Anda di halaman 1dari 2

Demokrasi dan Mobokrasi

Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut
dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua
kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan
(representative democracy).

Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu
pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4
kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu:

Jumlah warganegara harus kecil.

Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).

Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.

Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.

Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara
modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta
jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam)
yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari
pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?

Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya
tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada
yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-
kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam
proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.

Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan
dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi
perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti
seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau
membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen)
lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen,
rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini
adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat
(anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.

Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara.
Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di
tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR.
Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia
duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka
demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.

Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama
penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih
dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal
ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua
lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk
buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang
dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.

Anda mungkin juga menyukai