Anda di halaman 1dari 13

RADD DALAM HUKUM KEWARISAN DI TUNISIA

Oleh: Lilik Andar Yuni*

Abstract: according to etymology, radd means to return. In


its terminology, radd is returning what remain from the
deceased property to dzawil furudh nasabiyah pursuant to
their portion if there is no other heirs entitled to receive the
property. According to Maliki’s school of law, radd cannot
be returned to dzawil furudh nasabiyah; it should be given to
baitul mal (Islamic treasury), instead. Tunisia which adopts
Maliki’s school of law, interestingly, promulgate a somewhat
different concept of radd in its family law. This article
therefore is to discuss this inconsistency.
Kata Kunci: Radd, Kewarisan, Dzawil Furudh, Furudh Nasabiyah.

Pendahuluan
Islam diyakini sebagai agama yang selalu dapat menjawab
tantangan di setiap zaman dan tempat. Namun sayangnya klaim
tersebut tidak dibarengi dengan aplikasi ijtihad di lapangan. Hukum
Islam yang dipahami selama ini lebih banyak mengarah pada
seperangkat aturan yang merupakan produk ijtihad ulama masa lalu
dengan kondisi sosial dan budaya yang mengitarinya. Produk fiqh
dianggap sebagai refleksi hukum Tuhan yang tidak dapat dirubah dan
diganggu gugat, tanpa disadari pemahaman inilah yang justru
mengakibatkan sifat fleksibelitas Islam seakan-akan hilang, karena
hukum yang ditetapkan di suatu tempat dan waktu tertentu tidak harus
selalu diberlakukan di tempat dan waktu lain.
Dalam konteks hukum Islam, setelah melalui abad tengah yang
cenderung konservatif dan menolak adanya perubahan, maka sejak
abad modern para ahli hukum Islam semakin menyadari bahwa
perubahan baik melalui proses reformasi (islah) maupun pembaharuan
(tajdid) adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan (invisible).1
Pembaruan terhadap berbagai persoalan hukum ternyata juga
merambah pada kajian hukum keluarga, khususnya masalah
kewarisan2 salah satunya adalah masalah radd (sisa harta). Harta
warisan dapat dikatakan melebihi jumlah pembagian bila ahli waris
terdiri dari dzul furudh sesuai dengan saham mereka masing-masing.

*
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Syari’ah STAIN Samarinda.
1
Akh. Minhaji, Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, dalam :
Muhamadiyah dan Reformasi, (Yogyakarta : Majelis Pustaka, 1999), h. 45
2
Akh. Minhaji, Persoalan Gender Dalam Perspektif Metodologi Studi Hukum
Islam , dalam : Rekonstruksi Metodologi wacana Kesetaraan Gender dalam islam,
(Yogyakarta : PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h. 187
Lilik Andaryuni, Radd dalam Hukum Kewarisan…… 37

Dalam fiqh klasik ditegaskan apabila harta masih bersisa setelah


diberikan kepada dzul furudh sementara ahli waris ashabah tidak ada,
maka sisa harta tersebut akan dikembalikan kepada dzul furudh
kecuali suami isteri. Lalu bagaimanakah konsep radd dalam hukum
keluarga di Tunisia? Apakah sisa harta yang ada tersebut diberikan
kepada ahli waris dzul furudh saja ataukah juga diberikan kepada
suami isteri dari si pewaris. Dalam makalah singkat ini akan coba
membahas permasalahan tersebut, khususnya dalam hukum keluarga
di Tunisia, apakah konsep radd sebagaimana dirumuskan dalam
hukum keluarga tersebut mengacu pada aturan mazhab yang menjadi
anutan negara tersebut ataukah tidak.

