian Prolegda

merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah Departemen Hukum

dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Dephukham). Pengkoordinasian tersebut

dilaksanakan oleh Divisi Pelayanan Hukum dan HAM khususnya Bidang Hukum.

Namun demikian, Peraturan Menteri tersebut tidak mengatur secara rinci bagaimana

penyelenggaraan atau mekanisme pengkoordinasian Prolegda dilaksanakan.208

Mekanisme kerja sama dan pengkoordinasian didasarkan pada pola perencanaan dan

pola kebutuhan atau insidentil sesuai dengan tugas fungsi Kanwil Departemen

Hukum dan HAM.

Pola perencanaan didasarkan melalui anggaran rutin maupun nonrutin.

Mekanisme kerja sama dengan instansi di daerah, didasarkan pada pembentukan tim

atau panitia yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM. Mekanisme kerja dengan pola kebutuhan atau insidentil selama

ini, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM biasanya bersifat pasif yakni,

sebagai instansi yang diundang atau disertakan untuk memberikan masukan atau

instansi yang membantu penyelenggaraan kegiatan tertentu terkait dengan bidang

hukum, baik yang diselenggarakan oleh instansi vertikal (pusat) maupun instansi
208
Hasil wawancara dengan Rosman Siregar sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara pada Tanggal 1 Maret 2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
horizontal (daerah), misalnya penyelenggaraan seminar, lokakarya, sosialisasi,

penyuluhan hukum dan lain-lain.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan

program legislasi tidak saja menghasilkan peraturan perundang-undangan yang

diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai

amanat UUD 1945, tetapi juga memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai

dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini

maupun di masa yang akan datang. 209

Terkait dengan peran yang strategis dan fungsi Kanwil Departemen Hukum

dan HAM, beberapa permasalahan yang perlu dibahas berkenaan dengan mekanisme

kerja sama antar instansi adalah mengenai penyelenggaraan pengkoordinasian

Prolegda Mekanisme kerja sama terkait dengan pengkoordinasian Prolegda, termasuk

peran Kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam Prolegda, sampai saat ini

belum ditetapkan adanya pedoman atau aturan penyelenggaraannya.210 Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

209
Hasil wawancara dengan Suharyono A.R sebagai Direktur Perancangan Peraturan
Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI pada
Tanggal 12 Desember 2008.
210
Hasil wawancara dengan Rosman Siregar sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara pada Tanggal 1 Maret 2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
menyebutkan bahwa Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian

legislasi daerah 211 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengkoordinasian Prolegda didasarkan

pada Pedoman Kegiatan Prolegda yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN) pada Tahun 2001. Pedoman tersebut sudah barang tentu tidak

relevan lagi dengan perkembangan hukum yang ada, terutama terbentuknya UU P3,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan

Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan

Program Legislasi Nasional Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata

Cara Pembentukan UU, PP, dan Perpres, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Orta). Pedoman Kegiatan tersebut

(Pedoman BPHN) mengarahkan bahwa maksud dilakukannya penyusunan Prolegda

oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM adalah:

a. menginventarisasi Prolegda yang berasal dari pemerintah daerah, dalam hal ini

dinas-dinas dan instansi di tingkat daerah provinsi yang dapat dan berhak

mengajukan inisiatif perda;

b. menganalisis dan mengevaluasi penentuan skala prioritas dan substansi

Prolegda yang akan segera dibahas di DPRD;

211
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
c. melakukan pemantauan agar penyusunan Prolegda tidak bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi.

Tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya keterpaduan dan

keharmonisan dalam penyusunan rencana pembentukan peraturan perundang-

undangan yang tertuang dalam Prolegda. Dalam kenyataannya, Pedoman tersebut

belum dilaksanakan seluruhnya sesuai dengan arahan yang diinginkan oleh Kepala

BPHN. Hal ini dikarenakan instrumen hukum Pedoman tersebut yang kurang kuat. Di

beberapa daerah provinsi, Pedoman Kegiatan tersebut baru dilaksanakan sebatas

kegiatan menginventarisasi Prolegda yang berasal dari pemerintah daerah. Bagaimana

menerapkan urutan prioritas dan menelaah mengenai materi Raperda agar tidak

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, belum dilaksanakan secara

menyeluruh.

2. Tahap Persiapan dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Rancangan


Peraturan Daerah

a. Pelibatan dalam Penyusunan Naskah Akademik

Persiapan, penyusunan serta perumusan peraturan perundang-undangan dalam

pelaksanaannya terbagi dalam 3 (iga) tahap yaitu Tahap Pra-legislasi, Tahap Legislasi

dan Tahap Pasca legislasi. 212 Pada Tahap Pra-legislasi dilalui beberapa proses, yakni:

a. proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan;

212
Ahmad Ubbe, Kedudukan dan Fungsi Penelitian Hukum dalam Proses Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta: BPHN, 1999), hal. 29.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
b. proses persiapan yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan penyusunan Naskah

Akademik;

c. proses teknik dan mekanisme penyusunan peraturan perundang -

undangan;

d. proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

Tahap Legislasi akan melalui proses pembahasan oleh DPRD dan Pemerintah,

pengesahan, penetapan serta pengundangannya. Sedang, Tahap Pasca Legislasi akan

melalui proses pendokumentasian, penyebarluasan, penyuluhan dan penerapan

peraturan perundang-undangan.

Dari semua pentahapan itu, penyusunan Naskah Akademik termasuk dalam

Tahap Pra-legislasi, yang berarti Naskah Akademik yang baik didahului dengan

kegiatan yang telah masuk dalam perencanaan, sebagai salah satu penyelesaian dari

masalah hukum yang dihadapi.

Dalam penyusunan Ranperda, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

dapat memfasilitasi penyusunan Naskah Akademik Ranperda. 213 Hal ini dituangkan

dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang ditetapkan dan

diundangkan pada tanggal 17 Desember 2008. Fasilitasi sebagaimana dimaksud

213
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH -
01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang-
undangan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
diatas dapat berupa penyediaan tenaga ahli, bahan hasil penelitian, konsultasi, atau

fasilitas lain yang diperlukan dalam penyusunan Naskah Akademik. 214

Istilah Naskah Akademik merupakan istilah yang lazim dipakai dalam

khasanah akademik maupun praktisi bagi klangan penyusun peraturan perundang-

undangan. Naskah Akademik terdiri dari dua kata yaitu naskah dan akademik, naskah

adalah rancangan 215 dan akademik adalah bersifat akademi, sedangkan akademis

mempunyai arti bersifat ilmu pengetahuan. 216 Dari kedua pengertian kata itu dapat

diartikan bahawa Naskah Akademik aalah suatu rancangan yang bersifat akademis

atau ilmu pengetahuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

Keberadaan Naskah Akademik pada proses pembentukan peraturan

perundang-undangan khususnya Ranperda dirasakan sangat penting. Pemikiran

tentang pentingnya Naskah Akademik ini setidaknya dilatarbelakangi oleh dua

alasan, yaitu alasan substantif dan alasan teknis. 217 Alasan substantif, dimaksudkan

untuk memperoleh Ranperda yang baik, aplikatif dan futuristik. Selain itu, ketika

suatu Ranperda sudah didukung oleh Naskah Akademik yang memadai, maka

perdebatan dalam pembahasan Ranperda di lembaga legislatif dapat lebih efisien.

Karena sering kali perdebatan terjadi terhadap masalah yang seharusnya telah

214
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH -
01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang -
undangan.
215
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hal. 610.
216
Ibid, hal. 13.
217
Ahmad Ubbe, ”Mekanisme Penelitian Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang -
undangan”, Makalah, disampaikan pada Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran BPHN
Departemen Hukum dan HAM, Bogor Tanggal 20-22 Juni 2005, hal. 14.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
dijawab dalam NA. Sedangkan alasan teknis, dimaksudkan untuk membatasi daftar

prioritas yang terlalu banyak namun tidak didukung oleh dokumen yang memadai,

sehingga tidak dapat mencapai target pengesahan tahunan dan akibatnya terjadi

tunggakan (carry over) bagi Pemerintah maupun DPRD. Untuk mendukung

penyusunan Naskah Akademik khususnya dari segi substansi sebaiknya didukung

dengan bahan penunjang berupa hasil pengkajian dan penelitian serta analisis dan

evaluasi peraturan perundang-undangan.

Latar belakang dibentuknya Naskah Akademik adalah pemikiran mengenai

alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis yang mendasari pentingnya materi

hukum suatu Ranperda. Hal ini ditegaskan dalam lampiran Peraturan Menteri Hukum

dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang

Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang-undangan. Landasan

filosofis, memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita

moral yang luhur yang meliputi suasana kebathinan serta watak dari bangsa Indonesia

yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. 218

Landasan yuridis, memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-

undangan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif) yang ada kaitannya

dengan judul Naskah Akademik. 219 Yang termasuk dalam peraturan perundang-

undangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 dan

218
Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH -
01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang-
undangan bagian II tentang Penjelasan Sistematika Naskah Akademik
219
Ibid

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. 220

Landasan sosiologis memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial

ekonomi politik yang berkembang di masyarakat. Landasan sosiologis sebaiknya

memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku

sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin

dicapai. 221

Naskah akademik juga harus memperhatikan pandangan hidup bangsa,

hirearki perundang-undangan, kondisi sosial masyarakat, aspek penerimaan

(acceptance) dan penolakan (resistance) masyarakat , yang keseluruhan aspek

tersebut termuat dalam dasar filosofis, sosiologis dan yuridis sert psikhopolitik

masyarakat. Oleh karena itu penyusunan naskah akademik harus dilakukan secara

sistemik, holistik dan futuristik dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Kegiatan

pendukung lainnya adalah konsultasi secara intens dengan pihak-pihak yang

220
Sebagaimana Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan, jenis dan hirearki Peraturan Perundang-undangan dan penjelasannya
adalah;
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/Perpu;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, Peraturan
Desa;
f. Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, Bank Indonesia, Menteri,
Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat dibentuk oleh Undang-undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-undang, DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Desa
atau yang setingkat.
221
Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH -
01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang-
undangan bagian II tentang Penjelasan Sistematika Naskah Akademik.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
mengetahui tentang apa yang akan diatur. Dengan demikian bagian ini memberikan

alasan yang sangat penting terutama bagi para perancang (legal drafter) mengenai

informasi, pengetahuan dan perspektif bagi para pengambil kebijakan. Legal drafter

menterjemahkan berbagai hal tersebut dalam bahasa hukum. 222

Tujuan penyusunan Naskah Akademik memuat sasaran utama dibuatnya

Naskah Akademik yakni sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan

peraturan perundang-undangan yang memberikan arah dan menetapkan ruang

lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan 223 . Sedangkan kegunaan

Naskah Akademik memuat pernyataan tentang manfaat disusunnya Naskah

Akademik tersebut, yakni selain untuk bahan masukan bagi perancang peraturan

perundang-undangan (legal drafter) juga dapat berguna berguna bagi pihak-pihak

yang berkepentingan. 224 Misalnya Naskah Akademik Ranperda Provinsi Sumatera

Utara tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis 225 , Naskah Akademik

Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Pelayanan Kesehatan 226 menjadi dokumen

resmi yang menyatu dengan konsep Ranperda saat dibahas bersama dengan DPRD

Provinsi Sumatera Utara.

222
Yunan Hilmi, ”Praktek Penyusunan Naskah Akademis”, Makalah, disampaikan pada
Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Jakarta 10-23 Desember 2008.
223
Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH -
01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang-
undangan.
224
Ibid
225
Ranperda ini sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 4
Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.
226
Ranperda ini sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3
Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Secara garis besar penyusunan naskah akademik dapat dibagi dua yaitu

kegiatan pendukung dan substansi. Kegiatan pendukung dari penyusunan naskah

akademik adalah penelitian dan pengkajian. Penelitian hukum dapat berupa penelitian

normatif 227 atau penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum merupakan seluruh

upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau

jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan

hukum. 228

Naskah Akademik juga berfungsi untuk memberikan arahan bagi para

pemangku kepentingan dan perancang (legal drafter). Pemangku kepentingan

khususnya yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan berupa informasi

yang memadai dalam menunjang pengambilan kebijakan. Sedangkan bagi legal

drafter naskah akademik berfungsi sebagai acuan mengenai apa yang akan diatur

dalam bentuk kalimat-kalimat peraturan perundang-undangan.

Naskah akademik juga sebagai bahan bagi Departemen Hukum dan HAM RI

dalam melakukan tugasnya sebagai pintu Rancangan Undang-Undang yang menjadi

usulan Pemerintah. 229

227
Diawali dari norma-norma hukum yang ada lalu menuju fakta-fakta yang terjadi.
228
Sutandyo Wignyosumarto,”Sebuah Pengantar tentang Pembinaan Hukum dalam PJP II”,
Makalah, pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan
Hukum Nasional, Jakarta, Juli 1995.
229
Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan ”Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan
tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
b. Pelibatan dalam Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah/Peraturan
Daerah

Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawabnya Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM dilibatkan dalam harmonisasi maupun evaluasi

Ranperda atau Perda. 230 Harmonisasi Perda dilakukan sebagai salah satu upaya untuk

menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu

Ranperda dengan peraturan perundang-undangan lain baik yang lebih tinggi,

sederajat maupun yang lebih rendah sehingga tersusun secara sistematis tidak saling

bertentangan atau tumpang tindih. 231 Organ/peraturan yang lebih rendah harus tetap

berada dalam batas dan rambu yang telah ditetapkan oleh peraturan yang lebih

tinggi. 232 Tujuan pengharmonisasian adalah untuk memberikan gambaran yang jelas

dalam pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan

merupakan bagian integral yang utuh. 233

Di tingkat daerah, rambu-rambu mengenai penghamornisasian Raperda

sebagian telah ditentukan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Undang-

Undang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa Perda dibentuk dalam rangka


230
Sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah
angka 7 bahwa para Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para Kepala
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk melakukan
harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut.
231
Hafid Abbas, ”Rancangan Harmonisasi Ranperda dan Evaluasi Perda dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia”, Makalah, disampaikan pada Seminar tentang ”Harmonisasi Peraturan Daerah”,
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 28 Januari
2008. hal. 4.
232
I.C. Van der Vlies,Handboek Wetgeving,atau Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan, terjemahan.Linus Doludjawa, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,2005), hal.187.
233
loc.cit, hal.5

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan juga

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Undang-undang

tentang Pemerintahan Daerah menuangkannya dalam Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3).

Yang paling penting adalah bahwa Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Hal tersebut merupakan tujuan dan peletak dasar perlunya

harmonisasi setiap Raperda. Pemerintah daerah dan DPRD bersama-sama melakukan

harmonisasi mengenai perda yang akan dibentuk, untuk menghindari adanya perda

yang diuji materinya oleh pemerintah. 234 Selain ketentuan Pasal 136 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, hal yang perlu dijadikan dasar pengharmonisan adalah Pasal

137 dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Ketentuan yang sama

juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam

membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :

a. kejelasan tujuan;

Penjelasan Pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa setiap

234
Lihat Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang

jelas yang hendak dicapai;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat

pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan

perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila

dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Hal ini seperti tertuang

dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan

materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya;

d. dapat dilaksanakan;

Pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dalam penjelasannya disebutkan setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan

efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik

secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis;

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Hal ini dituangkan dalam Penjelasan Pasal 5 huruf

(e) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.;

f. kejelasan rumusan;

Kejelasan rumusan dituangkan secara rinci dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (f)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan

pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya; dan

g. keterbukaan;

dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari

perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan

terbuka. 235

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang

seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan

235
Penjelasan Pasal 5 huruf (g) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
perundang-undangan. Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi perancang

peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan dalam melakukan

pengharmonisasian peraturan perundang-undangan. Semua asas tersebut harus

terpateri sebagai hal yang harus dipertimbangkan pada saat akan membentuk dan

mengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang biasanya diwujudkan dalam

bentuk-bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah

pentingnya membentuk peraturan ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi

kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah cukup?

Dalam menyusun substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan, atau apakah

rumusan tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda? Apa masalah

sosial yang akan diselesaikan? Masalah sosial yang akan diselesaikan pada dasarnya

akan terbagi dalam dua jenis.

Pertama, masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku dalam

masyarakat yang bermasalah. Misalnya, banyak anak-anak atau remaja usia sekolah

atau usia produktif hidup tampa pekerjaan tetap atau hidup dari meminta-minta di

setiap perempatan jalan raya, sehingga menyebabkan lingkungan menjadi kumuh,

maka diperlukan Perda penanganan gelandangan dan pengemis. Banyak orang mabuk

karena mengkonsumsi minuman dengan kadar alkohol yang tinggi, maka diperlukan

pengaturan tentang peredaran minuman beralkohol.

Kedua, masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang ada tidak

lagi proporsional dengan keadaan masyarakatnya. Misalnya, peraturan daerah tentang

retribusi biaya pemeriksaan kesehatan, ternyata memberatkan masyarakat kecil,

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
hingga tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Perda tentang Pajak

Daerah, sudah tidak sesuai dengan Undang-undang tentang Pajak Daerah, maka perda

tersebut harus diganti dengan yang baru. Pada saat melakukan pengharmonisasian

Peraturan Daerah seharusnya mampu mendiskripsikan masalah sosial tersebut. Salah

satu cara untuk menggali permasalah tersebut adalah dengan langkah penelitian.

Untuk masalah sosial yang ada dalam setiap pasal atau norma yang ditentukan

dalam materi yang diatur, pada tahap harmoisasi juga harus jeli melihat apakah

seluruh substansi tersebut telah mengandung asas materi muatan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 6 (lebih rinci dalam penjelasan Pasal 6) Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni

asas:

a. pengayoman;

materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;

b. kemanusiaan;

materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan

martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;

c. kebangsaan

materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan

watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap

menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia);

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
d. kekeluargaan;

materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

e. kenusantaraan

materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan

perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem

hukum nasional yang berdasarkan Pancasila;

f. bhinneka tunggal ika;

materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan

budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

g. keadilan

materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan

secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang

bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,

ras, golongan, gender, atau status sosial;

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
i. ketertiban dan kepastian hukum;

materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;

dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan

masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Pengharmonisasian peraturan daerah bukan saja dilakukan pada tahap

tertentu saja, tetapi pada semua tahapan proses pembentukan Rancangan Peraturan

Daerah dan Peraturan Daerah.

c. Inventarisasi, Analisa dan Evaluasi Peraturan Daerah

Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab itu Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya bidang Hukum melakukan

inventarisasi peraturan perundang-undangan daerah atau pengumpulan dan

pengolahan peraturan perundang-undangan 236 yang isinya tidak sesuai dengan nilai-

nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, serta asas

dan materi muatan pembentukan Peraturan Daerah, bersifat diskriminatif, melanggar

236
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.
M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan HAM.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
HAM dan menimbulkan konflik di masyarakat, baik yang berasal dari Pemerintah

Daerah/ Biro Hukum maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota.

Atas dasar inventarisasi tersebut dilakukan pengkajian dan penelitian

terhadap Peraturan Daerah. Hasil kajian dan/atau penelitian disampaikan kepada

Gubernur dan Bupati/Walikota dalam bentuk rekomendasi untuk dimasukkan dalam

program legislasi daerah.

Selanjutnya, menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan

di daerah. 237 Hal ini ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri para

Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para Kepala Kantor

Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk

melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. 238

Mengevaluasi Ranperda atau Perda bertujuan untuk tercapainya keserasian antara

kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan umum dan

kepentingan aparatur, keserasian dengan peraturan yang lebih tinggi dan dengan

peraturan yang sejenis. 239

Pengharmonisasian peraturan daerah tidak selalu berada diujung kegiatan,

apabila dalam rapat-rapat antar instansi terkait di Biro Hukum Provinsi Sumatera

Utara tentang Peraturan Daerah yang sedang dibuat atau disusun, wakil dari Kanwil

237
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.
M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan HAM.
238
Lihat angka 7 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli
2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah.
239
Hasil wawancara dengan Wicipto Setiadi sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI pada
Tanggal 18 Maret 2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Departemen Hukum dan HAM terkadang diikutsertakan. Seperti pada pembahasan

Ranperda tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, Ranperdaprovsu tentang

Sistem Kesehatan, Ranperda tentang Kawasan Pesisir, Ranperda tentang Pengelolaan

Terumbu Karang, dan beberapa Ranperda lainnya.

Untuk menyelaraskan Peraturan Daerah dengan peraturan yang lebih

tinggi/atau Peraturan Daerah lainnya, terutama Peraturan Daerah mengenai Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, APBD, Tata Ruang ditentukan ditentukan bahwa

Peraturan Daerah itu berlaku setelah melalui evaluasi oleh Pemerintah. 240

Secara umum, mekanisme evaluasi Rancangan Peraturan Daerah khususnya

tentang APBD oleh Pemerintah diatur dalam Undang-undang tentang Pemerintahan

Daerah. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan

rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh

Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri

untuk dievaluasi.

