Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS TIC

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN POST OP


ORIF FRAKTUR TIBIA FIBULA 1/3 DISTAL DI RUANG
JASMINE RSUD KABUPATEN SUMEDANG

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Program Profesi Ners stase KMB

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4
Andi Arniawati 220112170081
Atikah Loviani 220112170068
Dianti Siti Syarah 220112170009
Erviana Anggi Puteri 220112170019
Via Ariani 220112170050
Yudiono 220112170078

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXIV


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
LATAR BELAKANG
1.1 LATAR BELAKANG KASUS
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma maupun non trauma.
Kejadian fraktur dapat diakibatkan oleh kecelakaan, tekanan yang berulang,
atau kelemahan tulang yang abnormal (fraktur patologis) (Solomon et al.,
2010). Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan,
atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan
pada orang tua, wanita lebih sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang
berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada monopouse (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas
seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat
menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif
dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan secara verbal maupun
non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat
kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan
pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk
beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan (Engram, 1999).
Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila tidak
diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang akan mengganggu
proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas, untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif untuk meminimalkan
nyeri yang dialami oleh pasien. Secara garis besar ada dua manajemen untuk
mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non
farmakologi. Salah satu cara untuk menurunkan nyeri pada pasien fraktur
secara non farmakologi adalah diberikan kompres dingin pada area nyeri.
Perawat harus yakin bahwa tindakan mengatasi nyeri dengan kompres dingin
dilakukan dengan cara yang aman (Potter & Perry, 2005).
Prinsip penanganan fraktur lainnya adalah mengembalikan posisi
patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan fraktur (Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
Penatalaksanaan fraktur dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah
satunya dengan fiksasi internal atau dikenal juga Open Reduction Internal
Fixation (ORIF). Metode ORIF telah banyak digunakan. Pada umumnya
metode ini digunakan plate, screw dan kawat atau intramedullary (IM) wire
untuk menstabilkan tulang (Lakatos, 2014).
Berdasarkan dari uraian masalah diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post Op ORIF Fraktur
Tibia Fibula 1/3 Distal
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa Post Op ORIF
Fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal?
1.3 Tujuan Studi Kasus
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan Post
Op ORIF Fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal di RSUD Sumedang.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep Fraktur.
b. Mengkaji klien dengan diagnosa Post Op ORIF Fraktur Tibia
Fibula 1/3 Distal di RSUD Sumedang
c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa
Post Op ORIF Fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal di RSUD Sumedang

TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma maupun non trauma.
Kejadian fraktur dapat diakibatkan oleh kecelakaan, tekanan yang
berulang, atau kelemahan tulang yang abnormal (fraktur patologis)
(Solomon et al., 2010).
2. Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa
patologis.
A. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang
patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur
bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah
melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan
patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor
kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah
bila seorang jatuh dari ketinggian dengan Universitas Sumatera Utara
tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula
patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan
tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang
lengan bawah.
c) Kekerasan akibat tarikan otot Kekerasan tarikan otot dapat
menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot
biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah
patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps
mendadak berkontraksi.
B. Peristiwa Patologis
a) Kelelahan atau stres fraktur Fraktur ini terjadi pada orang yang yang
melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau
menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan
mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat
yang sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
b) Kelemahan Tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
karena lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit
metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit
saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
(Bare, B.G. Smeltzer, S.C. (2010)
3. Klasifikasi
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
A. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
b.1. Derajat I :
i. Luka 1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
iv. Kontaminasi minimal
b.2. Derajat II :
i. Laserasi >1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur kominutif sedang
iv. Kontaminasi sedang
b.3. Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat
III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.
B. Berdasarkan bentuk patahan tulang
a) Transversal
fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang
atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya
mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b) Spiral
fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak.
c) Oblik
fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental
dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan
ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
e) Kominuta
fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick
fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks
tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini
sering terjadi pada anak – anak.
g) Fraktur Impaksi
fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h) Fraktur Fissura
Fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen
biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
C. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng
pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat
berakibat pemisahan fisis pada anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi
akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena
kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang
paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi
fraktur menurut Salter – Harris :
a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi
tertutup.
c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan
reduksi anatomi.
d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka
biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut
yang lebih besar.
e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
(Bare, B.G. Smeltzer, S.C. (2010)

