Anda di halaman 1dari 21

Laporan Praktek Klinik

Di Bangsal Bedah Saraf Lontara 3 bawah depan

RSUP. DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN AKTIVITAS


FUNGSIONAL TETRAPLEGI AKIBAT SPINAL CORD INJURY COMPRESSI C2-C4”

OLEH :

INDAH YULIANI

PO. 714241141014

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

JURUSAN FISIOTERAPI
BAB I

PENDAHULUAN

Spinal cord injury( SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal
cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun
sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord injury (SCI) didiagnosis setiap
tahunnya, dan lebih dari 80 % adalah laki – laki berusia sekitar 16 sampai 30 tahun.
Trauma ini disebabkan oleh kecelakaan lalulintas 36 %, karena kekerasan 28,9 %, dan
jatuh dari ketinggian 21,2 %, jumlah paraplegi lebih banyak dari pada tetraplegi dan
sekitar 450.000 penduduk di Amerika hidup dengan SCI (The National Spinal Cord
Injury, 2001). Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI, tergantung
pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan mendapat
perawatan medis setelah trauma.
Cedera cervikal adalah cedera tulang belakang yang paling sering dapat
menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian ternyata terdapat
korelasi tingkat cedera Cervikal dengan morbiditas dan mortalitas, artinya semakin
tinggi tingkat cedera cervikal maka semakin tinggi pula morbiditas dan
mortalitasnya.1-3 Sebanyak 10% penderita dengan penurunan kesadaran yang dikirim
ke IGD (Instalasi Gawat Darurat) oleh karena kecelakaan lalu lintas selalu mendapat
cedera cervikal, baik cederanya pada tulang cervikal, jaringan penunjang, dan cedera
pada cervical spine. Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh adalah penyebab sebagian besar
trauma pada cervikal. Hampir selalu dipikirkan bahwa akan terjadi trauma cervikal
pada penderita dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor kecepatan tinggi,
trauma pada wajah dan kepala yang signifikan, terdapat defisit neurologis, nyeri pada
leher, dan trauma multiple.
Pada kasus trauma yang berat, kesembuhan tergantung pada luasnya derajat
kerusakan, prognosis akan semakin baik bila pasien mampu melakukan gerakan yang
disadari atau dapat merasakan sensasi dalam waktu yang singkat Trauma pada cervical
dapat mengakibatkan seseorang mengalami penurunan kemampuan bernafas dan
kelemahan pada lengan, tungkai dan trunk atau yang disebut tetraplegi.
BAB II
PEMBAHASAN
ANATOMI FISIOLOGI

2.1 Anatomi Columna Vertebralis

Columna vertebra merupakan struktur tulang penyokong utama tubuh.Vertebra


tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga toraks, ekstremitas atas, pelvis,
dan menyalurkan berat tubuh ke ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini
memberikan perlindungan yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada didalamnya,
antara lain medulla spinalis, nervus spinalis, dan meninges. Kolumna vertebralis terdiri
dari 33 vertebrae (Gambar 1), antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbar, 5 sakral
(bergabung menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan fibrocartilage diantara
tiap segmen yang disebut diskus intervertebralis. Walaupun terdapat perbedaan secara
regional pada segmen-segmen tersebut, namun secara umum terdapat pola anatominya
hamper mirip.

