Anda di halaman 1dari 4

SISTEM PERLINDUNGAN ANAK (Siluet Perlindungan

Anak di Indonesia)
04.06.2013

Pengirim : DINAH PANGESTUTI, M.Si.

ABSTRAK

Anak dalam masyarakat dan budaya Indonesia sering digambarkan sebagai pembawa kebahagian
bagi orang tuanya dan selalu diharapkan kehadirannya dalam suatu rumah tangga. Maka tak
heran jika anak akan selalu memperoleh perhatian, kasih sayang dan perlindungan yang besar
dari keluarganya. Dan Negara pun menetapkan banyak hak-hak yang harus diperolehnya agar
dapat tumbuh serta berkembang dengan baik dan wajar.

Akan tetapi dalam kenyataan akhir-akhir ini sangat bertolak belakang dengan gambaran tersebut
di atas. Anak sering terlihat hanya sebagai obyek perlakuan salah dan kemauan orang-orang
dewasa di sekitarnya. Entah sebagai sasaran kekerasan, komuditas yang menguntungkan bahkan
sebagai alat pemuas seksual.

Tulisan singkat ini akan mengurai hal-hal yang berkaitan dengan kondisi sistem perlindungan
anak melalui sistem kesejahteraan sosial untuk anak dan keluarga; khususnya yang berkaitan
dengan perlindungan anak dari perlakuan salah, penelantaran dan eksploitasi serta kebijakan-
kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.

Pendahuluan

Ketika seorang ibu atau ayah sedang bersenandung meninabobokkan buah hatinya, terdengar
begitu indah menyejukkan jiwa siapapun yang mendengarnya. Terbersit ungkapan betapa orang
tua sangat menyayangi dan mendambakan kehadiran anak. Sehingga bagaikan mimpi buruk
rasanya ketika kita mendengar banyak peristiwa perlakuan salah yang dialami banyak anak-anak
di negeri ini. Telah berubahkah tata nilai yang berlaku dalam masyarakat terhadap anak?

Pertanyaan seperti itu rasanya wajar muncul di benak kita. Betapa tidak. Pada dasa warsa
terakhir ini, hampir setiap hari ada berita tentang tindak perlakuan salah terhadap anak atau Child
Abuse bisa dalam wujud Neglet Children (penelantaran anak), Physical Abuse (kekerasan fisik
anak), Child Sexual Abuse (pelecehan sexual) dan Psycological Abuse (pelecehan psikologis)
serta eksploitasi. Ada yang dianiaya sampai mati, ada yang memang sengaja dibunuh,
diterlantarkan, diculik, serta banyak juga yang diperdagangkan untuk dijadikan tenaga kerja atau
pelayan seks komersial di tempat-tempat pelacuran.

Yang membuat hati kecil kita bertanya bukan saja karena begitu tingginya budaya kita
menempatkan kedudukan anak dalam keluarga, tetapi juga karena negarapun telah menetapkan
banyak peraturan serta undang undang untuk melindungi anak-anak agar memperoleh hak-
haknya. Kita telah memiliki Undang-undang tentang: perlindungan anak, pengadilan anak,
kesejahtreraan anak; penghapusan KDRT, bahkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun
telah kita miliki. Apa lagi yang kurang?

Perlindungan versus Tindak Perlakuan Salah


Pengertian ‘perlindungan’ menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah “perbuatan memberi
pertolongan kepada orang-orang yang lemah”. Jadi menunjukkan tindakan/perbuatan. Sedangkan
pasal 1 (2) undang-undang perlindungan anak mendefinisikan perlindungan sebagai: “segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Oleh karena itu, secara kelembagaan dan peraturan yang menjadi dasar hukum bagi usaha
mewujudkan perlindungan bagi kesejahteraan anak Indonesia telah tersedia secara lengkap.
Tetapi dalam kenyataannya masih jauh dari harapan kita semua.

Penghilangan hak-hak anak dan perlakuan tidak pada tempatnya menjadi fenomena kehidupan
anak Indonesia saat ini. Kita sering mendengar betapa tindak kekerasan atau perlakuan salah
bahkan pembunuhan sering anak-anak alami, pelecehan seksual menjadi resiko kehidupan yang
harus anak-anak terima tanpa daya untuk dapat menghindar dan menolaknya.

Tindak kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak (Child Abuse), bahkan bayi yang sama
sekali tak tahu apa salahnya, serta tak tahu atas permintaan dan perbuatan siapa anak-anak hadir
di dunia ini. Setiap hari menghiasi media-media berita. Bayangkan, pernah baru-baru ini, dalam
hari yang sama pada tempat yang berbeda, ada 3 (tiga) peristiwa kekerasan terhadap anak. Di
Pasuruan, seorang ayah memperkosa 2 orang anak kandungnya yang masih di bawah umur
selama satu tahun dengan sepengetahuan ibu kandungnya. Di Solo, seorang bayi berumur 9
bulan mengalami pelecehan seksual oleh anak laki-laki berusia 11 tahun. Dan di Depok Jawa
Barat bayi usia 2 bulan dianiaya pengasuhnya sampai mati. Masih banyak lagi kejadian-kejadian
yang membuat kita mengelus dada tanda berprihatin.

Masih banyak peristiwa sadis terhadap anak terjadi di berbagai tempat di negeri ini. Ada
peristiwa ayah yang memotong kaki anaknya dengan melindaskannya pada rel kereta api; ada
peristiwa ayah yang membanting anak balitanya karena marah pada sang ibu; juga terjadi
seorang ayah membunuh bayi umur 6 bulan karena cemburu pada ibunya. Belum lagi kejadian
ibu yang membuang bayinya di bak sampah lalu dimakan anjing, ibu yang membenamkan
bayinya di bak mandi hingga mati. Masih banyak lagi kekerasan yang dialami oleh anak-anak
seperti itu. Tragisnya, pelaku kekerasannya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi
mereka

Konvensi Tentang Anak tingkat Internasional dan Upaya Perlindungan Anak


Indonesia merupakan salah satu Negara yang pertama di antara negara-negara di dunia
meratifikasi Konvensi Hak-hak anak (convention on the raights of the child) tahun 1989
disingkat CRC,. melalui Keppres no. 36/90 pada tanggal 25 Agustus 1990 dan diberlakukan
mulai 5 Oktober 1990. Di sana jelas tercantum hak-hak anak yang hingga kini masih menjadi
mimpi anak-anak Indonesia, seperti: a). Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights, b)..
Hak terhadap Perlindungan (protection rights), c). Hak untuk Tumbuh Berkembang
(development rights), d). Hak untuk Berpartisipasi (participation rights).

Selain itu telah pula diratifikasi dengan UU no 1 tahun 2000 konvensi 187 ILO,tentang pekerja
anak. Masih ada lagi beberapa konvensi internasional tentang anak dan perempuan yang belum
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Contohnya konvensi tentang pelarangan perdagangan
manusia, khususnya perempuan dan anak

Menurut hukum internasional dan hukum Indonesia, anak memiliki hak khusus. Negara dan
pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari perlakuan salah,
penelantaran dan eksploitasi. Tidak terkecuali masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban
dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak dari berbagai bentuk
seperti wujud Neglet Children (penelantaran anak), Physical Abuse (kekerasan fisik), Child
Sexual Abuse (pelecehan sexual) dan Psycological Abuse (pelecehan psikologis) serta
eksploitasi.

Adapun peran pemerintah dalam memberikan perlindungan anak perlu dilakukan secara
sistematik, yaitu melalui Sistem Kesejahteraan Anak dan Keluarga. Sistem Kesejahteraan Anak
dan Keluarga berlangsung melalui suatu rangkaian pengasuhan secara kontinum atau Continuum
Care (Technical Guide Social Welfare Sistem: 2009) yang dirancang dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial anak. Kegiatan ini dilakukan secara berkelanjutan mulai dari
tingkat primer, sekunder dan tertier, yang bersifat layanan atau intervensi individual termasuk
dukungan pada keluarga dan pengasuhan di luar rumah yang dilakukan secara intensif

Pengasuhan kontinum (Continum Care) mencakup beberapa kegiatan pokok sbb:


a. Intervensi primer, yang diarahkan pada seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan
kemampuan masyarakat dalam mengasuh dan memastikan keselamatan anak-anak. Kegiatan ini
mencakup perubahan pola pikir, sikap dan perilaku, mendorong penerapan teknik-teknik
pendisiplinan selain kekerasan fisik terhadap anak serta pemahaman dan penyadaran tentang
dampak dan akibat perlakuan salah terhadap anak (Child Abuse)
b. Intervensi sekunder atau pelayanan intervensi dini yang ditujukan pada anak dan keluarga
rentan atau yang beresiko mengalami perlakuan salah agar mampu mengubah kondisi tersebut
sebelumnya kebiasaan itu menyebabkan dampak yang lebih buruk lagi terhadap anak
c. Intervensi tersier untuk merespon kondisi anak yang mengalami resiko berat akibat anak
mengalami perlakuan salah, penelantaran dan eksploitasi. Anak memerlukan kontinum intervensi
yang mencakup intervensi sukarela seperti mediasi, konseling dsb dan intervensi wajib oleh
Negara jika anak mengalami masalah berat.

Sumber: Pedoman Pelatihan untuk Pekerja Kesejahteraan Anak tahun 2011

Pelaksanaan sistem kesejahteraan sosial melalui pengasuhan kontinum pelayanan ini


memerlukan pendekatan proaktif maupun reaktif dengan proses, prosedur dan pelayanan yang
jelas untuk : a. mengidentifikasi dan memberikan dukungan yang sesuai untuk anak dan keluarga
rentan dan b. pelaporan, penilaian, perencanaan intervensi dan penanganan kasus bagi anak yang
mengalami perlakuan salah, penelantaran dan eskploitasi.

Penutup
Dari sekelumit uraian di atas, dapat diperoleh gambaran betapa menyedihkannya nasib anak-
anak Indonesia, walaupun mereka digadang-gadang sebagai tunas-tunas dan asset bangsa.
Namun kekerasan hidup sering menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan hak-hak
sebagaimana yang seharusnya. Memang peraturan telah ada, lembaga-lembaga pendukung telah
dimiliki, tetapi pemanfaatan keseluruhan sarana yang ada belum dilakukan secara intensif dan
komprehensif.

Sesuai dengan isi undang-undang perlindungan anak serta undang-undang kesejahteraan anak
bahwa perlindungan dan kesejahteraan sosial anak menjadi tanggung jawab Pemerintah, lembaga
dan masyarakat seperti dengan adanya sistem kesejahteraan sosial untuk anak dan keluarga.
Maka sesuai dengan tema tulisan ini, penulis mengajukan saran untuk melibatkan ketiga
komponen pelayanan tersebut dalam berbagai kegiatan untuk memberikan perlindungan dan
kesejahteraan sosial anak..

Demikian tulisan ini disusun, semoga bermanfaat untuk menumbuhkan kepedulian terhadap
nasib anak-anak Indonesia yang selalu berteriak “help our self please” dalam tidur mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sofian, dkk. 2002. Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal. Yogyakarta: Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada

Blau, Peter M dan Mashall W. Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia

Kementerian Sosial RI, 2011. Pedoman Pelatihan Untuk Pekerja Kesejahteraan Anak. Jakarta:
Kementerian sosial RI dan UNICEF

Muladi. 2002. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum Indonesia. Jakarta: The
Habibie Center

Nurdin Widodo, dkk. 2011. Evaluasi Program Perlindungan Anak Melalui Rumah Perlindungan
Anak (RPSA. Jakarta: P3KS Press

Anda mungkin juga menyukai