5. Patofisiologi
6. Pencegahan
Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya.
Pada umumnya fraktur disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau
terjatuh baik ringan maupun berat. Pada dasarnya upaya pengendalian
kecelakaan dan trauma adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang menyebabkan fraktur.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari


terjadinya trauma benturan, terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam
melakukan aktifitas yang berat atau mobilisasi yang cepat dilakukan
dengan cara hati – hati, memperhatikan pedoman keselamatan dengan
memakai alat pelindung diri.
2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat – akibat


yang lebih serius dari terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan
pertama yang tepat dan terampil pada penderita. Mengangkat penderita
dengan posisi yang benar agar tidak memperparah bagian tubuh yang
terkena fraktur untuk selanjutnya dilakukan pengobatan. Pemeriksaan
klinis dilakukan untuk melihat bentuk dan keparahan tulang yang patah.
Pemeriksaan dengan foto radiologis sangat membantu untuk mengetahui
bagian tulang yang patah yang tidak terlihat dari luar. Pengobatan yang
dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian dengan gips atau dengan fiksasi
internal maupun eksternal.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk


mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan memberikan
tindakan pemulihan yang tepat untuk menghindari atau mengurangi
kecacatan. Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis dan
beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi
medis diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat
kembali melakukan mobilisasi seperti biasanya. Penderita fraktur yang
telah mendapat pengobatan atau tindakan operatif, memerlukan latihan
fungsional perlahan untuk mengembalikan fungsi gerakan dari tulang yang
patah. Upaya rehabilitasi dengan mempertahankan dan memperbaiki
fungsi dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain
meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler, mengontrol
ansietas dan nyeri, latihan dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas
hidup sehari-hari, dan melakukan aktivitas ringan secara bertahap.

7. Faktor Resiko

1. Faktor resiko medis


a. Osteoporosis
b. Defisit berjalan
c. Defisit keseimbangan
d. Penggunaaan psikotropik medis
e. Riwayat jatuh/fraktur
f. Riwayat keluarga osteoporosis
g. Penglihatan yang berkurang
h. Penggunaan glukortikoid oral selama > 3 bulan
2. Faktor resiko demografi
a. Jenis kelamin ( wanita lebih beresiko ketika sudah memasuki
masaa menopouse, sedangkan laki2 lebih beresiko pada usia
produktif)
b. Umur
c. Intake kalsium yang rendah
d. Penggunaan alkohol
e. Perokok
f. Penggunaan alat bantu jalan
8. Komplikasi
1. Sindrom emboli lemak

Sindrom emboli lemak merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat


menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembunggelembung
lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelembung lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan
oklusi pada pembuluh darah-pembuluh darah pulmonari yang
menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak
mencakup dypsnea, perubahan dalam status mental (gaduh-gelisah, marah,
bingung, stupor), tacypnea, tachycardia, demam dan ruam kulit ptechie.

2. Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen, komplikasi ini terjadi saat peningkatan


tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan
dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah 15
yang berat dan berikutnya menyebabakan kerusakan pada otot. Gejala -
gejalanya mencakup rasa sakit karena terdapat ketidakseimbangan pada
luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada
kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang
terlibat.
3. Nekrosis avaskular

Nekrosis avaskular dapat tejadi saat suplai darah ke tulang kurang


baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascaplar femur. Karena
nekrosis avaskuler mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu
yang cukup lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai
pasien keluar dari sumah sakit.

4. Osteomyelitis

Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup


sumsum dan atau korteks tulang dapat berupa eksogenous atau
hematogeneus. Patogen dapat masuk melalui fraktur terbuka, luka tembus,
atau selama operasi. luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka
yang terlihat tulang tulangnya, luka amputasi karena truma dan
frakturfraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskuler memiliki
resiko osteomyelitis yang lebih besar.

5. Perdarahan

Syok hipovolemik atau traumatik, akibat pendarahan (baik kehilangan


darah eksterna maupun tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,
dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka
dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat
trauma.

6. Ganggren gas

Ganggren gas berasal dari infeksi yang disebabkan oleh bakterium


saprophystik gram positif anaerob yaitu antara lain Clostodium welchi
atau Clostridium perfringens. Clostodium biasanya akan tumbuh pada luka
dalam yang mengalami penurunan suplai oksigen karena trauma otot.
Monitor terus pasien apakah dia mengalami perubahan oada status mental,
demam, menggigil, penurunan tekanan darah, peningkatan denyut dan
jumlah respiratori, serta apakah pasien terlihat letih dan lesu. Jika kondisi
seperti itu terus terjadi, maka akan terdapat edema, gelembung-gelembung
gas pada tempat yang luka.

7. Neglected

Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam.


sering terjadi akibat penanganan fraktur pada ekstremitas yang salah oleh
bone setter (ahli patah tulang). Umumnya terjadi pada yang berpendidikan
dan berstatus sosioekonomi yang rendah. Neglected fraktur dibagi menjadi
beberapa derajat, yaitu:

a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu

b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan

c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan ± 1 tahun

d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun

8. Delayed union, nonunion, mal union

Delayed union terjadi bila penyembuhan fraktur lebih dari 6 bulan,


nonunion diartikan sebagai gagal tersambungnya tulang yang fraktur,
sedangkan malunion adalah penyambungan yang tidak normal pada
fraktur.

9. Dislokasi

Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk


sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang yang lepas dari
sendi). Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi
merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera.
(Mansjoer A, 2002). Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur
dislokasi.

9. Aspek Legal dan Etik


1. Autonomi : merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang
menuntut pembedaan diri. Perawat menghargai hak-hak klien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Mal eficience : Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik
dan psikologis pada klien.
3. Informed consent : persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
4. Confidentiality : informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Segala
sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien

LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN DAN KELUARGA
A. Identitas Klien
Nama : Tn. P
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Sukaasih RT 04 RW 09 Kel. Sindang Jaya,
Kec. Mandalajati Kota Bandung
Status : Belum menikah
Pendidikan : Mahasiswa
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku : Sunda
No CM : 686738
Diagnosa Medis : Fraktur tibia fibula dextra 1/3 distal
Tanggal masuk RS : 22 Desember 2017
Tanggal Pengkajian : 24 Desember 2017

B. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Tn. 0
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukaasih, Bandung
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dengan klien : Saudara
II. RIWAYAT KESEHATAN
A. Keluhan utama :
Klien mengeluh nyeri pada kaki sebelah kanan, di area fraktur
B. Riwayat Kesehatan sekarang
Klien mengalami kecelakaan , ia mengeluh nyeri pada kaki kanan di
area fraktur. Klien sudah melakukan operasi ORIF pada tgl 23-11-
17. Nyeri dirasakan ketika melakukan aktivitas / bergerak dan
berkurang ketika beristirahat dan diberikan obat pereda nyeri. Wajah
klien tampak meringis kesakitan ketika sedang menahan nyeri/sakit.
Nyeri yang dirasakan seperti disayat-sayat. Skala nyeri :6
C. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien tidak memiliki penyakit sebelumnya
D. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga klien tidak ada yang memiliki penyakit seperti diabetes dan
hipertensi.
E. Riwayat PsikoSosial Spiritual
1. Konsep diri
 Citra tubuh
Klien mengatakan menyukai semua anggota tubuhnya,
walaupun saat ini kaki kananya patah dikarenakan kecelakaan.
 Peran diri
Klien berperan sebagai anak dan seorang mahasiswa
 Identitas diri
Klien mengatakan seseorang laki-laki
 Harga diri
Klien tidak malu dengan kondisi yang dijalani sekarang,
karena klien menganggap ini adalah cobaan dari yang Maha
Kuasa dan lambat laun akan segera sembuh
 Ideal diri
Klien berharap bias sembuh seperti semula, agar bisa
beraktivitas kembali seperti biasanya.
2. Budaya
Klien berasal dari keluarga keturunan sunda
3. Hubungan sosial
Klien mengatakan bahwa ia adalah individu yang aktif di
lingkungan kampus maupun rumahnya

4. Spiritual
Klien mengatakan klien beragama islam sebelum dirawat di
rumah sakit klien selalu menjalankan ibadah solat 5 waktu.
Selama di Rumah Sakit klien selalu berdoa untuk kesembuhanya

