PENDAHULUAN
Setiap individu yang memasuki kehidupan pernikahan akan membawa
kebutuhan, harapan, serta keinginannya masing-masing. Suami maupun istri akan
mendambakan kehidupan pernikahan yang bahagia dan puas serta berharap dapat
memenuhinya dalam institusi pernikahan (Nihayah, Adriani & Wahyuni, 2013). Pada
kenyataannya tidak semua pasangan dapat mencapai kepuasan dalam pernikahan.
Adanya hambatan pemenuhan kebutuhan satu atau lebih anggota keluarga akan
menimbulkan ketidakpuasan (Ardhianita & Andayani, 2005). Penelitian yang
dilakukan oleh Afni dan Indrijati (2011) menjelaskan bahwa dua dari tiga subjek
merasakan ketidakpuasan pernikahan karena tidak terpenuhinya aspek material,
seksual, dan psikologis dalam rumah tangga. Selain itu, Glenn (dalam Halford, Lizzio,
Wilson & Occhipinti, 2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa kepuasan dalam
hubungan pada pasangan suami istri umumnya meningkat saat pernikahan, akan tetapi
hal tersebut akan menurun dan sekitar 3-4 persen terjadi perceraian pada saat
pernikahan memasuki usia 10 tahun.
Kepuasan dalam kebutuhan materil ditandai dengan adanya kepuasan fisik atau
bilogis atas pemenuhan kebutuhan berupa makanan, tempat tinggal, keadaan rumah
tangga yang teratur, dan uang. Kepuasan atas kebutuhan seksual ditandai dengan
terpenuhinya kebutuhan seksual dengan adanya respon seksual yang baik dan frekuensi
seksual yang tidak rendah, selain itu pasangan yang bahagia merasa lebih mendapatkan
afeksi dibandingkan dengan pasangan yang kurang bahagia. Pasangan yang bahagia
juga merasa bahwa pasangan mereka tidak akan menolak atau melakukan perilaku
seksual yang kurang menyenangkan (Olson dan Olson, dalam Olson & DeFrain,
2003:160). Sedangkan untuk kebutuhan secara psikologis berupa persahabatan,
keamanan emosional, saling memahami, menerima, menghormati, dan sependapat,
sebagai tambahan dari Walster and Walster (1978, dalam Saxton, 1986:249) yang
menjelaskan hasil interviewnya pada beberapa ribu pasangan bahwa pasangan
memiliki kepuasan psikologis jika memiliki beberapa karakteristik diantaranya ramah,
dan santai; pintar, mampu menjadi sumber informasi; penampilan fisik yang atraktif
dan memperhatikan penampilan fisik, seperti pakaian, kebersihan dan sebagainya;
hangat dan penuh kasih sayang, serta mampu menunjukkannya pada pasangan;
memahami pasangan dan peduli pada kebutuhan-kebutuhan emosional; menunjukkan
apresiasi pada pasangan; menunjukkan kasih sayang seperti menyentuh, memeluk, dan
mencium; berpartisipasi aktif dan penuh dalam interaksi seksual; menghormati
kebebasan pasangan dan merupakan individu yang mandiri; menikmati kehidupan
sehari-hari, memiliki rasa humor dan tidak pemurung; menjadi rekan yang baik,
mampu memberikan saran dan ide-ide menarik; saling menceritakan tentang kejadian
hari itu, tertarik dan bersedia menjadi pendengar yang baik; memiliki kecocokan
dengan teman dan keluarga pasangan, menyukainya dan mencoba membuat mereka
untuk menyukai dirinya; dan memikirkan pada hal-hal penting seperti mengingat hari
ulang tahun atau perayaan yang merupakan suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan
yang berlaku dan suatu sikap, dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri
individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam perkawinan
(Pinsof dan Lebow (2005, dalam Rini dan Retnaningsih, 2008:153), dan untuk
mencapai kepuasan perkawinan tersebut terdapat tiga kebutuhan yang juga menjadi
aspek kepuasan perkawinan yang lain.
Pengertian Resiliensi
Reivich & Shatte (2002) menjelaskan bahwa resiliensi memiliki empat fungsi
dasar dalam kehidupan manusia, yaitu:
Faktor Resiliensi
Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi mencakup tujuh faktor, yaitu:
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh
tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan
dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah
sehingga memercepat dalam pemecahan suatu masalah.
Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal sehat dan
konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat
merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien.
b. Impuls control
c. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu memiliki harapan di
masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya. Dibandingkan dengan
individu yang pesimis, individu optimis lebih sehat secara fisik, tidak mengalami
depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih
berprestasi dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya
dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.
e. Empati
f. Efikasi diri
g. Reaching out
Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit, yaitu
kemampuan seseorang untuk bisa keluar dari zona aman yang dimilikinya. Individu
yang memiliki kemampuan reaching out tidak menetapkan batas kaku terhadap
kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.
a. Faktor individual, meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri,
dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Dengan adanya hal-hal tersebut
dalam dirinya, seseorang dapat menghadapi dan merefleksikan masalah, bukan
menghindari masalah yang ada, dan dapat menemukan solusi untuk masalah
tersebut.
b. Faktor keluarga, meliputi dukungan yang bersumber dari orangtua, yaitu
bagaimana cara orangtua untuk memperlakukan dan melayani anak. Selain
dukungan dari orangtua struktur keluarga juga berperan penting bagi individu.
Seseorang yang mendapat bimbingan dan kekuatan dari orangtua dalam
menghadapi masalah, biasanya akan merasa termotivasi, optimistik dan dapat
meyakinkan dirinya bahwa ia akan berhasil melewati dan menyelesaikan masalah
yang ada.
c. Faktor komunitas, meliputi dukungan dari komunitas selain orangtua, hobi, dan
aktivitas keagamaan yang bertujuan melepaskan stress, terutama jika seseorang
mengalami tekanan dari keluarga, sehingga komunitaslah yang akan memberikan
kekuatan pada individu tersebut. Hubungan positif dengan teman sebaya
merupakan sumber dukungan utama pada seseorang yang mengalami masalah.
Melalui hubungan ini, seseorang akan merasa ditemani, memiliki dukungan
motivasi dan emosional, role model, dan rasa memiliki.
Menurut Wright & Masten (2006), kemampuan resiliensi yang dimiliki oleh
seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor protektif dan faktor resiko. Faktor
protektif merupakan faktor yang dapat meminimalkan dampak negatif dari suatu
peristiwa tertentu. Faktor protektif meliputi dukungan sosial dari keluarga maupun
masyarakat dan kondisi diri seseorang. Selain faktor protektif terdapat pula faktor yang
dapat memengaruhi resiliensi yaitu faktor risiko. Faktor risiko merupakan faktor yang
dapat memberikan dampak negatif terhadap peristiwa yang sedang dialami oleh
individu. Faktor risiko meliputi kondisi lahir, seperti prematur, kondisi keluarga,
lingkungan individu, relasi individu dengan orang lain. Faktor risiko memiliki
pengaruh besar terhadap pertahanan diri individu ketika menghadapi suatu masalah.
Dengan demikian, faktor protektif dan faktor risiko sangat memengaruhi kemampuan
resiliensi individu dalam menghadapi suatu permasalahan.
Bedasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor dari resiliensi
mencakup; regulasi emosi, impuls control, optimisme, analisis penyebab masalah,
empati, efikasi diri, reaching out, individu, keluarga, komunitas. Selain itu, resiliensi
juga dipengaruhi oleh faktor protektif dan faktor risiko.
Dari beberapa teori yang telah dijelaskan, peneliti memilih faktor resiliensi dari
Reivich & Shatte sebagai indikator dalam mengungkap resiliensi pada remaja hamil di
luar nikah yang mencakup; (1) regulasi emosi, yaitu kemampuan untuk tetap tenang
dalam kondisi yang penuh tekanan; (2) impuls control, yaitu kemampuan
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam
diri seseorang; (3) optimisme, yaitu pandangan dan gambaran akan masa depan yang
positif; (4) analisis penyebab masalah, yaitu kemampuan untuk mengindentifikasi
penyebab masalahnya secara akurat; (5) empati, yaitu kemampuan individu untuk
mengerti dan memahami kondisi psikologis dan emosi orang lain serta ikut merasakan
apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain; (6) efikasi diri, yaitu keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif;
(7) reaching out, yaitu kemampuan individu untuk keluar dari kondisi sulit.
Henderson & Milstein (Desmita, 2014) mengemukakan bahwa individu yang resilien
memiliki beberapa sifat sebagai berikut:
h. Fleksibilitas
j. Motivasi diri
k. Kompetensi personal.
Menurut Bernard (Desmita, 2014), individu dapat dikatakan resilien jika memiliki
karakteristik sebagai berikut:
c. Otonomi, yaitu suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan
untuk bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap
lingkungan.
d. Kesadaran akan tujuan dan masa depan, yaitu kesadaran akan tujuan-tujuan,
aspirasi pendidikan, ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa
depan yang cemerlang.
Selain itu, menurut Wolins (Desmita, 2014), ada tujuh karakteristik internal tipe
resilien, yaitu:
c. Berwawasan, dapat terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau
penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa
ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan
menganalisis mengapa ia salah.
d. Hubungan, terlihat dari upaya seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang
lain.
Setiap pasangan memulai pernikahan dengan berbagai harapan dan impian. Tidak
ada yang mengharapkan perceraian untuk mengakhiri hubungan mereka. Namun,
diperkirakan antara 40% dan 50% dari semua pernikahan berakhir dengan perceraian
(Amato, 2010; Cherlin, 2010). Dua kontributor yang sering disebutkan dari faktor
perceraian adalah ketidakmampuan pasangan untuk mengatasi masalah yang berkaitan
dengan uang dan seks, dan argumen yang muncul dalam masalah (Grable dkk, 2007).
Ini merupakan studi empiris mengeksplorasi bagaimana keluarga keuangan dan
pasangan seks secara simultan memprediksi ketidakstabilan pernikahan. Ada banyak
penelitian yang menghubungkan faktor keuangan dengan kepuasan perkawinan (misal
Archuleta, Britt, Tonn, & Grable, 2011; Dew, 2011) dan ketidakstabilan perkawinan
(misal Dew, 2009; Dew, Britt, & Huston, 2012; lih. Andersen, 2005). Demikian juga,
sudah banyak penelitian menghubungkan faktor seksual dengan kepuasan perkawinan
(misal Gadassi et al., 2016; McNulty, Wenner, & Fisher, 2016) dan ketidakstabilan
perkawinan (misalnya, Yeh, Lorenz, Wickrama, Conger, & Elder, 2006; Yucel, 2016).
Selain itu, beberapa penelitian telah memperkenalkan mediator untuk melihat faktor-
faktor apa yang mungkin terjadi menghilangkan atau mengurangi efek buruk yang
diakibatkan oleh stres finansial dan seksual pada saat perkawinan kepuasan dan
stabilitas (misal Carroll, Hill, Yorgason, Larson, & Sandberg, 2013; Dew, 2009; Yeh
et al., 2006). Namun, ada kelangkaan penelitian yang menggabungkan uang, seks, dan
ketidakstabilan perkawinan menjadi satu model penelitian. Selain itu, beberapa
penelitian telah menggali potensi mediator yang akan memperbaiki masalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Galinsky AM, Waite LJ. 2013. Sexual activity and psychological health as mediators
of the relationship between physical health and marital quality. Journals of
Gerontology, Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 69(3), 482–492.
Masten, A.S. & Gerwitz, A.H. 2006. Resilience in Development: The Importance of
Early Childhood. Encyclopedia on Early Childhood Development. USA: University of
Minessota.
Reich, Zautra & Hall. 2010. Handbook of adult resilience. New York: The Guilford
Press.
Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York: Broadway Books.