Kegelisahan Dan Kesempatan Arsitektur Tradisional Bali Dalam Kekinian
Kegelisahan Dan Kesempatan Arsitektur Tradisional Bali Dalam Kekinian
PENDAHULUAN
Fenomena yang terjadi di Bali
Bali sebagai terminal akhir perjalanan budaya Hindu Indonesia telah melahirkan berbagai produk
budaya, salah satu di antaranya arsitektur tradisional Bali (ATB). Menjelang akhir abad dua puluh
menuju abad dua puluh satu, muncullah kekhawatiran akan terjadinya degradasi nilai-nilai arsitektur
tradisional Bali dan berlanjut menjadi krisis identitas. Ditengarai fenomena ini muncul sebagai akibat
benturan tata nilai arsitektur tradisional Bali (ATB) dengan tata nilai arsitektur masa kini (AMK), karena
adanya perbedaan tata nilai yang sangat mendasar dalam karakter. Menyikapi benturan yang
demikian, perlu sikap rasional dan sadar akan hakekat tradisi yang mentradisi dan proses perubahan
yang tak dapat dihindari.
Arsitektur Tradisional Bali (ATB) merupakan salah satu karya budaya, keberadaannya tercermin dari
filosofi, konsepsi, kemampuan teknologis, dan pola pembangunannya yang disesuaikan dengan
perkembangan pola pikir masyarakat pada jamannya secara mentradisi. Dalam ATB belum ditemukan
teori-teori arsitektur secara eksplisit, walaupun pedoman instan berarsitektur sudah ada berupa
pustaka suci berwujud lontar, sehingga sulit dalam pemgembangan secara rasional.
Perkembangan dan pembangunan memang sangat dibutuhkan, namun dilain pihak adanya
kekhawatiran terjadi degradasi dan ketidak-harmonisan nilai-nilai tradisi sebagai warisan leluhur.
Dalam bidang arsitektur terjadi perkembangan wujud fisik yang sangat ‘kontras’ dengan arsitektur dan
lingkungan lokal, dikhawatirkan akan terjadi degradasi nilai-nilai budaya dan alam Bali. Mengantisipasi
kekhawatiran ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali kemudian mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda)
Nomor: 2/PD/DPRD/1974, tentang: Tata Ruang untuk Pembangunan; Nomor: 3/PD/DPRD/1974,
tentang: Lingkungan Khusus; dan Nomor: 4/PD/DPRD/1974, tentang Bangun-bangunan. Belakangan
juga dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung,
dimaksudkan sebagai arahan atau pedoman lebih jelas tentang berarsitektur di Bali.
Tujuan utama Perda ini untuk mengatur tata pembangunan fisik di Bali, juga sebagai upaya
pelestarian nilai-nilai ATB. Perda ini masih bersifat umum dan belum memiliki petunjuk teknis maupun
petunjuk pelaksanaan serta seolah-olah perda ini disusun untuk disiasati atau dilanggar. Kondisi ini
akhirnya mengakibatkan terjadinya berbagai interpretasi dan persepsi sesuai kepentingan masing-
masing yang berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur Bali masa kini.
Wujud akhir arsitektur ada yang dinilai berhasil dan ada pula yang justru dinilai melunturkan nilai-nilai
tradisi yang telah ada, nilai sakral diprofankan, penyimpangan fungsi bangunan, tidak kontekstual,
eklektis (chaos). Lain kata perkembangan arsitektur di Bali belum terarah dengan jelas, seperti
diungkapkan oleh Robi Sularto (1993:6):
Kita seolah-olah terperangkap dan tidak tahu harus memulai dari mana, karena ATB itu begitu utuh dan
merupakan ungkapan kehidupan masyarakatnya secara menyeluruh tidak cukup hanya dibenahi oleh
Pemerintah, Perguruan Tinggi, maupun badan-badan profesi, tetapi bagaimana memandunya kearah yang benar
untuk generasi mendatang.
Beberapa penelitian telah dilakukan namun hasilnya baru sampai pada tahap deskripsi tata-nilai dan
berbagai kemungkinan allternatif pengembangan ATB. Belum melakukan suatu rencana aksi yang
2
lebih realitis untuk dapat dijadikan pedoman berarsitektur. Untuk itu kajian ini dilakukan sebagai
tindak lanjut dari penelitian-penelitian yang sudah ada dalam rangka pelestarian dan pengembangan
nilai-nilai ATB di masa datang.
Menyikapi fenomena tersebut di atas secara rational, bila ATB diharapkan berkembang tanpa
kehilangan identitas, maka proses ‘rekonstruksi dan reformasi nilai-nilai arsitektur’ tak dapat
dihindarkan. Diperlukan suatu strategi dan kearifan untuk melihat dan meletakkan ATB sebagai
arsitektur yang lebih ‘netral/universal’, sehingga dapat berterima dengan arsitektur yang lebih
menjagat.