Konsep Radd dalam Fiqh Klasik


Radd secara bahasa berarti mengembalikan3 atau memulangkan
kembali.4 Sedangkan secara istilah radd adalah pengembalian apa
yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiayh kepada mereka
sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain
yang berhak untuk menerimanya.5 Di mana dalam suatu pembagian
kewarisan sehubungan dengan kondisi ahli waris tertentu dan tidak
ada ashabah sehingga harta tirkah tidak habis terbagi, meskipun
pembagian itu telah sesuai dengan kadar pembagian masing-masing.6
Berdasar pemaparan di atas terlihat bahwa radd hanya bisa
terjadi apabila ada ashab al furudh, ada sisa harta, dan tidak adanya
ahli waris ashabah. Ketiganya itu harus ada, sebab kalau salah satu
dari tiga hal tersebut tidak ada tentu masalah radd tidak akan terjadi.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ada tidaknya
radd dalam pembagian harta warisan, karena tidak adanya nash yang
secara zahir menjadi rujukan. Pendapat pertama yang menolak adanya
radd adalah Zaid bin Tsabit dan sebagian kecil sahabat mengatakan
bahwa sisa harta tidak bisa dikembalikan kepada siapapun di antara
dzul furudh karena radd adalah melebihkan dari ketentuan nash. Sisa
harta yang ada itu diserahkan kepada baitul mal. Urwah dan Imam
syafii mengemukan hal yang sama dengan Zaid bin Tasbit.7

3
M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1995), h. 288. Lihat Juga Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam
Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), h. 103.
4
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Ttp. : Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), jilid
III, h. 306
5
Ibid.,
6
Taufik Abdullah (ed)Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), jilid 3, h. 116. Lihat juga Fatchur Rahman, Ilmu Waris,
(Bandung : PT. Al ma’arif, 1975), h. 616
7
Muhamad ibn Idris al-Syafii, Al-Umm, (Beirut : dar al Kutub al Ilmiyah,
1993), juz 4, h. 100. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, (Ttp.
: Maktabah al Kulliyah al azhariyah, 1969), juz II, h. 380
38 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Sementara fuqaha Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa


kelebihan harta peninggalan tersebut tidak boleh dikembalikan kepada
dzul al furudh tetapi harus diserahkan kepada baitul mal. Demikian
juga tidak boleh diserahkan kepada dzul arham baik keadaan kas
negara teratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak. Karena
hak pusaka terhadap kelebihan itu adalah di tangan orang-orang
muslim pada umumnya. Sebaliknya menurut fuqoha Malikiyah dan
fuqoha Syafi’iyah mutaakhirin apabila keadaan kas perbendaharaan
negara sudah tidak menjalankan fungsinya lagi sebagai tempat dana
sosial umat Islam, maka dibolehkan kelebihan harta tersebut
dikembalikan kepada dzul al furudh dan dzul arham menurut
perbandingan besar kecilnya saham mereka.8
Alasan yang menolak radd adalah bahwa Allah telah
menetapkan bagian dzul al furudh dengan nash zhahir QS. An Nisa :
176.

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).


Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu
dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,
maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa apabila hanya saudara


perempuan saja yang ada (menjadi ahli waris) maka ia menerima
separoh dari harta warisan dan apabila hanya saudara laki-laki yang
ada, ia menerima semuanya. Selanjutnya ayat ini juga menyatakan
bahwa apabila yang hidup itu saudara laki-laki dan saudara
perempuan, maka saudara laki-laki mendapat dua bagian dari saudara

8
Fathur Rahman, Op. Cit., h. 424-5
Lilik Andaryuni, Radd dalam Hukum Kewarisan…… 39

perempuan. Oleh karena itu tidak boleh menambah bagian yang telah
ditetapkan secara tegas oleh al Qur’an. Menambah bagian mereka
berarti melampui batas ketentuan Allah.9
Hadist Nabi “ Dari Umamah bin Al Bahili ia berkata :” Saya
telah mendengar rasul berkhutbah pada haji wadha’, sesungguhnya
Allah telah memberi hak kepada pemegang hak, ketahuilah tidak ada
wasiat untuk ahli waris.”
Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris dzul al
furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada
jalan untuk memilikinya, oleh karena itu harus diserahkan ke baitul
mal.10
Adapun kelompok yang menyetujui adanya radd adalah Imam
Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, ulama mutaakhirin dari Malikiyah
dan Syafiiyah, Syi’ah Zaidiyah dan Imamiyah.11 Menurut mereka
bahwa kelebihan harta dikembalikan kepada ahli waris yang ada
sesuai dengan kadar masing-masing.
Lalu siapakah yang berhak mendapatkan kelebihan harta ini,
bagi mereka yang mengakui adanya radd juga masih menimbulkan
perdebatan. Menurut Utsman ra. bahwa radd dapat diberikan kepada
seluruh ahli waris dzul al furudh sekalipun kepada suami isteri
menurut bagian mereka masing-masing.12 Alasan yang dikemukan
adalah andaikata jumlah saham-saham para ahli waris itu lebih
banyak dari asal masalah mereka semuanya kena pengurangan dalam
penerimaan menurut perbandingan bagian mereka masing-masing.
Maka demikian pula halnya apabila terdapat kelebihan dari harta
waris, tidak ada pengecualiannya. Semuanya harus mendapat
tambahan menurut perbandingan saham mereka masing-masing.13
Sementara menurut Ibn Mas’ud, tidak semua ahli waris dzul al
furudh dapat menerima radd. Mereka adalah suami, isteri dan mereka
yang menurut kasus furudhnya 1/6, karena dalil yang mendukung hak
1/6 ini lemah, yaitu saudara perempuan seayah, saudara perempuan
atau saudara laki-laki seibu dan nenek.14
Sedang menurut mayoritas fuqaha sahabat, ulama Hanafiah dan
Hanabilah menyatakan bahwa sisa harta diberikan kepada dzul al
furudh sesuai dengan bagian mereka kecuali suami isteri.15 Hal senada
juga dikemukakan oleh ulama Malikiyah dan Syafiiyah dengan syarat