Vertebra umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di
posterior, dan diantaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen vertebralis
yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebra terdiri dari
sepasang pedikel dan laminae. Arkus vertebralis membentuk 7 prosesus, antara lain
satu prosesus spinosus, dua prosesus tranversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus
spinosus merupakan sambungan dari kedua laminae, sedangkan prosesus transversus
terletak diantara laminae dan pedikel. Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas
pengungkit dan menjadi tempat perlekatan otot dan ligamen. Prosessus artikularis
terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua prosesus inferior, kedua prosesus
tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan superior
notch yang membentuk foramen intervertebralis (dari dua vertebra). Sendi dari
kolumna vertebralis terbagi menjadi 2, antara lain sendi antara dua korpus vertebra
yaitu fibrocartilaginous joint dari diskus intervertebralis dan sendi antara dua arkus
vertebralis yaitu sendi sinovial antara prosesus artikularis.
Terdapat 6 ligamen di sekitar kolumna vertebralis, antara lain ligamen anterior
longitudinal dan posterior longitudinal (ligamen di sekitar korpus) dan ligamen
supraspinatus, interspinatus, intertraversum, dan flavum (ligamen diantara arkus
vertebralis). Pada daerah servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus bergabung
membentuk ligamentum nuchae.
Gambar 1. Gambaran kolumna vertebralis.

SUMBER : SOBOTTA JILID 2 ED, 21


Gambar 2. A. Gambaran kolumna vertebralis dari lateral. B. Fitur umum dari tiap
vertebra
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
2.2 Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari


foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang
kanal vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan
dengan medulla oblongata di otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di
batas bawah vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra
lumbar ketiga pada anak-anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan meninges,
antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis
(LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan perlindungan
tambahan bagi medulla spinalis.

Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12


segmen torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar
4). Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31
pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots (radiks) dan sensory
atau posterior root. Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah
munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai C7
muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 diantara kolumna
vertebralis C7-T1.5 Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna vertebralis
yang bersangkutan.

Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-
otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah.5 Beberapa
dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus
spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah
areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6
(ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial
antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas
bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2 (bagian anterior dari
femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-5
dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).

Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal.4,5 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending (sensorik) dan
descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10 lamina
atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang tersusun dari nukleus-
nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron

2.3 DEFENISI

Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai
cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional,
baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom .
Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat
yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih (Fransisca, 2008).

Kondisi kelumpuhan yang mempengaruhi empat anggota badan secara


bergantian disebut tetraplegia atau quadriplegia. Quadriplegia menggabungkan akar
kuadrat Latin, untuk "empat", dengan akar Yunani πληγία plegia, untuk "kelumpuhan".
Tetraplegia menggunakan akar Yunani τετρα tetra untuk "empat". Quadriplegia adalah
istilah umum di Amerika Utara; Tetraplegia lebih umum digunakan di Eropa.
Tetraplegia, juga dikenal sebagai quadriplegia, adalah kelumpuhan yang disebabkan
oleh penyakit atau cedera yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau total
penggunaan keempat tungkai dan batang tubuh

2.4 Klasifikasi SCI


Standar Internasional untuk Klasifikasi Neurologis dan Fungsional Spinal Cord
Injury (ISNCSCI) adalah sistem diterima secara luas menggambarkan tingkat dan
luasnya cedera didasarkan pada sebuah motor yang sistematis dan pemeriksaan
sensorik fungsi neurologis. Terminologi berikut telah mengembangkan sekitar
klasifikasi cedera tulang belakang:

1. Tetraplegia (menggantikan istilah quadriplegia): Cedera


pada saraf tulang belakang di daerah leher rahim, dengan
hilangnya kekuatan otot terkait di semua 4 ekstremitas.
2. Paraplegia: Cedera di sumsum tulang belakang dalam,
segmen toraks lumbal, atau sakral, termasuk cauda equina
dan konus medullaris.

Cedera tulang belakang diklasifikasikan sebagai lengkap dan tidak lengkap oleh
klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA). Skala ASIA menilai pasien
berdasarkan gangguan fungsional akibat cedera, menilai pasien dari A ke D

(lihat tabel 1 untuk kriteria). Ini memiliki konsekuensi yang cukup besar untuk
perencanaan dan terapi bedah.

