Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Program Profesi Ners stase KMB
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4
Andi Arniawati 220112170081
Atikah Loviani 220112170068
Dianti Siti Syarah 220112170009
Erviana Anggi Puteri 220112170019
Via Ariani 220112170050
Yudiono 220112170078
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma maupun non trauma.
Kejadian fraktur dapat diakibatkan oleh kecelakaan, tekanan yang
berulang, atau kelemahan tulang yang abnormal (fraktur patologis)
(Solomon et al., 2010).
2. Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa
patologis.
A. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang
patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur
bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah
melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan
patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor
kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah
bila seorang jatuh dari ketinggian dengan Universitas Sumatera Utara
tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula
patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan
tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang
lengan bawah.
c) Kekerasan akibat tarikan otot Kekerasan tarikan otot dapat
menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot
biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah
patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps
mendadak berkontraksi.
B. Peristiwa Patologis
a) Kelelahan atau stres fraktur Fraktur ini terjadi pada orang yang yang
melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau
menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan
mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat
yang sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
b) Kelemahan Tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
karena lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit
metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit
saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
(Bare, B.G. Smeltzer, S.C. (2010)
3. Klasifikasi
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
A. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
b.1. Derajat I :
i. Luka 1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
iv. Kontaminasi minimal
b.2. Derajat II :
i. Laserasi >1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur kominutif sedang
iv. Kontaminasi sedang
b.3. Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat
III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.
B. Berdasarkan bentuk patahan tulang
a) Transversal
fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang
atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya
mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b) Spiral
fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak.
c) Oblik
fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental
dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan
ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
e) Kominuta
fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick
fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks
tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini
sering terjadi pada anak – anak.
g) Fraktur Impaksi
fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h) Fraktur Fissura
Fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen
biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.
C. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng
pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat
berakibat pemisahan fisis pada anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi
akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena
kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang
paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi
fraktur menurut Salter – Harris :
a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.
b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi
tertutup.
c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan
reduksi anatomi.
d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka
biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut
yang lebih besar.
e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
(Bare, B.G. Smeltzer, S.C. (2010)
5. Patofisiologi
6. Pencegahan
Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya.
Pada umumnya fraktur disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau
terjatuh baik ringan maupun berat. Pada dasarnya upaya pengendalian
kecelakaan dan trauma adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang menyebabkan fraktur.
1. Pencegahan Primer
3. Pencegahan Tersier
7. Faktor Resiko
2. Sindrom kompartemen
4. Osteomyelitis
5. Perdarahan
6. Ganggren gas
7. Neglected
9. Dislokasi
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN DAN KELUARGA
A. Identitas Klien
Nama : Tn. P
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Sukaasih RT 04 RW 09 Kel. Sindang Jaya,
Kec. Mandalajati Kota Bandung
Status : Belum menikah
Pendidikan : Mahasiswa
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku : Sunda
No CM : 686738
Diagnosa Medis : Fraktur tibia fibula dextra 1/3 distal
Tanggal masuk RS : 22 Desember 2017
Tanggal Pengkajian : 24 Desember 2017
4. Spiritual
Klien mengatakan klien beragama islam sebelum dirawat di
rumah sakit klien selalu menjalankan ibadah solat 5 waktu.
Selama di Rumah Sakit klien selalu berdoa untuk kesembuhanya
F. Riwayat ADL
No Jenis Aktivitas Sebelum sakit Saat Sakit
1 Nutrisi
a. Makan
Frekuensi 3x/ sehari (1 porsi) 3x/ sehari (1 porsi)
Jenis Nasi, lauk, sayur Semua makanan dari
makanan rumah sakit
-
Pantangan -
b. Minum
Frekuensi 6-8 gelas/ hari 1,5 L
Jenis Air putih Air putih
minuman
2 Eliminasi
a. BAK
Frekuensi 5-7 kali/ hari Terpasang kateter
Warna Kuning jernih Kuning jernih
Jumlah Urin 60-120 ml/kgBB/jam 400 cc/6 jam
normal
b. BAB
Frekuensi Tak menentu Belum BAB
Konsistensi / Lembek padat/ kuning -
warna
3 Istirahat Tidur
a. Waktu tidur 7-8 jam, nyenyak 5-6 jam, nyenyak namun
suka terbangun karena
nyeri yang dirasakan
4 Aktivitas
a. Sehari-hari Mandiri Butuh bantuan
perawat/keluarga
5 Kebersihan diri
a. mandi Bersih, 2x/ hari 2x/hari (diseka)
b. gosok gigi Bersih, 2x/ hari 2x/hari
c. gunting kuku Bersih kuku pendek Bersih, kuku pendek
d. Keramas Bersih, 2x/hari Belum keramas
e. Ganti pakaian 2x/ hari 2x/ hari
j. Ekstremitas
Ekstremitas atas : Terpasang infus di tangan kiri (Nacl + ketorolac),
terdapat memar di bahu kanan.
Ekstremitas bawah : Kaki kanan post op ORIF di balut dengan elastic
perban.
Kekuatan Otot : 5 5
4 5
V. TERAPI
Infus : Terpasang infusNacl + Ketorolac di tangan kiri
Obat
1. Cefotaxim 2x1 gr IV
Kelompok obat yang disebut cephalosporin anthibiotics, cefotaxime bekerja
dengan cara memperlemah dan memecah dinding sel, mmebunuh bakteri.
Cefotaxime untuk mengobati infeksi bakteri/mencegah infeksi bakteri
sebelum, selama, atau sesudah dilakukan pembedahan tertentu.
2. Ketorolac 2 amp drip
Kelompok obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja
dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan
inflamasi. Ketorolac berfungsi untuk meredakan nyeri.
- Klien tamapak
Adanya kerusakan
meringis kesakitan
- Skala nyeri : 6 jaringan (inkontinuitas
jaringan)
Adanya proses
Inflamasi (pelepasan
mediator kimia :
histamin, prostaglandin,
serotinin dll)
Stimulasi Nosireseptor
↓
Impuls dari medula spinalis
dihantarkan sampai ke
kortek serebri
Persepsi nyeri
NYERI AKUT
Kerusakan peristeum
pembuluh darah dan
korteks marrow
No DIAGNOSA PERENCANAAN
KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1 Nyeri akut Pasien merasa nyaman dan rasa 1. Monitor TTV setiap 8 jam 1. Mengetahui keadaan
2. Kaji ulang karakteristik nyeri : umum pasien
berhubungan nyeri berkurang setelah
PQRST 2. Mengetahui sejauh mana
dengan dilakukan intervensi 3. Ajarkan teknik relaksasi : teknik tingkat nyeri pasien
distraksi, menonton video 3. Membantu pasien
terputusnya keperawatan selama 3x24 jam
(mendengarkan musik) mengurangi rasa nyeri dan
kontinuitas Kriteria hasil: 4. Berikan posisi yang nyaman meningkatkan kemampuan
pada pasien koping dalam manajemen
jaringan tulang Tanda tanda vital dalam batas 5. Pertahankan imobilisasi bagian nyeri
normal : yang sakit dengan tirah baring 4. Membantu pasien
dan berikan bantalan pada kaki mengurangi rasa nyeri
TD : 120/80 mmHg yang terasa nyeri dan sakit 5. Meminimalkan
Nadi : 60-80 kali/menit 6. Kolaborasi : lanjutkan pergerakan/ aktivitas
pemberian analgetik ketorolac pasien
Respirasi : 16-20 kali/menit drip 2x1 ampul 6. Mengurangi rasa nyeri
Skala nyeri 3 dari 0-10
Nyeri berkurang sampai
dengan hilang
Ekspresi wajah tampak
rileks
Pasien tidak kesakitan
Pasien mampu menunjukkan
keterampilan relaksasi dan
aktivitas terapeutik sesuai
indikasi
2 Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan pasien dalam 1. Mengetahui kemampuan
mobilisasi dan keterbatasan klien
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 jam
klien menunjukan kemampuan 2. Bantu aktifitas sehari-hari klien : untuk intervensi
berhubungan makan, minum, berpakaian, 2. Membantu memenuhi
mobilitas meningkat dengan
personal hygiene : mandi, oral ADL klie
dengan kerusakan kriteria hasil :
hygiene 3. Lathan ROM dapat
neuromuskular 3. Lakukan latihan ROM pasif melatih otot-otot yang
- Kekuatan otot meningkat
4. Observasi TTV sebelum dan kaku, menghindari
- Tidak ada atrofi otot
sesudah latihan dan lihat kontraktur dan atrofi otot
- Klien meningkat dalam
responnya 4. TTV yang meningkat
aktivitas fisik
5. Lakukan miring kanan kiri setiap mengindikasikan
- Mengerti tujuan dari
2 jam sekali kelelahan
peningkatan mobilitas
6. Libatkan keluarga dalam 5. Mengurangi resiko
- Memverbalisasikan perasaan
pemberian asuhan dekubitus
dalam meningkatkan
7. Ajarkan klien bagaimana 6. Asuhan dirumah
kekuatan dan kemampuan
merubah posisi dan berikan dilakukan sepenuhnya
berpindah
bantuan jika diperlukan oleh keluarga
7. Perubahan posisi sebagai
bentuk latihan mobilisasi
yang sederhana
T: 36,8⁰C P: 80x/m
T:36,6 P:84
Nyeri skala 3
X. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien : Tn. P Ruangan : Jasmin
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, Carmen. (2012). Falls and Hip Fracture. Virtual Health Care Team University of
Missouri-Columbia. School of Health Professions.
Appley, A.G & Solomon. (2010). Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Jakarta: Widya
Medika.
Bare, B.G. Smeltzer, S.C. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
Lakatos R. (2014). General principles of internal fixation. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1269987-overview#aw2aab6b2
Lippincott, William & Wilkins. (2012). Medical Surgical Nursing Cortification.
Nanda International (2012). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Price, S.A. Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta : EGC.
Reeves, CJ, Roux G and Lockhart R. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Buku 1
(Penerjemah Joko Setyono). Jakarta : Salemba Medika.
Sjamsuhidajat & de jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.