F. Riwayat ADL
No Jenis Aktivitas Sebelum sakit Saat Sakit
1 Nutrisi
a. Makan
 Frekuensi 3x/ sehari (1 porsi) 3x/ sehari (1 porsi)
 Jenis Nasi, lauk, sayur Semua makanan dari
makanan rumah sakit
-
 Pantangan -
b. Minum
 Frekuensi 6-8 gelas/ hari 1,5 L
 Jenis Air putih Air putih
minuman
2 Eliminasi
a. BAK
 Frekuensi 5-7 kali/ hari Terpasang kateter
 Warna Kuning jernih Kuning jernih
 Jumlah Urin 60-120 ml/kgBB/jam 400 cc/6 jam
normal
b. BAB
 Frekuensi Tak menentu Belum BAB
 Konsistensi / Lembek padat/ kuning -
warna

3 Istirahat Tidur
a. Waktu tidur 7-8 jam, nyenyak 5-6 jam, nyenyak namun
suka terbangun karena
nyeri yang dirasakan
4 Aktivitas
a. Sehari-hari Mandiri Butuh bantuan
perawat/keluarga
5 Kebersihan diri
a. mandi Bersih, 2x/ hari 2x/hari (diseka)
b. gosok gigi Bersih, 2x/ hari 2x/hari
c. gunting kuku Bersih kuku pendek Bersih, kuku pendek
d. Keramas Bersih, 2x/hari Belum keramas
e. Ganti pakaian 2x/ hari 2x/ hari

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Kondisi Umum : Compos mentis GCS : 15, E4M6V5
b. Tanda-tanda Vital :
TD: 120/70 HR: 88 x/menit, RR: 20 x/menit, S:38,2 OC.
c. Antropometri
BB : 60
TB : 168
BMI : 21,27
d. Kepala
 Kepala dan rambut : Kepala simetris, tidak ada deformitas, tidak ada
benjolan, tidak ada nyeri tekan, penyebaran rambut merata, rambut
bersih
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera ikterik, reflek cahaya
(+), reflek mengedip (+), fungsi penglihatan normal,. Klien tidak
menggunakan alat bantu kaca mata. Pergerakan bola mata pasien dapat
mengikuti kearah gerakan pemeriksa, tidak ada nyeri tekan
 Hidung : Bentuk simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak ada keluaran
 Telinga : Bentuk simetris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan. Fungsi
pendengaran baik klien bisa diajak berkomunikasi dengan suara normal
pada jarak baca normal.
e. Mulut dan Gigi : Keadaan rongga mulut, gigi lidah bersih, mukosa
bibir kering berwarna kehitaman bibir klien. Fungsi pengecapan bagus
masih bisa merasakan rasa manis asin pada makanan yang disajikan diRS.
Kemampuan mengunyah menelan baik
f. Leher
Klien bisa menoleh kearah kanan dan kiri. Tidak ada kaku kuduk. Tidak
ada peningkatan JVP. Tidak ada pembesaran KGB. Deviasi trachea (-).
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
g. Dada
Bentuk dan pergerakan simetris. Retraksi intercostal (-). Tidak ada keluhan
nyeri, tidak ada lesi, auskultasi paru vesikuler. Irama jantung regular.
Tidak terdengar bunyi jantung abnormal.
h. Abdomen
Bentuk datar, tidak ada nyeri tekan, lesi/ massa (benjolan). Turgor kulit
bagus
i. Genetalia dan anus
Terpasang kateter, dan pasien merasa nyeri ketika ingin BAK

j. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Terpasang infus di tangan kiri (Nacl + ketorolac),
terdapat memar di bahu kanan.
Ekstremitas bawah : Kaki kanan post op ORIF di balut dengan elastic
perban.
Kekuatan Otot : 5 5
4 5

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


A. Hasil Lab (Tanggal: 22-11-2017 )
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Interpretasi
Hb 15,6 12.0-16.0 Normal
Hematocrit 46 35 - 47 Normal
Trombosit 221.000 150000-450000 Normal
Leukosit 20.800 4500-10000 Tinggi
HBsAg negatif negatif Normal
Gula darah sewaktu 140 100-150 Normal
Kreatinin 0,95 0,5 – 1,1 Normal

V. TERAPI
Infus : Terpasang infusNacl + Ketorolac di tangan kiri
Obat
1. Cefotaxim 2x1 gr IV
Kelompok obat yang disebut cephalosporin anthibiotics, cefotaxime bekerja
dengan cara memperlemah dan memecah dinding sel, mmebunuh bakteri.
Cefotaxime untuk mengobati infeksi bakteri/mencegah infeksi bakteri
sebelum, selama, atau sesudah dilakukan pembedahan tertentu.
2. Ketorolac 2 amp drip
Kelompok obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja
dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan
inflamasi. Ketorolac berfungsi untuk meredakan nyeri.

