Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya
berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6
Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang).
Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah
Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.
*KARATON-KARATON LAMA-JAWA
a.Kalingga
e.Sanjayawamsa
f.Kerajaan Kediri
g.Kerajaan Singasari
Menurut cerita di kitab Pararaton dan Nagarakrtagama, raja pertama bernama sri
Ranggah Rajasa Amurwabhumi yang populer dipanggil Ken Arok, adalah anak seorang
Brahmana bernama Gajah Para dengan Ibu bernama Ken Endok dari desa Pangkur, yang
semula berprofesi sebagai pencuri/penyamun yang sangat sakti dan selalu menjadi
buronan alat-alat negara. Atas bantuan seorang pendeta yang menjadikannya sebagai anak
pungut, ia dapat mengabdi kepada seorang akuwu (setara bupati) yang bernama Tunggul
Ametung. Namun akuwu itu kemudian dibunuhnya dan si janda, Ken Dedes dalam kondisi
hamil dikawininya, yang anak itu nantinya diberi nama Anusapati.
Kemudian ia mengambil kekuasaan Tumapel dan setelah cukup pengikutnya ia
melepaskan diri dari kerajaan Kadiri, yang kebetulan di Kadiri ada perselisihan antara raja
dan para pendeta, lalu para pendeta itu melarikan diri yang diterima baik dan dilindungi
Ken Arok.
Raja Krtajaya berusaha menindak Ken Arok, tapi dalam pertempuran di Genter pada tahun
1222 Ken Arok menang dan menjadi raja Tumapel dan Kadiri, yang ber-Ibukota di
Kutaraja.
Dari Ken Dedes selain mempunyai anak tiri Anusapati, ia juga mempunyai anak yang
diberi nama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari isteri lain, Ken Umang, ia mempunyai
anak yang diberi nama Tohjaya.
Dalam tahun 1227 Ken Arok dibunuh anak tirinya, Anusapati, yang menggantikannya
sebagai raja. Lalu untuk mengenang Ken Arok, dibuatkan candi di Kagenengan (sebelah
selatan Singhasari) dalam bangunan suci agama Siwa dan Buda. Sedangkan Ken Dedes
yang tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah yang
diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita.
Anusapati/Anusanatha) yang memerintah tahun 1227-1248 dengan aman dan tenteram,
dibunuh oleh Tohjaya dengan suatu muslihat, dan untuk itu Anusapati dimuliakan di candi
Kidal (sebelah tenggara Malang). Namun Tohjaya hanya memerintah beberapa bulan,
karena aksi balas dendam dari anak Anusapati yaitu Rangga Wuni. Tohjaya melarikan
diri, namun karena luka-lukanya ia meninggal dunia, dan dicandikan di Katang Lumbang.
Di tahun 1248 Rangga Wuni naik takhta dengan gelar sri Jaya Wisnuwardhana, dan raja
Singhasari pertama yang namanya dikekalkan dalam prasasti, dan ia memerintah bersama
sepupunya, Mahisa Campaka (anak dari Mahisa Wonga Teleng), diberi kekuasaan untuk
ikut memerintah dengan pangkat Ratu Angabhaya bergelar Narasimhamurti. Dikisahkan
bahwa mereka memerintah bagai dewa Wisnu dan dewa Indra.
Anak Rangga Wuni, Krtanagara, di tahun 1254 dinobatkan sebagai raja, namun ia tetap
memerintah terus untuk anaknya, sampai dengan wafatnya dalam tahun 1268 di
Mandaragiri, lalu dicandikan di Waleri dalam perwujudannya sebagai Siwa dan di
Jayaghu (candi Jago) sebagai Buddha Amoghapasa.
Yang menarik, candi Jago berkaki tingkat tiga tersusun semacam limas berundak-undak
dan tubuh candinya terletak di bagian belakang kaki candi menunjukkan timbulnya
kembali unsur-unsur Indonesia, disamping terlihat pula dari relief-reliefnya dengan
pahatan datar, gambar-gambar orang yang mirip wayang kulit Bali saat ini, dan para
kesatriyanya diikuti punakawan (bujang pelawak).
Kertanagara, adalah raja Singhasari yang banyak diketahui riwayatnya dan paling banyak
peristiwanya, dimana sang raja dibantu oleh 3 orang mahamantri (rakryan I hino, I sirikan
dan I halu) dan para menteri pelaksana (rakryan apatih, demung dan kanuruhan), serta
seorang dharmadhyaksa ri kasogatan yang mengurusi keagamaan (kepala agama Buda)
dan seorang pendeta yang mendampingi raja, yaitu seorang mahabrahmana dengan
pangkat sangkhadhara.
Karena ia bercita-cita meluaskan wilayah kekuasaan, maka ia menyingkirkan tokoh-tokoh
yang dianggapnya menentang/menghalangi, yaitu patihnya sendiri bernama
Arema/Raganatha dijadikan adhyaksa di Tumapel yang diganti oleh Kebo
Tengah/Aragani, lalu Banak Wide yang ditugaskan menjadi Bupati Sungeneb (Madura)
bergelar Arya Wiraraja.
Di tahun 1275 Krtanagara mengirim pasukan ke Sumatera Tengah yang terkenal dengan
nama Pamalayu dan berlangsung sampai tahun 1292, dimana saat pasukan tiba kembali,
Krtanagara sudah tidak ada lagi. Namun prasasti pada alas kaki arca Amoghapasa yang
diketemukan di Sungai Langsat (hulu sungai Batanghari dekat Sijunjung), diterangkan
bahwa di tahun 1286 atas perintah Maharajadhiraja Sri Krtanagara Wikrama
Dharmottunggadewa, sebuah arca Amoghapasa beserta 13 arca pengikutnya dipindahkan
dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi. Atas hadiah ini rakyat Malayu sangat senang terutama
sang raja, yaitu srimat Tribuwanaraja Maulawarmmadewa.
Kertanagara dalam tahun 1284 menaklukkan Bali, Pahang, Sunda, Bakulapura
(Kalimantan Barat Daya) dan Gurun (Maluku), sebagaimana diketahui dari
Nagarakrtagama. Selain itu, dengan Campa diadakan persekutuan yang diperkuat dengan
perkawinan, sesuai prasasti Po Sah (di Hindia belakang) yang menuliskan bahwa raja Jaya
Simphawarman III mempunyai dua permaisuri yang salah satunya dari Jawa (mungkin
saudara Kertanagara).
Sejak tahun 1271 di Kadiri ada raja bawahan, yaitu Jayakatwang yang bersekutu dengan
Wiraraja dari Sungeneb yang selalu memata-matai Kertanagara. Belum kembalinya
pasukan Singhasari dari Sumatra dan adanya insiden dengan Kubilai Khan dari Tiongkok,
atas petunjuk dan nasehat Wiraraja dalam tahun 1292 Jayakatwang melancarkan serbuan
ke Singhasari melalui utara untuk membuat gaduh dan dari selatan merupakan pasukan
induk.
Kertanagara mengira serangan hanya dari utara, maka ia mengutus Raden Wijaya (anak
Lembu Ta, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) untuk memimpin
pasukan ke utara., sedangkan yang dari selatan berhasil memasuki kota dan Karaton,
dimana saat itu Krtanagara sedang minum berlebihan bersama dengan mahawrddhamantri
serta dengan para pendeta terkemuka dan pembesar lain, yang katanya sedang melalukan
upacara Tantrayana, terbunuh semuanya, dimana Krtanagara dimuliakan di candi Jawi
sebagai Siwa dan Budda di Sagala sebagai Jina/Wairocana bersama sang permaisuri
Bajradewi dan di candi Singosari sebagai Bhairawa.
Memang, sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok yang diketemukan
di Surabaya, Krtanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan
sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya
dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Sedangkan dalam Pararaton
dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab
Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka.
h.Kerajaan Majapahit
Raden Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan
diri setelah tahu Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri.
Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna
mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb.
Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di
Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan orang-orang Madura
dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.
Sementara itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal
berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan
membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan.
Di sini dimanfaatkan Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok
menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok
sampai di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang tentara Tiongkok sehingga
banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok.
Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi
raja pertama kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309),
mempunyai 4 (empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan
yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah
berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.
Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman,
susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga
dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan
sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.
Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre
Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu
Kalagemet/Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk memuliakannya, Raden
Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan
Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah
Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di
candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan
Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak
menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih
setia kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak
Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat
tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja.
Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal.
Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah
Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan
selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja
melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari
sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukan-
pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur
Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan
Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi,
dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali.
Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan
hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama Bhre
Kahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi
Jayawisnuwardhani (1328-1360).
Tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih
Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan
dapat ditumpas.
Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa
(artinya garam dan rempah-rempah) yaitu : bahwa ia tidak akan merasakan palapa,
sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang
Jawa, disebut mutih.
Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343
bersama Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat
sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah ditaklukkan
Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai
wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.
Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita
kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung
(Minangkabau) dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun
terhadap Gayatri ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih
sedarah dengan raja putri itu.
Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan
menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas
perkawinannya dengan KErtawardddhana.
Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada
sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka mengibarkan
panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung
baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan.
Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti
Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran (anak dari Rahyang
Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang belum dapat ditaklukkan
Majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan jalan tipu muslihat akhirnya di
tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan
dibinasakan secara kejam di lapangan bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka
secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti
dibawah ini.
i.Perang Bubat (Menurut Kidung Sundayana)
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan
seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana,
tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar
Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca
dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja
belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri.
Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan
kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar
khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh
Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu jiwanya yang senantiasa
memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja
Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah
Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri
Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di
kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu
Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju
pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-
tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya.
Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang
akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari
kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang
berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri
tersebut akan "dihadiahkan" kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri
tersebut akan "di pinang" oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda
dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu
peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka
oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang
mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung
kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung
Sindanglaya ini.
Semenrata di Jawa Barat telah ada :
1030 : Berdirinya kerajaan nafas hindu : Sunda dengan rajanya Sri Jayabupati.
1190 : Kerajaan Galuh dengan rajanya Ratu Pusaka
1333 : Kerajaan Pajajaran, dengan ibu kota Pakuan. Rajanya Ratu Purnama
Selain sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum
yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab
hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan
dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364, dan digantikan oleh
4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan negara serta lebih ditujukan
kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah. Beberapa hasil karya semasa Hayam
Wuruk lainnya antara lain:
• Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
• Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
• Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;
• Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
• Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
• Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
• Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371;
• Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit,
dihimpun oleh mpu Prapanca di tahun 1365;
Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;
Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit.
Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek
Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak
perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan
permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.
Wikramawardhana (1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang
dikenal dengan nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok
mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha
memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan
Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari
Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu
di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan
Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam
(1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian daerah-daerah lainnya, dan ada
juga yang masih mengaku Majapahit sebagai atasannya tetapi dalam prakteknya tidak
banyak hubungan dengan pusat. Sehingga saat Wikramawardhana meninggal di tahun
1428, kerajaan Majapahit yang besar dan bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik
tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari
Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat
mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga
ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain :
• Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;
• Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;
• Rakyat memakai kain dan baju;
• Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat
dari emas, cula badak atau gading;
• Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;
• Biasa memakan sirih;
• Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;
• Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian
berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria;
• Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas
sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh
Dalang);
• Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari barat dan
memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama
Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama anjing
mereka.
Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak
diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. Yang
nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan Nusantara semakin suram dan
makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja, hilangnya
kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun
1400 berpusat di Malaka disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang
kedaulatan Majapahit.
Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu
Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya
ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai
tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-
undak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung
Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir,
gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-
lain.
Suhita digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah dan
pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. dari kitab
Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti Krtawijaya, tetapi ia
berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga tahun tanpa raja, lalu
dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466
ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi
Singhawikramawardhana, berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun. Dalam tahun
1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasawardhana), yang kemudian berkuasa
di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha,
dimana ia wafat di tahun 1474.
Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu
Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di
tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika
Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian
tentang riwayat Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa
Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya
berpindah ke kerajaan Islam di Demak.
Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan
Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan
Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa
ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan
tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja
Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.
Penerus Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di
Kahuripan) adalah Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478. Tidak
diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu putra yang
bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi Bupati Demak. Hanya
saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, lalu masuk agama
Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang
kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan
Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan
tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan
tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.
j.Kerajaan Demak
pemakaman
Seorang Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500
bernama raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka
memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan daerah-
daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia mendirikan kerajaan
Islam yang berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan Kejawan/Lembupeteng di
Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak dari hasil perkawinan antara Joko Tarub dan Rr.
Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya bernama Kyai Ageng Getas/R. Depok di
Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman.
Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di
Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu buyut bernama raden Praseno yang menjadi
adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, yang mana putranya yang bernama pangeran
Undakan menggantikannya dan bergelar cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi
mempunyai anak yaitu Trunojoyo.
Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn. Dayaningrat
mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki Ageng Pengging
yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.
Ia akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama bergelar
Sultan Demak ia mencapai kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap berlangsungnya
kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat upacara dan pusaka dibawa ke
Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau
pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang hanya 3 tahun memerintah karena
meninggal. Lalu ia digantikan saudaranya yaitu pangeran Trenggono bergelar Sultan
Demak yang memerintah sampai tahun 1548. Dalam memerintah Trenggono mampu
memperluas kerajaan sampai di daerah Pase Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana
seorang ulama dari Pase bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan
dengan adik raja. Karena Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat-tempat
perdagangan kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum Islam, yaitu Cirebon dan Banten
(akhirnya diserahkan Fatahillah oleh Demak).
Di tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja sama
dengan raja Pajajaran menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan mendirikan benteng di
Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis datang kembali dimana Sunda Kalapa
sudah berubah nama menjadi Jayakarta, dibawah kekuasaan Fatahillah yang tinggal di
Banten, sehingga Portugis kalah perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan
Trenggono sendiri walau berhasil menalukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah
Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali
yang tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Kematian Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya
bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk
pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh
anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta Demak dikuasai
Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan
dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula,
yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-
adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama
Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu
Trenggono.
Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh
Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia
menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum menceritakan
tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.
Kedatangan Islam ke Jawa
Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang
menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun
yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit,
di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari
kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit,
disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada
seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja
Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa
Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat
Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu
nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi,
yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai
unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari
barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus
berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Wali Sanga (9)
Mereka yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan agama
Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang
merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan/agama
penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga
gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam
pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam
hal pemerintahan dan politik. Menurut kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga
berganti susunan orangnya sebanyak 5 (lima) kali yaitu :
Dewan I tahun 1404 M :
Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur,
wafat di Gresik tahun 1419;
Maulana Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan
wafat di Pasai (Singapura) ;
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Triwulan
Mojokerto;
Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di
Jatinom Klaten tahun 1465;
Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri
antara Serang Merak di tahun 1435;
Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung
Santri tahun 1435;
Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping
masjid Banten Lama;
Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping
masjid Banten Lama;
Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa
waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.
Dewan II tahun 1436 M :
Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421
dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat;
Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga
dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan malik Isro’il ;
• Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang
wafat.
Dewan III tahun 1463 M :
Raden Paku/Syeh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai,
kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya
di Gresik;
>Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang
menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
• Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang
menggantikan Hasanuddin yang wafat;
• Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang
menggantikan Aliyyuddin yang wafat.
>Dewan IV tahun 1466 M :
Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun
1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel,
menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.
Dewan V :
Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang
telah wafat;
Syeh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan
berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini
masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan
kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan
dimakamkan.
• Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat
(bunuh diri atau dihukum mati).
k.Kerajaan Pajang
pemakaman
Arya Pangiri diserang oleh Sutowijoyo yang dibantu pangeran Benowo, yang
menghasilkan Sutowijoyo memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja
bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Tapi pengangkatan dirinya sendiri menjadi
raja Mataram memperoleh banyak tantangan, karena politik ekspansinya. Kecuali
Blambangan yang tetap bertahan dan belum Islam sesuai cita-cita Sutowijoyo, seluruh
Jawa termasuk Cirebon dikuasai. Ia yang meninggal di tahun 1601 dan dimakamkan di
Kota Gede, berhasil meletakkan dasar-dasar kerajaan Mataram.
Penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran
Benowo) yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar
Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan.
Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia
wafat di tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang
menggantikan yaitu adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh
saudaranya bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma
(1613-1646).
Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan
disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered.
Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan
dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati
Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. Akhirnya
seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah panji-panji Mataram, yang salah
satu cara untuk mengikat para adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram
dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan
Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal
Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang
tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah
strategi penyerangan.
Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil
V.O.C.(Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram
walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan
yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut
menyerang.
Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan
perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras
di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai
penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-
gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap
pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.
>Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya
mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di
Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan
Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orang-
orang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagang-
pedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi Saat sedang
konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di
Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat
ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu
Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan orang-orang Portugis.
>Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa
disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi
Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima
ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam
kerajinannya dalam sholat Jum’at.
Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan tahun
matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1
tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun
Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya
sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali
dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh
gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Pengganti Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga
dikenal sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya
digantikan oleh Mangkurat Amral/Mangkurat II (1677-1703), kemudian Mangkurat
Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I
(1708-1719), lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh
Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta (1745-
1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788),
Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah
menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III,
sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan
Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said
atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan
Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat
yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa
pengecualian.
Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di
pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti.
Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang
menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah
satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan
dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria
(KGPAA) Paku Alam I (1812-1828).
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755
dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul-betul
sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram..
Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur
menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati
hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing,
disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini
pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran
adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan
Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan
segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.*