Dosen Pengajar:
NIM : 1503005138
Kelas : C
Fakultas Hukum
Universitas Udayana
2017
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Sistem
Peradilan pidana mengenai Kajia Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Dan penulis juga
berterimakasih kepada Bapak I Wayan Bela Siki Layang,SH.,MH. selaku dosen mata kuliah
Sistem Peradilan Pidana Universitas Udayana yang telah memberi tugas ini kepada penulis.
Disamping itu penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
membantu kami selama pembuatan makalah berlasung hingga terselesaikannya makalah ini.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat dan dipahami bagi siapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat bergua bagi penulis sendiri maupun orang yang
membacanya.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena
itu, penulis meminta maaf atas kekurangan dari makalah ini. Dan penulis juga berhadap para
pembaca memberi saran dan kritik yang membangun dari para pembaca yang sangat dibutuhkan
untuk penyempurnaan makalah ini kedepannya.
Penulis
2
Daftar Isi
2.1 Ciri – Ciri Penampakan atau Fungsi dari Sistem Peradilan Pidana ........................................6
2.2 Penampakan atau Fungsi Sistem Peradilan Pidana yang Nampak pada Sistem Peradilan
Indonesia .............................................................................................................................8
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan, Crminal
justice system sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang – undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem
itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan
dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.1
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan identik dengan sistem penegakan
hukum, dan merupakan suatu sistem kekuasaan atau kewenangan menegakat hukum, melalui
kekuasaan kehakiman, di bidang hukum pidana.2 Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan
perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana,
karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in
abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan
perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan
tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas
kebijakan yang diterapkan.
Maka tujuan dari adanya sistem peradilan pidana dapat yaitu; a. mencegah masyarakat
menjadi korban kejahatan, b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana; dan c. mengusahakan agar
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya lagi.3
1
Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, h. 2
2
Bakhri, Syaiful, 2014,Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik
Peradilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 141
3
Op. Cit., h. 3
4
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen
dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice system”.
Di Amerika Serikat paradigma yang dominan dalam sistem peradilan pidananya adalah sistem
dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai suatu kasus kriminal
dari petugas yang berwenang dalam suatu kerangka interrelasi antar aparatur penegak hukum.
Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana akan menampakan dirinya atau akan berfungsi
sebagai; a. A True System of Justice, b. A Criminal Justice Process, c. A Criminal Justice
Network, atau d. A Criminal Justice Non System. Dimana masing – masing fungsinya memiliki
perbedaan ciri – ciri mendasar. Suatu sistem peradilan di sebuah negara dengan melihat pada
praktek perdilannya akan memperlihatkan sistem peradilan pidana sebagaimana yang dia anut di
negaranya. Untuk mengetahui sistem pidana sebagai fungsinya apa dapat diketahui dengan
melakukan kajian terhadap fakta hukum yang ada dan melihat pula bagaimana contoh kasus
nyata mengenai peradilan di Indonesia untuk melihat apakah sistem peradilan pidana di
Indonesia itu sebagai suatu sistem, atau suatu proses, atau suatu network, atau bahkan sama
sekali bukan berbentuk suatu sistem.
1. Bagaimanakah ciri – ciri dari penampakan atau fungsi Sistem Peradilan Pidana yang
dikenal?
2. Bagaimana penampakan atau fungsi Sistem Peradilan Pidana yang nampak pada Sistem
Peradilan Indonesia?
4
Ansorie Sabuan, dkk., 1990, Hukum Acara Pidana, Angkas, Bandung, h. 8
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ciri – Ciri Penampakan atau Fungsi dari Sistem Peradilan Pidana
Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana akan menampakan dirinya atau berfungsi sebagai;
Sistem Peradilan Pidana sebagai A True System of Justice menampakan ciri – ciri
sebagai berikut:
1. Dalam bekerjanya sistem ini ada ketentuan dan landasan hukum sebagai prosedural yang
tegas, sebagai acuan dari rambu – rambu untuk bertindak dari pelaksanaan
penyelenggaraan peradilan.
2. Adanya Perbedaan fungsi atau peranan akan tugas masing – masing komponen
penyelenggara (tidak ada differensial fungsional)
3. Pada Sistem Peradilan sebagai suatu sistem ini akan harus memiliki kordinansi antara
lembaga yang baik.
4. Keahlian yang dimiliki tiap – tiap fungsionalisasi sesuai dengan biadang yang diemban.
5. Adanya mekanisme kontrol internal dan eksternal, vertical dan horizontal yang tegas.
Sistem Peradilan Pidana sebagai A Criminal Justice Process menampakan ciri – ciri
sebagai berikut:
6
2. Tujuan dari masing – masing komponen penyelenggara administrasi peradilan sama –
sama berbeda.
3. Kinerja yang nampak cenderung seperti operasional yang pragmentaris, bukan
menunjukan kinerja dalam arti sistem yang utuh.
