Anda di halaman 1dari 23

SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU KORUPSI

Disusun Oleh :

Nama : CUT QORI


NPM : 1406200168
Jurusan : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seluruh elemen bangsa sudah pasti sepakat bahwa penyakit kronis yang
diderita bangsa ini yang dinamakan sebagai korupsi adalah sebagai perusak bagi
tatanan kehidupan lainnya yang dicita-citakan dalam falsafah kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atau kalau mau digunakan bahasa yang sedikit bersifat
hewani maka korupsi adalah predator bagi stabilitas dan kesejahteraan yang
diinginkan oleh anak bangsa. Sebelum predator tersebut mampu memangsa cita-
cita kesejahteraan bangsa, maka sebaiknya predator tersebut diberantas.
Pasca reformasi korupsi senantiasa dijadikan sebagai musuh bersama oleh
seluruh elemen bangsa ini, maka tidak heran jika setiap pejabat publik yang ada
dinegara ini mengkampanyekan anti korupsi setiap saat. Kegagalan orde baru
dalam mengurus negara selalu dijadikan sebagai kambing hitam yang
menyebabkan korupsi sangat sulit untuk diberantas.
Sebenarnya korupsi di Indonesia bukan tidak bisa dicegah atau diberantas,
namun kemauan untuk mencegah korupsi yang sungguh-sungguh itu yang belum
dimiliki oleh penguasa negeri ini. Bangsa ini tidak pernah belajar dari kegagalan
demi kegagalan yang tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah. Dalam perjalanan
bangsa kita pernah membaca bagaimana besarnya VOC (sebuah dagang yang
didirikan dinegeri Belanda) yang mampu menguasai wilayah nusantara yang pada
akhirnya setelah berkuasa cukup lama harus menghadapi kenyataan bangkrut
karena di sebakan oleh banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi.
Persoalan korupsi di Indonesia tidak akan pernah selesai jika tidak ada
kemauan yang tegas dari penguasa untuk memberantas korupsi yang terjadi
selama ini. Korupsi di Indonesia mungkin adalah by desain, namun tidak jelas
siapa yang mendesain korupsi tetap tumbuh subur di bumi pertiwi ini. Di satu sisi
korupsi ingin diberantas, namun disisi lain korupsi itu menjadi lahan subur dan
bahkan di pelihara oleh masyarakat dan penguasa itu sendiri.

1
Korupsi di Indonesia sangat komplek, dimulai dari perebutan atau
pergantian kekuasaan dari satu rezim ke rezim lainnya dimulai dengan pola
kecurangan atau korup, sampai pada pelaksanaan kekuasaan itu sendiri juga sarat
dengan korupsi, sehingga tidak aneh jika korupsi di Indonesia tidak bisa
diberantas sampai tuntas. Pemberantasan korupsi di Indonesia hanya bersifat
parsial atau ditujukan kepada pihak-pihak tertentu saja, sedangkan mereka yang
berada dilingkungan rezim yang sedang berkuasa cenderung tidak tersentuh oleh
hukum, sehingga korupsi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Istilah coruptio sebenarnya mempunyai defenisi sangat luas, namun
demikian dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins 1977 menyatakan bahwa
“coruptio = omkoping, noemt men het verschijknsel dat ambtenaren of andere
personen in dienst der openbare zaak (zie echter hieronder voor zongenaam niet
ambtelijk coruptie) zicht laten omkopen”. Sedangkan di Belanda sendiri telah ada
Undang-Undang (wet van 23 1967, stbl. 655) yang mengancam pidana terhadap
penyuapan yang diiterima bukan oleh pegawai negeri.1
Dalam rangka penegakan hukum pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), ada beberapa yang seharusnya perlu mendapat perhatian dari penguasa
diantaranya, perlunya kesamaan persepsi tentang pemberantasan korupsi dan
standar pemidanaan dalam kasus tindak pidana korupsi. Perlunya kesamaan
persepsi dimaksud terutama perlunya ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, telah
mengatur berbagai ketentuan khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan
ketentuan hukum acara pidana.
Sanksi atau yang lebih akrab ditelinga penegak hukum dengan istilah
ganjaran atau hukuman yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, dalam
proses penerapan hukum dapat memberikan pengaruh positif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini yang semakin hari semakin
merajalela hampir kepada seluruh lapisan masyarakat, lebih khususnya dalam

1
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 5

2
bidang pemerintahan, karena hal ini sangat erat kaitannya dengan keuangan
negara.
Untuk dapat diterapkan dengan benar sebuah sanksi (hukuman/ganjaran)
yang pada yang pada akhirnya akan berimplikasi pada pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia maka diperlukan aturan atau
hukum yang mengatur mengenai masalah tersebut.
Hukum berfungsi mengatur hubungan pergaulan antar manusia. Namun,
tidak semua perbuatan manusia itu memperoleh pengaturannya. Hanya perbuatan
atau tingkah laku yang diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang
menjadi perhatiannya.2
Dalam sebuah penegakan hukum, sanksi memainkan peranan yang sangat
vital selain dari aparatur dan sarana penegakan hukum itu sendiri. Karena hukum
akan hanya menjadi sebuah macan ompong yang tidak akan pernah mampu
memberikan perlindungan kepada masyarakat, yang seyogyanya dengan adanya
hukum tersebut akan membuat manusia merasa lebih “aman”. Adanya sanksi
dalam sebuah peraturan perundang-undangan sebenarnya dimaksudkan agar
peraturan perundang-undangan tersebut dipatuhi oleh masyarakat, yang
menjadikan sanksi dalam sebuah peraturan perundang-undangan itu dipatuhi oleh
masyarakatnya adalah penguasa atau yang biasa disebut dengan istilah
pemerintah.
Hukum muncul sebagai implikasi suatu esensi yang menawarkan
penyelesaian terhadap kolektivitas perseteruan pada masyarakat, oleh karena itu
diperlukan hukum yang ideal untuk menyelesaikan konflik dan perseteruan itu.3

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan sistem pemidanaan ?
2. Bagaimana penerapan sanksi pidana dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia ?

BAB
2
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007, hal 10
3
H. M. Agus Santoso, Hukum, Moral, & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat Hukum¸ Cetakan
ke I, Kencana, Jakarta, 2012, hal 1

3
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Pemidanaan


Perundang-undangan di Indonesia sampai dengan sekarang ini belum
memiliki "sistem pemidanaan yang bersifat nasional" yang di dalamnya mencakup
"pola pemidanaan" dan "pedoman pemidanaan". "Pola pemidanaan", yaitu
acuan/pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat/menyusun
peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola
pemidanaan ini sering juga disebut "pedoman legislatif" atau "pedoman
formulatif. Sedangkan "pedoman pemidanaan" adalah pedoman penjatuhan/
penerapan pidana untuk hakim ("pedoman yudikatif”/"pedoman aplikatif") Dilihat
dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih
dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP
nasional dibuat.
Selanjutnya berbicara mengenai pemidanaan dalam tindak pidana korupsi,
tidak jauh berbeda dengan pengertian pemidanaan dalam tindak pidana umum,
karena pemberian pidana dalam arti pemidanaan sangat penting sebagai bagian
politik kriminal khususnya dalam menanggulangi dan mencegah kejahatan
(Mustafa, 1983:47).
Ketentuan-ketentuan pemidanaan sebagaimana yang terdapat pada
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidaklah terlepas dari teori tentang tujuan
pemidanaan serta kebijaksanaan pidana pada umumnya. Di dalam doktrin ilmu
hukum pidana dikenal dengan 3 (tiga) teori tentang pemidanaan yaitu:
1. Teori Pembalasan, yang menganggap bahwa dasar hukum pidana adalah
pemikiran untuk pembalasan.
2. Teori Tujuan/Prevensi, yang menganggap bahwa dasar hukum pidana
adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri, yang pada pokoknya untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dan,
3. Teori Gabungan, yang menganggap bahwa pidana hendaknya didasarkan
atas tujuan pembalasan yang diterapkan secara kombinasi, yang menitik
beratkan salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lain, maupun
pada semua unsur yang ada (Poernomo, 1983 : 27).

4
Selain itu tujuan penjatuhan pidana, sebagaimana konsep RUU KUHP tahun
1982/83 dalam pasal 3 adalah:
1. Pemidanaan bertujuan untuk :
o Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengadakan norma
demi pengayoman masyarakat.
o Melakukan koreksi terhadap terpidana dan demikian menjadikan
orang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
o Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
2. Pemidanaan tidak bermaksud untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Untuk memberikan pengertian tentang arti pemidanaan, menurut Sidarta


dikatakan sebagai berikut :
Penghukuman berasal darikata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).
menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut hukum pidana
saja, tetapi juga dalam hukum perdata.

2.2 Penerapan Sanksi Pidana Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi Di Indonesia
Korupsi bukanlah barang baru dalam sistem pemidanaan di Indonesia,
bahkan upaya memberantas korupsi telah ada jauh sebelum negara ini berdiri, hal
ini dapat kita temukan jika kita meneliti sejarah peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi
sebenarnya hal tersebut telah ada sejak diberlakukannya KUHP di Indonesia,
perhatikan Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.
Dengan mengandalkan ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam
KUHP tersebut ternyata dirasakan dan dipandang tidak efektif. Akibatnya banyak
pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat

5
diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan
sebagaimana yang diatur di dalam KUHP.4
Dalam sistem hukum pidana kita juga terdapat azas yang menyatakan
“tiada suatu perbuatan dapat dihukum sebelum ada aturan hukum yang
mengaturnya”. Artinya bahwa jika sebuah perbuatan itu tidak dilarang oleh
undang-undang, maka orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak
dapat dihukum.
Makna yang terkandung dalam azas legalitas seperti dikemukan oleh
Schaffmeister, Keizer dan Sutorius yakni:5
1. Seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana
menurut undang-undang;
2. Tidak ada penerapan pidana berdasarkan analogi;
3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas;
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentuka oleh undang-undang;
7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan
oleh undang-undang.
Hukum memegang peranan yang sangat penting dalam mengatur dan
menjaga stabilitas kehidupan sosial masyarakat, karena dapat diyakini bahwa
tanpa adanya suatu pengaturan yang jelas dan tegas niscaya maka akan terjadi
kekacauan yang berkepanjangan dalam suatu masyarakat tersebut, disinilah
keberadaan hukum itu diperlukan untuk meminimalisir potensi-potensi konflik
yang mungkin saja timbul setiap saat karena terjadinya benturan-benturan
kepentingan antara satu sama lainnya.
Hukum yang baik selain harus tepat (secara formal) sehingga pasti dan
adil (dari segi sisi), tegas dan netral sehingga dapat mewujudkan rasa keadilan,
harmoni, dan kebaikan umum dalam masyarakat yang menjadi tujuan hukum itu
sendiri. Hukum yang baik adalah hukum yang benar, tegas, netral dan adil
sehingga memiliki keabsahan (validity) mengikat, mewajibkan dan dapat
4
Elwi Danil, KORUPSI. Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannnya, Jakarta, PT.
Rajawali Pers, 2011, hal, 28
5
Eddy O.S. Heriaej, Azas Legalitas Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga,
Surabaya, 2009, hal 26 (terjemahan Sahetapy)

6
dipaksakan. Penegakan hukum atau yang lazim kita kenal dengan istilah law
enforcement dalam masyarakat cenderung akan lebih mudah dan dapat diterima
jika aturan hukum yang akan diterapkan tersebut dapat dianggap sebagai hukum
yang baik.
Hukum yang baik harus mampu menjadi alat rekayasa sosial yang mampu
menciptakan atau merubah dari keadaan yang tidak baik atau kurang baik menjadi
keadaan yang lebih baik, sehingga masyarakat semakin hari akan semakin
merasakan manfaat adanya hukum. Sehingga apa yang dimaksud dengan istilah
law is a tool of social engineering tidak hanya sekedar sebuah teori sebagaimana
yang dituliskan oleh Roscoe Pound.
Hukum yang baik mengkondisikan pembuatan dan pelaksanaan peraturan-
peraturan hukum sesuai dengan martabat manusia. Dengan mentaati hukum yang
baik, kebebasan seseorang itu tidak hilang dan karena itu martabatnya sebagai
manusia tidak rusak. Sebaliknya, ketaatannya buta pada kekuasaan yang korup.
Dengan mentaati hukum yang baik, seseorang mewujudkan keluhuran
martabatnya, karena ia memahami apa yang ditaatinya dan dengan memilih
mentaati hukum yang baik ia bebas.6
Fungsi hukum moderen yang tidak sekedar merekam kembali pola-pola
tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan diusahakan untuk
menjadi sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan yang demikian berarti
menciptakan keadaan-keadaan yang baru atau merubah sesuatu yang sudah ada.7
Secara umum tujuan diciptakannya hukum adalah untuk memelihara
ketertiban atau ketenteraman dalam masyarakat, karena dapat kita bayangkan
bagaimana kacaunya kehidupan jika tidak ada suatu aturan yang berlaku secara
umum yang mampu mengikat antar anggota kelompok masyarakat untuk mentaati
aturan tersebut dengan tujuan agar terciptanya ketertiban.

Namun dalam penerapannya di masyarakat, hukum sering kali tidak sesuai


dengan apa yang dicita-citakan tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal
yang dapat menjadi factor-faktor penghambat dari keberlakuan hukum itu sendiri,

6
Alexander Seran, Moral Hukum, Obor, Jakarta, 1999, hal 135
7
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983 hal. 148

7
sehingga manfaat dari keberadaan hukum itu sendiri tidak dapat dirasakan oleh
masyarakat pada umumnya.
Factor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam
masyarakat yaitu:8
1. Kaidah hukum/peraturan itu sendiri;
2. Petugas/penegak hukum;
3. Sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum;
4. Kesadaran masyarakat.
Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang
seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum
merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya
atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sebagai pedoman kaidah hukum
bersifat umum dan pasif.9
Menurut Jeremy Bentham tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk
mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagian yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).10
Tujuan perundang-undangan menurut Bentham adalah untuk
mengahasilkan kebahagian bagi masyarakat. Untuk itu undang-undang harus
berusaha untuk mencapai empat tujuan yaitu:11
1. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
2. To abundance (untuk memberi makanan yang berlimpah)
3. To provide security (untuk memberikan perlindungan)
4. To attain equity (untuk mencapai persamaan)

Tujuan hukum adalah untuk memenuhi hukum adanya. Hukum pada


manusia bertujuan membuat manusia tahu akan ketidaktahuannya, bahwa ia ada
demi keberadaannya, yakni manusia yang berkemanusian bersanding dengan
hidup atas kehidupan untuk membedakan atau menyamakan dualisme yang satu,
8
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ketujuh, Sinar Garfika, Palu, 2012, hal 62
9
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cetakan ke 5, Universitas
Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal 19
10
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum (Pemikiran
Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat), cetakan ke 2, RajawaliPers, Jakarta,
2013, hal 111
11
Ibid, hal 112

8
yang senantiasa beriringan, yakni antara tahu dan tidak tahu, dalam ide dan materi
yang diterjemahkan oleh akal budinya, yang ide ataupun materi itu sendiri
sedianya ada dan tertuang dalam sikap tindak yang merupakan peleburan antara
ide dan materi, antara jiwa dengan fisik, yang tampak akan kemanusiaannya dan
beriringan dengan kehidupannya.12
Menurut G. Radbruch, Einfuhrung indie Rechtswissenschaft, Stuttgart,
1961 menyatakan, bahwa sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan. Jadi
hukum dibuatpun ada tujuannya. Tujuan ini merupakan nilai yang ingin
diwujudkan manusia. Tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu13:
1. Keadilan untuk keseimbangan
2. Kepastian untuk ketepatan
3. Kemanfaatan untuk kebahagiaan
Tujuan dari pembentukan hukum itu sendiri tidak terlepas dari tujuan
Negara, tujuan Negara ini dapat kita lihat dalam pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.14
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak
dengan norma-norma social lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan
oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan
hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan
teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.15
Berbicara mengenai penerapan hukum yang berarti dalam bahasa
hukumnya sering disebut dengan istilah implementasi hukum, berarti kita
memerlukan pembahasan yang mendalam mengenai implentasi hukum dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, dan bukan rahasia lagi kalau budaya hukum

12
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Cetakan Ke 2,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hal 120
13
Ibid, hal. 123
14
Baca pembukaan UUD 1945
15
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Op Cit, hal 75