Hasil evaluasi 241 tersebut disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada

Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan

dimaksud. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan

Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD

sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

240
A.A. Oka Mahendra, Op.cit,hal. 131.
241
Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan

Gubernur.

Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7

(tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Hal ini dituangkan dalam Pasal

185 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada ayat (5) pasal tersebut ditegaskan jika hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti

oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang

APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda

dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan

Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun

sebelumnya.

Ketentuan tersebut merupakan mekanisme kontrol dalam rangka menjaga

keserasian Peraturan Daerah dengan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.

Sebab Peraturan Daerah merupakan salah satu subsistem dalam sistem peraturan

perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Peraturan

Daerah harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan

perundang-undangan. Artinya Peraturan Daerah sebagai instrumen penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan selain harus mampu menampung kondisi

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
khusus, atau ciri khas masing-masing daerah, juga harus ditempatkan dalam konteks

penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Perda kabupaten/kota termasuk tentang APBD yang telah

disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran

APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari

disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 186

ayat (1) UU Pemerintahan Daerah. Perwakilan dari Departemen Hukum dan HAM

sering dilibatkan pada tahapan ini. Seperti pada evaluasi terhadap Ranperda tentang

Retribusi Pelayanan Kesehatan, Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Tapanuli Tengah, Ranperda tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran

Penduduk dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir.

Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling

lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota

dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD. 242

Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang

APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah

sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan

Peraturan Bupati/Walikota.

Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang

APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak


242
Pasal 186 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7

(tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi (Pasal 186 ayat (4) UU No. 32 Tahun

2004).

Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan

DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan

rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan

Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan

Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun

sebelumnya.

Dalam Pasal 186 ayat (6) UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa

Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang

APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada

Menteri Dalam Negeri.

Apabila DPRD sampai batas waktu yang ditentukan tidak mengambil

keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan kepala daerah

tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar

angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan

yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD. 243

Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi
243
Pasal 187 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Hal ini dituangkannya dalam Pasal 187

ayat (2) Undang-undang Pemerintahan Daerah. Pada ayat (3) disebutkan bahwa

untuk memperoleh pengesahan tersebut rancangan peraturan kepala daerah tentang

APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung

sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap

rancangan Perda tentang APBD.

Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri atau

Gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah, kepala daerah

menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala

daerah. 244

Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah,

retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda dikoordinasikan terlebih dahulu

dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan

menteri yang membidangi urusan tata ruang.

Peraturan kepala daerah tentang Penjabaran APBD dan peraturan kepala

daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen

pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Dalam rangka evaluasi

pengelolaan keuangan daerah dikembangkan sistem informasi keuangan daerah yang

menjadi satu kesatuan dengan sistem informasi pemerintahan daerah.

244
Lihat Pasal 187 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
BAB IV

HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DAN UPAYA


YANG DILAKUKAN OLEH KANTOR WILAYAH
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A. Hambatan

1. Di Bidang Substansi Hukum

Di dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-

01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Dephukham

ditentukan bahwa Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian

legislasi daerah 245 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengkoordinasian tersebut dilaksanakan oleh Divisi Pelayanan Hukum dan HAM.

Namun demikian, Peraturan Menteri tersebut tidak mengatur secara rinci bagaimana

penyelenggaraan pengkoordinasian Prolegda dilaksanakan. 246 Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004 atau Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur

secara tegas tentang mekanisme penyusunan Prolegda sebagaimana penyusunan

Prolegnas, yang langsung menunjuk Departemen Hukum dan HAM untuk

pengkoordinasian Prolegnas.

245
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.
246
Sri Hariningsih, “Beberapa Pemikiran Dalam Rangka Penyempurnaan UU No.10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah Disampaikan pada Kegiatan
Peningkatan Pengetahuan Tenaga Perancang di Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-
undangan tanggal 12 Juli 2006.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Kedua Undang-undang tersebut juga tidak memerintahkan secara tegas untuk

mengatur lebih lanjut tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam

peraturan pelaksanaan. 247 Pedoman penyusunan Prolegda diatur dalam Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan

Prolegda. Keputusan ini ditetapkan pada 26 Agustus 2004 atau 2 (dua) bulan 4

(empat) hari setelah ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga tampak Keputusan ini belum

mengacu kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

Sehingga dapat dilihat bahwa belum adanya suatu peraturan pelaksanaan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan

sebagai dasar hukum mengenai peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

dalam penyusunan Prolegda dan Pengajuan Ranperda dari Pemerintah Daerah. 248

Sebagaimana halnya pengaturan yang tegas tentang pengkoordinasian Prolegnas yang

secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa pelaksanaan

Prolegnas dikoordinasikan dengan Departemen yang bergerak di bidang hukum dan

perundang-undangan.

Di tingkat pemerintah daerah, berdasarkan Pasal 140 Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 menentukan bahwa ”Tata cara mempersiapkan rancangan Peraturan

247
Sri Hariningsih, Ibid
248
Maria Farida Indrati, “Hal-Hal Yang Memerlukan Pengkajian Dan Penyempurnaan
Sebagai Masukan Bagi Perubahan UU NO. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan,” Makalah , disampaikan pada Lokakarya RUU tentang Perubahan UU No. 10
Tahun 2004 tanggal 23-24 Mei 2006.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan

Presiden. Kunci permasalahan pada dasarnya terletak pada belum ditetapkannya

Peraturan Presiden tersebut. Mengapa? Karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 juga mengamanatkan hal yang sama. Bahwa ”Ketentuan mengenai tata cara

mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota

diatur dengan Peraturan Presiden.” 249

Dari sini dapat dianalisis dan diambil kesimpulan bahwa ada dua menteri yang

mempersiapkan rancangan Peraturan Presiden tersebut yakni Menteri Hukum dan

HAM dan Menteri Dalam Negeri yang keduanya mungkin mempunyai kepentingan

yang berbeda. 250 Menteri Hukum dan HAM sebagai unsur pelaksana pemerintah

yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas

pemerintah dibidang hukum dan hak asasi manusia dan Menteri Dalam Negeri

sebagai unsur pelaksana pemerintah yang mempunyai tugas membantu Presiden

dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah dibidang pemerintahan daerah

dimana keduanya berada dibawah dan sama-sama bertanggung jawab kepada

Presiden.

Peraturan Presiden ini sangat dinantikan oleh Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM dan merupakan salah satu ”key word” tentang pelibatan Kantor

Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai perpanjangan tangan dari

Departemen Hukum dan HAM dalam rangkaian tata cara mempersiapkan Rancangan

249
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
250
Maria Farida Indrati, Loc.cit

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Peraturan Daerah yang berasal dari eksekutif, legislatif ataupun dari partisipasi

masyarakat. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan secara tegas mengatur pelibatan Departemen Hukum dan HAM

dalam proses penyusunan Undang-undang sebagai Departemen yang tugas dan

tanggung jawabnya dibidang perundang-undangan. 251 Sementara pengaturan tata cara

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah masih menunggu dibentuknya Peraturan

Presiden sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 252

2. Di Bidang Struktur Hukum

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa keadaan kerancuan perangkat hukum ini

berimbas pada kinerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM termasuk

Kanwil Sumatera Utara. Hal ini menyulitkan posisi Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal dari Departemen Hukum dan HAM untuk

berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara sebagai

instansi horizontal di daerah. Apalagi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengubah sistem pemerintah di daerah

dengan penguatan sistem desentralisasi (otonomi daerah). 253 Perubahan tersebut

merupakan implementasi dari Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik

251
Pasal 16 ayat (3) UU. No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
252
Hasil wawancara dengan Rosman Siregar sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan
HAM Kanwil Dep. Hukum dan HAM Sumatera Utara Tanggal 9 Januari 2009.
253
Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Indonesia yang menyatakan bahwa ”Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten

dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan pembantuan.

Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur

urusan pemerintahannya sendiri. 254 Pelibatan instansi vertikal dalam membuat

kebijakan daerah akan semakin sulit. Apalagi landasan hukum pelibatan instansi

vertikal tersebut sangat lemah secara yuridis.

Lemahnya landasan yuridis tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM mengakibatkan independensi dan akuntabilitas kelembagaan

Kantor Wilayah sebagai lembaga hukum kurang dirasakan di dalam praktek

pembentukan Peraturan Daerah sehingga sangat dimungkinkan menurunnya

kepercayaan masyarakat khususnya pemerintah daerah kepada Kantor Wilayah

sebagai lembaga hukum. 255

Di sisi lain, secara umum kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di

bidang hukum khususnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan di Kantor

Wilayah masih belum memadai dan perlu ditingkatkan. Alinea terakhir penjelasan

umum undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan

bahwa untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan

tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah


254
Kewenangan membuat Peraturan Daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak
otonomi secara luas yang dimiliki oleh suatu daerah juga merupakan suatu kewenangan yang diberikan
oleh Wet kepada suatu lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujukan kemandirian suatu
daerah dan memberdayakan masyarakat.
255
Hasil wawancara dengan BT. Naibaho sebagai Kepala Bidang Hukum Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, tanggal, 8 Januari 2009.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
dan merumuskan Rancangan peraturan perundang-undangan. Perancang adalah

Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara

penuh oleh Pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan penyusunan

Rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada

instansi pemerintah. 256

Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara belum memiliki

tenaga perancang yang memadai, walaupun sudah banyak yang mengikuti pendidikan

dan pelatihan perancang dan penyusun perundang-undangan, namun belum ada yang

diangkat sebagai tenaga fungsional.

Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dimaksudkan untuk meningkatkan

koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada

prakteknya ketidakjelasan pendelegasian ataupun peraturan pelaksanaan didalamnya

khususnya tentang tata cara penyusunan Ranperda mengakibatkan lemahnya

koordinasi antar instansi baik antar instansi horizontal atau antar instansi vertikal

dengan instansi horizontal dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan. 257

Disisi lain masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait

dengan pengaturan kewenangan yang dimilikinya serta belum mantapnya landasan

yuridis yang mengatur tata cara penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan dan

akses publik untuk berpatisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-

256
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
257
Ibid.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
undangan juga mempengaruhi tingkat koordinasi antar instansi terkait. Terutama

adalah apabila Ranperda tersebut merupakan inisiatif DPRD yang di dalamnya

mengatur banyak kepentingan yang tumpang tindih dengan kewenangan lainnya,

hampir tidak pernah melibatkan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dan semua

tahapan pembentukan Perda inistiatif tersebut.

Hal itu berimbas pada kegiatan diskusi dan konsultasi serta koordinasi yang

dilakukan sangat terbatas diantara Tim Asistensi, Biro/Bagian Hukum, Kanwil

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan leading sector serta kelompok

dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan masalah masalah yang diatur juga

sangat terbatas. Seperti yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

HAM Sumatera Utara pada Rapat koordinasi dan konsultasi tentang Rancangan

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Rancangan Peraturan Daerah

tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara menurut penelitian berjalan kurang

maksimal karena diantara dinas/unit kerja ada semacam sikap untuk tidak terlalu

“mencampuri” wilayah dinas/unit kerja lain. Kecuali itu, umumnya mereka sudah

“percaya” dan “menyerahkan sepenuhnya” kepada Tim Asistensi yang sudah

dibentuk. Dari sana kelihatan ”seolah-olah” Rapat koordinasi dan konsultasi

dilakukan sekedar formalitas belaka.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana termasuk anggaran untuk menjamin pelaksanaan

pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan

Perda sangat kurang memadai. 258 Kurang memadainya anggaran dan prasarana

menjadi salah satu faktor penghambat dalam implementasi pelibatan Kantor Wilayah

dalam pembentukan Perda.

Pembentukan Perda pada prakteknya lebih didasarkan pada hubungan yang

harmonis dengan Pemerintah Daerah termasuk instansi pemrakarsa, daripada sebagai

bentuk atau wujud pelaksanaan perintah perundang-undangan. Bahkan, sering

pelibatan itu dilakukan berdasarkan pengalaman dimana yang mewakili Kanwil

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara itu dianggap bisa bekerja sama

dengan tim yang sudah dibentuk. Sehingga yang diundang adalah orang yang sama.

Selain itu tidak tersedianya ruangan khusus di Kantor Wilayah untuk

membahas Perda atau Ranperda mengakibatkan kurang maksimalnya hasil yang

dicapai dalam pembahasan Perda atau Ranperda. 259 Karena pembahasan dilakukan di

salah satu ruangan pejabat struktural dengan kapasitas peserta diskusi yang terbatas

hanya dua atau tiga orang saja. Hal ini mengakibatkan minimnya masukan-masukan

yang di terima sepanjang pembahasan Perda/Ranperda berlangsung.

Di sisi lain kurangnya anggaran yang memadai di Kanwil Departemen

Hukum dan HAM Sumatera Utara menjadi kendala tersendiri dalam

258
Hasil wawancara dengan BT. Naibaho sebagai Kepala Bidang Hukum Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, tanggal, 8 Januari 2009.
259
Ibid

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi daerah, menganalisa

dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah. Apalagi mengingat luasnya

wilayah Sumatera Utara dengan 33 Kabupaten/Kota yang jarak masing-masing

daerah dengan ibukota provinsi relatif jauh, tentu dibutuhkan anggaran yang memadai

untuk dapat menjangkau kabupaten/kota tersebut.

B. Upaya yang Dilakukan

Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pelibatan Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM dala pembentukan Perda perlu segera ditanggulangi

secara sistematis dan terencana dengan mendayagunakan berbagai potensi,

diantaranya;

1. Di Bidang Substansi Hukum

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10

Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Dephukham tersebut tidak

mengatur secara rinci bagaimana penyelenggaraan pengkoordinasian Prolegda

dilaksanakan, sehingga Kanwil Departemen Hukum dan HAM lebih cenderung

menginventarisasi Rancangan Peraturan Daerah atau Peraturan Daerah yang berasal

Pemerintah Daerah baik dari Biro Hukum Provinsi maupun dari dinas-dinas di

lingkungan Pemerintah Provinsi ataupun pemerintah Kabupaten/Kota.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 atau Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang mekanisme penyusunan Prolegda

termasuk tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam peraturan

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
pelaksanaan. 260 Sehingga Pedoman penyusunan Prolegda mengacu pada Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan

Prolegda walaupun keputusan ini belum mengacu kepada Undang-undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam

berbagai kesempatan seperti pada saat ada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

pembentukan peraturan perundang-undangan seperti seminar tentang Harmonisasi

Peraturan Daerah, Pendidikan dan Pelatihan Penyusun dan Perancang Peraturan

Perundang-undangan selalu mendorong dibentuknya suatu peraturan pelaksana

tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara

sebagai instansi vertikal dan perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di

daerah Provinsi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah

termasuk harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda dari segi teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan serta menjaga agar setiap Perda tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Di Bidang Struktur Hukum

Peningkatan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan

perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan oleh pembentukan Undang-undang

Nomor 10 tahun 2004 dilakukan melalui pelaksanaan lokakarya atau seminar untuk

membahas hasil dari analisis dan tanggapan terhadap suatu Rancangan Peraturan
260
Maria Farida Indrawati, Loc.cit

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Daerah yang melibatkan Biro Hukum Provinsi dan dinas-dinas di lingkungan

Pemerintah Provinsi ataupun pemerintah Kabupaten/Kota.

Sedangkan koordinasi dengan DPRD dilakukan dengan melibatkan anggota

DPRD dalam acara-acara ataupun seminar tentang pembentukan Peraturan Daerah

yang dilakukan oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM atau dari Pusat seperti

kegiatan yang dilakukan oleh BPHN, Direktorat Jenderal HAM dan Direktorat

Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM.

Fasilitasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, baik berupa penyediaan

tenaga ahli, bahan hasil penelitian yang diperlukan dalam penyusunan naskah

akademik, selama ini masih dilakukan secara pasif dalam arti apabila diundang atau

dilibatkan oleh Biro Hukum Provinsi atau Dinas-dinas dilingkungan Pemerintah

Provinsi.

Namun demikian, pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam

penyusunan naskah akademik sedang disosialisasikan berhubung peraturan

pelaksanaannya yang menjadi dasar kewenangan masih tergolong baru yakni

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008

tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-

undangan yang diterbitkan oleh BPHN pada bulan Januari 2009.

Kegiatan diskusi dan konsultasi serta koordinasi dilakukan diantara Tim

Asistensi, Bagian Hukum, Kanwil Departemen Hukum dan HAM dan leading sector

serta kelompok dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan masalah-masalah

yang diatur yang sangat terbatas. Pada Tahun 2007 Rapat koordinasi dan konsultasi

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
tentang Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir,

Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Hasil Rapat

koordinasi dan konsultasi tersebut kemudian diserahkan kepada Biro Hukum

Provinsi dan Dinas-dinas terkait di lingkungan pemerintah Provinsi.

Pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam

pembentukan Peraturan Daerah pada prakteknya lebih didasarkan pada hubungan

yang harmonis dengan Pemerintah Daerah termasuk instansi pemrakarsa, daripada

sebagai bentuk atau wujud pelaksanaan perintah perundang-undangan. Namun dalam

prakteknya siapapun yang menjadi perwakilan dari Kanwil Departemen Hukum dan

HAM Sumaera Utara selalu membawa nama Kanwil Departemen Hukum dan HAM

Sumatera Utara.

Untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan

pelatihan-pelatihan penyusunan dan perancang peraturan perundang-undangan untuk

mencetak tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan,

mengolah dan merumuskan Rancangan peraturan perundang-undangan. Kedepannya

akan mengusulkan Pegawai yang sudah mengikuti pelatihan tersebut sebagai pejabat

fungsional. Perancang adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung

jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Pejabat yang berwenang untuk

melakukan kegiatan penyusunan Rancangan peraturan perundang-undangan dan atau

instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana

Selain itu tidak tersedianya ruangan khusus di Kantor Wilayah untuk

membahas Perda atau Ranperda mengakibatkan kurang maksimalnya hasil yang

dicapai dalam pembahasan Perda atau Ranperda yang dilakukan secara intern oleh

pegawai yang menangani bidang hukum, sebelum Perda/Ranperda

diserahkan/dikoordinasikan dengan pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya.

Karena pembahasan dilakukan di salah satu ruangan pejabat struktural dengan

kapasitas peserta diskusi yang terbatas hanya dua atau tiga orang saja. Hal ini

mengakibatkan minimnya masukan-masukan yang di terima sepanjang pembahasan

Perda/Ranperda berlangsung.

Mengingat anggaran yang sangat minim, maka Perda dan atau Ranperda

yang akan dibahas dipilah-pilah, dan peninjauan langsung ke kabupaten/kota dalam

rangka Prolegda dilakukan secara bergantian. Pada penyusunan rencana kerja dan

program kerja Kanwil Departemen hukum dan HAM Sumatera Utara mengajukan

penambahan anggaran untuk menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program

legislasi daerah, menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan

daerah.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis

ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala

Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Mengenai dasar kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah diatur

dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi, Pemerintahan Daerah berhak

menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

otonomi dan tugas pembantuan. Juga diatur didalam UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan daerah dalam Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a

dan Pasal 136 ayat (1) yang masing-masing berbunyi; Pasal 25 huruf c

menyatakan Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda

yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. Pasal 42 ayat (1) huruf a

menyatakan DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang

dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Sedang

Pasal 136 ayat (1) berbunyi Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

mendapat persetujuan dari DPRD. Aspek kewenangan ini juga secara tegas

dipersyaratkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Perundang-undangan yang menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang dan mengikat secara umum.

2. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara

sebagai instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia di Propinsi memiliki tanggung jawab besar sebagai perpanjangan

tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan di daerah (law making process) khususnya

Peraturan Daerah dan dalam koordinasi program legislasi daerah, memfasilitasi

penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah berupa penyediaan

tenaga ahli, bahan hasil penelitian, konsultasi, atau fasilitas lain yang diperlukan

dalam penyusunan Naskah Akademik, harmonisasi maupun evaluasi Ranperda

atau Perda sebagai salah satu upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan,

memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu Ranperda dengan peraturan

perundang-undangan lain baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih

rendah sehingga tersusun secara sistematis tidak saling bertentangan atau

tumpang tindih. Melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan

daerah atau pengumpulan dan pengolahan peraturan perundang-undangan yang

isinya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dan kepentingan umum, serta asas dan materi muatan pembentukan

Peraturan Daerah, bersifat diskriminatif, melanggar HAM dan menimbulkan

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
konflik di masyarakat, baik yang berasal dari Pemerintah Daerah/ Biro Hukum

maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota. Selanjutnya,

menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan di daerah

tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional,

keserasian antara kepentingan umum dan kepentingan aparatur, keserasian

dengan peraturan yang lebih tinggi dan dengan peraturan yang sejenis.

3. Secara umum hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen Hukum dan

HAM Sumatera Utara tentang pelibatannya dalam pembentukan Peraturan

Daerah adalah lemahnya landasan yuridis tentang pelibatan Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal Departemen Hukum

dan HAM dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah

serta Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan disebabkan karena masih adanya egoisme sektoral dari instansi

pemrakarsa terkait dengan pengaturan kewenangan yang dimilikinya yang

merupakan salah satu bias dari desentralisasi, dekonsentrasi dari otonomi

daerah. Disisi lain kurangnya anggaran yang memadai di Kanwil Departemen

Hukum dan HAM Sumatera Utara menjadi kendala tersendiri dalam

menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi daerah,

menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah. Kanwil

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara belum memiliki tenaga

perancang yang diangkat sebagai tenaga fungsional. Sedang upaya yang

dilakukan oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara untuk

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
menghadapi hambatan-hambatan itu adalah selalu mendorong dibentuknya

suatu payung hukum yang kuat sebagai peraturan pelaksana tentang pelibatan

Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Meningkatkan

koordinasi dengan instansi horizontal di daerah yang dijadikan sebagai langkah

awal dan sebagai media untuk melakukan sosialisasi terhadap aturan-aturan

yang menjadi dasar kewenangan pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan

HAM dalam pembentukan Peraturan Daerah. Mengajukan penambahan

anggaran untuk menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi

daerah, menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang -undangan daerah

serta mengadakan pelatihan-pelatihan penyusunan dan perancang peraturan

perundang-undangan untuk mencetak tenaga perancang yang berkualitas dan

mengusulkan Pegawai yang sudah mengikuti pelatihan tersebut sebagai pejabat

fungsional.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang

dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah :

1. Untuk menghindari kerancuan tentang tata cara mempersiapkan Rancangan

Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diharapkan

nantinya dapat diatur atau dititipkan dalam Peraturan Presiden tersendiri yang

sampai sekarang macet karena belum ada tanda-tanda untuk ditetapkan.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Alternatif lain adalah mengamandemen UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan merinci pengaturan

tentang penyelenggaraan Prolegda sebagaimana pengaturan tentang Prolegnas.

Untuk penyiapan prolegda, sebaiknya masing-masing daerah membentuk perda

tentang prolegda, atau setidak-tidaknya dengan keputusan DPRD dari hasil

kesepakatan bersama penentuan prolegda antara DPRD dan pemerintah daerah,

sehingga prolegda sebagai lembaga resmi, harus dilaksanakan oleh pembentuk

perda secara konsisten dan konsekuen. Komitmen untuk tidak melakukan salip-

menyalip karena alasan urgensi atau kepentingan daerahnya untuk membentuk

suatu perda, perlu lebih ditingkatkan karena ini menyangkut etika

kepemerintahan. Sekali menetapkan prioritas dalam prolegda, harus

dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

2. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara sebagai vertikal Departemen

Hukum dan HAM dalam proses pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia di

daerah perlu dibuat suatu Undang-undang sebagai payung hukum atau landasan

yang kuat sebagai dasar kewenangan pelibatan Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan peraturan daerah.

3. Untuk menghadapi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen

Hukum dan HAM Sumatera Utara disarankan suatu payung hukum yang kuat

sebagai peraturan pelaksana tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen

Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan peraturan

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
perundang-undangan di daerah. Hal ini tentunya harus dibarengi dengan dan

keseriusan dari Pejabat pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

dalam rangka peningkatan koordinasi dengan instansi horizontal di daerah yang

dijadikan sebagai langkah awal dan sebagai media untuk melakukan sosialisasi

terhadap aturan-aturan yang menjadi dasar kewenangan pelibatan Kanwil

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan

Daerah. Dibutuhkan juga dukungan anggaran yang memadai untuk

menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi daerah,

menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah serta

memperbanyak pelatihan-pelatihan penyusunan dan perancang peraturan

perundang-undangan untuk mencetak tenaga perancang yang berkualitas dan

mengusulkan Pegawai yang sudah mengikuti pelatihan tersebut sebagai pejabat

fungsional.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-buku

Abdullah, Rozali,Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Desa


Secara Langsung, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Ali, Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,Jakarta


: Raja Grafindo Persada,1996.

Al-Rasyid, Harun, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR,
Jakarta: UI-Press, 2007.

Arinanto, Satya,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di indonesia,Jakarta


: Pusat Studi Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005.

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta:


The Habibie Centre, 2001

Boboy, Max, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan tata Negara, Jakarta: Sinar
Harapan, 1994

Budiardjo, Fungsi Lembaga Legislatif di Indonesia,Jakarta:CV. Rajawali, 1985.

________, Dasar-Dasar llmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama,1989

Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa,Otonomi Daerah


Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : CV. Trio Rimba Persada, 2003.

Gadjong, Agussalim Andi,Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum,


Bogor: Ghalia, 2007.

Hadjon, P. M., Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina


Ilmu, 1987.

Handoyo, B. Hestu Cipto, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah


Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988.

Haris, Syamsuddin,Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi,


Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,Jakarta : LIPI
Press, 2005.

Huda, Ni’matul, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan


Problematika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. ke-1, Jakarta : Bina


Aksara, 1982.

Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik


Indonesia : Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, Cet III, Jakarta : Rajawali Press, 2003.

Kaloh, J Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab


Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global,Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State,New York : Russell & Russel,
1945.

Koswara,E. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,Jakarta


:Yayasan PARIBA, 2001.

Kusnardi, Moh. & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara


Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti, 1980.

Kusumah, Mulyana W, Perspektif, teori dan Kebijakansanaan Hukum,Jakarta :


Rajawali, 1986.

Lubis M. Solly, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung, PT


Alumni, 1983.

Lubis, Solli, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978.

Mahendra, Oka A.A., Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif


Peraturan Perundang-undangan, Jakarta:Departemen Hukum dan
HAM RI,2006.

Mahfud MD. Moh, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta : LP3ES, 2001.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Mallarangeng, Andi, Dkk, Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis,
Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1999.

Marzuki, H.M. Laica,Berjalan-jalan di Ranah Hukum,Jakarta: Sekjen dan


Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006

Martosoewignjo, Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata


Negara, Jakarta: Rajawali, 1981.

Matutu, Mustamin Dg, dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di


Indonesia, Yogyakarta: UIII Press, 2004.

M, Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung,


Alumni, 1992.

Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara,(kumpulan tiga uraian pokok-


pokok persoalan tentang Pancasila), Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka, 1990

Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Romli, Lili,Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal,


Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta, Sinar Harapan,


2000.

SM, Oentarto, I Made Suwandi, Dodi Riyadmadji, Format Otonomi Daerah


Masa Depan, Jakarta: Samitra Media Utama, 2004.

Soehino,Perkembangan Pemerintahan di Daerah,Yogyakarta: Liberty, 1980.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.

Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983.

Soekanto, Soerjono, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1985.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghali, 1982.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta:


Kanisius, 2006.

Sudarwo, Iman,Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang


tentang Protokol,Surabaya :Penerbit Indah, 1988.

Syaukani, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid,Otonomi Daerah dalam Negara


Kesatuan,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2004.

Stroink, F.A.M., Deconcentratie atau Pemahaman tentang Dekonsentrasi,


Terjemahan Ateng Syafruddin, Bandung: Refika Aditama, 2006.

Ubbe, Ahmad, Kedudukan dan Fungsi Penelitian Hukum dalam Proses


Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,Jakarta: BPHN, 1999

Van der Vlies, I.C.,Handboek Wetgeving,atau Buku Pegangan Perancang


Peraturan Perundang-undangan, terjemahan.Linus Doludjawa,
Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum dan HAM RI,2005

Yudoyono, Bambang,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan


SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan,2001.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,


2002.

Wignjodipuro, Surojo, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung : Gunung Agung,


1969.

Wignjosoebroto, Soetandyo,Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika


Masalahnya, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
II. Karya Ilmiah/Artikel/Majalah

Abbas, Hafid, ”Rancangan Harmonisasi Ranperda dan Evaluasi Perda dalam


Perspektif Hak Asasi Manusia”, Makalah, disampaikan pada Seminar
tentang ”Harmonisasi Peraturan Daerah”, dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza
Medan, tanggal 28 Januari 2008.

Adam,Wahidudin”Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan Peraturan


Daerah”, Makalah, disampaikan pada disampaikan pada Pelatihan
Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008,
Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember
2008.

Al-Rasyid, Harun, “Peraturan Perundang-undangan dalam Konstitusi


Indonesia”, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang
Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008, Departemen Hukum dan
HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008.

A.R, Suhayono, “Pengaturan tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda”,


Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Panitia Legisasi DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota, diselengarakan oleh BPHN,
Departemen Hukum dan HAM, Medan 27-29 Maret 2007.

Attamimi. A. Hamid S., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia


dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara” (studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu
Pelita I Pelita VI), Jakarta :Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
1990.

Hariningsih, Sri, “Beberapa Pemikiran Dalam Rangka Penyempurnaan UU


No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”, Makalah Disampaikan pada Kegiatan Peningkatan
Pengetahuan Tenaga Perancang di Direktorat Perancangan Peraturan
Perundang-undangan tanggal 12 Juli 2006

Harkrisnowo, Harkristuti, “Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”, Jurnal


Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007.

Hilmi, Yunan, ”Praktek Penyusunan Naskah Akademis”, Makalah, disampaikan


pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan,
Jakarta 10-23 Desember 2008

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Hoessein, Benyamin, “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi
Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
dari Segi Ilmu Administrasi Negara”, Disertasi, Jakarta: PPS-Fisipol-
UI, 1993.

Indrati, Maria Farida, “Hal-Hal Yang Memerlukan Pengkajian Dan


Penyempurnaan Sebagai Masukan Bagi Perubahan UU NO. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” Makalah
, disampaikan pada Lokakarya RUU tentang Perubahan UU No. 10
Tahun 2004 tanggal 23-24 Mei 2006.

Juwana, Hikmanto, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam


Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang-undang”, Makalah,
disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah
di Cisarua Bogor Tahun 2006.

Lubis. M Solly, “Dasar-Dasar Paradigmatik Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan”, Makalah disampaikan pada Diklat Legislatif Drafting-
Peningkatan Kapabilitas Aparatur Pemerintah Daerah dalam
Penyusunan Perda di Era Otonomi Daerah, diselenggarakan atas kerja
sama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dengan Laboratorium
Konstitusi Sekolah Pascasarjana USU dan JICA (Japan International
Cooperation Agency) Human Resources Development for local
Goverment, di Medan 27 Nopember -1 Desember 2006.

Lubis. M Solly, “Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah,


pada Seminar tentang ”Partisipasi publik dalam Proses Legislasi
sebagai pelaksanaan Hak politik”, dilaksanakan oleh Badan Litbang
HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza
Medan, tanggal 2 Mei 2007.

Mahendra, A.A.Oka, “Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program


Legislasi Daerah”, disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan
dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, diselenggarakan oleh
BPHN, Departemen Hukum dan HAM, Bali, 13-15 September 2005.

Nainggolan, Ferlin,”Program Legislasi Daerah”, Makalah, disampaikan pada


Pendidikan dan Pelatihan Legal Drafter Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan HAM Sumatera Utara Tahun Anggaran 2008.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Nasution, Bismar, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan
Hukum”, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian
Hukum dan Hasil Penulisan Hukum, Majalah Akreditasi, Fakultas
Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.

Nasution, Faisal Akbar, “Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca Berlakunya


UU Nomor 22 Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik)”, Makalah,2004.

Natabaya, H.A.S., “Upaya Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan dlam


Rangka Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi”, Majalah Hukum
Nasional, No.2, Tahun 1999.

Rasyid, Ryaas, ”Pemerintah Serius laksanakan Desentralisasi”, Jurnal Berita


Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.85,
2000.

Setiadi, Wicipto”Mekanisme Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”,


Makalah pada Seminar Harmonisasi Perundang-undangan tanggal 21
September 2006 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Perundang-
undangan Departemen Hukum dan HAM RI.

Simatupang, Baldwin, “Harmonisasi Peraturan Daerah Dalam rangka


Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”, Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4,
Desember 2007.

Sunoto, ”Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan”, Bahan


Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi pengelola Lingkungan, Kantor
Menteri Lingkungan Hidup, Jakarta, 1997.

Ubbe, Ahmad, ”Mekanisme Penelitian Hukum dalam Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan”, Makalah, disampaikan pada Temu Konsultasi
Pelaksanaan Hukum di Jajaran BPHN Departemen Hukum dan HAM,
Bogor Tanggal 20-22 Juni 2005.

Wignyosumarto, Sutandyo,”Sebuah Pengantar tentang Pembinaan Hukum


dalam PJP II”, Makalah, pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan
Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta,
Juli 1995.

Yudoyono, Susilo Bambang, Makalah Arahan Presiden pada Sidang Paripurna


Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, di Jakarta pada tanggal
23 Agustus 2006.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
III. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 4437.

Republik Indonesia UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 44421.

Republik Indonesia UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 4389.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas


UU No. 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara RI, Nomor 4359.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang


Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 Tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 11.

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata


Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 2004 tentang


Kedudukan, Tugas, fungsi, susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi
Vertikal di Lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang


Kedudukan, Tugas, fungsi, kewenangan, susunan Organisasi dan Tata
Kerja Departemen.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Nomor. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI


Nomor. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-


PR.07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Hukum dan HAM RI.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-


01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Perundang -undangan.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006


tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Republik Indonesia, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor


188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan
Penetapan Peraturan Daerah.

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor.


12/K/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 3/K/2004 tentang
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Sumatera Utara.

Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum
Dan Ham Sum Atera Utara, 2009
USU Repository © 2008

Anda mungkin juga menyukai