Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

Diagnostik dan tatalaksana myastenia gravis

PEMBIMBING:
dr. Mintarti, Sp.S

DISUSUN OLEH:
Eka febriani
030.13.187

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


R.S.M.T WONGSONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
8 Mei – 22 Juli 2017
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Dengan Judul


“Diagnostik dan tatalaksana Myastenia gravis”

Diajukan memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu


Penyakit Saraf R.M.S.T Wongsonegoro periode 2 Oktober–5November 2017

Disusun oleh:
Eka febriani
030.13.067

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Mintatrti Sp.S selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Penyakit Saraf R.M.S.T Wongsonegoro

Semarang, 2017
Mengetahui,

dr.Mintarti, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada


Allah SWT atas rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Diagnostik dan TataLaksana Myastenia gravis”. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf R.M.S.T Wongsonegoro periode 2 Oktober–5
November 2017.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Mintarti, Sp.S, sebagai
dokter pembimbing, rekan-rekan sesama koasisten saraf di R.M.S.T
Wongsonegoro dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa,
semangat dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini, penulis memohon maaf kepada
para pembaca. Masukan, kritik, dan saran akan peneliti jadikan bahan
pertimbangan agar penelitian kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih.

Semarang, 2017

Eka Febriani
Ko-asisten Ilmu Penyakit Penyakit Saraf R.M.S.T Wongsonegoro

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN .......................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi miastenia gravis................................................................ 2
2.2 Epidemiologi miastenia gravis ....................................................... 2
2.3 Anatomi dan fisiologi ................................................................... 2
2.4 Patogenesis miastenia gravis.......................................................... 4
2.5 Gejala Klinis miastenia gravis ....................................................... 4
2.6 Penegekan Diagnosis miastenia gravis .......................................... 7
2.7 tatalaksana miastenia gravis ........................................................... 17
2.8 prognosis miastenia gravis ............................................................ 24
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Miastenia gravis klasifikasikan ............................................................ 16


Tabel 2 pemeriksaan laboratorium ...................................................................... 24

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Miatenia gravis ptosis .......................................................................... 6


Gambar 2 Tes waterberg ...................................................................................... 10

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang mengenai neuromuskular,
ditandai oleh kelemahan otot berat. Miastenia artinya “kelemahan otot” dan gravis
artinya “parah”. Miastenia gravis merupakan suatu penyakit autoimun yang
mempengaruhi transmisi neuromuskuler sehingga menyebabkan kelemahan otot
secara lokal maupun luas. Penyebabnya adalah karena autoantibodi yang bekerja
berlawanan dengan reseptor asetilkolin pada postsynaptic motor end-plate. Jolly
(1895) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah Miastenia gravis dan
ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak
berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa
fisostigmin merupakan obat yang baik untuk Miastenia gravis.1,2 Miastenia gravis
dapat terjadi pada semua umur dan ras. Puncak kejadian pada wanita terjadi pada
umur 20-30 tahun , sedangkan pada laki-laki dapat terjadi pada umur 60 tahun.
Namun, penyakit ini juga dapat terjadi pada semua umur. Pada beberapa kasus,
beberapa bayi dari ibu dengan Miastenia gravis dapat memperoleh antibodi anti
AchR saat lahir, dapat menderita Miastenia neonatus.
Otot yang sering terkena ada otot pengontrol mata dan gerakan bola mata, otot
ekspresi wajah, otot untuk berbicara dan otot untuk menelan tetapi tidak selalu
ada serta Otot anggota gerak dan otot pernafasan juga bisa terkena. kelemahan
otot yang semakin buruk sehingga menyebabkan gagal napas. Krisis miastenia
merupakan gawat darurat dibidang saraf yang sangat penting, serius namun
reversible, yang didapatkan pada 20-30% penderita dalam satu tahun pertama
penyakit. Dahulu tingkat kematian pada myasthenia gravis hampir mencapai 90%
yang disebabkan oleh adanya gagal pernapasan namun jumlah kematian yang
disebabkan oleh penyakit ini telah berhasil dikurangi secara drastis akibat
pengobatan dan penanganan yang tepat, maka penting peranan diagnosis dan
tatalaksana yang tepat untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas dari penyakit
ini.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Myatenia Gravis


Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem
saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana
kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-
ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di
neuromuskular juction berkurang. 2,4
2.2 Epidemiologi Myastenia Gravis
Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun
2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin
lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden
Miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok
umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi penyakit Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas
umur 50 tahun. Pada umur 20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai
pada wanita. Sementara itu diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan
ratio wanita dan pria adalah 3:2. 1
2.3 Anatomi dan Fisiologi Myastenia gravis
Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi
di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke otot rangka di
sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot,
akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya.
Masing-masing dari terminal akson ini membentuk persambungan khusus,
neuromuscular junction, dengan satu dari banyak sel otot yang membentuk otot

2
secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga serat otot, berbentuk silindris dan
panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur mirip tombol, terminal
button yang pas masuk ke ke cekungan dangkal, atau groove , di serat otot
dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor
end plate” .
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti
di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal
antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin
(ACh). Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated
Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya
influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk
bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi
membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam
vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan
tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada
membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan- lekukan pada membran
post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-
masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya
akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai
ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah
sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan
kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh
enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup
banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.

3
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus
menerus. 1,5,6,7

2.4 Patogenesis Myastenia gravis


Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses
auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses
autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar
75 % pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %
berhubungan dengan timoma. 2,7
2.5 Gejala Klnis Myastenia Gravis
Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala
yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot. Otot-
otot yang paling sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelopak
mata, bicara, menelan mengunyah, dan bahkan pada taraf yang lebih gawat
sampai menyerang pada otot pernafasan. Dengan ikut terserangnya otot-otot yang
mengontrol pernafasan, maka hal ini menyebabkan penderita mengalami beberapa
gangguan dalam pernafasan, mulai dari nafas yang pendek, kesulitan untuk
menarik nafas yang dalam sampai dengan gagal nafas sehingga memerlukan
bantuan ventilator. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-
otot ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan diplopia

4
(penglihatan ganda), Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka
perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita
menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa
ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-
langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami
kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada
anggota gerak ini akan dirasakan asimetris. Bila seorang penderita Miastenia
gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka
kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh. Penderita
dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis okular.
Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa.
Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga
menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat pernafasan,
maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis
atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita Miastenia gravis. Untuk menilai tingkat respon terhadap
terapi dan prognosis, Osserman membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :
1. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
2. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada
mata lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem
pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian
rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering
disertai gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan
terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas. (25 %)

5
3. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma
paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi.
(15%)
4. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat
dan prognosis buruk. (10 %) 8

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia


gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut 9:
Tabel. 1 Miastenia gravis klasifikasikan
Klas I : Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,
dan kekuatan otot-otot lain normal.
Klas II :Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Klas IIa : Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
Klas IIb : Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
Klas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-
otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
Klas IIIa : Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
Klas IIIb: Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dalam derajat ringan.
Klas IV : Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat.
Klas IVa: Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau
otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
Klas IVb: Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota
tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Klas V : Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

6
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-
gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.

GAMBAR 1 PTOSIS PADA MIASTENIA GRAVIS

7
2.6 Penegakan Diagnosis dan Tata Laksana
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang
dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak.
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai
derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta
simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih
ada dalam batas normal. 10
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada
otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-
like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada
pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher.

8
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-
jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi. 11

2. Tes klinik sederhana:

a) Tes watenberg/simpson test


Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu benda
yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu
lamanya > 30 detik,Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan

9
menunjukkan ptosis memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata
lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).

Gambar 2. Tes watenberg/simpson test

b) Tes pita suara


Penderita ditugaskan untuk menghitung menghitung 1-100, dengan suara
yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan
menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif). Setelah suara penderita menjadi parau
atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. 10
C) Tes Ice pack
Tes ice pack adalah prosedur yang sangat sederhana, aman dan murah
yang dapat dilakukan oleh dokter di samping tempat tidur. Selain itu, uji ice pack
tidak memerlukan obat atau peralatan mahal dan bebas dari efek samping. Ini
terdiri dari aplikasi sebuah ice pack ditempatkan di atas kelopak mata tertutup
pasien selama periode 2 menit (untuk ptosis) sampai 5 menit (untuk
ophthalmoparesis) Defisit motilitas dan ptosis okular harus diukur sebelum dan
sesudah tes. Meskipun tidak ada pedoman ketat mengenai interpretasi tes ini,
Responnya positif bila ada peningkatan diplopia atau ptosis (meningkat paling

10
sedikit 2 mm dari fisura palpebra dari sebelum sampai setelah tes). Mengingat
bentuk Miastenia gravis murni seringkali tidak terdeteksi oleh tes tradisional yang
ada, uji ice pack adalah metode diagnostik yang menarik untuk Miastenia gravis.
Pengalaman klinis dan laboratorial menunjukkan korelasi penting antara suhu dan
myasthenia gravis. Telah diketahui secara luas bahwa suhu hangat memperburuk
gejala Miastenia gravis dan pendinginan dapat memperbaiki mereka. Perbaikan
Miastenia Gravis dengan pendinginan mungkin terjadi pada aktivitas
asetilkolinesterase yang lebih rendah pada suhu di bawah 28ºC, sehingga
meningkatkan jumlah molekul ACh di celah sinapt .Berdasarkan bukti ini,
pendinginan orbital (uji ice pack) telah dikembangkan sebagai prosedur yang
sederhana, aman dan andal untuk diagnosis miastenia okular. Tes ice pack
tampaknya sensitif dan spesifik bila dibandingkan dengan tes edrophonium,
walaupun tidak ada penelitian acak dan terkontrol untuk memvalidasinya.
Sensitivitas pada miastenia okular dengan ptosis terkait atau tidak dengan gejala
umum bervariasi antara 80 sampai 100% 1. Paket es diterapkan langsung ke otot
levator kelopak mata dan peningkatan yang obyektif diamati. Dalam sebuah
penelitian besar dengan 156 pasien yang membandingkan uji ice pack dengan uji
edrophonium, uji es memiliki sensitivitas dan spesifisitas 100%. Dalam studi
tersebut, semua kasus dengan tes edrophonium positif memiliki uji es positif
sedangkan tidak ada kasus dengan uji edrofonium negatif yang memiliki uji es
positif. Oleh karena itu, kepercayaan dari uji diagnosis Miastenia gravis sangat
baik, mendukung penggunaannya dalam diagnosis. 12

Gambar 3. Tes Ice pack

11
E) Tes sleep
Tes ini mengukur perbaikan manifestasi orang dengan miastenia gravis
setelah masa istirahat. Pasien diminta untuk tidur atau beristirahat dengan mata
tertutup selama sekitar 30 menit. Sebelum tes, pasien diperiksa, dan defisit
motilitas mata dan / atau ptosis yang ada diukur. Diagnosis myasthenia dapat
dikonfirmasi dengan mengamati resolusi ptosis atau ophthalmoparesis segera
setelah periode 30 menit tidur. Kemunculan kembali tanda-tanda myasthenic
selama 30 s ke 5 menit berikutnya menambah konfirmasi lebih lanjut. namun tes
ini memakan waktu dan mungkin tidak praktis bagi dokter yang sibuk, karena
pasien harus tidur siang 15 sampai 30 menit di ruang gelap untuk perbandingan
klinis. 13
D) Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Edrophonium adalah obat AChE dengan cepat dan cepat terhidrolisis. Ini
mencegah kerusakan ACh dengan secara kompetitif menghambat
asetilkolinesterase di neuromuskular juntion. Hal ini menyebabkan peningkatan
sinapsis ACh, memberikan kejenuhan maksimum populasi reseptor terbatas yang
tersedia di myasthenia. Infiltrat intravena (IV) memperbaiki tanda dan gejala,
Edrophonium tersedia sebagai formulasi parenteral 10 mg / mL dan diberikan
secara intravena. Onset tindakan dimulai dalam 30-60 detik setelah injeksi, dan
efeknya sembuh dalam 5-10 menit. Dosis edrophonium chloride adalah 0,10 mg /
kg pada anak-anak dan 10 mg atau kurang pada orang dewasa dan 0,05-1,0 mg
(subkutan) pada bayi. Ptosis dan defisit motilitas okular harus diukur dan
didokumentasikan secara fotografis sebelum pemberian. Awalnya, dosis tes 1-2
mg IV diberikan dan jika tidak ada reaksi istimewa, 3-4 mg disuntikkan setelah 2
menit. Jika posisi kelopak mata, pelurusan okular, atau motilitas tidak membaik
dalam 1 menit, 8-9 mg sisanya disuntikkan, sebaiknya dalam penambahan 2-4
mg, menunggu 45-60 detik di antara penambahan. Namun, dosis yang lebih besar
dari 5 mg sering tidak, biasanya, menghasilkan hasil positif jika dosis rendah
tidak efektif. Paradoks memburuknya motilitas okular telah dilaporkan pada
pasien dengan Miastenia Gravis(sampai 25%) karena blok depolarisasi yang
disebabkan oleh kelebihan ACh. [Tes edrophonium paling baik dievaluasi dengan

12
mengamati peningkatan kekuatan otot tunggal seperti levator, daripada perubahan
kekuatan relatif beberapa otot, seperti pelurusan okular.
Edrophonium dapat menyebabkan berbagai efek samping karena aktivitas
muskarinik yang meningkat - ini termasuk lakrimasi, air liur, berkeringat, dan
kram perut. Efek samping yang serius termasuk bradikardia, hipotensi
bronkospasme, dan sinkop; atropin harus tersedia selama pengujian dan pengujian
hanya boleh dilakukan dengan tekanan darah, denyut nadi, dan pemantauan
elektrokardiografi secara terus-menerus. Tes ini relatif kontraindikasi pada
penderita asma bronkial dan penyakit jantung. Sensitivitas tes ini adalah 95%
pada MG umum dan sekitar 86% untuk OMG. 13

Gambar 4. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

F) Test Prostigmin atau Test Neostigmin


Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan 0.1 mg atropine sulfas kemudian
disuntikkan kedalam pembuluh darah penderita (intramuskularis atau subcutan).
Test dianggap positif apabila gejala-gejala kelemahan ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap menghilang dan tenaga
membaik. Prostigmin secara oral juga bisa diberikan sebagai dosis test. Efeknya
masih perlahan pada permulaan dan berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam. Raymon D.
Neostigmin metilsulfat disuntikkan ke dalam otot dengan dosis 1.5 mg. Atropin
sulfat (0.8 mg) harus diberikan beberapa menit terlebih dahulu untuk meniadakan
efek muskarinik. Neostigmin mungkin diberikan melalui pembuluh darah dengan

13
dosis 5 mg, tapi penambahan harus selalu diawali dengan atropine sulfat untuk
menyingkirkan bahaya dari ventricular fibrilitasi dan perhentian jantung.
Kemajuan obyektif dan subyektif terjadi dalam 10 sampai 15 menit, mencapai
puncaknya pada 20 menit, dan berakhir 2 atau 3 jam. Test yang negatif, tidak
meniadakan Myasthenia Gravis tapi ini adalah poin yang kuat untuk mendiagnosa
lagi. Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg setiap 4 jam selama sehari, kadang
direkomendasikan pada kasus-kasus yang meragukan, tapi cara ini juga belum
teruji akurasinya.13

G) Pemeriksaan Laboratorium
I.Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibod Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor
antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut :
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe

14
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

II. Antistriated muscle (anti-SM) antibody


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
III. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab.
IV. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
H) Imaging
 Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.

15
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak.

Gambar 4 CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass


(thymoma) in a patient with myasthenia gravis.

I) Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

A typical recording of compound muscle action potentials with repetitive nerve


stimulation at low frequency in a patient with myasthenia gravis. Note the gradual
decline in the amplitude of the compound muscle action potential with slight
improvement after the fifth or sixth potential

16
ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal. 6,14,15,16

2.7 Penatalaksanaan pada myastenia gravis


Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien
dengan miastenia gravis generalisata yang memiliki gejala sedang sampai berat
memerlukan beberapa bentuk terapi imunomodulasi dan perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Plasmapheresis atau globulin imun intravena
dicadangkan untuk pasien dengan penyakit parah atau cepat memburuk karena
efeknya yang penting dapat terlihat pada minggu pertama pengobatan.Terapi
imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Imunoterapi yang lebih
lama (kortikosteroid, azathioprine, mycophenolate mofetil dan lainnya) memiliki
respons yang lebih lambat namun memberikan manfaat yang berkelanjutan. Obat
mana yang digunakan tergantung pada faktor-faktor seperti komorbiditas, efek
samping, dan biaya. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih
lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.

17
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
a. Pyridostigmine
Penghambat asetilkolinesterase Sebagai terapi awal yang pada kasus myasthenia
gravis ringan, penghambat asetilkolinesterase memperlambat degradasi asetilkolin
dan Pyridostigmine adalah pilihan yang biasa dari asetil cholinesterase inhibitor.
Permulaan tindakannya cepat (15 sampai 30 menit) dan aksinya berlangsung
selama 3 sampai 4 jam. Bagi kebanyakan pasien, kisaran dosis efektif adalah 60
mg sampai 90 mg setiap 4 sampai 6 jam. Bentuk long acting juga tersedia dan
bisa diberikan sebagai dosis malam tunggal. Acetilkolinesterase inhibitor Dapat
diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis
parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan
mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau
im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan, memperpanjang pengaruhnya di
persimpangan neuromuskular, namun tidak mengubah gejala penyakit dan
manfaatnya ringan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,
sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis golongan IIA dan
IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat 14 diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.
b. Plasma Exchange (PE)
Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif,
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan

18
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang
akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Belum ada
regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti
sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.
Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam
pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Tetapi hal itu bukan
merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan,
dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. Pada lima pasien dengan
MG refrakter (cacat sedang sampai berat meskipun diobati dengan thymectomy,
prednisone dosis tinggi, dan inhibitor kolinesterase), plasmaferesis
dikombinasikan dengan terapi prednison dan azathioprine menghasilkan
perbaikan klinis, Penentuan kadar titer antibodi AChR serum menunjukkan
penurunan hingga rata-rata 21 persen dari tingkat dasar bersamaan dengan
peningkatan kekuatan. Pasien yang dirawat secara klinis mempertahankan titer
AChR yang diturunkan, sedangkan kekambuhan klinis dikaitkan dengan rebound
pada titer AchR. Plasmaferesis bukanlah pengobatan jangka panjang yang
berguna, karena kebutuhan akan pertukaran berulang sering menyebabkan
masalah pada akses vena.
Komplikasi Plasmapheresis berulang selalu menyebabkan akses vena perifer
yang tidak adekuat dan kemudian memerlukan penempatan kateter sentral lumen
ganda (subclavian atau internal jugular). Komplikasi kateter kronis yang
signifikan dapat terjadi, seperti infeksi dan trombosis. Selain komplikasi kateter,
plasmaferesis juga dapat menghasilkan efek samping lainnya termasuk Efek
samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama
pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang
dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE

19
berulangpendarahan, aritmia jantung, kram otot, dan reaksi toksik terhadap sitrat
yang digunakan dalam prosedur.

Terlepas dari kekhawatiran ini, plasmaferesis dapat digunakan dengan aman


untuk pasien dengan MG. Dalam sebuah analisis terhadap 42 pasien dengan MG
sedang sampai berat yang diobati dengan plasmaferesis dalam percobaan
prospektif, tidak ada komplikasi pada 55 persen dan komplikasi ringan sampai
sedang yang tidak memerlukan penghentian pengobatan pada 45 Efek samping
utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran
berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat
menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai
faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang Efek samping
dalam penelitian ini terutama adalah reaksi sitrat dan masalah akses vaskular
perifer yang mudah dikelola. Pada kebanyakan kasus, plasmapheresis dilakukan
pada pasien rawat jalan (90 persen) dengan menggunakan akses vena perifer (83
persen). 17,18,19

c. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)


Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-
activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak
dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 2 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-

20
asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Dalam percobaan 51 pasien dengan MG ringan sampai sedang
dan kelemahan yang memburuk secara acak diberikan pada IVIG (2 g / kg
diberikan selama dua hari) atau plasebo (volume dekstrosa setara 5 persen dalam
air) Kriteria eksklusi meliputi gangguan pernafasan, kapasitas vital <1 liter, dan
kesulitan menelan yang parah. Pasien yang diobati dengan IVIG menunjukkan
peningkatan yang sederhana,Peningkatan terus berlanjut namun gagal mencapai
signifikansi statistik pada hari ke 28. Dalam analisis subkelompok, perlakuan
IVIG adalah terkait dengan peningkatan klinis dan statistik yang signifikan pada
pasien dengan penyakit yang lebih parah pada onset penelitian namun tidak ada
perbaikan yang signifikan pada gejala yang ringan. Efek samping dari terapi
dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual
selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike
symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise
dapat terjadi pada 24 jam pertama. Nefrotoksisitas akut yang terjadi pada
beberapa pasien tampaknya terkait dengan kandungan sukrosa yang tinggi dari
beberapa preparat IVIG; risikonya meningkat dengan insufisiensi ginjal yang
mendasarinya. Anafilaksis dikaitkan dengan defisiensi IgA; Namun, jarang
terlihat pada pasien yang diobati untuk penyakit neuromuskular autoimun [28].
Kejadian trombotik yang terkait dengan penggunaan IVIG meliputi infark
miokard, stroke, dan emboli paru. 17,18,19
d. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada
respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga
tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai
dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