9
Asyafi’I, Loc. Cit.
10
Muhamad Ali al – Syais, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Ttp.: t.pn., t.th.), juz II, h.
53
11
Fathur Rahman, Op. Cit., h. 426
12
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), juz 7,
h. 46
13
Fathur Rahman, Loc. Cit.,
14
Muhamad Abu Zahrah
15
Ibn rusyd, Loc. Cit.,
40 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

bila baitul mal tidak terurus.16 Suami isteri tidak dapat menerima radd
karena radd itu hanya berlaku untuk ahli waris sebab hubungan
kekerabatan, dan tidak berlaku untuk ahli waris disebabkan hubungan
perkawinan.17 Selain itu nash yang mengatur hak suami isteri
mengenai kewarisan telah demikian tegas dan diatur dalam ayat
kewarisan, sementara untuk kerabat selain diatur dalam ayat
kewarisan juga diatur dalam ayat yang lainnya, antara lain QS. Al
Anfal 75

Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagainnya


lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan
kerabat dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.

Berdasar ayat di atas adalah logis kiranya setelah dzul al furudh


diberi bagian sesuai dengan saham mereka masing-masing
sebagaimana ditegaskan dalam QS. An Nisa, kemudian jika masih ada
sisa, maka sisa tersebut lebih pantas diberikan kepada ahli waris dzul
al furudh yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih dekat kepada
orang yang meninggal.
Selain itu sisa harta dikembalikan kepada dzul al furudh tidak
diserahkan ke baitul mal karena nasab lebih utama dibandingkan
hubungan agama. Dzul al furudh mengumpulkan dua sebab, yaitu
hubungan agama dan hubungan nasab, sementara kaum muslimin
(baitul mal) hanya mempunyai satu sebab saja yakni hubungan
agama.18
Sedang di kalangan Syi’ah Imamiyah juga terdapat perbedaan
tentang memberikan sisa harta kepada suami isteri ketika ahli waris
yang lain tidak ada. Pertama, sisa harta diberikan kepada suami tidak
kepada isteri. Pandangan ini yang lebih mashur di kalangan mazhab
Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua, sisa harta
diserahkan kepada suami atau isteri secara mutlak dan dalam semua
keadaan. Ketiga, sisa harta diberikan kepada suami atau isteri

16
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr,
1989), h. 358
17
Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 104
18
Ibn Rusyd, Op. Cit., h. 381
Lilik Andaryuni, Radd dalam Hukum Kewarisan…… 41

manakala tidak ada imam yang adil. Kalau ada imam yang adil maka
sisa harta diserahkan kepada suami.19