Tabel 1: skala gangguan ASIA [5]

A Lengkap tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang diawetkan di


segmen sakral S4-S5.
B Tidak lengkap sensorik tapi bukan fungsi motorik yang diawetkan di
bawah tingkat neurologis dan mencakup segmen sakral S4-S5.
C Fungsi motorik tidak lengkap dipertahankan di bawah tingkat neurologis,
dan lebih dari separuh otot kunci di bawah tingkat neurologis memiliki
nilai otot kurang dari 3.
D Fungsi motorik tidak lengkap dipertahankan di bawah tingkat neurologis,
dan setidaknya setengah dari otot kunci di bawah tingkat neurologis
memiliki kadar otot 3 atau lebih.
E Motor normal dan fungsi sensorik normal.
2.5 Penyebab

Tetraplegia disebabkan oleh kerusakan pada otak atau sumsum tulang belakang
pada tingkat tinggi C1-C7 khususnya, cedera tulang belakang yang sekunder akibat
cedera pada tulang belakang servikal. Cedera dikenal juga sebagai lesi, menyebabkan
korban kehilangan fungsi parsial atau total keempat tungkai, yang berarti lengan dan
kaki. Tetraplegia didefinisikan dalam banyak cara, C1-C4 biasanya mempengaruhi
gerakan lengan lebih banyak daripada cedera C5-C7 Namun, semua tetraplegi memiliki
atau memiliki beberapa jenis disfungsi jari. Jadi, tidak jarang memiliki tetraplegic
dengan lengan berfungsi penuh tapi tidak ada kontrol saraf jari dan jempol mereka.

Penyebab khas kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan lalu lintas,
menyelam ke air dangkal, jatuh, cedera olahraga), penyakit (seperti myelitis melintang,
multiple sclerosis, atau polio), atau kelainan bawaan (seperti distrofi otot) . Hal ini
mungkin untuk menderita patah leher tanpa menjadi tetraplegic jika vertebra retak
atau terkilir tapi sumsum tulang belakang tidak rusak. Sebaliknya, adalah mungkin
untuk melukai sumsum tulang belakang tanpa menembus tulang belakang, misalnya
saat cakram atau tulang yang pecah memacu tulang belakang menonjol ke kolom tulang
belakang

2.6 Etiologi

Cedera tulang belakang yang paling sering traumatis, disebabkan oleh lateral yang
lentur, rotasi dislokasi, pemuatan aksial, dan hyperflexion atau hiperekstensi dari kabel
atau cauda equina. Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling umum dari
SCI, sedangkan penyebab lain meliputi jatuh, kecelakaan kerja, cedera olahraga, dan
penetrasi seperti luka tusuk atau tembak. SCI juga dapat menjadi asal non-traumatik,.
Seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram intervertebralis, cedera tulang
belakang dan penyakit sumsum tulang belakang vascular.

2.7 Manifestasi klinis

Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera
pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas
klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien
yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan
pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan
kerusakan akibat cedera tulang belakang.

2.8 Patofisiologi

Tekanan atau compressi pada spinal cord dapat menimbulkan kerusakan dan deficit neurologis.
Sumber tekanan yang menyebabkan injury pada column vertebral antara lain fraktur, dislokasi,
kompressi dan subluksasi) atau trauma tembus. Penyebab SCI dapat berupa mekanisme cedera
primer maupun sekunder. mekanisme primer terdiri atas 4 yaitu hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi
vertical dan rotasi berlebihan. Cedera sekunder terdiri dari shock neurologis, hemoragik, iskemia dan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Setelah terjadi cedera pada medula spinalis, lalu muncul odema dalam 1 jam pertama dan sering
menyebar disepanjang segmen medula spinalis, biasanya menyebar minimal pada 2 segment dari sisi
cedera. Edema disebabkan oleh asam arachidonic dan metabolit seperti prostaglandin, tromboksan
dan leukotrin. Puncak dari edema pada medula spinalis yaitu dalam 2-3 hari dan berkurang dalam 7
hari pertama setelah cedera. Degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera bersifat reversibel 4-6
jam setelah cedera (Smeltzer & Bare, 2006).

2.9 Prognosis

Penundaan diagnosis cedera tulang belakang servikal memiliki konsekuensi serius


bagi korban. Sekitar satu dari 20 fraktur serviks luput dan sekitar dua pertiga dari pasien ini
mengalami kerusakan tulang belakang yang lebih jauh. Sekitar 30% kasus keterlambatan
diagnosis cedera tulang belakang serviks mengalami defisit neurologis permanen. Pada
daerah lesi yang tinggi kelumpuhan total dari leher bisa terjadi. Pasien dengan Tetraplegi
level tinggi (C4 dan yang lebih tinggi) kemungkinan akan membutuhkan perawatan dan
bantuan konstan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
BAB III
STATUS KLINIK
A. Laporan Status Klinik
Tanggal : 4 MEI 2017

B. Data-data Medis
1. Diagnosa Medis : Tetraplegi et causa spinal cord injury
2. Catatan Klinis : Pasien saat ini ada riwayat TB paru
3. No. Rekam Medik : 79-58-59
4. Ruang : Kamar 5 bed 4, Lontara 3 bedah saraf

C. Keterangan Umum Penderita


 Anamnesis Umum
Nama : Petrus Lefteuw
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Pekerjaan : -
Agama : Kristen Katolik
Alamat : Kelanit tual Ambon, Maluku Utara

 Anamnesis Khusus
a. Keluhan utama : Kelemahan pada keempat ekstremitas
b. Letak keluhan : Semua anggota gerak
c. Lama keluhan : 1 bulan yang lalu
d. Sifat Keluhan : Kelemahan
e. Penyebab : Trauma (kecelakaan)
f. RPP : Dialami sejak 1 bulan yang lalu , Pasien mengalami
kecelakaan lalulintas yang menyebabkan pasien terjatuh dengan kepala membentur
aspal. Pasien selanjutnya dilarikan ke rumah sakit di Tual, Lalu dirujuk ke RSUP,Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Hasil rekam medik medik menyatakan pasien mengalami
trauma pada C2 – C4 yang mengakibatkan penyempitan discus intervertebralis .
g. Rencana Operasi : Ada
h. Riwayat sekarang : BAB dan BAK belum bisa dikontrol.
i. Riwayat penyakit penyerta : Bronkitis disertai bronkiektasis

D. Pemeriksaan Vital sign


1) Tekanan darah : 110 / 70 MmHg
2) Denyut nadi : 80 x /menit
3) Pernapasan : 20 x / menit
4) Temperatur : 36,5 ‘C

E. Inspeksi
a. Statis
- Pasien tidur terlentang di bed dengan raut wajah pasien tampak lemas , posisi kedua
lengan ekstensi elbow, dan eksorotasi hip
- Kelemahan pada ke empat ekstremitas
- adanya odema pada knee
- adanya decubitus
- terpasang cervical collar
- terpasang katetter.
b. dinamis
-Pasien tidak mampu menggerakan ke empat ekstremitasnya.

F. Palpasi :
- Tonus otot : Hypotonus
- Nyeri tekan : ada pada lengan atas
- Spasme : tidak ada
- Suhu : normal
 Tes VAS
:
0 8 10
Hasilnya : nilai 8

G. Pemeriksaan Gerakan Fungsi Dasar


 Aktive : Tidak dapat dilakukan
 Passive
EKSTREMITAS ATAS
Shoulder joint
 Fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.580
 Abduksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.750
Elbow joint
 Fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.1450
Wrist joint
 Dorso fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.900
 Palmar fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.900

EKSTREMITAS BAWAH
Hip joint
 Fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.680
 Abduksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.400
 Adduksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.300
Knee joint
 Fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 50.00.680
Ankle joint
 Dorso fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.350
 Plantar fleksi : dapat dilakukan dengan ROM S 00.00.50
 TIMT : Tidak dapat dilakukan
H. Pemeriksaan Spesifik

 Tes Tonus ( Menggunakan Skala ASWORTH)

Grade Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya tahanan minimal
pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

2 (1+) Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian
gerakan pada pertengahan ROM dan diikuti adanya tahanan minimal sepanjang
sisa ROM

3 (2) Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM tapi sendi
masih muda digerakkan

4 (3) Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak pasif sulit dilakukan

5 (4) Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi

Prosedur : Fisioterapi menggerakan persendian pada lengan dan tungkai kaki pasien disertai
melakukan palpasi.

Hasil : hypotonus( nilai 1)

 Tes Refleks

 Babinsky

posisi tidur terlentang, tarik garis dari tumit ke arah lateral kaki menuju jari-jari
kaki dengan cepat.
Hasil : tidak ada refleks
 KPR dan APR
 KPR : Pasien tidur terlentang, ketuk tendon patella dengan hammer.
APR : Pasien tidur terlentang, ketuk tendon achilles dengan hammer.
Hasil : tidak ada
 Tes Sensorik

Fisioterapi mencubit atau menggores pada ekstremitas atas dan bawah pasien
Hasil : Ektremitas Atas : tidak ada
Ekstremitas Bawah : tidak ada
 Tes Motorik

Hasil : tidak dapat dilakukan

 Pemeriksaan Kognitif

Pasien diajak berbicara dengan memberikan beberapa pertanyaan


Hasil : komunikasi baik

 Pemeriksaan Koordinasi

-Finger to finger
-Finger to nose
Hasil : tidak dapat dilakukan
 MMT

Grade Keterangan
0 Otot benar-benar diam pada palpasi atau inspeksi visual( tidak ada kontraksi)
1 Otot ada kontraksi, baik dilihat secara visual atau palpasi ,ada kontraksi satu
atau lebih dari satu otot.
2 Gerak pada posisi yang meminimalkan gaya gravitasi. Posisi ini sering
digambarkan sebagai bidang horizontal gerakan tidak full ROM
3 Gerakan melawan gravitasi dan full ROM
4 Resistance Minimal
5 Resistance Maksimal
Hasil : nilai 1
 Pengukuran Lingkar Otot
Ekstremitas atas
- Lengan Atas : dextra 18, sinistra 18
- Lengan Bawah : dextra 17, sinistra 17
Panjang Lengan : 55

Ekstremitas Bawah

- Tungkai Atas (HIP) : dextra 33, sinistra 33


- Tungkai Bawah : dextra 25, sinistra 25
Panjang tungkai : 84

 Pemeriksaan Tambahan

 Hasil Pemeriksaan Radiologi ( Foto leher AP + Lateral Diagnosa) :

- Destruksi CV C2- C4 yang menyempitkan discus intervertebralis pada level


tersebut
- Terpasang Gastric
 Hasil Pemeriksaan Radiologi ( MSCT Thorax (tanpa kontras))
- Gambaran Bronhitis disertai Bronchiectasis

I. DIAGNOSIS FISIOTERAPI
“Penatalaksaan Fisioterapi pada Gangguan aktivitas fungsional Tetraplegi et causa
spinal cord injury akibat kompresi C2-C4”

J. PROBLEMATIK
a. Kelemahan pada ke empat ekstremitas
b. Keterbatasan ROM
c. Dekubitus
d. Gangguan pola nafas
K. PROGRAM FISIOTERAPI
- Rencana Tindakan Fisioterapi
1.Jangka panjang :
Mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional serta Activity daily Living
pasien.
2.Jangka pendek :
a. Meningkatkan Tonus otot
b. Meningkatkan ROM
c. Mencegah decubitus
d. Menjaga dan meningkatkan sifat fisiologis paru

L. Rencana Intervensi Fisioterapi


a. Passive Exercise
b. Possitioning
c. Breathing Exercise
d. Massage

M. Intervensi Fisioterapis
1. Passif Exercise

Tujuan : upaya memelihara sifat fisiologis otot

Teknik : posisi tidur terlentang, kemudian fisioterapi memberikan latihan pasif


pada ke empat ekstremitas.

Time : batas toleransi pasien , pengulangan 8 kali pada setiap ekstremitas.

2. Positioning

Tujuan : mencegah dekubitus

Teknik : fisioterapis memposisikan dan mengajarkan pasien melakukan

perubahan posisi (terlentang, miring kiri , kanan)

Time 15 menit,paling lama 2 jam.


3. Breathing Exc

Tujuan : memelihara, menjaga dan meningkatkan sifat fisiologis paru


a. Teknik :
- Pasien terlentang lalu ibu jari terapis tepat pada Xypodeus
kemudian instruksi pasien tarik napas melalui hidung dan
hembuskan melalui mulut lalu beri penekanan pada lateral
costa pada akhir pernafasan agar ekspirasi lebih maksimal.
- Instruksikan pasien untuk menarik nafas melalui hidung
sambil mengangkat kedua tangannya, selanjutnya
hembuskan melalui mulut dengan posisi tangan kembali
seperti semula
Time : minimal 3 kali sehari dengan beberapa teknik modifikasi breathing.

4. Massage
Tujuan : Melancarkan sirkulasi darah
Jenis/metode : Efflurage
Time : 3 kali sehari setiap dilakukan tindakan fisioterapi lainnya.

N. EVALUASI
- Sensorik dan motorik bertambah nilai 1.
- Tonus meningkat menjadi nilai 1
- VAS:
0 6 10
Hasil :Adanya penurunan nyeri dari 8 menjadi 6.

O. HOME PROGRAM
- Keluarga pasien diajarkan cara memberikan latihan yang telah di lakukan
oleh fisioterapis seperti latihan pernafasan(breathing exc), passive exc .
- Memberikan penyanggah pada telapak kaki pasien agar ankle dalam
posisi anatomis sehingga mencegah terjadinya pemendekan tendon
achilles.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. KESIMPULAN
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera atau kerusakan pada medulla spinalis
yang menyebabkan perubahan pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom, baik
secara sementara maupun permanen.
Tetraplegia, atau quadriplegi adalah kelumpuhan yang disebabkan oleh penyakit
atau cedera yang mengakibatkan kelumpuhan pada keempat ekstremitas.
Fisioterapi sangat berperan dalam menjaga,meningkatkan,memelihara dan
mengembalikan kapasitas fisik pasien, terutama pada kasus-kasus spinal cord injury
dengan cara pemberian latihan latihan yang bermanfaat bagi pasien.

B. SARAN
- Keluarga disarankan untuk melakukan latihan latihan seperti apa yang telah
diajarkan dan dilakukan oleh fisioterapis secara rutin, agar sifat fisiologis dan
fungsional dari tubuh dapat terjaga.
- Bagi fisioterapis diharapkan dapat melakukan tugasnya secara profesional dan
tepat agar penatalaksanaan, pemeriksaan dan intervensi yang diberikan efektif
dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance.
Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded from: https://www.nsisc.uab.edu

 Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal Cord.
Emedicine Medscape 2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall
 Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall

"Spinal Cord Injury: Paraplegic & Quadriplegic, Tetraplegic Information". Apparelyzed.com: Spinal
Cord Injury Peer Support. Retrieved 24 April 2013.

"Spinal Cord Injury Statistics". Foundation for Spinal Cord Injury Prevention, Care & Cure. June 2009.
Retrieved February 4, 2017.

"Spinal Cord Injury". American Association of Neurological Surgeons. May 2016. Retrieved February
4, 2017

Rusli,H.Muthia,St.Hasbiah. Fisioterapi Respirasi.2009.

Ahmad,hasnia.Aras,Djohan.Ahmad,Arisandy.Palpasi anatomi otot.2015

MMT(Manual Muscle Testing)by Hj.Hasnia Ahmad

Skala ASWORTH.by Hj.Hasnia Ahmad

Anda mungkin juga menyukai