Penjelajahan dalam ranah ATB yang tumbuh dan berkembang membulat dengan Agama Hindu, adat-
istiadat dalam tradisi masyarakat Bali yang demikian kuat, akan memunculkan hasil dan persepsi yang
berbeda-beda sebagai berikut,
1) Cukup sulit memilah dan memilih mana nilai-nilai subtansial dan mana nilai-nilai ekspresi untuk
dapat menyusun strategi dan metode pelestarian dan pengembangan ke depan.
2) ATB memiliki pedoman baku dan sangat instant untuk berarsitektur berupa pustaka-pustaka
suci/teks, tertulis berujud lontar-lontar atau awig-awig dan berujud verbal/ceritera/mythos yang
diturunkan secara gugon tuwon, sehingga memerlukan interpretasi dan persepsi holistik. Teks
dan ceritera verbal ini dapat disebut sebagai pakem/tertib langgam/content. Dilain pihak
pedoman tadi telah melahirkan ekspresi yang memiliki sifat-sifat ekologis dan green arsitektur
yang berkelanjutan.
3) Oleh karena sifat-sifat inilah banyak fasilitas akomodasi wisata, perkantoran, fasilitas perdagangan
dan Perumahan menggunakan langgam Arsitektur Tradisional Bali sebagai wadah kegiatannya.
Namun dalam pengembangannya ada yang dinilai berhasil adapula yang tidak berhasil. Untuk itu
perlu disusun suatu pedoman arsitektural berupa design guideline dalam pelestarian dan
pengembangan ATB. Pedoman tersebut diupayakan bersifat fleksibel sehingga memungkinkan
dikembangkan lebih lanjut oleh perancangnya.
Tata Ruang :
Nilai-nilai substansi konsep (substance of content) tata-ruang pada tingkat gama (regional Bali)
adalah : Nilai-nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara),
Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung didalam kehidupannya hendaknya
selalu harmonis.
Nilai-nilai konsep (form of content) tata-ruang pada tingkat gama (regional Bali) adalah : nilai hulu -
(tengah) - teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga
sebagai susunan unsur Angga dalam wujud yang selalu harmonis :
Nilai-nilai ekspresi (form of expression) tata-ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/Sima adalah :
Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai zona
horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality.
Nilai-nilai ekspresi (form of expression) pada sebuah pekarangan adalah : Penyengker, Paduraksa
dan Angkul-angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah
setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul-angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula
diketahui “status warna” penghuni Jaba ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri
penghuni.
Bale setara bilik diberi julukan/sebutan bukan karena fungsinya, namun karena letak dan nilai guna,
misal Bale Dangin letaknya di bagian Timur, juga disebut Sumanggen karena digunakan kuburan
sementara (Sema-anggen) sebagai tempat upacara orang mati. Bila ditelusuri lebih jauh jejak-jejak
bale dan disandingkan dengan metode dan strategi rancangan dekonstruksi, maka ada kesamaan
prinsip bahwa “umah” berasal dari “rumah” setalah diexplosed kemudian direkomposisi menjadilah
umah. Hal ini sebagai upaya mendekatkan diri terhadap alam selama dua puluh empat jam sehari.
Tata Bangunan :
Sosok dan bentuk wujud fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan
yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah
(bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan sebagai proporsi fisik/angga manusia yakni Tri
Angga (kepala nilai utama, badan nilai madya dan kaki nilai nista). Pembagian ini diberlakukan
secara konsisten dan konskuen hingga ke bagian yang sekecil-kecilnya dari sosok dan bentuk.
Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek/antropometri
dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah), sehingga skala dan proporsi ruang
dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of human scale” dan “out of human proportion”serta
akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang yang lebih luas didapat dengan menggandakan
dimensi/modul ruang, bukan memperbesar dimensi ruang dan bangunan, misal Sakanem = 2 x
Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat.
Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan
penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya memperkuat harmonisasi,
sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang diinginkan. Ornamen dan dekorasi
4
bersifat kontekstual sesuai dengan tata-nilai atau karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan,
misal : (karang Gajah ditaruh di bawah, karang Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas).
Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan
lingkungan, sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi-dayakan dan dapat didaur-ulang.
Penggunaan batu Cadas sebenarnya hanya diperuntukan bagi bangunan Puri dan Pura, sedang bagi
paumahan hanya menggunakan Citakan atau polpolan. Bahan disusun dari bawah yang berkarakter
berat makin keatas makin berkarakter ringan, hal ini sejalan dengan logika pembebanan yang
meberikan tingkat keamanan bangunan yang tinggi.
Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem
knock down, sehingga gampang dibongkar-pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni
utama (anangga ayah). Sebagai indikasi bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni
oleh “hanya satu keluarga yang beragama “Hindu” dan bukan sebagai obyek warisan. Setiap
keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib “Ngarangin” dan membuat bangunan yang sesuai
dengan sikut antropometri dan kemampuan peghuni utama (anangga ayah).