Setting Sosial Negara Tunisia


Tunisia merupakan negara yang berbentuk Republik yang
beribukota di Tunis, yang dipimpin oleh seorang Presiden dengan
jumlah penduduk 7.424.000 (data tahun 1986)20. Tunisia yang terbagi
ke dalam 23 propinsi secara geografis terletak di Afrika Utara, sebelah
Barat berbatasan dengan Algeria, sebelah Utara dan Timur berbatasan
dengan Mediterania dan sebelah Selatan berbatasan dengan Libya.
Luas wilayah Tunisia adalah 163.610 km² terbagi ke dalam dua pulau
yaitu daerah Timur termasuk kepulauan Karkaun dan bagian Tenggara
termasuk kepulauan Djerba.21
Secara historis Tunisia bermula dari Dynasti Hafsid yang berdiri
pada tahun 1230. Tunisia kemudia menjadi bagian kerajaan Turki
Utsmani tahun 1574. Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Turki
Utsmani, Tunisia mengalami krisis nasional terus menerus hingga
akhirnya runtuhlah kedaulatan Tunisia pada masa Presiden Muhamad
ash-Shadiq (1859-1882). Setelah itu Tunisia menjadi negara
persemakmuran Perancis melalaui perjanjian Al-Marsa tahun 1883.
Pemerintahan Perancis atas Tunisia berlangsung sampai tahun 1956
dan pada tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi
mengakui kemerdekaan Tunisia.22
Pendudukan Perancis tahun 1883 sampai pertengahan abad 20
telah mempengaruhi kultur Tunisia khususnya dalam perkenalan dan
pemberlakuan hukum Barat.23 Kontak dengan Perancis tersebut juga
membawa dampak yang cukup serius bagi perubahan yang terjadi di
Tunisia. Data sejarah mencatat bahwa antara tahun 1885 sampai tahun
1912 tidak kurang dari 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke
Paris, sebaliknya orang-orang Perancis melakukan kolonisasi di

19
Muhamad Jawad Mughniayh, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhamad,
(Jakarta : Basri Press, 1994), h. 357
20
Data tahun 2000 menunjukkan jumalh penduduk Tunisia sebanyak
9.593.402 orang, dari jumlah tersebut 98% beretnik Arab, 1% Eropa, dan 1%
Yahudi. Lihat http:/tps.dpi.state.uc.us/connect Africa/Tunisia/default.html.
21
M. Atho Mudzhor dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab
Fiqh, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), h. 83. Lihat juga dalam Larry A. Barry,
“Tunisia” dalam Reeva S. Simon dkk (ed), Encyclopedy of Middle East, New York :
Simon and Schuster MacMillan, 1996, IV : 1794. Gary L. Flower, “Tunisa” dalam
Barnes Noble New American Encyclopedia, (ttp. : Glorier Incorporated Inc., 1979),
vol 19 : 335
22
Ibid., h. 84. Lihat juga The Encyclopedia of Islam New Edition, (London :
E.J. Brill, 2000), vol. X, h. 651-6, artikel Tunisia. Lihat juga Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, terj. Gufron A. Mas’adi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999),
h. 236
23
Ibid.,
42 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Tunisia. Tahun 1906 tercatat 34.000 orang tinggal di Perancis dan


tahun 1945 melonjak menjadi 144.000. Mereka mengenalkan
pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di
pihak lain, orang Tunisia yang belajar ke Paris, setelah kembali
mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan
Sadiqi College yang kemudian melahirkan Khalduniyah College yang
kemudian menjadi pusat gerakan The Young Tunisians.24
Mayoritas penduduk Tunisia adalah muslim. Gambaran ini
sekaligus menegaskan bahwa Tunisia termasuk negara dengan
penduduk yang hampir semuanya beragama yang sama. Lebih jauh
ditegaskan dalam konstitusi bahwa Islam adalah agama resmi
negara.25
Meskipun mayoritas penduduk Tunisia muslim, ternyata dalam
pengamalan agamanya tidaklah bermazhab sama. Hal ini terlihat
dalam praktek keberagamaan Tunisia yang terbagi ke dalam dua
mazhab, yakni mazhab Maliki dan Hanafi.26 Mazhab Maliki
mempunyai pengaruh yang sangat dominan di negara tersebut
dibandingkan dengan mazhab Hanafi yang dibawa oleh Dinasti
Utsmani.27

Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia


Pada tahun 1956 setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya,
melalui Presiden habib Bourgubia28 negara tersebut mengeluarkan
aturan-aturan yang kontroversial yang dikenal dengan “The Tunisian
Code of Personal Status” untuk menggantikan hukum al Qur’an
dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadanah. Aturan-aturan