VI. ANALISA DATA


No. Analisa Etiologi Masalah

1. DO : terdapat luka Fraktur Nyeri


fraktur di kaki kanan

DS : - klien mengatakan
nyeri pada area kaki Pergeseran fragmen tulang
kanan karena
kecelakaan ↓

- Klien tamapak
Adanya kerusakan
meringis kesakitan
- Skala nyeri : 6 jaringan (inkontinuitas
jaringan)

Adanya proses
Inflamasi (pelepasan

mediator kimia :
histamin, prostaglandin,
serotinin dll)

Stimulasi Nosireseptor


Impuls dari medula spinalis
dihantarkan sampai ke
kortek serebri

Persepsi nyeri

NYERI AKUT

2. DS : klien mengatakan Fraktur Hambatan mobilitas fisik


tidak bisa melakukan

aktivita seperti biasanya
Pergeseran fragmen tulang
DO :

 Terdapat luka fraktur
pada kaki kanan Merusak jaringan sekitar
 Dipasang bidai pada
area fraktur ↓

Kerusakan peristeum
pembuluh darah dan
korteks marrow

Penurunan fungsi alat


gerak

Hambatan mobilitas fisik

3. DS : Fraktur Gangguan integritas kulit



DO : terdapat luka
terbuka di kaki kanan Pergeseran fragmen
tulang (displace)

Merusak jaringan sekitar

Menembus kulit

Laserasi kulit

Kerusakan integritas kulit
VII. DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka post op

VIII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Nama Pasien : Tn. P Ruangan : Jasmine

No Medrek : 686738 Nama Mahasiswa : Kelompok 4

No DIAGNOSA PERENCANAAN
KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1 Nyeri akut Pasien merasa nyaman dan rasa 1. Monitor TTV setiap 8 jam 1. Mengetahui keadaan
2. Kaji ulang karakteristik nyeri : umum pasien
berhubungan nyeri berkurang setelah
PQRST 2. Mengetahui sejauh mana
dengan dilakukan intervensi 3. Ajarkan teknik relaksasi : teknik tingkat nyeri pasien
distraksi, menonton video 3. Membantu pasien
terputusnya keperawatan selama 3x24 jam
(mendengarkan musik) mengurangi rasa nyeri dan
kontinuitas Kriteria hasil: 4. Berikan posisi yang nyaman meningkatkan kemampuan
pada pasien koping dalam manajemen
jaringan tulang  Tanda tanda vital dalam batas 5. Pertahankan imobilisasi bagian nyeri
normal : yang sakit dengan tirah baring 4. Membantu pasien
dan berikan bantalan pada kaki mengurangi rasa nyeri
TD : 120/80 mmHg yang terasa nyeri dan sakit 5. Meminimalkan
Nadi : 60-80 kali/menit 6. Kolaborasi : lanjutkan pergerakan/ aktivitas
pemberian analgetik ketorolac pasien
Respirasi : 16-20 kali/menit drip 2x1 ampul 6. Mengurangi rasa nyeri
Skala nyeri 3 dari 0-10
 Nyeri berkurang sampai
dengan hilang
 Ekspresi wajah tampak
rileks
Pasien tidak kesakitan
 Pasien mampu menunjukkan
keterampilan relaksasi dan
aktivitas terapeutik sesuai
indikasi
2 Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan pasien dalam 1. Mengetahui kemampuan
mobilisasi dan keterbatasan klien
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 jam
klien menunjukan kemampuan 2. Bantu aktifitas sehari-hari klien : untuk intervensi
berhubungan makan, minum, berpakaian, 2. Membantu memenuhi
mobilitas meningkat dengan
personal hygiene : mandi, oral ADL klie
dengan kerusakan kriteria hasil :
hygiene 3. Lathan ROM dapat
neuromuskular 3. Lakukan latihan ROM pasif melatih otot-otot yang
- Kekuatan otot meningkat
4. Observasi TTV sebelum dan kaku, menghindari
- Tidak ada atrofi otot
sesudah latihan dan lihat kontraktur dan atrofi otot
- Klien meningkat dalam
responnya 4. TTV yang meningkat
aktivitas fisik
5. Lakukan miring kanan kiri setiap mengindikasikan
- Mengerti tujuan dari
2 jam sekali kelelahan
peningkatan mobilitas
6. Libatkan keluarga dalam 5. Mengurangi resiko
- Memverbalisasikan perasaan
pemberian asuhan dekubitus
dalam meningkatkan
7. Ajarkan klien bagaimana 6. Asuhan dirumah
kekuatan dan kemampuan
merubah posisi dan berikan dilakukan sepenuhnya
berpindah
bantuan jika diperlukan oleh keluarga
7. Perubahan posisi sebagai
bentuk latihan mobilisasi
yang sederhana