Sistem Peradilan Pidana sebagai A Criminal Justice Network menampakan ciri – ciri
sebagai berikut:
Sistem Peradilan Pidana sebagai A Criminal Justice non System menampakan ciri – ciri
sebagai berikut:
1. Merupakan lawan dari ciri – ciri yang terkandung dalam true system seperti ketentuan
prosedural yang tidak tegas, adanya differensiasi fungsional fungsionalisasi administrator
peradilan.
2. Tidak adanya koordinasi yang baik antar lembaga yang menjalankan sistem peradilan ini.
3. Kurang memiliki dan menguasai keahlian masing – masing yang menjadi bidang tugas
dan perannya.
4. Kurangnya mekanisme kontrol terhadap kinerja masing – masing lembaga, baik secara
internal eksternal maupun secara vertikal horizontal.
7
2.2 Penampakan atau Fungsi Sistem Peradilan Pidana yang Nampak pada Sistem
Peradilan Indonesia
Pada pembahasan sebelumnya kita telat mengemukakan tentang ciri – ciri dari
Penampakan atau Fungsi dari Sistem Peradilan Pidana. Pembahasan kedua dalam materi ini
adalah menentukan atau mengkaji bekerjanya Sistem Peradilan Pidana di Indonesia akan
menampkan dirinya sebagai apa, apakah suatu sitem yang utuh, suatu proses, suatu network atau
bukan merupakan suatu sistem sekalipun. Untuk dapat melihat tampak sistem peradilan pidana
ini, pengkajiannya dapat kita lihat melalui kasus – kasus atau fakta – fakta dalam suatu peradilan
pidana.
Walaupun telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahn 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berkaitan dengan kewenangan KPK dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang berada di atas kewenangan Penyidik Kepolisian,
namun, budaya melakukan koordinasi yang berujung kepada munculnya Memorandum of
Understanding (MoU) antara Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung dalam membagi
kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, jsutru memperburuk
keteraturan norma yang telah diatur secara yuridis normatif dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa jika dilihat dari aspek kebijakan hukum
pidana (penal policy), adressat dari hukum pidana tidak hanya mengatur perbuatan warga
masyarakat pada umumnya, tetapi juga mengatur penguasa/aparat penegak hukum. Bahwa
pembatasan dan pengawasan/pengendalian kekuasaan Negara merupakan dimensi yuridis dari
hukum pidana bukanlah “mengatur masyarakat” tetapi “mengatur penguasa”.
8
Dengan adanya permasalahan tumpang tindih kewenangan dalam kasus korupsi simulator
SIM ini, pihak – pihak yang seharusnya bekerja sama dalam menyelsaikan kasus korupsi dalam
hal ini KPK dan POLRI justru saling mendahului, sehingga hasil dari denyelesaiannya tidak
optimal dan berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.5
Merujuk pada kasus diatas mengenai saya melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di
Indonesia menapkan sebuah sistem peradilan pidanan yang mengarah pada A criminal Justice
network, yaitu berbentuk seperti jaringan. Dimana Sistem Peradilan Pidana sebagai memiliki
ciri- ciri; Administrasi penyelenggara peradilan terikat sebatas melaksanakan jaringan kerja
dengan tujuan yang tidak sama, jaringan kerja yang diciptakan tidak terangkai sebagai suatu
sistem. Dalam kasus diatas diperlihatkan bahwa dalam kewenangan penyidikan sering terjadi
benturan – benturan antara lembaga – lembaga yang merasa berwenang karena memiliki tujuan
pada lembaganya yang tidak sama. Antara KPK dengan Kepolisian jaringan kerjanya tidak
dalam satu sistem, KPK merupakan lembaga independen tetapi juga memiki kewenganan
penyidikan yang dimiliki oleh Kepolisian.
Masing – masing dari penyelenggara komponen sistem dan dari tiap lembaga memiliki
kewenangan diskresi berlebihan tanpa batas yang jelas. KPK dalam melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi yang berada di atas kewenangan Penyidik Kepolisian namun,
budaya melakukan koordinasi yang berujung kepada munculnya Memorandum of
Understanding (MoU) antara Kepolisian, KPK dan Kejaksaan Agung dalam membagi
kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, justru memperburuk
keteraturan norma yang telah diatur secara yuridis normatif dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Namun POLRI yang juga menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan penyidikan
dan menetapkan tersangka. KPK dalam melakukan penyidikan, berpedoman pada Undang-
undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dimana dalam pasal 11
huruf a disebutkan apabila terdapat suatu tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak
hukum, maka yang berhak melakukan penyidikan adalah KPK. Namun POLRI menyatakan
bahwa pihaknya berhak melakukan penyidikan karena berdasarkan Memorandum of
Understanding (MoU) yang telah ditandatangani bersama oleh KPK, POLRI dan Kejaksaan,
5
Septian Virgananda Kurniawan, 2013, Konflik Kewenangan Penyidikan atara POLRI dan KPK dalam kasus
Tindak Pidana Korupsi Alat Simulator SIM di Korlantas Polri, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Satya Wacana
9
dalam pasal 8 menyebutkan apabila KPK, POLRI atau Kejaksaan melakukan penyidikan dalam
satu kasus yang sama, maka yang mempunyai wewenang adalah lembaga yang lebih dahulu
melakukan penyidikan.6 Dari sengketa kewenangan tersebut dapat dilihat dan dari tiap lembaga
memiliki kewenangan diskresi berlebihan tanpa batas yang jelas.
Tidak adanya sanksi yang jelas dan tegas bila administrator penyelenggara peradilan
salah atau menyompang dalam menjalankan fungsinya. Benturan kewengangan antara KPK dan
POLRI tersebut telah selesai, namun penyelesaian benturan kewenangan tersebut tidak
diselesaikan melalui jalur hukum, melainkan dengan jalur politik yaitu dengan melalui
kebiajakan yang berupa pidato presiden. POLRI akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan
penyidikan kasus tersebut. Maka dapat dilihat dari selesainya benturan kewenangan tersebut
antara KPK maupun POLRI tidak satupun yang mendapat sanksi dari kesalahannya menjalankan
fungsi kewenangannya sebagai penyidik.
6
Rani Rachnaningsih, 2013, Benturan Kewenagan Polri dan KPK sebagai Penyidik dalam Kasus Simulator SIM,
Jurnal Onlie, Fakultas Hukum Brawijaya.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Merujuk pada kasus diatas mengenai saya melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di
Indonesia menapkan sebuah sistem peradilan pidanan yang mengarah pada A criminal Justice
network, yaitu berbentuk seperti jaringan. Dimana Sistem Peradilan Pidana sebagai memiliki
ciri- ciri; Administrasi penyelenggara peradilan terikat sebatas melaksanakan jaringan kerja
dengan tujuan yang tidak sama, jaringan kerja yang diciptakan tidak terangkai sebagai suatu
sistem. Dalam kasus diatas diperlihatkan bahwaa ntara KPK dengan Kepolisian jaringan
kerjanya tidak dalam satu sistem, KPK merupakan lembaga independen tetapi juga memiki
kewenganan penyidikan yang dimiliki oleh Kepolisian.
Masing – masing dari penyelenggara komponen sistem dan dari tiap lembaga memiliki
kewenangan diskresi berlebihan tanpa batas yang jelas. KPK dalam melakukan penyidikan,
berpedoman pada Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, dimana dalam pasal 11 huruf a disebutkan apabila terdapat suatu tindak pidana korupsi
yang melibatkan aparat penegak hukum, maka yang berhak melakukan penyidikan adalah KPK.
Namun POLRI menyatakan bahwa pihaknya berhak melakukan penyidikan karena berdasarkan
Memorandum of Understanding (MoU) yang telah ditandatangani bersama oleh KPK, POLRI
dan Kejaksaan, dalam pasal 8 menyebutkan apabila KPK, POLRI atau Kejaksaan melakukan
penyidikan dalam satu kasus yang sama, maka yang mempunyai wewenang adalah lembaga
yang lebih dahulu melakukan penyidikan. Dari sengketa kewenangan tersebut dapat dilihat dan
dari tiap lembaga memiliki kewenangan diskresi berlebihan tanpa batas yang jelas.
Tidak adanya sanksi yang jelas dan tegas bila administrator penyelenggara peradilan
salah atau menyompang dalam menjalankan fungsinya. Benturan kewengangan antara KPK dan
POLRI tersebut telah selesai, namun penyelesaian benturan kewenangan tersebut tidak
diselesaikan melalui jalur hukum, melainkan dengan jalur politik yaitu dengan melalui
kebiajakan yang berupa pidato presiden. POLRI akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan
11
penyidikan kasus tersebut. Maka dapat dilihat dari selesainya benturan kewenangan tersebut
antara KPK maupun POLRI tidak satupun yang mendapat sanksi dari kesalahannya menjalankan
fungsi kewenangannya sebagai penyidik.
3.2 Saran
Antara KPK dan POLR harus ada kordinasi yang baik mengenai kewenangan penyidika
terhadap tindak pidana korupsi. Masing – masing pihak harus menurunkan arogansinya untuk
dapat bekerja dalam suatu sistem peradilan yang baik dan bukan hanya sebuah lembaga dengan
tujuan masing – masing. Sehingga penanganan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara
cepat, sederhana dan biaya ringan.
12
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bakhri, Syaiful, 2014,Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaruan, Teori,
dan Praktik Peradilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
SKIPSI
Septian Virgananda Kurniawan, 2013, Konflik Kewenangan Penyidikan atara POLRI dan KPK
dalam kasus Tindak Pidana Korupsi Alat Simulator SIM di Korlantas Polri, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Satya Wacana
JURNAL
Rachnaningsih, Rani, 2013, Benturan Kewenagan Polri dan KPK sebagai Penyidik dalam Kasus
SERIAL ONLINE
https://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2014/04/20/pengantar-sistem-peradilan-
pidana-di-indonesia-bagian-kesatu-1, diakses pada 21 Oktober 2017
13