24
HM. Atho Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan
Liberasi, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998), h. 112. Lihat juga Ira M. Lapidus,
Sejarah…h. 237-238
25
Konstitusi negara Tunisia diundangkan pada tanggal 1 Juni 1959. Pasal 1
konstitusi tersebut menyebutkan bahwa Islam merupakan agama resmi negara,
sedang dalam pasal 38 ditegaskan bahwa seoerang presiden harus beragama Islam.
Lihat lebih jauh dalam Abdullah Ahmad An Na’im (ed), Islamic Family Law in A
Changing World : A Global Resource Book, (London : Zet Books Ltd, 2003), h. 182
26
Pada umumnya rakyat Tunisia menganut mazhab Maliki. Sebelum tahun
1957 para qadi di Tunisia ada yang bermazhab Maliki dan ada yang bermazhab
Hanafi. Lihat dalam JND. Anderson, Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun
Husein, (Surabaya : CV. Amapress, 1991), h. 35. Lihat juga John L. Esposito,
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva YN ddk., (Bandung : Mizan,
2001), jilid 6, h. 56-7
27
M. atho Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga…,hal 84.
Tahir Mahmud, Personal Law in Islamic Countries, (New Dehli : Tri Parthi, 1987),
h. 150. Abdullah Ahmad An Na’im, Family Law …, h. 182
28
Habib Bourgubia (1903-2000) adalah Presiden pertama Republik Tunisia
yang berkuasa pada tahun 1957 sampai tahun 1987, lulusan dari University of Paris.
Lihat http :/ tps.dpi.state.uc.us / connect Africa/ Tunisia/ default.html.
Lilik Andaryuni, Radd dalam Hukum Kewarisan…… 43

baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional


bahkan menyatakan konfrontasi dengannya.29
Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga
Tunisia tersebut berawal dari adanya pemikiran dari sejumlah ahli
hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa dengan melakukan fusi
terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum
baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia.
Sejumlah ahli hukum Tunisia kemudian mengajukan catatan
perbandingan antara dua system hukum Hanafi dan Maliki yang
kemudian dipublikasikan dengan judul Laihat Majjalat al-Ahkam al-
syar’iyyah (Draft Undang-undang Hukum Islam). Pada akhirnya
pemerintah Tunisia membentuk sebuah komite di bawah pengawasan
Syeikh Islam Muhammad Ja’it untuk merancang undang-undang
secara resmi.30
Komite tersebut kemudian merancang dan mengajukan
rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah.
Rancangan tersebut bersumber dari Laihat Majjalat al-Ahkam al-
syar’iyyah, selain itu juga bersumber dari Hukum Keluarga Mesir,
Jordania, Syria dan Turki Utsmani. Setelah disetujui pemerintah
rancangan tersebut akhirnya diundangkan pada tanggal 1 Januari 1957
dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal
Status) 1956 yang berisikan 170 pasal. Undang-undang ini mengalami
beberapa kali perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan
baru.31
Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of
Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal 10-
28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan
anak (54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang
(81-84), kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-
199), dan hibah (200-213).32
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang
merupakan modifikasi dari undang-undang keluarga tahun 1956.
Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari komite

29
Ibid., Lihat juga John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of The
Muslim World, (New York : Oxford University Press, 1995), IV : 236
30
Atho Muzdhor dan Khaoiruddin Nasution, Hukum Keluarga …,h. 86. Tahir
Mahmod, Personal Law…,h. 152
31
Perubahan tersebut adalah UU No. 70 tahun 1958 dengan perubahan pada
pasal 18 tentang poligami, UU No. 77 tahun 1969, pasal yang dirubah adalah pasal
143 A tentang radd, buku IX tentang kewarisan, buku XI tentang wasiat, UU No. 41
tahun 1961, pasal yang dirubah adalah pasal 32 tentang perceraian, UU no. 17 tahun
1964 yang dirubah adalah buku XII tentang hibah, dan terakhir UU No. 49 tahun
1966, adapun pasal yang dirubah adalah pasal 57, 64, dan pasal 67 tentang
pemeliharaan anak. Lihat Tahir Mahmod, Personal Law.., h. 152-4
32
Ibid., h. 43-4
44 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

yang terdiri dari ahli hukum, yaitu pengacara, hakim, dan pengajar
hukum yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini
berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap hukum syari’ah yang
berhubungan dengan hak-hak keluarga.33