3 Gangguan Setelah dilakukan perawatan


1. kaji lokasi, ukuran, warna, 1. Agar mengetahui keadaan
integritas kulit selama 3 x 24 jam :
dan kedalaman luka luka saat ini dan
berhubungan Terlihat adanya proses 2. lakukan perawatan luka disesuaikan dengan
dengan teknik steril intervensi yang akan di
dengan luka post perbaikan/pemulihan integritas
3. Pertahankan kelembaban luka lakukan
op kulit dengan kriteria hasil : 4. Hindarkan luka dari tekanan 2. Perawatan luka,
5. Hindari luka dari udara bebas, pertahankan kelembaban
- Jaringan mati tidak ada
dengan cara bisa menggunakan pada area luka, hindari
- Terlihat luka bersih elastic perban luka dari udara bebas
6. Berikan antibiotic cefotaxime serta hindari luka dari
- Terdapat epitelisasi jaringan
2x1 IV tekanan untuk
- Luka tidak berbau menghindari resiko
terjadinya infeksi
- Tidak ada pus
3. Pemberin antibiotic untuk
mencegah terjadi infeksi.
IX. CATATAN TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. P Ruangan : Jasmine

No Medrek : 686738 Nama Mahasiswa : Kelompok 4

NO TGL/JAM IMPLEMENTASI RESPON PARAF


DX

1 24 november 1. Mengkaji karakteristik 1. Pasien mengatakan


2017 nyeri: PQRST nyeri dirasakan terus
2. Mengajarkan teknik menerus, nyeri
07.00-07.10 relaksasi (nafas dalam) dirasakan di bagian
dan distraksi: menonton fraktur, nyeri
video dan mendengarkan bertambah saat
lagu bergerak, berkurang
3. Berikan posisi nyaman saat tidur/istirahat.
pada pasien: tirah baring Skala nyeri 6
ditinggikan 15-30 derajat 2. Pasien mengatakan
akan mencoba
metode tersebut saat
nyeri tak tertahankan
3. Pasien mengatakan
merasa lebih nyaman
2 07.10-07.30 1. Mengkaji luka 1. Luka jahitan post op
2. Melakukan perawatan baik, tidak ada
luka dengan tanda-tanda infeksi.
menggunakan larutan Luka terbuka di
NaCl+Gentamicin bagian ankle baik,
3. Menutup bagian luka tidak ada jaringan
dengan perban elastik nekrotik
2. Pasien mengeluh
nyeri selama
tindakan
4. Mengobservasi TTV 3. Perawatan luka
09.00-09.05 dengan teknik steril
berhasil dilakukan
4. RR: 20x/m TD:
120/70
T: 38,2⁰C P: 88x/m

3 13.00-13.10 1. Mengkaji kemampuan 1. Pasien terlihat


pasien dalam mobilisasi meringis saat
2. Melakukan latihan ROM bergerak
pasif dan aktif : abduksi, 2. Pasien kooperatif,
aduksi, fleksi pada namun masih lemas
bagian yang tidak cedera
1,2 16.00-16.10 1. Memberikan terapi 1. Pasien kooperatif
antibiotik cefotaxim IV
2. Memberikan terapi
ketorolac (analgetik) drip
1 ampul

2 17.00-17.20 1. Melakukan perawatan 1. Kondisi luka baik,


luka tidak ada tanda-tanda
2. Menutup balutan luka infeksi
dengan elastic perban 2. Pasien kooperatif
3. Memberikan terapi PCT 3. Pasien kooperatif
untuk mengatasi demam
1 18.00-18.10 1. Mengukur TTV RR: 20x/m TD: 100/70

T: 37, 3⁰C P: 84x/m

1,2 25 1. memberikan terapi antibiotik Pasien kooperatif


November cefotaxim IV
2017
2. memberikan terapi analgetik
04.00-04.10 ketorolac (analgetik)

1 05.00-05.10 1. mengkaji ulang nyeri 1. skala nyeri 4, nyeri hanya


timbul saat pasien bergerak
2. mengukur TTV
2. RR 20x/m , TD 110/70, T
36,8⁰C, P 84x/m

1,2,3 07.00-07.10 1. mengkaji kemampuan klien 1. pasien sudah bisa duduk


dalam mobilisasi
2. pasien memilih posisi semi
2. memposisikan pasien dengan fowler
nyaman
3. keadaan jahitan baik,
3. mengkaji luka keadaan luka baik, lembab,
tidak ada tanda infeksi

2 07.10-07.23 1. melakukan perawatan luka Pasien kooperatif


dengan teknik steril

2. menutup balutan luka dengan


elastic perban

1 09.00-09.10 Mengukur TTV RR: 22x/m TD: 100/70

T: 36,8⁰C P: 80x/m

3 09.10-09.15 1. mengajarkan ROM aktif 1. pasien kooperatif dan mau


berusaha melakukan ROM
2. mengajarkan bagaimana
berubah posisi dari tidur ke 2. keluarga kooperatif dan
duduk dengan benar kepada paham
keluarga

3. melibatkan keluarga dalam


pemberian asuhan keperawatan

3 09.15-09.20 mengajarkan kepada keluarga Pasien kooperatif dan


untuk melakukan miring kanan keluarga mengerti
dan kiri pada pasien

1,2 16.00-16.10 1. memberikan terapi cefo IV Pasien kooperatif

2. memberikan terapi ketorolac

1 18.00-18.15 Mengukur TTV RR: 20x/m TD:100/70

T:36,6 P:84

2 17.15-17.30 1. mengkaji luka 1. kondisi jahitan baik, tidak


ada keluaran
2. melakukan perawatan luka
2. kondisi luka terbuka baik,
tidak ada tanda-tanda infeksi
dan pasien kooperatif

1,2 27 november 1. memberikan terapi cefo IV Pasien kooperatif


2017
2. memberikan terapi ketorolac
04.00-04.10 drip

1 05.00-05.10 Mengukur TTV RR 20x/m TD: 100/70

Mengkaji ulang nyeri T: 36,8 P: 86x/m.

Nyeri skala 3

07.00-07.30 Discharge planning: 1. Pasien dan keluarga


kooperatif
Perawatan luka 2. Pasien dan keluarga
mengajukan
Nutrisi post op pertanyaan sesuai
dengan informasi
yang diberikan

X. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Tn. P Ruangan : Jasmin

No Medrek : 686738 Nama Mahasiswa : kelompok 4


No. DX Tgl/jam EVALUASI PARAF
1 27 Nov 2017 S: pasien mengatakan nyeri sudah agak berkurang.
07.30-07.40 Skala 2-3
O: TD: 100/70mmHg RR: 20x/m
T: 36,8⁰C P: 86x/m
A: masalah teratasi
P: evaluasi teknik relaksasi distraksi yang telah
diajarkan (discharge planning)
2 27 Nov 2017 S: -
07.40-07.30 O:
- Luka terbuka baik, tidak ada tanda-tanda
infeksi
- Luka jahitan baik, tidak ada keluaran pus
- Tidak ada jaringan nekrotik
- Luka bersih dan tidak berbau
A: masalah teratasi
P: discharge planning: nutrisi post op dan perawatan
luka
3 27 nov 2017 S: pasien mengatakan sudah dapat duduk dan sedikit
07.50-08.00 berpindah dengan bantuan
O:
- Tidak ada atrofi otot
- Kekuatan otot meningkat
A: masalah teratasi
P: intervensi dihentikan

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Carmen. (2012). Falls and Hip Fracture. Virtual Health Care Team University of
Missouri-Columbia. School of Health Professions.
Appley, A.G & Solomon. (2010). Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta: Widya
Medika.
Bare, B.G. Smeltzer, S.C. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Lakatos R. (2014). General principles of internal fixation. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1269987-overview#aw2aab6b2
Lippincott, William & Wilkins. (2012). Medical Surgical Nursing Cortification.
Nanda International (2012). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Price, S.A. Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta : EGC.
Reeves, CJ, Roux G and Lockhart R. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Buku 1
(Penerjemah Joko Setyono). Jakarta : Salemba Medika.
Sjamsuhidajat & de jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai