Anda di halaman 1dari 13

Seks sebagai Resiliensi dalam Kehidupan Pernikahan

PENDAHULUAN
Setiap individu yang memasuki kehidupan pernikahan akan membawa
kebutuhan, harapan, serta keinginannya masing-masing. Suami maupun istri akan
mendambakan kehidupan pernikahan yang bahagia dan puas serta berharap dapat
memenuhinya dalam institusi pernikahan (Nihayah, Adriani & Wahyuni, 2013). Pada
kenyataannya tidak semua pasangan dapat mencapai kepuasan dalam pernikahan.
Adanya hambatan pemenuhan kebutuhan satu atau lebih anggota keluarga akan
menimbulkan ketidakpuasan (Ardhianita & Andayani, 2005). Penelitian yang
dilakukan oleh Afni dan Indrijati (2011) menjelaskan bahwa dua dari tiga subjek
merasakan ketidakpuasan pernikahan karena tidak terpenuhinya aspek material,
seksual, dan psikologis dalam rumah tangga. Selain itu, Glenn (dalam Halford, Lizzio,
Wilson & Occhipinti, 2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kepuasan dalam
hubungan pada pasangan suami istri umumnya meningkat saat pernikahan, akan tetapi
hal tersebut akan menurun dan sekitar 3-4 persen terjadi perceraian pada saat
pernikahan memasuki usia 10 tahun.

Manusia mengalami perkembangan dalam hidupnya, salah satu tahapan


perkembangan yang membutuhkan usaha lebih karena untuk menyesuaikan diri
terhadap pola-pola kehidupan baru adalah tahapan dewasa awal yang dimulai dari usia
18 hingga 40 tahun karena pada masa ini individu diharapkan memiliki peran yang
baru (Hurlock, 1991:246). Setiap tugas perkembangan hendaknya dipenuhi termasuk
tugas perkembangan pada tahapan usia dewasa awal menurut Erikson, yakni kedekatan
dengan orang lain (intimacy) dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri
(isolation) (Erikson, dalam Boeree, 2009:89). Kedekatan pada usia dewasa awal tidak
hanya dilakukan pada sesama jenis namun juga hingga lawan jenis dan akhirnya
membentuk hubungan interpersonal dalam jangka waktu yang panjang, positif, dan
bermakna (Handayani, 2008:4), hubungan interpersonal tersebut dilakukan dengan sah
dan baik untuk memenuhi salah satu tugas perkembangan seperti yang diungkapkan
Havighurst (1953, dalam Mappiare, 1983:31-32), yakni memilih teman bergaul
(sebagai calon suami atau istri) oleh karena itulah untuk memenuhi tugas
perkembangan tersebut dilakukan perkawinan.

Perkawinan menurut Undang–Undang No I tahun 1974 RI adalah ikatan lahir


batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, selain itu perkawinan digunakan sebagai sarana bagi individu untuk
berbagi kedekatan emosional, fisik, beragam tugas, dan sumber ekonomi. Berdasarkan
tujuan tersebutlah laki-laki dan perempuan menikah, agar kehidupan keduanya menjadi
lebih baik dengan menjalani hidup secara bersama-sama, dan mengatasnamakan Tuhan
Yang Maha Esa untuk mewujudkan kehidupan bersama yang bahagia dan bersifat
kekal.

Kepuasan dalam kebutuhan materil ditandai dengan adanya kepuasan fisik atau
bilogis atas pemenuhan kebutuhan berupa makanan, tempat tinggal, keadaan rumah
tangga yang teratur, dan uang. Kepuasan atas kebutuhan seksual ditandai dengan
terpenuhinya kebutuhan seksual dengan adanya respon seksual yang baik dan frekuensi
seksual yang tidak rendah, selain itu pasangan yang bahagia merasa lebih mendapatkan
afeksi dibandingkan dengan pasangan yang kurang bahagia. Pasangan yang bahagia
juga merasa bahwa pasangan mereka tidak akan menolak atau melakukan perilaku
seksual yang kurang menyenangkan (Olson dan Olson, dalam Olson & DeFrain,
2003:160). Sedangkan untuk kebutuhan secara psikologis berupa persahabatan,
keamanan emosional, saling memahami, menerima, menghormati, dan sependapat,
sebagai tambahan dari Walster and Walster (1978, dalam Saxton, 1986:249) yang
menjelaskan hasil interviewnya pada beberapa ribu pasangan bahwa pasangan
memiliki kepuasan psikologis jika memiliki beberapa karakteristik diantaranya ramah,
dan santai; pintar, mampu menjadi sumber informasi; penampilan fisik yang atraktif
dan memperhatikan penampilan fisik, seperti pakaian, kebersihan dan sebagainya;
hangat dan penuh kasih sayang, serta mampu menunjukkannya pada pasangan;
memahami pasangan dan peduli pada kebutuhan-kebutuhan emosional; menunjukkan
apresiasi pada pasangan; menunjukkan kasih sayang seperti menyentuh, memeluk, dan
mencium; berpartisipasi aktif dan penuh dalam interaksi seksual; menghormati
kebebasan pasangan dan merupakan individu yang mandiri; menikmati kehidupan
sehari-hari, memiliki rasa humor dan tidak pemurung; menjadi rekan yang baik,
mampu memberikan saran dan ide-ide menarik; saling menceritakan tentang kejadian
hari itu, tertarik dan bersedia menjadi pendengar yang baik; memiliki kecocokan
dengan teman dan keluarga pasangan, menyukainya dan mencoba membuat mereka
untuk menyukai dirinya; dan memikirkan pada hal-hal penting seperti mengingat hari
ulang tahun atau perayaan yang merupakan suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan
yang berlaku dan suatu sikap, dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri
individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam perkawinan
(Pinsof dan Lebow (2005, dalam Rini dan Retnaningsih, 2008:153), dan untuk
mencapai kepuasan perkawinan tersebut terdapat tiga kebutuhan yang juga menjadi
aspek kepuasan perkawinan yang lain.

Jika aspek-aspek kepuasan perkawinan dalam perkawinan tersebut hanya


terpenuhi satu atau dua aspek maka akan menyebabkan hancurnya sebuah kehidupan
perkawinan yang ditandai dengan perceraian. Berdasarkan uraian kisah dari beberapa
istri yang menggugat cerai yang penulis dapatkan dari studi literatur seperti yang
disebutkan sebelumnya menyatakan bahwa masing-masing memiliki pengalaman
subjektif yang berbeda atas kehidupan perkawinannya, diantara mereka ada yang masih
belum memiliki kepuasan dalam hal materil karena tidak adanya nafkah lahir yang
diberikan pasangan sehingga pemenuhan kebutuhan materil kurang terpenuhi, dan
yang cukup mendominasi adalah tidak adanya rasa aman secara psikologis, dimana hal
ini sangat berkaitan erat dengan pemenuhan aspek psikologis, dengan demikian
masing-masing individu memiliki pemenuhan yang berbeda-beda terkait dengan
aspek-aspek kepuasan perkawinannya.

Pengertian Resiliensi

Secara etimologis, kata “resiliensi” berasal dari bahasa Latin “resilire”


(kembali pada musim semi) yang berarti sebuah kapasitas untuk pulih atau bangkit
kembali (Masten & Gerwirtz, 2006). Resiliensi merupakan kemampuan untuk
mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi masalah berat dalam kehidupan (Reivich
& Shatte, 2002). Resiliensi merupakan istilah relatif baru dalam khasanah psikologi,
terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan
kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang
bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi stres, trauma dan
resiko dalam kehidupan mereka (Desmita, 2014). Grotberg (1995) menyatakan bahwa
resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan
diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup,
karena setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada
seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada
diungkapkan oleh Reivich & Shatte (2002), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana
hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Reivich & Shatte (2002) menjelaskan bahwa resiliensi memiliki empat fungsi
dasar dalam kehidupan manusia, yaitu:

a. Mengatasi kesulitan-kesulitan yang pernah dialami di masa kecil. Beberapa orang


mengalami pengalaman pahit di masa kecil, misalnya kemiskinan, kekerasan, atau
broken home. Dalam hal ini, resiliensi bermanfaat untuk meninggalkan akibat
buruk dari pengalamanpengalaman pahit tersebut dengan lebih memusatkan pada
tanggung jawab pribadi untuk mewujudkan masa dewasa yang diinginkan.

b. Melewati kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya menghadapi


konflik dengan rekan atau keluarga dan menghadapi kejadian yang tidak
diinginkan. Seseorang dengan resiliensi yang baik tidak akan membiarkan
kesulitan yang dihadapinya sehari-hari memengaruhi produktivitas atau
kesejahteraannya.

c. Bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau kesulitan besar.


Menghadapi situasi krisis dalam hidup seperti kematian, perpisahan akan
menyebabkan ketidakberdayaan seseorang. Kemampuan untuk segera bangkit dari
ketidakberdayaan tersebut akan tergantung dari tingkat resiliensi seseorang.

d. Mencapai prestasi terbaik. Resiliensi dapat membantu untuk mengoptimalkan


segala potensi diri untuk mencapai seluruh cita-cita dalam hidup. Mencapai tujuan
hidup dengan bersikap terbuka terhadap berbagai pengalaman dan kesempatan.

Kunci kesuksesan resiliensi adalah kemampuan untuk mengenali pikiran dan


struktur kepercayaan serta memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan akurasi serta
fleksibilitas berpikir untuk mengatur emosi dan perilaku yang lebih efektif.
Kemampuan ini dapat diukur, diajarkan, dan diperbaiki (Jackson & Watkin, 2004).
Pada dasarnya resiliensi tidak ditentukan oleh seberapa banyak kesulitan yang telah
dilewati sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam menghadapi keadaan yang
sulit, namun lebih ditentukan oleh (1) tingkat akurasi dalam memertimbangkan suatu
keadaan sulit; (2) banyaknya alternatif skenario yang dapat dibayangkan; (3)
kemampuan untuk bersikap fleksibel dan; (4) melanjutkan hidup untuk meraih
kesempatan baru.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa resiliensi


adalah kemampuan individu untuk mengatasi, dan meningkatkan diri dari
keterpurukan, dengan merespon secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri,
sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari.

Faktor Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi mencakup tujuh faktor, yaitu:

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh
tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan
dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah
sehingga memercepat dalam pemecahan suatu masalah.
Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal sehat dan
konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat
merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien.

b. Impuls control

Hal ini merupakan kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta


tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls
rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran. Individu mudah kehilangan kesabaran, mudah
marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu
penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang
berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

c. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu memiliki harapan di
masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya. Dibandingkan dengan
individu yang pesimis, individu optimis lebih sehat secara fisik, tidak mengalami
depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih
berprestasi dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya
dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.

d. Analisis penyebab masalah

Merujuk pada individu memiliki kemampuan untuk mengindentifikasi penyebab


masalahnya secara akurat. Ketika seseorang mampu mengidentifikasi penyebab
masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama berulang
kali.

Individu dengan resiliensi tinggi dapat mengidentifikasi penyebab suatu masalah


secara realistis tanpa mengabaikan faktor-faktor penyebab dari munculnya
permasalahan tersebut. Individu mampu menyalurkan seluruh kekuatan dan
keterampilannya dalam memecahkan masalah dengan mengontrol, melakukan
perubahan, mengatasi, bangkit kembali, dan keluar dari kondisi sulit.

e. Empati

Menggambarkan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi


dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi orang lain.

f. Efikasi diri

Merupakan keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan


memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri
mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen
dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa
strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa
ragu karena memiliki kepercayaan penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini
akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami.

g. Reaching out

Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit, yaitu
kemampuan seseorang untuk bisa keluar dari zona aman yang dimilikinya. Individu
yang memiliki kemampuan reaching out tidak menetapkan batas kaku terhadap
kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.

Everall (2006) mengemukakan ada tiga faktor yang memengaruhi resiliensi,


yaitu:

a. Faktor individual, meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri,
dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Dengan adanya hal-hal tersebut
dalam dirinya, seseorang dapat menghadapi dan merefleksikan masalah, bukan
menghindari masalah yang ada, dan dapat menemukan solusi untuk masalah
tersebut.
b. Faktor keluarga, meliputi dukungan yang bersumber dari orangtua, yaitu
bagaimana cara orangtua untuk memperlakukan dan melayani anak. Selain
dukungan dari orangtua struktur keluarga juga berperan penting bagi individu.
Seseorang yang mendapat bimbingan dan kekuatan dari orangtua dalam
menghadapi masalah, biasanya akan merasa termotivasi, optimistik dan dapat
meyakinkan dirinya bahwa ia akan berhasil melewati dan menyelesaikan masalah
yang ada.

c. Faktor komunitas, meliputi dukungan dari komunitas selain orangtua, hobi, dan
aktivitas keagamaan yang bertujuan melepaskan stress, terutama jika seseorang
mengalami tekanan dari keluarga, sehingga komunitaslah yang akan memberikan
kekuatan pada individu tersebut. Hubungan positif dengan teman sebaya
merupakan sumber dukungan utama pada seseorang yang mengalami masalah.
Melalui hubungan ini, seseorang akan merasa ditemani, memiliki dukungan
motivasi dan emosional, role model, dan rasa memiliki.

Menurut Wright & Masten (2006), kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh
seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor protektif dan faktor resiko. Faktor
protektif merupakan faktor yang dapat meminimalkan dampak negatif dari suatu
peristiwa tertentu. Faktor protektif meliputi dukungan sosial dari keluarga maupun
masyarakat dan kondisi diri seseorang. Selain faktor protektif terdapat pula faktor yang
dapat memengaruhi resiliensi yaitu faktor risiko. Faktor risiko merupakan faktor yang
dapat memberikan dampak negatif terhadap peristiwa yang sedang dialami oleh
individu. Faktor risiko meliputi kondisi lahir, seperti prematur, kondisi keluarga,
lingkungan individu, relasi individu dengan orang lain. Faktor risiko memiliki
pengaruh besar terhadap pertahanan diri individu ketika menghadapi suatu masalah.
Dengan demikian, faktor protektif dan faktor risiko sangat memengaruhi kemampuan
resiliensi individu dalam menghadapi suatu permasalahan.
Bedasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor dari resiliensi
mencakup; regulasi emosi, impuls control, optimisme, analisis penyebab masalah,
empati, efikasi diri, reaching out, individu, keluarga, komunitas. Selain itu, resiliensi
juga dipengaruhi oleh faktor protektif dan faktor risiko.

Dari beberapa teori yang telah dijelaskan, peneliti memilih faktor resiliensi dari
Reivich & Shatte sebagai indikator dalam mengungkap resiliensi pada remaja hamil di
luar nikah yang mencakup; (1) regulasi emosi, yaitu kemampuan untuk tetap tenang
dalam kondisi yang penuh tekanan; (2) impuls control, yaitu kemampuan
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam
diri seseorang; (3) optimisme, yaitu pandangan dan gambaran akan masa depan yang
positif; (4) analisis penyebab masalah, yaitu kemampuan untuk mengindentifikasi
penyebab masalahnya secara akurat; (5) empati, yaitu kemampuan individu untuk
mengerti dan memahami kondisi psikologis dan emosi orang lain serta ikut merasakan
apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain; (6) efikasi diri, yaitu keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif;
(7) reaching out, yaitu kemampuan individu untuk keluar dari kondisi sulit.

Karakteristik Individu Resilien

Henderson & Milstein (Desmita, 2014) mengemukakan bahwa individu yang resilien
memiliki beberapa sifat sebagai berikut:

a. Kesediaan diri untuk melayani orang lain.

b. Menggunakan keterampilan-keterampilan hidup, mencakup keterampilan-


keterampilan mengambil keputusan dengan baik, tegas, keterampilan mengontrol
impuls-impuls dan problem solving.

c. Sosiabilitas, kemampuan untuk menjadi seorang teman, kemampuan untuk


membentuk hubungan-hubungan yang positif.

d. Memiliki sense of humor.

e. Kontrol pusat secara internal.


f. Otonomi dan independen.

g. Memiliki pandangan positif terhadap masa depan

h. Fleksibilitas

i. Memiliki kapasitas untuk terus belajar.

j. Motivasi diri

k. Kompetensi personal.

l. Memiliki harga diri dan percaya diri.

Menurut Bernard (Desmita, 2014), individu dapat dikatakan resilien jika memiliki
karakteristik sebagai berikut:

a. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan untuk memunculkan respon positif dari


orang lain, dalam arti mengadakan hubungan-hubungan positif dengan orang
dewasa dan teman sebaya.

b. Keterampilan pemecahan masalah (metakognitif), yaitu perencanaan yang


memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya
untuk mencari bantuan dari orang lain.

c. Otonomi, yaitu suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan
untuk bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap
lingkungan.

d. Kesadaran akan tujuan dan masa depan, yaitu kesadaran akan tujuan-tujuan,
aspirasi pendidikan, ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa
depan yang cemerlang.

Selain itu, menurut Wolins (Desmita, 2014), ada tujuh karakteristik internal tipe
resilien, yaitu:

a. Inisiatif, dapat terlihat dari upaya dalam melakukan eksplorasi terhadap


lingkungan dan kemampuan individu untuk mengambil peran/bertindak.
b. Independen, terlihat dari kemampuan seseorang menghindari atau menjauhkan diri
dari keadaan tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak.

c. Berwawasan, dapat terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau
penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa
ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan
menganalisis mengapa ia salah.

d. Hubungan, terlihat dari upaya seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang
lain.

e. Humor, terlihat dari kemampuan seseorang mengungkapkan perasaan humor di


tengah situasi menegangkan atau mencairkan suasana kebekuan.

f. Kreatif, ditunjukkan melalui permainan-permainan kreatif dan pengungkapan diri.

g. Moralitas, ditunjukkan dengan pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk,


mendahulukan kepentingan orang lain serta bertindak dengan integritas.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa individu


yang resilien memiliki beberapa karakteristik berupa kemampuan sosial yang baik,
memiliki kemampuan menjaga hubungan baik dengan orang lain, memiliki motivasi
yang baik dalam hidup, mampu membedakan hal yang baik dan buruk, memiliki
keterampilan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, serta mampu bertindak
secara otonomi dalam memecahkan masalah.

Setiap pasangan memulai pernikahan dengan berbagai harapan dan impian. Tidak
ada yang mengharapkan perceraian untuk mengakhiri hubungan mereka. Namun,
diperkirakan antara 40% dan 50% dari semua pernikahan berakhir dengan perceraian
(Amato, 2010; Cherlin, 2010). Dua kontributor yang sering disebutkan dari faktor
perceraian adalah ketidakmampuan pasangan untuk mengatasi masalah yang berkaitan
dengan uang dan seks, dan argumen yang muncul dalam masalah (Grable dkk, 2007).
Ini merupakan studi empiris mengeksplorasi bagaimana keluarga keuangan dan
pasangan seks secara simultan memprediksi ketidakstabilan pernikahan. Ada banyak
penelitian yang menghubungkan faktor keuangan dengan kepuasan perkawinan (misal
Archuleta, Britt, Tonn, & Grable, 2011; Dew, 2011) dan ketidakstabilan perkawinan
(misal Dew, 2009; Dew, Britt, & Huston, 2012; lih. Andersen, 2005). Demikian juga,
sudah banyak penelitian menghubungkan faktor seksual dengan kepuasan perkawinan
(misal Gadassi et al., 2016; McNulty, Wenner, & Fisher, 2016) dan ketidakstabilan
perkawinan (misalnya, Yeh, Lorenz, Wickrama, Conger, & Elder, 2006; Yucel, 2016).
Selain itu, beberapa penelitian telah memperkenalkan mediator untuk melihat faktor-
faktor apa yang mungkin terjadi menghilangkan atau mengurangi efek buruk yang
diakibatkan oleh stres finansial dan seksual pada saat perkawinan kepuasan dan
stabilitas (misal Carroll, Hill, Yorgason, Larson, & Sandberg, 2013; Dew, 2009; Yeh
et al., 2006). Namun, ada kelangkaan penelitian yang menggabungkan uang, seks, dan
ketidakstabilan perkawinan menjadi satu model penelitian. Selain itu, beberapa
penelitian telah menggali potensi mediator yang akan memperbaiki masalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Afni N, Indrijati H. 2011. Pemenuhan Aspek-Aspek Kepuasan Perkawinan pada Istri


yang Menggugat Cerai. Insan, 13(3), 176-184.

Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Galinsky AM, Waite LJ. 2013. Sexual activity and psychological health as mediators
of the relationship between physical health and marital quality. Journals of
Gerontology, Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 69(3), 482–492.

Grothberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the


Human Spirit. The Series Early Childhood Development: Practice and Reflections.
Number 8. The Hague: Benard van Leer Voundation.
Hill E, Allsop DB, LeBaron AB, & Bean RA. 2017. How do Money, Sex, and Stress
Influence Marital Instability?. Journal of Financial Therapy, 8(1) 3.

Masten, A.S. & Gerwitz, A.H. 2006. Resilience in Development: The Importance of
Early Childhood. Encyclopedia on Early Childhood Development. USA: University of
Minessota.

Reich, Zautra & Hall. 2010. Handbook of adult resilience. New York: The Guilford
Press.

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York: Broadway Books.

Soraiya P, Khairani M, Rachmatan R, Sari K, Sulistyani A. 2016. Kelekatan dan


Kepuasan Pernikahan pada Dewasa Awal di Kota Banda Aceh. Jurnal Psikologi
Undip, 15(1), 36-42.

Anda mungkin juga menyukai