Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

EDEMA PARU DAN BENDUNGAN PARU

Disusun Oleh:
Mutiara Sandia Oktoviana 1102012186

Pembimbing :
Dr. Riantono Agung Sutomo, Sp. Rad

Kepaniteraan Klinik Mahasiswa Fakultas Kedokteran


Universitas YARSI
Bagian Ilmu Radiologi RSUD Arjawinangun
November 2017
2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4
1.1 Latar belakang .......................................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 5
2.1 Anatomi Paru .............................................................................................................................. 5
2.2 Definisi ......................................................................................................................................... 6
2.3 Klasifikasi dan Etiologi............................................................................................................... 6
2.4 Patogenesis ................................................................................................................................... 7
2.5 Diagnosis ...................................................................................................................................... 8
2.6 Gambaran Radiologi .................................................................................................................. 9
2.6.1 Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik ......................................................... 11
2.6.2. Bat Wing Edema ............................................................................................................... 12
2.6.3 Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan ................................................ 13
2.6.4 Near Drowning Pulmonary Edema .................................................................................... 14
2.6.5 Edema Paru Neurogenik .................................................................................................. 16
2.7 Penatalaksanaan ....................................................................................................................... 16
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru
(ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang
menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas. Penyebab tersering edema paru disebabkan oleh
permasalahan jantung. Namun, akumulasi cairan di dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa
alasan diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru yang
terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera ditangani.
Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun penanganan yang tepat
untuk edema paru dan kondisi yang mendasarinya dapat memberikan tingkat perbaikan yang
tinggi. Terapi untuk edema paru sangat bervariasi, tergantung dari penyebab yang
mendasarinya, namun secara umum terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan
medikametosa.
Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta edema paru di
seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru perlu pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di
Jerman 6 juta penduduk menderita edema paru. Edema paru pertama kali di Indonesia
ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden
terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk
dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun
2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Gambaran radiologi penyakit edema paru dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis. Hal ini dapat mengoptimilisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien
yang menderita penyakit edema paru.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru


Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan dengan
sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan
elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma,
diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang
tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal.
Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-paru
kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius
dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada
paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique.
Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang-cabang dan
ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang dikelilingi kapiler yang berisi
darah. Di sini oksigen dari udara berdifusi ke dalam darah, dan kemudian dibawa oleh
hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi dari jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-paru
dan, setelah dioksigenisasi, beredar kembali melalui vena paru-paru.

Gambar 1. Anatomi paru

5
2.2 Definisi
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru (ruang
interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan
seseorang sulit untuk bernafas.
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan
intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada
sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat
sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada
mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor
mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.

Bendungan vaskuler paru (arteri dan vena) dapat disebabkan adanya peningkatan tekanan di atrium kiri
dan dapat juga disebabkan kelainan katup mitral sehingga menyebabkan darah dari vena pulmonalis
terbendung.

2.3 Klasifikasi dan Etiologi


Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan menjadi edema
paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik biasanya
disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan
berdasarkan kondisi yang mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan
menjadi tekanan rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik.
Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas
atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan
ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun
elektrolusi.

6
Valvular

Kardiogenik

Non-valvular

Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus

Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus

Neurogenik

Gambar 3. Klasifikasi Edema Paru

2.4 Patogenesis
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas
dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang Terdapat dua mekanisme terjadinya edema
paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstisial atau
ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran
cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan
solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial.
Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada
sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah tekanan
hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I adalah
koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam mencegah filtrasi
protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke

7
kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik
cairan keluar dari kepiler.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan tekanan
vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral); Peningkatan tekanan
vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler
paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis

b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan balik dari
pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial peribronkial dan
perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari interstisium non alveolar ini, cairan
lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran
limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah
cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam
keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata.
Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami
hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate kapiler dalam jumlah
yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai
konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan
terkompresi.

2.5 Diagnosis
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak (EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang

Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
JVP Meningkat (-)
Ronki Basah Tak meningkat

8
Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

2.6 Gambaran Radiologi


Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut
adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines,
peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya tidak terlihat
pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.

Gambar 4. Anatomi Interstitium Paru

Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika jaringan
ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm dari hilus

9
dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya disebut sebagai septal lines,
garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis
horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en
face, merupakan opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama
dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph. Peribronchial
cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density. Peribronchial
cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus.
Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.

Gambar 5. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah putih),
Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial cuffing, pleural effusion.

10
Tabel 2 Perbedaan gambaran radiologis CPE dan non CPE

2.6.1 Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik


Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan tekanan edema,
yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium ini identik pada gagal

jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya sering dijumpai pada pasien dengan
edema tekanan di ICU maupun IGD. Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung
dari peningkatan tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan
onkotik.

Gambar 6. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema peningkatan
tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang datang dengan kelebihan cairan

11
karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada gambar b menunjukkan adanya
pelebaran progresif pembuluh darah lobus (peribronchial cuffing), panah putih gambar c
menunjukkan adanya bilateral kerley lines, dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan
opasitas. Kelebihan cairan dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

Gambar 7. Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema peningkatan
tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah hitam) pada bagian
anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass area.

2.6.2. Bat Wing Edema


Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral dan dengan
distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya terdapat pada 10% kasus edema
paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus perkembangan cepat gagal jantung berat seperti
pada insufisiensi katub mitral akut (yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark
miokard masif, dan destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal
ginjal. Pada kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun interstitial.
Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara radiologis dengan infiltrat
alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang ditemukan.

12
Gambar 8. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan dan gagal
jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan (3.b) menunjukkan
adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan sparing dari konteks paru. Infiltrat
pada pasien ini berkurang setelah 32 jam menjalani pengobatan.

2.6.3 Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan


Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan adalah perubahan
morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi kronis. Selain itu, pada kasus
gagal jantung, emfisema pada apices atau gambaran destruksi dan fibrosis pada bagian paru
bagian atas dan tengah (sering ditemukan pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau
asbestosis) akan terlihat pada kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang
berpengaruh pada proses penyakit ini.

13
Gambar 9. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-stage fibrosis dan
emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung. Pada gambaran radiografi
didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis paru karena aliran darah paru mengalir
ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.

Gambar 10. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive pulmonary
disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar 5.b yang merupakan
gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan gambaran diffuse ground-glass
attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan yang memenuhi bula subpleura paling
jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri bawah.

2.6.4 Near Drowning Pulmonary Edema


Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena inhalasi air dan
masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya. Terdapat tiga stadium pada kasus ini.
Stadium pertama adalah laringospasme akut yang diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit
(dry drowning). Gambaran radiologis yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial
cuffing, patchy, konsolidasi alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24
sampai 48 jam dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada
korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15% pasien masih
menampakkan gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang persisten, sedangkan
sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan mulai berelaksasi karena hipoksia
dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi
berhubungan dengan edema tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan
pengeluaran sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada
stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-defiined lessions

14
dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari volume air yang dihirup dan
durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup (air garam atau air segar).

Gambar 11. Gambaran edema paru pada anak berumur 5 tahun yang hampir tenggelam 1 jam
sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat pembesaran jantung, diffuse confluent alveolar
patterns of pulmonary edema, dan peribronchial cuffing. Gambaran cortikal paru bersih dari
edema interstitial, hal ini mengindikasikan edema berasal dari kerusakan alveolar langsung dari
inhalasi air atau edema karena laringospasme dibandingkan dengan edema karena hipoksia.

Gambar 12. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian, menunjukkan adanya
penurunan edema paru.

15
2.6.5 Edema Paru Neurogenik
Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan gangguan otak berat
seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun status epileptikus. Diagnosis dari
edema paru neurogenik dibuat menggunakan metode eksklusi. Penyebabnya masih
kontroversional, beberapa mengemukakan kombinasi antara faktor yang mempengaruhi edema
hidrostatik dan faktor yang mempengaruhi edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema
paru neurogenik ini diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi setelah
adanya gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara cepat pada kebanyakan
kasus. Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya bilateral, homogen konsolidasi,
dengan predominasi apices pada 50% kasus. Gambaran radiologi ini biasanya menghilang
setelah 1-2 hari.

Gambar 13. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan perdarahan
intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto rontgen thorax dengan
gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah apices. Tanpa disertai efusi pleura, Kerley
lines, maupun ukuran jantung yang abnormal. Gambar b. menunjukkan CT scan dengan
gambaran konsolidasi alveolar pada sentral paru, dan penebalan septum interlobus (tanda
panah hitam).

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari penyakit yang
mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat penting dalam pengobatan,
sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.

16
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui, maka
pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah mempertahankan fungsi
fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara memperbaiki jalan napas, ventilasi yang
adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau,
infus juga perlu dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥
60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau
tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap
4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 –
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi
respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau
sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital (10).
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.

17
BAB III

KESIMPULAN

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru
(ruang interstitial dan alveolus). Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik
dan Non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung kiri apapun
sebabnya. Edema paru kardiogenik yang akut disebabkan oleh gagal jantung kiri akut.
Sedangkan untuk edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh penyakit dasar di luar Jantung
Gambaran radiologis yang penting dalam edema paru adalah penebalan septa interlobar
yang biasa disebut septal lines atau kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan
efusi pleura. Septa interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat
jika terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru yaitu perbaiki jalan napas, ventilasi
yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu
ditinjau, infus juga perlu dipasang.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. John
Wilay & Sons, United States of America.
2. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Peerbit Buku
Kedokteran EGC, 2007.
3. Sudoyo, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Penerbit FK UI.
4. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rd edition, vol. 2,
Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614.
5. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811.
6. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly, Jean
P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary
Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
7. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one, United States,
593-617, 2008.
8. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical.
9. Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute Cardiogenic
Pulmonary Edema – an Important Clinical Entitiy with Mechanisms on Debate. A
Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein, Lawrence J., 2008. Walsh: Palliative
Medicine. Saunders An Imprint of Elsevier: United States of America
10. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-cardiogenic. In:
Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed.
Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60
11. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic
Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd, 152:7,
311-317.
12. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al; The effect of venous occlusion with tourniquets
on peripheral blood pooling and ventricular function. Chest 103:521-527, 1993.

19

Anda mungkin juga menyukai