Anda di halaman 1dari 8

Faktor-faktor risiko

lingkungan (penyebab)

INFLAMASI

Hiperesponsif jalan Obstruksi jalan napa


napas

pencetus
gejala

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk- batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator
seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.
PATOFISIOLOGI INFLAMASI ALERGI PADA ASMA
Lebih dari 10.000 liter udara mengalir ke dalam paru setiap hari. Inhalasi gas
tersebut mengikutsertakan bakteri, virus, alergen
dan bahan iritan yang semuanya dapat menyebabkan cedera pada epitel paru.
Epitel yang rusak tersebut pada kondisi normal mampu melakukan perbaikan
secara cepat. Sel epitel terkadang dalam proses perbaikan tersebut membutuhkan
interaksi dengan fi broblas, jaringan saraf dan matriks ekstraseluler dilamina
propria sehingga terjadi reepitelisasi dan reinervasi secara cepat. Interaksi
anatomi dan fungsi antara epitel dan sel mesenkim tersebut disebut dengan
epithelial-mesenchymal tropic unit (EMTU). Ini menunjukkan bila terdapat
defek primer pada asma akibat faktor eksogen spesifi k di epitel maka akan secara
terus menerus dilepaskan growth factors. Mediator-mediator ini akan bekerja
secara terorganisir dengan sitokin Th2 sehingga menyebabkan gangguan fungsi
EMTU yang akhirnya mengakibatkan aktivasi miofi broblas secara permanen.
Sekali teraktivasi, miofi broblas akan memperkuat infl amasi yang terjadi dan
dimulailah proses remodeling oleh epitel.11-13 Berikut ini adalah episode-
episode yang khas terjadi pada asma bila terpajan oleh suatu alergen.
1. Fase induksi Proses infl amasi bronkus dan hiperresponsif jalan napas dimulai
dari masuknya alergen ke dalam jalan napas. Sebagian besar antigen akan
dibersihkan oleh pergerakan mukosiliar. Alergen yang dapat melalui mekanisme
pertahanan tersebut akan menembus lapisan epitel dasar dan akan ditangkap oleh
antigenpresenting cell (APC) terutama sel dendritik dan makrofag alveolar.
Alergen tersebut akan dibawa ke kelenjar limfe dan dipresentasikan ke sel T dan
B. Sel Th yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin
(IL)-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL10, IL-12, IL-13, IL-18, interferon (IFN)-
γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, TNF-β dan granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GMCSF). Sitokin yang paling berperan dalam perkembangan
asma adalah IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13, sedangkan IL-4 dan IL-13 berperan
penting pada produksi IgE. Interleukin -4 dan 13 bersama dengan IL-9 berperan
dalam menghasilkan sel mast, produksi mukus yang berlebihan dan
hiperesponsivitas jalan napas. Sitokin utama yang menyebabkan akumulasi
eosinofi l adalah IL-5.14,15
2. Reaksi asma fase dini Sel mast berperan penting pada reaksi asma fase dini
yang menghubungkan IgE dan jalan napas hiperresponsif ditemukan di jaringan
penunjang bronkus dan ruang perifer intraalveol dengan melepaskan zat kimia
dan jumlah sel mast akan meningkat setelah pajanan alergen. Sel mast terlokalisir
di dalam sel otot polos bronkus dan epitel bronkus penderita asma dan akan
menginfi ltrasi kelenjar mukus jalan napas. Sel mast sendiri pada manusia
dihasilkan dari sel induk pluripoten CD34+ dan bersirkulasi di dalam darah
kemudian akan kembali ke jaringan. Saat terjadi serangan asma, jumlah sel mast
yang berdegranulasi meningkat. Pajanan berulang terhadap alergen akan
menyebabkan terjadinya ikatan silang antara antigen, IgE dan reseptor Fc pada
sel mast. Ikatan tersebut menghasilkan pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin, leukotrien dan sitokin misalnya TNF-α. Hal ini merupakan
penyebab timbulnya gejalagejala hipersensitivitas tipe cepat seperti rinitis ringan
sampai syok anafi laktik.4,14-16 Gejala-gejala ini terjadi pada hitungan menit
