Anda di halaman 1dari 22

OSTEOMIELITIS

Pembimbing :
dr. Kurniawan Silalahi, Sp.Ot

Oleh:

Rio Permana Silalahi


Grace Sela Siagian
Galis Bimantari

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT PUTRI HIJAU
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan
judul “Osteomielitis”.
Penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada dr. Kurniawan Silalahi, Sp.Ot sebagai
dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberikan masukan
dan kritikan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tepat waktu.
Penulis menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun dari semua pihak di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus
ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi semuanya. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... 2


Daftar Isi .............................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 4
1.2. Tujuan ............................................................................................... 4
1.3. Manfaat ............................................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 5
2.1. Anatomi ........................................................................................... 5
2.2. Fisiologi ........................................................................................... 6
2.3. Osteomielitis .................................................................................... 9
2.3.1. Definisi ................................................................................. 9
2.3.2. Etiologi ................................................................................. 9
2.3.3. Patofisiologi..........................................................................9
2.3.4. Jenis.....................................................................................11
2.3.5. Pemeriksaan ....................................................................... 13
2.3.6. Penatalaksaan......................................................................14
2.3.7. Diferensial Diagnosis ......................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan
struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik

1.2. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Dapat mengerti dan memahami tentang Diabetes.
2. Dapat menerapkan teori terhadap pasien dengan Diabetes.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Methodist Indonesia.

1.3. MANFAAT
Makalah ini diharakan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan pembaca
terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan kepada
masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang Diabetes.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang

Tulang adalah jaringan hidup yang strukturya dapat berubah sebagai


akibat tekanan yang dialaminya. Tulang selalu diperbaharui dengan pembentukan
tulang baru dan resorpsi. Seperti jaringan ikat lain, tulang terdiri dari sel, serabut,
dan matriks. Tulangbersifat keras karena matriks ekstraselulernya mengalami
kalsifikasi, dan mempunyai derajat elastisitas tertentu akibat adanya serabut-
serabut organik. Tulang mernpunyai fungsi protektif, misalnya tengkorak dan
columna vertebralis melindungi otak dan medula spinalis dari cedera; stemum dan
costa melindungi viscera rongga toraks dan abdomen bagian atas. Tulang
berperanan sebagai pengungkit seperti yang dapat dilihat pada tulang panjang
extremitas, dan sebagai tempat penyimpanan utama dari garam calcium. Sumsum

5
tulang yang berfungsi membentuk sel-sel darah terdapat di dalam rongga tulang
dan terlindungi oleh tulang.
Tulang terdiri atas dua bentuk, tulang kompakta dan tulang spongiosa.
Tulang kompakta tampak sebagai massa yang padat; tulang spongiosa terdiri atas
anyaman trabekula. Trabekula tersusun sedemikian rupa sehingga tahan akan
tekanan dan tarikan yang mengenai tulang.
Sumsum tulang (medulla ossium) terdapat di dalam cavitas medularis
tulang panjang dan tulang pendek serta substansia spongiosa tulang pipih dan
iregular.
Semua permukaan tulang, kecuali permukaan yang membentuk
persendian, diliputi oleh lapisan jaringan fibrosa tebal yang disebut periosteum.
Periosteum mengandung banyak pembuluh darah, dan sel-sel yang terletak lebih
dalam bersifat osteogenik, Periosteum khususnya berhubungan erat dengan tulang
pada tempat-tempat perlekatan otot, tendo, dan ligamentum. Berkas- berkas
serabut kolagen yang dikenal sebagai serabut Sharpey berjalan dari periosteum ke
tulang di bawahnya. Periosteum menerima banyak persarafan dan sangat peka.

a. Periosteum Tulang
 Cartilago
Tulang rawan (cartilago) merupakan bentuk jaringan ikat yang sel-
sel dan serabut-serabutnya tertanam di dalam matriks yang berbentuk
seperti agar. Matriks bertanggung jawab atas kekuatan -dan kekenyalan
tulang rawan. Kecuali pada permukaan sendi, tulang rawan diliputi oleh
selapis membrana fibrosa, yang dinamakan perichondrium. Terdapat tiga
jenis cartilago: yaitu cartilage hyaline, cartilage fibrosa, cartilage elastis1.

2.2 Fisiologi Tulang


Fungsi Tulang
1. Penunjang
Pelindung organ internal vital
2. Membantu pergerakan tubuh dengan memberi perlekatan bagi otot dan
membentuk tuas

6
3. Pembentuk sel darah (sumsum tulang)
4. Depo penyimpanan untuk Ca2+ dan PO43-, yang dapat dipertukarkan dengan
plasma untuk mempertahankan konsentrasi kedua elektrolit ini dalam plasma
Meskipun tulang tampak seperti benda mati namun konstituen-
konstituennya secara terus-menerus diperbarui. Pengendapan tulang
(pembentukan) dan resorpsi tulang (pengeluaran) dalam keadaan normal
berlangsung bersamaan sehingga tulang secara terus-rnenerus mengalami
remodeling, seperti orang merenovasi bangunan dengan merobohkan dinding
dan menggantinya dengan yang baru. Melalui remodeling, tulang manusia
dewasa diganti seluruhnya setiap sekitar 10 tahtn. Remodeling tulang
memiliki dua tujuan: (1) menjaga tulang agar tetap efektif dalam fungsi
mekanisnya, dan (2) membantu mempertahankan kadar Ca2+ plasma.
Ingatlah bahwa di tulang terdapat tiga jenis sel tulang. Osteoblas
mengeluarkan matriks organik ekstrasel tempat mengendapnya kristal
Ca3(PO4)2. Osteosit adalah "pensiunan' osteoblas yang terperangkap di dalam
dinding bertulang yang diendapkannya sendiri. Osteoklas menyerap tulang
sekitar dengan mengeluarkan asam yang melarutkan kristal Ca3(PO4)2 dan
enzim yang menguraikan matriks organik. Karena itu, di tulang terjadi "tarik-
tambang" sel yang terus-menerus, dengan osteoblas pembentuk tulang
melawan upaya osteoklas menghancurkan tulang. Kedua sel pembentuk dan
penghancur tulang ini, yang bekerja berdampingan, secara terus-menerus
melakukan remodeling tulang. Hampir sepanjang usia dewasa, laju
pembentukan dan resorpsi tulang hampir sama sehingga massa tulang total
relatif konsran selama periode ini.
Osteoblas dan osteoklas berasal dari sumsum tulang. Osteoblas berasal
dari sel stroma, sejenis sel jaringan ikat di sumsum tulang sedangkan
osteoklas berdiferensiasi dari makrofag, yaitu turunan monosit (sejenis sel
darah putih) yang berada di jaringan. Dalam suatu sistem komunikasi yang
unik, osteoblas dan prekursor-prekursor imaturnya menghasilkan dua sinyal
kimiawi yang mengatur perkembangan dan aktivitas osteoklas dalam cara
yang berlawanan ligan RANK dan osreoprotegerin

7
Ligan RANK (RANKL) meningkatkan aktivitas osteoklas. (Ligan adalah
molekul kecil yang berikatan dengan molekul protein yang lebih besar; salah
satu contoh adalah pembawa pesan kimiawi ekstrasel yang berikatan dengan
reseptor di membran plasma). Seperti diisyaratkan oleh namanya, ligan
RANK berikatan dengan RANK (untuk aktivator reseptor NF-B), suatu
protein reseptor di permukaan membran makrofag sekitar. Pengikatan ini
memicu makrofag untuk berdiferensiasi menjadi osteoklas dan membantunya
hidup lebih lama dengan menekan apoptosis. Akibatnya, resorpsi tulang
ditingkatkan dan massa tulang berkurang.

Osteoprotegerin (OPG), sebaliknya, menekan perkembangan dan aktivitas
osteoklas. OPG disekresikan ke dalam matriks dan berfungsi sebagai resepror
pengecoh yang berikatan dengan RANKL. Dengan memperdayai RANKL dan
menyebabkannya tidak dapat berikatan dengan reseptornya yang sejati
(RANK), OPG mencegah RANKL mengaktikan aktivitas osteoklas
meresorpsi tulang. Alibatnya, osteoblas penghasil tulang mengalahkan
osteoklas penyerap tulang sehingga massa tulang bertambah. Karenanya,
keseimbangan antara RANKL dan OPG adalah penentu penting densitas
tulang. Jika osteoblas menghasilkan lebih banyak RANKL maka aktivitas

osteoklas meningkat dan massa tulang berkurang. Jika osteoblas lebih banyak
menghasilkan OPG maka aktivitas osteoklas berkurang dan massa tulang
bertambah.
Massa tulang juga dapat berkurang seiring dengan penuaan. Kepadatan

tulang memuncak \pada usia 30-an, kemudian mulai turun setelah usia 40
tahun. Pada
melebihi pembentukan tulang. Akibatnya massa tulang yang
dikenal sebagai osteoporosis (berarti “tulang berpori"). Keadaan penipisan
tulang ini ditandai oleh berkurangnya pengendapan matriks tulang lebih

karena menurunnya aktivitas osteoblas dan/atau peningkatan osteoklas


daripada kelainan kalsifikasi tulang. Kausa yang mendasari osteoporosis
masih belum diketahui.
dan PO43- plasma normal, demikian juga PTH.

8
Osteoporosis terjadi lebih sering pada wanira pascamenopause karena ber-
kurangnya estrogen yang memelihara tulang2.

2.3. Osteomielitis
2.3.1. Definisi
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon (tulang)
dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis (inflamasi) untuk
menggambarkan kondisi klinis dimana tulang terinfeksi oleh mikroorganisme.4

2.3.2. Etiologi
Penyebab paling sering staphylococcus, penyebab lain streptococcus, salmonella,
jamur dan virus.
Infeksi dapat terjadi secara:
a. Hematogen, dari fokus yang jauh seperti tenggorok, kulit.
b. Kontaminasi dari luar
 Fraktur terbuka
 Tindakan operasi pada tulang
c. Perluasan infeksi jaringan ke tulang didekatnya.3

2.3.3. Patofisiologi
Terdapat tiga mekanisme dasar terjadinya osteomielitis. Osteomielitis
hematogen biasanya terjadi pada tulang panjang anak-anak, jarang pada orang
dewasa, kecuali bila melibatkan tulang belakang. Osteomielitis dari insufisiensi
vaskuler sering terjadi pada diabetes melitus. Contiguous osteomielitis paling
sering terjadi setelah terjadi cedera pada ekstremitas. Berbeda dari osteomielitis
hematogen, kedua yang terakhir biasanya dengan infeksi polimikroba, sering
Staphylococcus aureus bercampur dengan patogen lain.
Infected nonunion dan osteomielitis post trauma disebabkan oleh karena
kontaminasi mikroba setelah suatu patah tulang terbuka atau pembedahan pada
patah tulang tertutup. Pembentukan biofilm merupakan kunci dari perkembangan
infeksi. Biofilm merupakan suatu kumpulan koloni mikroba yang ditutupi matriks

9
polisakarida ekstraseluler (glycocalyx) yang melekat pada permukaan implan atau
tulang mati.
Fokus primer dari osteomielitis akut pada anak-anak terdapat pada metafise.
Bila tidak ditangani, terjadi peningkatan tekanan intramedula dan eksudat
menyebar melalui korteks metafise yang tipis menjadi abses subperiosteal. Abses
subperiosteal dapat menyebar dan mengangkat periosteum sepanjang diafise.
Nekrosis tulang terjadi karena kehilangan aliran darah akibat dari peningkatan
tekanan intramedulari dan kehilangan suplai darah dari periosteal. Bagian yang
avaskular dari tulang yang dikenal sebagai sequestrum, dan seluruh panjang dari
tulang dapat menjadi sequestrum. Fragmen ini menjadi tempat berkumpulnya
mikroorganisme dan dapat terjadi episode infeksi klinis yang berulang. Abses
dapat keluar melalui kulit, membentuk sinus. Respon pasien dibentuk oleh
periosteum sebagai usaha memagari atau menyerap fragmen ini dan
mengembalikan stabilitas, disebut involucrum
Infeksi bakteri ke tulang dapat terjadi karena inokulasi langsung, penyebaran
hematogen atau invasi lokal dari tempat infeksi lain. Fisis yang avaskuler
membatasi penyebaran infeksi ke epifise kecuali pada neonatus dan bayi.
Pembuluh darah menyebrang fisis hingga umur 15 hingga 18 bulan, berpotensi
terjadinya septic arthritis. Hal ini dapat terjadi sekitar 75% dari kasus
osteomielitis neonates.
Bakteri dapat muncul dalam bentuk biofilm atau planktonik. Biofilm
memberikan proteksi, kerangka, yang dapat memfasilitasi aktivitas metabolik dan
bahkan komunikasi antara anggotanya. Pada bentuk planktonik, tidak terdapat
struktur organisasi antara sel-sel, demikian juga tidak terbentuk lapisan kimia.
Bakteri dalam bentuk planktonik memudahkan penyebaran infeksi ke tempat lain
(bacteremia atau sepsis); namun lebih rentan diserang oleh sistem imun atau
antibiotik.
Setelah terinfeksi, osteomielitis melunakan tulang secara progresif dan terjadi
nekrosis tulang sehingga terbentuknya sequestrum. Pada stadium ini, debridemen
dengan pembedahan menjadi pilihan terapi. Adanya implant pada lokasi infeksi
dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat pengobatan yang sukses.4

10
2.3.4. Jenis Osteomielitis
2.3.4.1.Infeksi Piogenik
A. Osteomielitis Hematogen Akut
Osteomielitis akut hematogen merupakan infeksi serius yang biasanya
terjadi pada tulang yang sedang tumbuh. Penyakit ini disebut sebagai osteomielitis
primer karena kuman penyebab infeksi masuk ke tubuh secara langsung dari
infeksi lokal di daerah orofaring, telinga, gigi, atau kulit secara hematogen.
Berbeda dengan osteomielitis primer, infeksi osteomielitis sekunder berasal dari
infeksi kronik jaringan yang lebih superfisial seperti ulkus diabetikum, ulkus
Morbus Hansen, ulkus tropikum, akibat fraktur terbuka yang mengalami infeksi
berkepanjangan, atau dari infeksi akibat pemasangan prostesis sendi.
Pada awalnya terjadi fokus inflamasi kecil di daerah metafisis tulang
panjang. Jaringan tulang tidak dapat meregang, maka proses inflamasi akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraoseus yang menghalangi aliran darah
lebih lanjut. Akibatnya jaringan tulang tersebut mengalami iskemia dan nekrosis.
Bila terapi tidak memadai, osteolisis akan terus berlangsung sehingga kuman
dapat menyebar keluar ke sendi dan sirkulasi sistemik dan menyebabkan sepsis.
Penyebaran ke arah dalam akan menyebabkan infeksi medula dan dapat terjadi
abses yang akan mencari jalan keluar sehingga membentuk fistel. Bagian tulang
yang mati akan terlepas dari tulang yang hidup dan disebut sebagai sekuester.
Sekuester meninggalkan rongga yang secara perlahan membentuk dinding tulang
baru yang terus menguat untuk mempertahankan biomekanika tulang. Rongga
ditengah tulang ini disebut involukrum.
Penderitanya kebanyakan adalah anak laki-laki. Lokasi infeksi tersering
adalah di daerah metafisis tulang panjang femur, tibia, humerus, radius, ulna, dan
fibula. Daerah metafisis menjadi daerah sasaran infeksi diperkirakan karena; (1)
daerah metafisis merupakan daerah pertumbuhan sehingga sel-sel mudanya rawan
terjangkit infeksi; (2) dan metafisis kaya akan rongga darah sehingga risiko
penyebaran infeksi secara hematogen juga meningkat; (3) pembuluh darah di

11
metafisis memiliki struktur yang unik dan aliran darah di daerah ini melambat
sehingga kuman akan berhenti di sini dan berproliferasi. Etioiogi terseringnya
adalah kuman gram positif yaitu Staphylococcus aureus.
Gejala klinis osteomielitis akut sangat cepat, diawali dengan nyeri lokal
hebat yang terasa berdenyut. Pada anamnesis sering dikaitkan dengan riwayat
jatuh sebelumnya disertai gangguan gerak yang disebut pseudoparalisis. Dalam 24
jam akan muncul gejala sistemik berupa seperti demam, malaise, cengeng, dan
anoreksia. Nyeri terus menghebat dan disertai pembengkakan. Setelah beberapa
hari, infeksi yang keluar dari tulang dan mencapai subkutan akan menimbulkan
selulitis sehingga kulit akan menjadi kemerahan. Oleh karenanya, setiap selulitis
pada bayi sebaiknya dicurigai dan diterapi sebagai osteomielitis sampai terbukti
sebaliknya.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis dengan
predominasi sel-sel PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C (CRP). Aspirasi
dengan jarum khusus untuk membor dilakukan untuk memperoleh pus dari
subkutan, subperiosteum, atau fokus infeksi di metafisis. Kelainan tulang baru
tampak pada foto Roentgen akan tampak 2-3 minggu. Pada awalnya tampak
rekasi periosteum yang diikuti dengan gambaran radiolusen pada korteks maupun
medula. Gambaran radiolusen ini baru akan tampak setelah tulang kehilangan 40-
50% massa tulang. MRI cukup efektif dalam mendeteksi osteomielitis dini,
sensitivitasnya 90-100%. Skintigrafi tulang tiga fase dengan Teknisium" dapat
menemukan kelainan tulang pada osteomielitis akut. Skintigrafi tulang khusus
juga dapat dibuat dengan menggunakan leukosit yang diberi label Galium atau
Indium.
Osteomielitis akut harus diterapi secara agresif agar tidak menjadi
osteomielitis kronik. Diberikan antibiotik parenteral berspektrum luas berdosis
tinggi selama 4-6 minggu. Selain obat-obatan simtomatik untuk nyeri, pasien
sebaiknya tirah baring dengan memperhatikan kelurusan {alignment) tungkai
yang sakit dengan mengenakan bidai atau traksi guna mengurangi nyeri,
mencegah kontraktur, serta penyebaran kuman lebih lanjut. Bila setelah terapi
intensif 24 jam tidak ada perbaikan, dilakukan pengeboran tulang yang sakit di

12
beberapa tempat untuk mengurangi tekanan intraoseus. Cairan yang keluar dapat
dibiak untuk menentukan antibiotik yang lebih tepat.
Diagnosis banding pada masa akut yaitu demam reumatik dan selulitis biasa.
Setelah minggu pertama, terapi antibiotik dan analgetik sudah diberikan sehingga
gejala osteomielitis akut memudar. Gambaran Roentgen pada masa ini berupa
daerah hipodens di daerah metafisis dan reaksi pembentukan tulang subperiosteal.
Gambaran klinis dan Roentgen yang demikian menyerupai granuloma eosinofilik,
tumor Ewing, dan osteosarkoma.
Komplikasi dini osteomielitis akut yaitu berupa abses, artritis septik, hingga
sepsis, sedangkan komplikasi lanjutnya yaitu osteomielitis kronik, kontraktur
sendi, dan gangguan pertumbuhan tulang.

B. Osteomielitis Kronik
Osteomielitis kronik umumnya merupakan kelanjutan dari osteomielitis
akut yang tidak terdiagnosis atau tidak diterapi secara adekuat.
Penderita osteomielitis kronik mengeluhkan nyeri lokal yang hilang timbul
disertai demam dan adanya cairan yang keluar dari suatu luka pascaoperasi atau
bekas patah tulang. Pada pemeriksaan dapat ditemukan fistel kronik yang
mengeluarkan nanah dan kadang sekuester kecil. Pemeriksaan Roentgen
memperlihatkan gambaran sekuester dan penulangan baru.
Penanganan ostemielitis kronik yaitu debrideman untuk mengeluarkan
jaringan nekrotik dalam ruang sekuester, dan penyaliran nanah. Pasien juga
diberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur. Involukrum belum cukup
kuat untuk menggantikan tulang asli yang telah hancur menjadi sekuester
sehingga ekstremitas yang sakit harus dilindungi dengan gips untuk mencegah
patah tulang patologik, dan debrideman serta sekuesterektomi ditunda sampai
involukrum menjadi kuat.5

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang


Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan tanda dari
proses inflamasi, baik disebabkan oleh infeksi maupun tidak. Keduanya dapat

13
meningkat sekitar 64% pada pasien osteomielitis kronis. Hitung sel darah putih
(WBC) sering normal pada sebagian besar pasien dengan osteomielitis kronik
atau infected nonunion.
Pemeriksaan x-ray dapat menunjukan daerah yang mencurigakan terhadap
infeksi, berupa resorpsi tulang, sequestrum, pembentukan tulang baru pada
periosteal atau endosteal dan iregularitas korteks.
CT scan menjelaskan tulang lebih detail, adanya sequestrum dan
perubahan kecil seperti erosi atau kerusakan korteks, reaksi periosteal atau
endosteal, dan fistula intraoseus.
Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dipercaya untuk mendeteksi
perubahan pada sum-sum tulang akibat dari infeksi. Ini merupakan modalitas
dengan sensitivitas tinggi untuk menilai pasien dengan osteomielitis. Peningkatan
cairan sekunder karena edema atau hyperemia menunjukan penurunan sinyal sum-
sum tulang pada T1, dan peningkatan sinyal pada T2. Erdman dkk menggunakan
MRI untuk mengevaluasi 110 pasien yang dicurigai menderita osteomielitis dan
mendapatkan sensitivitas sebesar 98% dan spesifisitas sebesar 75%.4

2.3.6. Penatalaksanaan
Tahap pertama penanganan osteomielitis kronis adalah membuat
diagnosis. Karena diferensial diagnosis pada pemeriksaan radiologi termasuk
neoplasma, sering diperlukan biopsi. Setelah menegakkan diagnosis, penanganan
osteomielitis kronis adalah pembedahan. Sangat penting untuk memperbaiki
status fisiologi inang melalui nutrisi yang baik, koreksi anemia, dan terapi infeksi
lain yang ada (Spiegel & Penny, 2005).
Manajemen osteomielitis dan infected nonunions termasuk kontrol infeksi
dengan debridemen dan antibiotik, stabilisasi fraktur, penanganan defek dengan
tujuan memperoleh union tulang yang aseptik. Penyelamatan ekstremitas pada
osteomielitis kronis yang difus terdiri dari debridemen, stabilisasi tulang,
pemberian antibiotik sistemik dan lokal, penutupan jaringan lunak, dan
manajemen patah tulang yang belum union serta defek tulang.

14
Tahap pertama: Debridemen, stabilisasi tulang dan terapi antibiotik.
Debridemen Ahli bedah Perancis yang mempopulerkan istilah
“débridement,” yang artinya memotong jaringan yang kontraktur disekitar luka.
Saat ini istilah tersebut digunakan untuk prosedur yang lebih ekstensif dari insisi
dan eksisi jaringan yang rusak. Untuk menentukan jaringan mana yang akan di
eksisi, ahli bedah mengidentifikasi otot yang masih hidup dengan bantuan 4 C:
contraction (kontraksi saat dijepit), consistency (tidak lunak), capillary bleeding
saat dipotong, dan color (warna merah, bukan pucat atau gelap) (Bowyer, 2006).
Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap semua
jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan lunak dan tulang. Untuk
memastikan semua fokus infeksi sudah dibuang, debridemen dilakukan hingga
berdarah, jaringan yang hidup harus terdapat pada batas reseksi. Tulang yang
hidup ditandai dengan titik-titik perdarahan (paprika sign). Debridemen harus
radikal dan tidak dibatasi oleh kekhawatiran membuat defek tulang atau jaringan
lunak seperti yang terlihat pada Gambar 2.2 (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk,
2005).
Tidak ada perbedaan bermakna dari angka kejadian infeksi pada patah
tulang terbuka yang dilakukan debridemen awal dan terlambat berdasarkan waktu
(Schenker, 2012).
Bila terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka dan
pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi, drainase, debridemen
jaringan nekrotik dan irigasi yang banyak harus dikerjakan. Perhatian harus
diberikan untuk tidak merusak jaringan lunak diatas periosteum dan merusak
involucrum. Periosteum sebaiknya diinsisi secara longitudinal untuk membuang
sequestrum. Meninggalkan sequestrum di dalam involucrum tidak dianjurkan
karena dapat membentuk tempat pertumbuhan bakteri. Periosteum harus
dipertahankan dan dijahit membentuk struktur tubuler. Imobilisasi sangat penting
setelah operasi. Pemasangan gips dapat membantu. Debridemen dengan
pembedahan merupakan hal penting dalam penanganan osteomielitis kronis selain
antibiotik dan imobilisasi pada anak-anak (Unal dkk, 2006).

15
Infeksi kronik sulit ditangani dengan cara tanpa pembedahan. Untuk
mencegah kekambuhan, biofilm harus dieksisi dan luka harus di revitalisasi. Luka
yang hidup, bersih dan dapat dikendalikan sangat diperlukan untuk keberhasilan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil termasuk kesehatan inang, ekstensi dari
jaringan nekrotik, lokasi dari infeksi, dan keterbatasan karena penyakit. Pemilihan
pasien untuk penyelamatan ekstremitas, amputasi ataupun paliatif diperlukan pada
faktor tersebut.
Prosedur dari Lautenbach melibatkan debridemen, intramedullary reaming
dan pemasangan double-lumen tubes untuk membuat sistem antibiotik lokal dan
analisis ruangan untuk volume dan kultur. Hasil akhir dari terapi saat irigasi
menghasilkan kultur yang bersih tiga kali berturut-turut disertai perbaikan pada
darah dan hilangnya ruangan kosong.
Irigasi pada patah tulang terbuka tetap menjadi komponen yang sangat
penting dalam penanganan luka, dengan tujuan mengurangi jumlah benda asing
dan jaringan nekrotik serta jumlah bakteri, sehingga dapat mengurangi angka
kejadian infeksi. Penelitian pada hewan menunjukan bahwa irigasi dengan
tekanan yang tinggi dan jumlah yang banyak lebih efektif untuk mengurangi
bakteri dan debris dibandingkan dengan tekanan yang rendah dan jumlah yang
sedikit (dengan syringe). Walaupun jumlah volume yang pasti tidak diketahui,
kebanyakan setuju cairan irigasi sebanyak 6 sampai 10 liter diperlukan untuk
irigasi patah tulang terbuka grade 2 atau 3.

Stabilisasi tulang
Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk kontrol infeksi. Namun,
dengan adanya fiksasi interna, mikroorganisme dilindungi oleh biofilm yang
melekat pada permukaan implan. Oleh karena itu, keputusan untuk
mempertahankan atau mengeluarkan implant yang terinfeksi berbeda-beda untuk
setiap pasien, bergantung pada beberapa faktor yaitu status penyambungan tulang,
stabilitas yang disediakan oleh implant, lokasi fraktur, dan waktu sejak dilakukan
fiksasi fraktur (Patzakis dkk, 2005).

16
Antibiotik lokal.
Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi oleh
polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang dikombinasi dengan antibiotik,
seperti tobramycin, vancomycin, atau antibiotik spesifik lainnnya yang tahan
panas dan tersedia dalam bentuk serbuk. Penggunaan PMMA beads dengan
antibiotik lokal dapat mengurangi insiden infeksi pada patah tulang terbuka yang
berat. Bila perlu, debridemen ulang dapat dilakukan setelah 24 hingga 48 jam
berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan jaringan lunak.
Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level sistemik
meningkatkan kerja terhadap patogen dan mengurangi efek sistemik. Jumlah yang
direkomendasikan per 40g PMMA adalah 2.4g hingga 4.8g tobramycin, dan
vancomycin. Antibiotic-impregnated beads digunakan bila terdapat ruangan
kosong dan revisi akan dikerjakan, seperti debridemen ulang, penutupan jaringan
lunak dan bone graft. Bila memungkinkan, defek dapat diisi dengan flap otot.
Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi dibawah flap hingga digantikan
oleh bone graft pada prosedur berikutnya. Banyak antibiotik mempunyai penetrasi
yang buruk ke dalam tulang. Antibiotic beads, sebaliknya menyediakan
konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi, tidak bergantung pada aliran darah ke
dalam tulang.
Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi antibiotik dari antibiotic-
impregnated polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat menghilangkan koloni
biofilm. Lebih lanjut, antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate (PMMA)
beads dapat mengisi ruangan kosong (spacer effect). Setelah penyembuhan luka,
depot dapat dibuang dan dapat dilakukan rekonstruksi sebagai pembedahan yang
bersih.
Beads menutupi ruangan kosong sehingga mencegah akumulasi hematom
yang dapat berpotensi sebagai tempat infeksi. Beads antibiotik juga dapat
mengurangi pembentukan jaringan parut pada defek tulang. Bila infeksi menetap,
debridemen ulang, kultur dan pergantian beads antibiotik dapat dikerjakan
beberapa hari atau minggu kemudian. Setelah infeksi telah terkontrol, beads
dikeluarkan. Untuk kasus non-union, bone graft dapat ditempatkan pada daerah

17
beads.

Antibiotik sistemik
Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4 sampai 6 minggu
dan dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan. Manajemen dengan periode yang
lebih singkat dari terapi intravena (hingga 1 minggu), diiikuti oleh antibiotik oral
selama 6 minggu, sukses dicatat pada 91% pasien.

Tahap dua : manajemen luka


Bergantung pada ekstensi dari infeksi, penundaan atau penutupan luka
primer dapat dikerjakan pada pasien dengan jaringan lunak yang cukup.
Debridemen ulang sering diperlukan. Dengan adanya jaringan yang rusak,
penutupan dapat dicapai dengan flap lokal atau free flap, tergantung pada lokasi
dan ekstensi defek jaringan lunak.
Penutupan luka primer setelah debridemen yang cermat tidak berhubungan
dengan peningkatan resiko infeksi, dapat mencegah kontaminasi sekunder dan
dapat mengurangi morbiditas, lama dirawat dan biaya. Akan tetapi dapat
berpotensi terjadinya clostridial myonecrosis, yang dapat berakhir bukan hanya
hilangnya ekstremitas tetapi juga kehilangan nyawa.
Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi terapi tambahan
yang penting pada manajemen luka trauma dan insisi pembedahan yang
berhubungan dengan trauma musculoskeletal. Mekanisme kerja NPWT termasuk
stabilisasi lingkungan luka, mengurangi edema, meningkatkan perfusi jaringan,
dan stimulasi sel-sel pada permukaan luka. NPWT menstimulasi jaringan
granulasi dan angiogenesis dapat mendukung penutupan primer dan mengurangi
kebutuhan untuk transfer jaringan. Sebagai tambahan, NPWT mengurangi
kontaminasi bakteri gram negatif.

Tahap Tiga : Manajemen defek tulang dan fraktur non-union
Bone Graft


Bone graft dari iliac crest dapat digunakan untuk penanganan defek tulang
hingga 6 cm. Bone graft dikerjakan bila jaringan lunak penutup sudah sembuh,

18
adanya flap yang viabel dan infeksi telah terkontrol, biasanya dalam 6 hingga 8
minggu setelah transfer otot.
Tulang cancellous mempunyai daya tahan yang lebih dibandingkan
dengan tulang kortikal, mungkin karena paling terakhir terjadi gangguan
vaskularisasi. Untuk vaskularisasi graft diperlukan dasar graft yang baik
vaskularisasinya.

Prosedur rekonstruksi khusus


Defek tulang >6 cm membutuhkan prosedur rekonstruksi khusus, seperti
vascularized bone grafts atau distraction osteogenesis. Distraction osteogenesis
berguna untuk rekonstruksi defek tibia yang terinfeksi.
Alasan terjadinya angka kekambuhan yang tinggi adalah (1) tidak
adekuatnya debridemen dalam membuang semua sequestrum, (2) penurunan
aliran darah secara primer atau sekunder karena operasi menurunkan kapasitas
penyembuhan dan resistensi terhadap infeksi berulang, (3) jaringan parut atau sisa
ruangan mati sebagai tempat berkembangnya infeksi, dan (4) adanya kombinasi
infeksi bakteri aerobik dan anaerobic.
Waktu dilakukan intervensi pembedahan masih kontroversi. Ada yang
merekomendasikan sequesterektomi dini untuk eradikasi infeksi dan memberikan
lingkungan yang lebih baik untuk periosteum, yang lain merekomendasikan untuk
menunggu hingga sudah terbentuk involucrum sebelum mengerjakan
sequesterektomi untuk mengurangi resiko komplikasi seperti fraktur, nonunion,
deformitas, dan kehilangan tulang. Untuk kehilangan tulang, dapat dikerjakan
bone graft atau bone transport.4

2.3.7. Diagnosis Banding


Gambaran radiologik osteomielitis dapat menyerupai gambaran penyakit-
penyakit lain pada tulang, diantaranya yang terpenting adalah tumor ganas primer
tulang. Destruksi tulang, reaksi periosteal, pembentukan tulang baru, dan
pembengkakan jaringan lunak, dijumpai juga pada osteosarkoma dan Ewing
sarkoma.

19
Osteosarkoma, seperti halnya osteomielitis, biasanya mengenai metafisis
tulang panjang sehingga pada stadium dini sangat sukar dibedakan dengan
osteomielitis. Pada stadium lebih lanjut, kemungkinan untuk membedakan lebih
besar karena pada osteosarkoma biasanya ditemukan pembentukan tulang yang
lebih banyak serta adanya infiltrasi tumor yang disertai penulangan patologik ke
dalam jaringan lunak. Juga pada osteosarkoma ditemukan segitiga Codman.
Pada tulang panjang, Ewing sarkoma biasanya mengenai diafisis; tampak
destruksi tulang yang bersifat infiltratif, reaksi periosteal yang kadang-kadang
menyerupai kulit bawang yang berlapis-lapis dan massa jaringan lunak yang
besar.
Kuman biasanya bersarang dalam spongiosa metafisis dan membentuk pus
sehingga timbul abses atau beberapa abses kecil. Pus menjalar ke arah diafisis dan
korteks, mengangkat periost dan kadang-kadang menembusnya. Pus meluas di
bawah periost dan pada tempat-tempat tertentu membentuk fokus sekunder.
Nekrosis tulang yang timbul dapat luas dan tebentuk sekuester. Bila arteri nutrisia
mengalami trombosis, maka dapat menimbulkan sekwesterasi tulang yang luas.
Periost yang terangkat oleh pus kemudian akan membentuk tulang di bawahnya,
yang dikenal periosteal. Juga di dalam tulang itu sendiri dibentuk tulang baru,
baik pada trabekula maupun korteks, sehingga tulang terlihat lebih opak dan
dikenal sebagai sklerosis. Tulang yang dibentuk di bawah periost ini membentuk
bungkus bagi tulang yang lama dan disebut involukrum. Involukrum ini pada
berbagai tempat terdapat lubang tempat pus keluar, yang disebut kloaka.
Kelainan tulang yang terjadi pada foto roentgen biasanya baru dapat dilihat
kira-kira 10 sampai 14 hari setelah infeksi. Sebelumnya mungkin hanya dapat
dilihat pembengkakan jaringan lunak saja. Perubahan-perubahan pada tulang lebih
cepat terlihat pada anak-anak.
Bila ada foto pertama belum terlihat kelainan tulang, sedangkan klinis
dicurigai osteomielitis, sebaiknya foto diulang. Kira-kira satu minggu kemudian.
Seringkali reaksi periosteal yang terlihat lebih dahulu, baru kemudian terlihat
daerah-daerah berdensitas lebih rendah pada tulang yang menunjukkan adanya
destruksi tulang, dan disebut rarefaksi. Gambaran tulang selanjutnya bergantung

20
pada terapi yang diberikan. Bila terapi adekuat, proses akan menyembuh dan yang
terlihat pada foto mungkin hanya berupa reaksi periosteal dan sklerosis. Bila
terapi terlambat atau tidak adekuat, maka gambaran radiologik akan
memperlihatkan proses patologik.3

21
DAFTAR ISI
1. Snell, Richard. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC
2. Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 6.
Jakrat: EGC
3. Rasad, sjahriar. 2013. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Jakarta:
Depatemen Radiologi UI
4. http://erepo.unud.ac.id/11244/3/59f540f9b28d117aa59033b5a2cc6f28.pdf.
diakses pada 13 Desember 2017
5. Sjamsuhidajat. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC

22

Anda mungkin juga menyukai