Radd dalam Kewarisan Hukum Keluarga Tunisia


Sebagai negara bekas jajahan Perancis, Tunisia melakukan
upaya pembaharuan yang paling radikal dibandingkan dengan negara
Timur Tengah lainnya, bahkan Tunisia maerupakan negara Timur
Tengah yang pertama kali menawarkan beberapa gagasan
pembaharuan hukum keluarga yang sama sekali berbeda dengan kitab-
kitab fiqh. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosio politik pada saat itu
di mana pemerintah menginginkan sekularisasi dan memperlemah
posisi ulama yang selama ini memiliki pengaruh yang dan basis
kekuatan sendiri.34 Oleh karena itu dalam undang-undang kewarisan
Tunisia menetapkan bahwa suami isteri mempunyai kedudukan yang
sama dengan dzul faraidh yang lainnya sehingga merekapun juga
berhak untuk mendapatkan sisa harta dalam kewarisan, hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 143 – A (1) yang menyatakan :
bahwa jika ada sisa harta dari si pewaris, sementara tidak ada
ashabah, maka sisa harta diberikan kepada dzul-faraid termasuk janda
atau duda dari si pewaris.35
Terlihat adanya perkembangan yang cukup menarik untuk dikaji
dari pasal yang membahas masalah radd sebagaimana dipaparkan
diatas. Negara Tunisia meskipun mayoritas penduduknya bermazhab
Malikiyah, tetapi dalam permasalahan radd tidak menganut mazhab
Malikiyah. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dalam mazhab
Maliki apabila ada sisa harta, maka sisa harta harta tersebut
dikembalikan ke baitul mal dan tidak boleh diberikan kepada dzul
faraid, sebaliknya sisa harta boleh diberikan kepada dzul faraid
apabila baitul mal dianggap tidak mampu mengatur kas umat
Selanjutnya dalam mazhab Maliki juga disebutkan bahwa suami isteri
tidak dapat menerima radd karena radd itu hanya berlaku untuk ahli
waris sebab hubungan kekerabatan, dan tidak berlaku untuk ahli waris
disebabkan hubungan perkawinan.
Nampaknya ketentuan tentang radd dalam hukum keluarga
Tunisia ini lebih mengacu kepada konsep radd sebagaimana
ditegaskan oleh Ustman bahwa radd dapat diberikan kepada seluruh

33
Ibid.,
34
John L. Esposito, Op. Cit., h. 58
35
Bandingkan dengan Hukum Keluarga Syria pasal 288 UU No. 34 tahun
1975 yang menyatakan bahwa (a) Sisa harta dikembalikan kepada ahli waris dzul
furudh selain suami isteri apabila tidak ada ashabah (b) sisa harta dapat
dikembalikan kepada suami isteri jika tidak ada ahli waris dzul furudh, ashabah dan
dzul arham.
Lilik Andaryuni, Radd dalam Hukum Kewarisan…… 45

ahli waris dzul al furudh termasuk juga suami isteri menurut bagian
mereka masing-masing.
Apabila ketentuan radd sebagaimana diformulasikan dalam pasal
143 – A (1) Hukum Keluarga Tunisia tersebut, di mana duda/janda si
pewaris berhak mendapatkan bagian dari sisa harta kita tarik dalam
konteks Indonesia, maka apa yang diatur dalam hukum keluarga
Tunisia tersebut terlihat lebih maju dan spesifik. Tentang radd dalam
KHI diatur dalam pasal 192 di mana dalam pasal tersebut hanya
diuraikan tentang pengertian radd, tetapi tidak dijelaskan siapa-siapa
di antara ahli waris yang berhak mendapatkan radd tersebut.36 Hal ini
berbeda dengan rumusan dalam pasal 143-A (1) Hukum Keluarga
Tunisia, karena selain disebutkan bahwa zawil furud berhak untuk
mendapatkan radd juga janda/duda dari si pewaris mendapatkan
bagian dari radd tersebut.
Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Untuk Indonesia, si
janda/duda dari sipewaris akan mendapatkan bagian apabila dikaitkan
dengan harta bersama37.Berdasarkan UU No.1/1974 dan Kompilasi
Hukum Islam ditetapkan bahwa apabila terjadi perceraian baik cerai
mati maupun cerai hidup maka setengah dari harta bersama itu adalah
milik isteri.38 Dalam UU No.1/1974 masalah harta bersama hanya
diatur secara singkat dan umum dalam Bab VII, terdiri dari 3 pasal
yaitu pasal 35, 36, dan 37. UU ini menyerahkan pelaksanaan
penerapan harta bersama ini berdasarkan ketentuan nilai-nilai hukum
adat. Ini terlihat dalam pasal 37: “ Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.”39 Sementara dalam KHI Bab XIII pasal 96 (1) dinyatakan:
“Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menajdi hak
pasangan yang hidup lama.”40

Penutup
Demikianlah pembahasan radd dalam kewarisan hukum kelurga
di Tunisia. Dengan berdasar pada reformasi hukum sebagaimana
diperkenalkan oleh Tahir Mahmud, yakni intra doctrinal reform dan
ekstra doctrinal reform, maka reformasi hukum yang dilakukan oleh
Tunisia merupakan intra doctrinal reform, yang dalam istilah

36
Lihat KHI pasal 192
37
Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan
atas kegiatan usaha suami isteri. Lihat Nani Soewondo, Kedudukan Wanita
Indonesia Dalam Hukum dan Masyaraka,t (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984) h. 129
38
Bustanul Arifin, “Kedudukan Wanita Islam dalam Hukum”, dalam Wanita
Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : INIS, 1993) h. 51
39
UU Perkawinan No.1/1974 (Surabaya: Arkolo, t.th) h. 10
40
Cik Hasan Bisri (ed.), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta : Logos, 1999) h. 170
46 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Anderson41 dan Coulson42 disebut dengan istilah takhayur atau elektik


yakni umat muslim bebas memilih pendapat para imam mazhab untuk
dipegangnya dan terbuka peluang untuk melakukan seleksi untuk
disesuaikan dengan kemaslahatan masyarakat, yakni meskipun
mazhab yang dominan di Tunisia adalah mazhab Maliki, tetapi dalam
permasalahan radd nampaknya negara tersebut lebih cenderung
mengacu konsep radd sebagaimana dikemukakan oleh Usman.

DAFTAR PUSTAKA

Na’im, Abdullah Ahmad , (ed), Islamic Family Law in A Changing


World : A Global Resource Book, London : Zet Books Ltd,
2003
Minhaji, Akh., Persoalan Gender Dalam Perspektif Metodologi Studi
Hukum Islam , dalam : Rekonstruksi Metodologi wacana
Kesetaraan Gender dalam islam, Yogyakarta : PSW IAIN
Sunan Kalijaga, 2002.
Minhaji, Akh., Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,
dalam : Muhamadiyah dan Reformasi, Yogyakarta : Majelis
Pustaka, 1999.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam
Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung,
1984.
Arifin, Bustanul, “Kedudukan Wanita Islam dalam Hukum”, dalam
Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan
Kontekstual Jakarta: INIS, 1993.
Bisri, Cik Hasan, (ed.), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional Jakarta: Logos, 1999
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al ma’arif, 1975.
Muzdhar, HM. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi
dan Liberasi, Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998.
Muzdhar, HM. Atho dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Modern : Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fiqh, Jakarta :
Ciputat Press, 2003.
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, Ttp. :
Maktabah al Kulliyah al azhariyah, 1969, juz II.
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., juz
VII.

41
J.N.D. Anderson, Lawfoem Indonesia The Muslim World, (London : The
Athlone Press, 1976), h. 43-7
42
NJ. Coulson, A History of Islamic law, (T.tp. : Eidenburgh University Press,
1964), h. 181- 217
Lilik Andaryuni, Radd dalam Hukum Kewarisan…… 47

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Gufron A. Mas’adi,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.
Anderson, J.N.D., Lawfoem Indonesia The Muslim World, London :
The Athlone Press, 1976.
Esposito, John L., (ed), The Oxford Encyclopedia of The Muslim
World, New York : Oxford University Press, 1995, IV.
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva
YN ddk., Bandung: Mizan, 2001, jilid VI.
Mujieb M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus,
1995.
Syais, Muhamad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Ttp.: t.pn., t.th., juz II.
Syafii, Muhamad ibn Idris, Al-Umm, Beirut : dar al Kutub al Ilmiyah,
1993, juz IV.
Jawad Mughniayh, Muhamad, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif
Muhamad, Jakarta : Basri Pustaka, 2000.
Soewondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan
Masyarakat Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984.
Coulson, NJ., A History of Islamic law, T.tp. : Eidenburgh University
Press, 1964.
Simon, Reeva S. dkk (ed), Encyclopedy of Middle East, New York :
Simon and Schuster MacMillan, 1996, IV : 1794. Gary L.
Flower, Encyclopedia of Islam New Edition, London : E.J.
Brill, 2000, vol. X.
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Ttp. : Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.,
jilid III.
Mahmud, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, New Dehli : Tri
Parthi, 1987.
Abdullah, Taufik, (ed)Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, jilid III.
Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, Damaskus : Dar al-
Fikr, 1989.
http :/ tps.dpi.state.uc.us / connect Africa/ Tunisia/ default.html.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai