Pembimbing :
Diajukan Oleh :
Iin Nila Nuraini, S.Ked
J510170011
Disusun Oleh :
Iin Nila Nuraini, S. Ked
J510170011
Pembimbing:
dr. Sunaryo, Sp.KK ( )
dipresentasikan di hadapan
dr. Sunaryo, Sp.KK ( )
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia :
Alamat : Karanganyar
Status : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 21 Desember 2017
B. Anamanesis
a. Keluhan Utama : bercak kemerahan diseluruh tubuh.
Pasien mengeluh muncul bercak diseluruh tubuh, timbul diraakan
sudah selama 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien mengeluh
bercak kemerahan muncul di badan lalu menyebar ke seluruh badan. Keluhan
disertai rasa gatal dan nyeri. Pasien juga mengeluh bercak kemerahan sampai ke
kaki dan tangan, tapi tidak mengenai bagian wajah. Keluhan tidak disertai mual
(-), pusing (-), diare (-), demam (-). Pasien mengatakan keluhan tersebut timbul
setelah minum obat puyer bintang toejoe yang dibelinya di warung, obat
diminumnya setelah 3 hari keluhan muncul.
d. Status Generalisata
- Kepala : normocephal
- Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
reflek cahaya (+/+)
- Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak hiperemis,
sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum
- Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
- Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan, lidah tidak
kotor,faring tidak hiperemis.
- Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
dan getah bening, JVP tidak meningkat
- Thorax
Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I – II murni, murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut datar simetris.
Palpasi : Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri tekan epigastrium
(+), nyeri Lepas (-), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
e. Status Dermatologis
Lokasi : seluruh tubuh
Distribusi : tersebar
UKK : patch eritematous, bentuk tidak teratur, batas tegas,
beraviarasi 2-3 cm, multiple dan berskuama atau bercak menyerupai
psoriasiformis.
D. Diagnosis Banding
1 Erupsi Obat
2. Dermatitis Atopik
3. Dermatitis kontak alergi
E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
F. Diagnosis
Erupsi Obat tipe psoriasiformis
G. Terapi
BAB II
ERUPSI OBAT
A. Definisi
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk (Edward & Aronson
2000).
Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada
tahun 1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga
memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,
pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen
sampai kematian.
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan
cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan pengobatan (Hamzah, 2007).
B. Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji
klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan
1,4,6
efek samping pemakaian obat-obatan.
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug
Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian
penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi
obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000
jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa
jenis erupsi obat yang sering timbul adalah:
• eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
• urtikaria sebanyak 5,9%, dan
• vaskulitis sebanyak 1,4%
C. Faktor resiko
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1,4
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang
mampu menjelaskan mekanisme ini.
1,4
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10
sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
1,4,6
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak
dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan
sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa
disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan
antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat
tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4,6
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat
kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat
digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada
penderita yang peka.
7
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang
disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human
herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom
hipersensitifitas obat.
1
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun
demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah
sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan
angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau
3,6
kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya.
D. Patogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat
timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat
dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral.
Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan
karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam
1
metabolisme.
a. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama
dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali
obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,
bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling
2,4
ditakutkan adalah timbulnya syok.
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir
2,4
dengan lisis.
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
2,4
terjadi kerusakan jaringan.
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul
2,4
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.
b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan
hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut
2
eritema skarlatiniformis.
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh
2
dan simetris.
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan
2
biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat..
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi
eksantematosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau
makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa
pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah
leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu
disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat
dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini
ditandai dengan perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat
2,7
kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit. Erupsi
eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, sulfonamid,
dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T sel juga
ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu
7
memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat
2
yang sama maka disebut eksantema fikstum.
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif
2
di tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.
Gambar 2.2. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan
oleh penggunaan obat golongan sefalosporin
f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor
2
tungkai bawah.
g. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat
terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada
2
stadium penyembuhan.
h. Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti
iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium
dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal
seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa
7
disertai komedo.
2. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)
memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa
disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul
0
bila seseorang mengalami demam tinggi (>38 C). Pustul tersebut cepat
menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti
oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul
intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis,
vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil
atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit
2
ini sangat jarang terjadi.
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug
eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
i. Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan
penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat
terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga
terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan kavitas mukosa mulut,
dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa
plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat
muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus.
ii. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu
sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti
timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan
terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah
terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi biasanya
akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila
penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali
ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa dengan erythema
multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di dermal-epidermal
junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai
diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis,
hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan
neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor
2,4,8
pada tempat lesi.
Gambar 2.3. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada
penderita FDE
2. Perjalanan Penyakit
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya
gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut:
Tabel 2.3. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1
sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai
urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi
yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan
lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan
4,6
exanthem dihubungkan dengan antibodi IgM.
F. Pemeriksaan Penunjang
H. Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.,
epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis
lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan
kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus
dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa
dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat
1,6
tersebut.
a) Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
1,4
kulit harus dihentikan segera.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps
1,4
setelah berada pada fase pemulihan.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%
1,9
dan larutan Darrow.
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
.9
mg intravena sehari dan hemostatik
b) Penatalaksanaan Khusus
1. Sistemik
a. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi
obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa,
purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena erupsi
obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4
x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan
pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan
perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ
dan TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian
intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan
progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya
2,7
IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
b. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan,
jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika
2
dibandingkan dengan kortikosteroid.
2. Topikal
• Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak
salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1%
untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu
2,9
digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
• Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
2,9
hidrokortison 1% sampai 2 ½%.
• Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang
2
dioleskan sebagian-sebagian.
• Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase.
Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim
9
sulfadiazin perak.
I. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom
Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
2,4,9
Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.
Tabel 5. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.
BAB III
KESIMPULAN
1. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan
cara sistemik.
2. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat.
3. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis
kelamin, orang dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan
keganasan.
4. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
5. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang
dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis),
Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV
(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat).
6. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel
mast secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau
pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah
kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi
generalisata diffuse.
7. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain
pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, erupsi eksantematosa, eritroderma, erupsi
pustuler, dan erupsi bulosa.
8. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in
vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-
vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin.
9. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan
penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian
terapi yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan
terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan
kortikosteroid dan antihistamin.
10. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena
DAFTAR PUSTAKA
2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
nd
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment
Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access
on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp
6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.
Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-
07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
7. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs.
th
In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6 ed. USA: The Mc
Graw Hill Companies, Inc. 2003. p: 1330-1337
8. Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology.
No.1. Volume 18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June
3, 2007. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf