PENDAHULUAN
Namun dikatakan juga pada literatur lain bahwa pada anak yang telah di
toilet training, sampel midstream urin hasilnya cukup memuaskan. Jika urinalisa
(+), gejala klinis pada pasien (+), dan didapati kultur urin tunggal >100.000 =
ISK, Namun bila ada dari kriteria ini yang tidak terpenuhi dianjurkan kultur ulang
dengan kateter urin (Natalia, 2006).
2.8.2 Pemeriksaan Pencitraan
Selama demam akut infeksi, pemeriksaan ultrasonografi ginjal harus
dilakukan untuk menyingkirkan hidronefrosis dan abses ginjal atau perirenal;
indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila respons pengobatan antibiotika tidak
cepat, bila anak sakit berat dan toksik, dan bila kadar kreatinin serum meningkat.
Ultrasonografi ginjal juga sangat sensitif untuk mendeteksi pielonefrosis, suatu
kondisi yang mungkin memerlukan drainase sistem kolektivus segera dengan
nefrostomi perkutan.
Bila diagnosis pielonefritis akut tidak pasti, pencitraan ginjal dengan asam
2,3 – dimerkaptosuksinat yang dilabel dengan teknetium (technetium labled 2,3 –
dimercaptosuccinid acid [DMSA]) atau glukoheptanat adalah bermanfaat. Adanya
gangguan pengisian parenkim pada pencitraan ginjal, mendukung diagnosis
pielonefritis, tetapi tidak dapat membedakan proses akut dari proses kronis.
Penggunaan rutin DMSA selama episode akut pada anak dengan manifestasi
klinis pielonefritis dan biakan urin positif tidak perlu. Tomografi terkomputasi (CT)
merupakan uji diagnostik definitif untuk pielonefritis akut. Namun demikian, CT
jarang diperlukan untuk menetapkan diagnosis (Behrman 2000).
2.9 Penatalaksanaan ISK pada Anak
Prinsip pengobatan ISK pada anak adalah memberantas bakteri penyebab,
menghilangkan gejala-gejala yang ditimbulkan, serta mencegah terjadinya kerusakan
ginjal sedini mungkin. Pemberian antibiotik pada ISK sebaiknya disesuaikan dengan
hasil biakan kemih, tetapi hal ini tidak selalu dapat dilakukan sebab pengobatan ISK
harus segera diberikan sambil menunggu hasil biakan kemih. Antibiotik diberikan
sekurang-kurangnya 7-10 hari meskipun dalam waktu 48 jam biasanya telah terlihat
respon klinik dan biakan kemih telah steril. Dan akhir-akhir ini dilaporkan semakin
banyak jenis bakteri penyebab ISK yang resisten terhadap antibiotik tertentu (Ramayati,
2002).
Terapi harus dimulai setelah mengambil kultur urin. Umur pasien, derajat
toksisitas, derajat hidrasi, kemampuan untuk dan kecenderungan pemenuhan dengan
medikasi membantu dalam memutuskan antara terapi rawat jalan dan rawat inap. Sekali
anak menunjukkan perbaikan klinis, dengan turunnya febris dan toksisitas, antibiotik
mungkin diberikan secara oral.
Medikasi oral yang dipakai untuk anak >3 bulan dengan ISK sederhana adalah
Amoxicillin, kotrimoxazol dan cefalosporin. Quinolone harus dihindari pada medikasi
1st line; dapat dipakai sesuai dengan hasil sensitivitas urin.
2.9.1 Lama Terapi
Lama terapi biasanya 10-14 hari untuk bayi dan anak dengan ISK
kompleks dan 7-10 hari untuk infeksi sederhana. Regimen terapi jangka pendek
tidak direkomendasikan pada anak. Setelah terapi ISK, terapi antibiotik
profilaksis dimulai, pada anak < 2 tahun s/d pencitraan yang sesuai untuk saluran
kemih dilengkapi.
2.9.2 Terapi Suportif
Selama episode ISK akut, penting untuk menjaga hidrasi yang adekuat. Ini
mungkin membutuhkan perhatian khusus dalam seorang anak sakit, anak febris
dengan asupan oral kurang. Asupan cairan bebas akan mendorong dan membantu
untuk mengurangi disuria. Alkalinisasi urin tidak diperlukan. Antipiretik dipakai
untuk menghilangkan demam (Natalia, 2006).
2.9.3 Pengobatan ISK
Sistitis akut harus ditangani dengan cepat karena dapat menyebabkan
pielonefritis. Jika gejalanya berat, dapat diterapi dengan trimethoprim-
sulfamethoxazole 3-5 hari dengan dosis 5-7 mg/kg/24jam dibagi 3-4 kali sehari,
sambil menunggu hasil kultur. Jika gejala sedang sampai ringan, pengobatan
dapat ditunda sampai hasil kultur ada. Amoxicillin (50mg/kg/24jam) juga efektif
untuk terapi utama.
Pada pielonefritis dengan demam, dapat diberikan antibiotik spektrum
luas selama 10-14 hari. Anak-anak yang mengalami dehidrasi, muntah, dan tidak
dapat menerima cairan harus dipasang infus dan IV antibioik. Penatalaksanaan
parenteral dengan ceftriaxone (50-75 mg/kg/24jam, tidak boleh dari 2 gram) atau
cefotaxime (100 mg/kg/24jam) atau ampisilin (100 mg/kg/24jam) dengan
aminoglikosida seperti gentamisin (3 mg/kg/24jam dalam dosis yang terbagi 3)
(Kliegman,2011).
Ototoksisitas dan nefrotoksisitas akibat aminoglikosida perlu
dipertimbangkan, dan kadar kreatinin serum harus diketahui sebelum memulai
pengobatan, demikian pula tiap hari sesudahnya selama pengobatan berlangsung.
Pengobatan dengan aminoglikosida terutama efektif terhadap Pseudomonas, dan
alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat meningkatkan keefektifannya dalam
saluran kemih. Kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole (Cotrim, Bactrim,
Septra), baik secara oral maupun intravena, efektif terhadap beberapa organisme
Gram negatif selain Pseudomonas dan oleh beberapa penulis dianggap sebagai
pengobatan pilihan untuk terapi oral. Dosis per oral adalah 20 mg/kg/24jam untuk
sulfamethoxazole dan 4 mg/kg/24jam untuk trimethoprim, yang diberikan dalam
dosis terbagi dua.
Biakan urin sebaiknya diambil satu minggu setelah selesai pengobatan
setiap infeksi saluran kemih untuk meyakinkan bahwa urin tetap steril. Karena
ada kecenderungan kambuhnya infeksi saluran kemih walaupun tanpa adanya
faktor predisposisi anatomik, maka biakan urin lanjutan harus diambil pada
selang waktu 3 bulan selama 1 – 2 tahun, meskipun anak tidak menunjukkan
gejala. Bila kekambuhan sering terjadi, profilaksis terhadap reinfeksi, baik
menggunakan kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole atau nitrofurantoin
dengan dosis sepertiga dosis terapeutik sekali sehari, seringkali efektif. Namun
demikian, adalah penting untuk memperoleh biakan urin secara periodik bila anak
mendapat pengobatan profilaksis jangka panjang, untuk mengesampingkan
infeksi asimtomatik yang disebabkan oleh organisme yang resisten. Profilaksis
antibakteri juga terindikasi selama refluks vesikoureter yang menetap, atau bila
sistitis yang kambuh menimbulkan gejala-gejala seperti inkontinensia, sering
berkemih, dan urgensi, yang terjadi terus-menerus akibat reinfeksi yang sering.
Karena kemungkinan penemuan refluks vesikoureter adalah 25% dan
kemungkinan kambuhnya infeksi sekitar 50%, adalah wajar untuk meneruskan
profilaksis antibakteri dengan kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole dosis
rendah atau nitrofurantoin sampai selesainya evaluasi radiologik. Penggunaan
setiap agen kemoterapeutik jangka panjang sebaiknya disertai pengawasan
terhadap toksisitas (anemia, leukopenia, dan lain-lain). Antibiotika spektrum-luas
biasanya tidak efektif untuk profilaksis, karena bakteri kolon yang menyebabkan
reinfeksi dengan cepat menjadi resisten terhadap agen-agen tersebut (Behrman,
2000).
2.9.4 Pencegahan ISK dengan Toilet training
Tahun 1950 sampai dengan tahun 1960 merupakan titik awal para ahli
anak mulai mengenali dan meneliti ISK sebagai penyebab penting penyakit akut
pada anak dan bahkan dari pemeriksaan radiologi kemudian diketahui beberapa
anak menunjukkan adanya skar renal pada anak dengan ISK recurrent dan diduga
sebagian besar berhubungan dengan vesico-ureteric reflux.Sebenarnya sejak akhir
tahun 1950, jadi hampir setua ditemukannya ISK, sudah ada trend untuk
menuntun anak melakukan toilet-training mereka sendiri. Dimana perubahan usia
onset dan tingkat keberhasilannya terjadi bersamaan dengan meningkatnya peran
penggunaan pembersih otomatis/ diaper disposibel.
Toilet training adalah latihan bowel dan bladder yang diberikan pada anak
perempuan mulai usia 18 bulan (atau lebih cepat) sampai usia 3 tahun (atau 5
tahun pada yang termasuk delayed toilet training), yang bertujuan melatih anak
buang air besar dan buang air kecil yang baik dan bersih, seperti cara membilas
(cebok dari depan ke belakang), dan secara luas termasuk kontrol bowel dan
badder yang baik. Tindakan pencegahan ini dianjurkan untuk mencegah ISK
berulang.
Para orangtua umumnya ingin secepatnya melatih anak mereka untuk
latihan toilet. Biasanya anak akan siap pada saat usia 18 sampai 24 bulan. Ketika
anak siap untuk latihan toilet (ketika anak tertarik) pelatihan akan berjalan dengan
lancar. Hampir semua anak kelihatan tidak nyaman dan mersa kotor jika celana
atau popoknya basah.Sehingga saat akan buang air besar atau buang air kecil
(karena merasa mereka akan kotor), mereka suka untuk menahannya, hal ini akan
menimbulkan konstipasi dan residu urin yang merupakan risiko ISK. Buang air
besar (bowell) kemudian lanjutkan latihan buang air kecil (bladder). Latihan
toilet/kamar kecil akan memakan waktu 3 bulan. Terdiri dari latihan. Kebanyakan
anak-anak tetap basah pada malam hari setelah mereka belajar untuk
menggunakan kamar kecil. Kesabaran sangat penting dan pujian diberikan pada
anak jika berhasil, yakni bila anak telah mampu untuk membuang air besar dan
kencingnya ke kamar kecil.
Langkah selanjutnya menyuruh dia membersihkan dirinya. Pembersihan
dapat dilakukan dari depan ke belakang (cebok dari belakang ke depan, mungkin
dapat meningkatkan untuk mendapatkan infeksi saluran kemih). Bantuan pada
anak saat belajar untuk menyiram kamar kecil dan mencuci dan mengeringkan
tangan baik untuk dilakukan. Kebanyakan anak-anak ketika diijinkan untuk
mengambil inisiatif sendiri, biasanya dapat belajar latihan toilet dengan cepat.
Jika seorang anak menolak untuk dilatih, biasanya alasannya adalah karena dia
belum siap.
Belajar untuk menggunakan toilet adalah peristiwa besar dalam kehidupan
anak kecil – sebagai tanda pertumbuhan yang pasti. Kebanyakan anak kecil ingin
belajar tentang bagaimana menggunakan ‘toilet’ dan bangga akan
keberhasilannya.
Pengajaran toilet akan lebih mudah ketika anak-anak siap secara fisik dan
mental, yaitu antara umur 2 atau 3 tahun. Anak perempuan biasanya sudah
mengontrol bowell dan otot kandung kemih sebelum anak laki-laki
melakukannya. Rata-rata, kebanyakan anak perempuan dilatih dengan jambangan
pada usia 2,5 tahun dan kebanyakan anak laki-laki pada usia 3 tahun. Anak dapat
tidak mengikuti pola seluruhnya asal mendekati sudah baik, sebab masing-masing
kematangan anak berbeda secara fisik. Kunci sukses adalah sabar dan waktu
(Natalia, 2006).
BAB 4
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2. Intervensi Keperawatan