sejak pajanan awal alergen dan mencapai puncak dalam 10-15 menit yang dalam
keadaan normal akan membaik dalam 1-3 jam pascapajanan. Proses infl amasi
ini pada akhirnya menyebabkan kontraksi otot polos jalan napas, edema dan
meningkatnya sekresi mukus sehingga terjadi sumbatan jalan napas serta timbul
gejala asma akut seperti hidung tersumbat, bersin, bronkokonstriksi dan kulit
kemerahan. Respons fase dini ini akan menginduksi menurunnya VEP1 sebanyak
25%.11,17
3. Reaksi asma fase lanjut Reaksi asma fase dini yang berlangsung sekitar 4-6
jam berikutnya akan diikuti reaksi asma
fase lanjut yang lebih berat dan lama. Secara umum sel mast dan mediator-
mediator yang dilepaskannya akan menginduksi terjadinya konstriksi jalan
napas, meningkatnya permeabilitas vaskular, hiperresponsif jalan napas, sekresi
mukus dan meningkatkan penarikan sel-sel infl amasi ke dalam jalan napas
setelah beberapa jam pajanan alergen terutama eosinofi l selain itu sel T,
makrofag, basofi l, neutrofi l serta sel-sel struktural seperti sel epitel, fi broblas,
sel endotel dan sel-sel otot polos. Sel-sel infl amasi ini dapat menghasilkan
mediator-mediator infl amasi yang sangat banyak seperti kemokin, sitokin dan
leukotrien yang berpengaruh baik secara langsung terhadap jalan napas maupun
tidak langsung melalui mekanisme neural, peningkatan infl amasi jalan napas
kronik setelah pajanan alergen berulang. Hasilnya adalah berupa infl amasi
kronik jalan napas yang terus-menerus mengalami cedera hingga akhirnya
menimbulkan perubahan struktural jalan napas dan akan tampak beberapa tahun
berikutnya berupa penurunan VEP1 sebanyak 75%. Perubahan struktur ini secara
keseluruhan disebut sebagai proses remodeling jalan napas
Udang memiliki banyak komponen alergenik. Salah satunya adalah
tropomyosin, protein yang terdapat pada otot udang. Tropomyosin yang terdapat
pada invertebrata seperti pada tungau, kecoa dan udang sangat homolog.
Tropomyosin ini sering terlibat dalam reaksi silang dengan alergen lain
sehingga dapat memperparah kejadian alergi
FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN PADA ASMA DAN ALERGI
Perkembangan penyakit alergi dan asma merupakan hasil interaksi antara faktor
genetik dan lingkungan seperti pajanan terhadap alergen, infeksi dan polusi
udara. Meskipun setiap orang terpajan dengan alergen dan tersensitisasi terhadap
zat tertentu di lingkungan sekitar namun manifestasi alergi dan asma hanya
terjadi pada beberapa orang saja. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor genetik
yang berperan.9 Gen yang pertama kali diidentifi kasi
berpengaruh terhadap asma adalah a disintegrin and metalloprotease 33
(ADAM33) yang berperan dalam hiperesponsivitas bronkus dan proses
remodeling jalan napas. Polimorfi sme pada gen ADAM33 juga dihubungkan
dengan proses terjadinya penurunan fungsi paru yang cepat pada populasi umum,
penderita asma maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Lebih lanjut
juga ditemukan bahwa asma yang dihubungkan dengan polimorfi sme nukleutida
tunggal pada ADAM33 dapat memprediksi penurunan fungsi paru pada anak-
anak. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ADAM33 sudah ada sejak awal
masa kehidupan.1,10
Studi epidemiologi juga menunjukkan terdapat hubungan antara pajanan
lingkungan dan risiko untuk terjadinya asma dan alergi. Selain faktor risiko
genetik dilaporkan juga faktor ras/etnik, jenis kelamin, perokok aktif maupun
pasif, mengkonsumsi produk hewani, hewan peliharaan anjing maupun kucing,
jumlah anggota keluarga, riwayat perawatan rumah sakit di usia kanakkanak,
infeksi pernapasan akibat virus, pajanan mikroba, vaksinasi, pemakaian
antibiotik dan antipiretik, cara kelahiran saat bayi, pemberian ASI, polusi udara,
obesitas, alergen, dan pajanan di tempat kerja.1
Makanan Laut Penyebab Alergi

Di seluruh dunia, makanan laut berupa ikan, udang dan kerang-kerangan memiliki
peranan penting dalam zat gizi manusia. Namun, makanan laut juga merupakan alergen
yang kuat pada individu yang sensitif dan menyebabkan reaksi alergi. Alergi pangan
karena makanan laut paling mudah terdeteksi karena gejala yang ditimbulkan relatif
cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah bisa dikenali. Jenis makanan
laut yang sering mengakibatkan gangguan adalah jenis yang berukuran kecil seperti
udang, cumi, kerang, kepiting dan sebagainya.

Ikan laut yang agak besar seperti salmon, tuna dan sebagainya relatif lebih ringan.
Klasifikasi makanan laut utama yang dapat menyebabkan reaksi alergi dapat dilihat
pada Tabel 1 dibawah (ALLSA 2008). Tabel 1. Klasifikasi makanan laut penyebab alergi
(ALLSA 2008) Grup Kelas Spesies

Mollusca Gastropoda Bivalvia Cephalopoda Abalone, Siput Tiram, Remis Cumi-cumi,


Gurita Arthropoda Crustacea Lobster, Udang, Lobster air tawar (crayfish) Chordata
Osteichthyes Condrichthyes Ikan Cod, Tuna, Salmon, Makerel Ikan hiu,cucut

Kelompok crustacea dan moluska merupakan janis pangan yang paling sering
menyebabkan reaksi hipersensitif yang diperantarai oleh antibodi IgE, yang
menimbulkan gejala alergi berupa urtikaria (gatal di kulit), angiodema, asma atau
kombinasi dari beberapa gejala tersebut (Motoyama et al. 2006). Penelitian Clark et al.
(2004) menunjukkan bahwa alergen ikan laut dapat mengakibatkan terjadinya 10%
reaksi anafilaksis. Sifat alergi dari protein ikan dipengaruhi oleh kondisi fisiologis
lambung, terutama pada individu yang sensitif terhadap jenis pangan ini (Untersmayr
et al. 2005). Protein ikan berdasarkan kelarutannya dibagi menjadi 3 jenis yaitu protein
sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Protein sarkoplasma berisi
beberapa jenis protein yang larut air dan dapat diekstrak dengan larutan garam
berkekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang dapat diekstrak
dengan larutan garam dengan kekuatan ion tinggi. Protein stroma merupakan jenis
protein yang tidak larut baik dalam larutan garam, asam maupun basa. Protein miofibril
merupakan bagian terbesar dari protein ikan yaitu sekitar 66-77% dari total protein
ikan. Protein sarkoplasma terdapat dalam jumlah sekitar 10% dari total protein ikan,
sedangkan protein stroma berkisar antara 3-5%. Kandungan protein sarkoplasma
dalam daging ikan bervariasi tergantung jenis ikan. Pada umumnya ikan pelagik
mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981).

Udang Jerbung

Salah satu spesies dari famili Penaeidae yang bernilai ekonomis tinggi dan tersebar luas
hampir di seluruh Indonesia adalah udang jerbung (Penaeus merguiensis). Seperti
hewan laut lainnya, dua komponen yang dominan pada udang adalah air dan protein.
Protein udang juga terdiri dari protein sarkoplasma, miofibril dan stroma (Suzuki 1981).
Penelitian Sriket et al. (2007) terhadap dua jenis udang Penaeus monodon dan Penaeus
vannamei menunjukkan bahwa komponen protein utama adalah miofibril yang terdiri
dari aktin dan myosin heavy chain (MHC). Perbedaan kandungan protein miofbril,
sarkoplasma dan stroma dari jenis udang putih (P.vannamei) dan udang P.monodon
disebabkan karena perbedaan sifat dan karakteristik dari kedua jenis spesies udang
tersebut. Udang jerbung memiliki klasifikasi sebagai berikut (Racek dan Dall 1965
dalam Naamin et al. 1992) : Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas :
Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus
merguiensis Dari sejumlah pangan penyebab alergi, kelompok udang-udangan
ditetapkan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya alergi pangan yang
dikarenakan semakin meningkatnya konsumsinya, terutama di negara-negara pesisir
(Lehrer et al. 2003). Udang merupakan satu diantara delapan sumber utama alergen
pangan yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia dan merupakan jenis pangan
yang banyak disukai karena rasa dan nilai gizinya yang tinggi (Yu et al. 2011). Telah
banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis alergen utama dari udang-
udangan, seperti yang dikemukakan dalam penelitian Motoyama et al. (2007), alergen
utama pada kelompok udang adalah tropomiosin, yaitu suatu protein miofibril 35-38
kDa yang terdapat di dalam kontraksi otot. Pengujian alergenisitas terhadap ekstrak
protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan bahwa ekstrak protein baik
fraksi sarkoplasma dan miofibril mampu menimbulkan terjadinya reaksi alergi pada
subyek penderita alergi (Ispurwanto 1998).

Anda mungkin juga menyukai