9
atau yang biasa disebut dengan legal culture masyarakat kita sangat rendah atau
bahkan cenderung mengarah kepada hal-hal yang buruk.
Budaya hukum itu sendiri tercermin dalam sikap warga masyarakat yang
sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Respon
masyarakat terhadap penerapan hukum yang mengatur perilaku akan sangat
dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianutnya. Apabila produk hukum yang
mengatur mengacu pada sistem nilai tertentu dihadapkan pada masyarakat yang
menganut sistem nilai dan memiliki budaya hukum yang berbeda, bukan hal yang
aneh bila penerapan produk hukum tersebut akan mengalami kesulitan.
Baik buruknya suatu kekuasaan, bergantung bagaimana kekuasaan itu
dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan
kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari
oleh masyarakat terlebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi
kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang
teratur.16
Salah satu faktor yang yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu
peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara
sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan.17
Penerapan sanksi pidana dalam setiap pelanggaran hukum yang terjadi
tujuannya adalah selain untuk menimbulkan efek jera kepada para calon pelaku
lainnya, tetapi juga sebagai bentuk kepastian hukum yang telah ada. Jika kepastian
hukum sudah tercapai, maka hal ini akan berdampak pada terciptanya sebuah
keteraturan atau ketertiban dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketertiban sangat identik dengan budaya hukum, karena masayarakat yang
budaya hukumnya sudah baik akan tercermin dari rendahnya tingkat pelanggaran
hukum di negara tersebut.
Membangun sebuah budaya hukum yang baik tidaklah semudah membalik
telapak tangan, apalagi ditengah kesemrawutan keadaan sekarang. Dibutuhkan

16
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 2000,
hal 19
17
Zainuddin Ali, op. cit, hal 64

10
tenaga dan bahkan mungkin biaya yang cukup besar dan ketegasan dari penguasa
untuk memciptakan budaya hukum yang baik.
Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu
belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku.
Melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan
perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya
diatur oleh peraturan perundang-undangan dimaksud.18
Melalui pemahaman hukum yang yang dimiliki oleh masayarakat, maka
dengan sendirinya akan tercipta budaya hukum yang baik. Budaya hukum adalah
sebagai salah satu indikator dalam melihat penerapan hukum itu berhasil atau
tidak, hal ini dikarenakan jika budaya hukum yang ada di masyarakat itu bekerja,
sudah pasti penerapan hukum itu tidak akan mengalami kesulitan lagi dan hukum
akan dapat bekerja dengan baik.
Jika kita ingin mengukur tingkat keberhasilan penerapan hukum atau
peraturan perundang-undangan tentu yang menjadi indikatornya adalah dalam
bentuk angka-angka statistik yang dikeluarkan oleh badan atau instutisi resmi dari
negara yang memang dibentuk untuk menegak peraturan perundang-undangan
tersebut.
Namun dalam tulisan ini yang ingin penulis unkapkan bukan seberapa
banyak perkara tindak pidana korupsi yang telah berhasil diungkap berdasarkan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, namun yang ingin penulis coba untuk
kemukakan adalah seberapa jauh pengaruh dari Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi itu mampu mencegah atau memberantas terjadinya tindak pidana korupsi.
Jika keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan penerapan sanksi
pidana dalam kasus tindak pidana korupsi dianggap membawa pengaruh yang
lebih baik, tentu akan menghasilkan angka-angka statistik yang dalam bentuk
grafik mengalami penurunan. Tetapi jika indikator atau angka terhadap
pelanggaran mengalami grafik penaikan setiap tahunnya, maka perlu
dipertanyakan pengaruh penerapan sanksi pidana dalam perkara tindak pidana
korupsi yang terjadi.

18
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah
Sosial, Alumni, Bandung, 1981, hal 186

11
2.3 Penentuan ukuran pidana dalam perkara
No.37/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR
Seseorang dengan posisi sebagai Terdakwa pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, pada akhirnya akan menemukan satu diantara dua jenis putusan terhadap
perkara yang didakwakan kepadanya. Pertama jika putusannya menyatakan
bahwa Terdawa terbukti secara sah dan meyakinkan, maka sudah pasti Terdakwa
akan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan perkara yang dilakukannya. Kedua
jika putusan hakim menyatakan bahwa Terdakwa tidak terbukti telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka terdakwa tersebut akan bebas dari segala tuntutaan.
Namun dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap seseorang yang
menjadi Terdakwa, tentu akan ada ukuran-ukuran tertentu yang bisa dijadikan
acuan bagi para Hakim untuk pemidanaannya, karena selama ini berdasarkan
pengamatan secara langsung (di Pengadilan Negeri Pekanbaru) belum pernah ada
seorang Tedakwa yang dihukum sesuai dengan apa yang diatur menurut Undang-
Undang tindak pidana korupsi.
Penjatuhan pidana terhadap seorang Terdakwa sangat variatif, hal ini tentu
berkaitan antara tindak pidana korupsi yang dilakukannya dengan masa (lamanya)
hukuman yang harus dijalani oleh seorang Terdakwa yang telah dinyatakan
bersalah.
Dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana register perkara No.
37/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, tanggal 5 Desember 2013, telah memeriksa dan
mengadili Syahrizal Hamid, SH, dan Al Azni, sebagai Terdakwa telah menjadi
Terpidana dengan hukuman selama 5 tahun penjara.
Dalam hal pemidanaannya selama 5 tahun tersebut, tentu majelis hakim
dalam menjatuhkan pidananya memiliki ukuran-ukuran tertentu, sehingga
dijatuhkanlah hukuman selama lima tahun penjara kepada para Terdakwa,
terhadap sebuah putusan tentu untuk melihat ukuran penjatuhan pidana terhadap
seorang Terdawa, terlebih dahulu yang harus kita lakukan adalah membaca dan
menganalisa pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan tersebut.
Penjatuhan sanksi pidana umumnya didukung oleh berbagai teori yang
membahas tentang pembenaran penjatuhan sanksi pidana terhadap seorang
Terdakwa, diantaranya adalah teori pembalasan atau teori absolut.

12
Negara berhak untuk menjatuhkan pidana kepada penjahat karena telah
melakukan penyerangan atau perkosaan pada hak dan kepentingan hukum
(pribadi, masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi.19
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu:20
1. Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan);
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat (sudut objektif dari pembalasan);
Dengan mengutip pendapat dari Adami Chazawi, menunjukan bahwa teori
yang dipakai oleh para Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
Terdakwa Syahrizal Hamid dan Terdakwa Al Azmi dalam perkara No.
37/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, tanggal 5 Desember 2013, menggunakan teori
balas dendam.
Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak
pada ketidakpuasaan terhadap praktek pradilan,tetapi justru ketidakpuasaan
terhadap penegakan hukum dalam arti luas, yaitu penegakan terhadap seluruh
norma/tatanan kehidupan bermasyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa ketidak
beresan (ketidakbenaran, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, praktek pilih
kasih dan sebagainya) yang justru paling meresahkan masyarakat.21
Tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini memang sangat
menimbulkan keresahan bagi masyarakat, sehingga tidak heran jika pemberitaan
di media massa baik cetak maupun elektronik selalu dihiasi oleh gerakan-gerakan
kelompok masyarakat yang menginginkan pengusutan secara tuntas setiap tidank
pidana korupsi yang terjadi.
Korupsi di indonesia tidak pernah matinya, bahkan cenderung tumbuh
subur dan bahkan bisa jadi korupsi itu adalah peliharaannya partai politik karena
bisa menghasilkan uang untuk melanggengkan kekuasaan yang sedang mereka
pegang. Dampak dari korupsi itu sendiri bukan hanya menimbulkan kerugian
pada keuangan atau perekonomian negara, tetapi sudah sepatutnya dilihat sebagai

19
Andi Hamzah dan Siri Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkasan Sistem Pemiidanaan
Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983, hal, 39
20
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal,
153
21
Lihat pertimbangan hukum dalam putusan perkara tindak pidana korupsi No.
37/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, tanggal 5 Desember 2013, hal 347

13
sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian
hak azasi manusia.22
Terdapat cukup alasan rasional mengkategorikan korupsi sebagai
kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya
perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measure) dan
dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula
(extraordinary instrument).23
Kembali pada pembahasan putusan perkara tindak pidana korupsi dalam
perkara No. 37/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, tanggal 5 Desember 2013, tidak
ada suatu standar nilai tertentu yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Satu-satunya alasan
hukum yang mereka pakai dalam menentukan ukuran pidana yang akan jatuhkan
kepada seorang terdakwa hanya perpatokan kepada Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 533 K/Pid/1982 tanggal 17 Januari 1983.24
Dengan kata lain untuk menentukan ukuran sanksi pidana yang akan
dijatuhkan kepada seorang Terdakwa hanya berdasarkan kepada keyakinan para
Majelis Hakim dengan melihat keadaan dan fakta yang terungkap dalam sidang
pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tersebut, dan juga tidak terlepas dari
faktor suka atau tidak sukanya sang Pengadil terhadap si Terdakwa.

Dalam menentukan ukuran pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa,


majelis hakim hanya berpedoman kepada:
1. Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum;
2. Fakta yang terungkap dipersidangan;
3. Besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa;
4. Keyakinan hakim (nurani);
5. Sikap terdakwa dalam persidangan;
6. Rapat majelis hakim.
22
Lihat dan baca Elwi Danil, op cit, hal 75-76
23
Elwi Danil, op cit, hal 76
24
Lihat pertimbangan hukum dalam putusan No. 37/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR,
tanggal 5 Desember 2013, putusan Mahkamah Agung RI tersebut mengenai ukuran hukuman
adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie
menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh undang-undang, atau kurang memberikan
pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman.

14
Sanksi Pidana Korupsi
Adapun bentuk-bentuk pidana yang dimuat dalam pasal-pasal Undang-
Undang No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun
2001. Dan sudah menyimpang dari prinsip-prinsip umum dalam stelsel pidana
menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diancamkan apabila
terjadi tindak pidana sebagaimana yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), dipidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Bahkan pada ayat (2) pasal ini pidananya dapat diperbesar yaitu
pidana mati.
2. Tindak Pidana Korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
sarana jabatan, atau kedudukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini
diadopsi dari eks pasal 210 KUHP.
3. Tindak Pidana Korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi
dari eks pasal 209 KUHP.
4. Tindak Pidana Korupsi suap pada hakim dan advokat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

15
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari
eks pasal 210 KUHP.
5. Tindak Pidana Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan
bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
350.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks
pasal 387 dan 388 KUHP.
6. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri menggelapkan uang dan surat
berharga. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah) Rumusan tindak pidana ini diadopsi dari eks pasal 415 KUHP.
7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri memalsukan buku-buku dan daftar-
daftar. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi
dari eks pasal 416 KUHP.
8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri merusak barang, akta, surat atau
daftar. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 417 KUHP.
9. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji yang
berhubungan dengan kewenangan jabatan. Sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00

16
(dua ratus lima puluh juta rupiah). Rumusan ini diadopsi dari eks pasal 418
KUHP.
10. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara atau
hakim dan advokat menerima hadiah atau janji : Pegawai Negeri memaksa
membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah
negara, dan turut serta dalam pemborongan. Sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Rumusan ini diadopsi dari pasal 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
11. Tindak Pidana Korupsi suap Pegawai Negeri menerima gratifikasi.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
12. Tindak Pidana Korupsi suap pada Pegawai Negeri dengan mengingatkan
kekuasaan jabatan. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
13. Tindak Pidana yang berhubungan dengan Hukum acara pemberantasan
korupsi, yang pada dasarnya bersifat menghambat, menghalang-halangi
upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak
pidana yang dimaksudkan ini dimuat dalam 3 (tiga) pasal, yakni pasal 21, 22,
dan pasal 24. pelanggaran terhadap pasal ini, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), namun pada
pelanggaran terhadap pasal 24 Jo 31, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).

17
14. Tindak Pidana pelanggaran terhadap pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430
KUHP. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (Chazawi, 2005:33).
Selain pidana pokok sebagaimana diterangkan di atas maka kepada
terpidana dapat pula diberi pidana tambahan sebagai upaya pemulihan keuangan
negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya ini dapat dilihat pada
pasal 18 ayat (1) yakni:
1. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan adalah :
o Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan begitu pula harga dan barang yang menggantikan
barang-barang tersebut;
o Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi;
o Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling
lama 1 (satu) tahun;
o Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Mengenai pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum pidana
korupsi sama dengan hukum pidana umum, tetapi sistem penjatuhan pidananya
ada kekhususan jika dibandingkan dengan hukum pidana umum, yaitu sebagai
berikut:
1. Dalam hukum pidana korupsi 2 (dua) jenis pidana pokok yang dijatuhkan
bersamaan dibedakan menjadi 2 (dua) macam :
o Penjatuhan

18
2 (dua) jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, antara pidana
penjara dengan pidana denda. Dua jenis pidana pokok yakni
penjara dan denda wajib kedua-duanya dijatuhkan serentak. Sistem
imperatif-kumulatif diancamkan pada tindak pidana korupsi yang
paling berat.
o Penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok serentak yang bersifat
imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana
denda. Di antara 2 (dua) jenis pidana pokok ini, yang wajib
dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun dapat pula
dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda (fakultatif)
bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi khusus
untuk penjatuhan pidana bersifat fakultatif yang jika dibandingkan
dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sifat
penjatuhan pidana Fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana
tambahan. Sistem imperatif-fakultatif (penjaranya imperatif,
dendanya fakultatif) ini disimpulkan dari 2 (dua) kata yakni “dan
atau” dalam kalimat mengenai ancaman pidana dari rumusan
tindak pidana yang bersangkutan. Di sini hakim bisa memilih
antara menjatuhkan bersamaan dengan pidana denda (sifat
fakultatif). Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini
terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 3, 5, 7,
10, 11, 13, 21, 22, 23, dan 24.
2. Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman
minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara
maupun pidana denda dan tidak menggunakan sistem dengan menetapkan
ancaman pidana maksimum umum dan minimum umum seperti dalam
KUHP.
3. Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi
maksimum umum dalam KUHP 15 (lima belas) tahun, yakni paling tinggi
sampai 20 (dua puluh) tahun. Dalam KUHP boleh menjatuhkan pidana
penjara sampai melebihi batas maksimum umum 15 (lima belas) tahun
yakni 20 (dua puluh tahun), dalam hal bila terjadi pengulangan atau

19
perbarengan (karena dapat ditambah dengan sepertiganya) atau tindak
pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati (misalnya pasal 104,
340, 365 ayat 4).
4. Dalam hukum pidana korupsi tidaklah mengenai pidana mati sebagai suatu
pidana pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri.
Akan tetapi, mengenal pidana mati dalam hal bila tindak pidana tersebut
pasal 2 terdapat adanya alasan pemberatan pidana. Jadi, pidana mati itu
adalah pidana yang dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan
pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi pasal 2 dalam
keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan
mengenai pasal 2 ayat (2), yaitu “bila dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu
terjadinya bencana alam nasional; sebagai pengulangan; atau pada waktu
Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Tidaklah boleh lupa bahwa sistem pemidanaan hukum pidana formil
korupsi yang mengancam dengan pidana penjara kumulatif dengan denda atau
pidana penjara kumulatif-fakultatif dengan denda, baik pada maksimum khusus
maupun minimum khusus tidaklah berlaku apabila nilai objek tindak pidana
korupsi tersebut pasal 5, 6, 7, 8. 9, 10, 11, dan 12 kurang dari Rp 5.000.000,00
(Lima Juta Rupiah). Untuk nilai objek tindak pidana korupsi kurang dari lima juta
rupiah ini ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda palling banyak Rp.50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah). Jadi
mengadopsi sistem penjatuhan pidana hukum pidana umum dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagai sebuah instrument untuk penegakan hukum itu sendiri, pengaturan
tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah
menggerogoti negeri ini, yang mengakibat keterpurukan bangsa dalam krisis

20
multidimensional yang tidak berkesudahan, Undang-Undang tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai upaya luar biasa untuk
menjangkau tindak pidana yang akibatnya juga luar biasa ini. Penerapan sanksi
pidana yang pada awalnya diharapkan mampu memberikan efek jera kepada para
calon pelaku korupsi, ternyata belum mampu berbuat banyak. Sebagai indikator
dari kesimpulan penulis ini adalah semakin meningkatnya angka-angka statistik
mengenai tindak pidana korupsi yang diungkap ke publik oleh KPK.
Dalam menentukan ukuran pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa,
majelis hakim hanya berpedoman kepada:
1. Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum;
2. Fakta yang terungkap dipersidangan;
3. Besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa;
4. Keyakinan hakim (nurani);
5. Sikap terdakwa dalam persidangan;
6. Rapat majelis hakim.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional


dan Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Elwi Danil, 2011, KORUPSI. Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannnya,


Jakarta, PT. Rajawali Pers.

Eddy O.S. Heriaej, 2009, Azas Legalitas Penemuan Hukum dalam Hukum
Pidana, Erlangga, Surabaya.

21
H. M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, & Keadilan: Sebuah Kajian Filsafat
Hukum¸ Cetakan ke I, Kencana, Jakarta.

Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum,


Cetakan Ke 2, Rajawali Pers, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cetakan ke 5,


Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta,

Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, 2013, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum
(Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat),
cetakan ke 2, RajawaliPers, Jakarta.

Zainuddin Ali, 2012, Sosiologi Hukum, Cetakan ketujuh, Sinar Garfika, Palu.

Baca pembukaan UUD 1945

22

Anda mungkin juga menyukai