21
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi dan ulkus gaster. 17,18,19
b) Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine
dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki
efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai.
Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik
oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant
lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga

22
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain, Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersamasama
dengan azatioprin sangat dianjurkan. 17,18,19
c) Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. 17,18,19
d) Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan
secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM
memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
17,18,19

Thymectomy (Surgical Care)


Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa
miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia
gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan
yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi,
sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang

23
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan. Rekomendasi kami untuk
thymectomy adalah sebagai berikut:
• Untuk pasien usia <60 tahun dengan nevymomatous, generalisata
acetylcholine receptor (AChR) antibodi terkait MG, kami merekomendasikan
thymectomy.
• Untuk pasien usia <60 tahun dengan nonthymomatous, MG umum dan
tidak ada antibodi AChR atau MuSK yang terdeteksi (yaitu MG seronegatif),
kami menyarankan thymectomy.
• Untuk pasien dengan MGR antibodi MG terkait nonthymomatous, umum
dan untuk kebanyakan pasien ≥60 tahun, kami sarankan untuk tidak melakukan
thymectomy. 17,18,19

2.8 PROGNOSIS
Pada Miastenia gravis Ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada
Miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi,
timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan. Grob melaporkan angka
kematian 7 %, membaik 50 % dan tidak ada perubahan 30 %.

24
BAB III
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem
saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana
kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau aktivitas yang
dilakukan berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang
menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat
lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang. Pada umur 20-30 tahun Miastenia
gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60 tahun lebih
banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2). Diagnosis
Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CTScan
atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut


Neuromuskular. 6 th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
2. Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. . Myasthenia gravis:
past, present, and future. The Journal of Clinical Investigation 2006;116
3. Goday DA, Vaz de mello LJ, Masotti L, Napoli MD. The myasthenic
patient in crisis: an update of the management in neurointensive care unit.
Arq Neuropsiquiatr. 2013;71(9-A):627-39.
4. Myasthenia Gravis. Muscular Dystrophy association of New Zealand Inc.
2010
5. Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. . Myasthenia gravis:
past, present, and future. The Journal of Clinical Investigation
2006;116(Number 11).
6. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America 2008.
7. Hughes BW, Casillas, Maria Luisa Moro De , Kaminski, Henry J.,.
Pathophysiology of Myasthenia Gravis. Thieme Medical Publishers
2004;24 Number 1:p21-7.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of Neurology. In: Myasthenia
Gravis. Germany: Georg Thieme Verlag; 2006.
9. Christiane Schneider-Gold KVT. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl 2007.
10. Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2014.

11. Mehta S. Neuromuscular disease causing acute res- piratory failure. Respir
Care. 2006;51(9):1016–21.
12. diogo Fraxino de Almeida , Rafael de Figueiredo Radael. Ice pack test In
the dIagnosIs of myasthenIa gravIs. Arq Neuropsiquiatr 2008;66(1):96-98
13. Akshay G,H, Preeti PC, Devendra V , Rashmin. Ocular myasthenia gravis:
A review. Indian J Ophthalmol. 2014 Oct; 62(10): 985–991.

26
14. Wilkinson l, Lenox, Graham. Essential Neurology. In: Peripheral
Neuromuscular Disorders USA: Blackwell Publishing Ltd; 2005.
15. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of Neuromuscular
Diseases. In: Myastenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005. p.
p337-44. 13.
16. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. In: Myopathies. New York:
Thieme Verlag; 2004.
17. Shawn J Bird, MD. Treatment of myasthenia gravis. 2017
https://www.uptodate.com/contents/treatment-of-myasthenia-gravis#H14
18. YUEBING LI, YEESHU ARORA.Myasthenia gravis:
Newer therapies
offer sustained improvement. CLEVELAND CLINIC JOURNAL OF
MEDICINE. 2013;(80)
19. Aashit K,S FAAN, FANA. Myasthenia Gravis Medication. Clinical
Neurophysiology Fellowship, Detroit Medical Center, Wayne State
University School of Medicine. 2017

27

Anda mungkin juga menyukai