Anda di halaman 1dari 26

F3.

Upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta Keluarga Berencana (KB)

Seorang Anak Laki-laki, 2 Tahun dengan Bronkopneumonia

Oleh :

dr. Astria Rima Rara Yuswir

Pendamping :

dr. Sandra Andria Fitri

Program Internsip Dokter Indonesia

Puskesmas Lubuk Buaya

Padang

2017
LAPORAN KEGIATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA)
UPTD PUSKESMAS LUBUK BUAYA

Nama Peserta dr. Astria Rima Rara Yuswir Tanda Tangan

Nama Pendamping dr. Sandra Andria Fitri Tanda Tangan

Nama Wahana UPTD Puskesmas Lubuk Buaya


Materi Portofolio Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Kasus Portofolio Bronkopneumonia
Tujuan Portofolio Mengetahui diagnosis dan pengobatan bronkopneumonia
pada anak
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Pneuomonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia (Afrika dan Asia Tenggara). Di Indonesia sendiri terjadi kematian bayi
sebesar 27,6% dan kematian balita sebesar 22,8% karena pneumonia.
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya:
pneumoni yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi
vitamin A, tingginya prevalens kolonisasibakteri patogen di nasofaring, dan
tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh
karena hal lain (aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Bakteri yang paling sering sebagai penyebab
pneumonia di negara berkembang adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus.
Berdasarkan tempat infeksi, dikenal 2 bentuk pneumoniae, yaitu: pneumonia
masyarakat (community acquaired pneumonia) – infeksi yang terjadi di
masyarakat, pneumonia RS/nosokomial (hospital acquaired pneumonia) – infeksi
yang terjadi di RS.
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Definisi bronkopneumonia


Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan pada
paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak
infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus
terminal.1 Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu
keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal
yang universal. Pneumonia adalah sindrom klinis, sehingga didefinisikan
berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan penyakitnya. Salah satu definisi
klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai
dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada
foto rontgen toraks.2 Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang
maksudnya lebih kurang sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa
pneumonia adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis
adalah inflamasi paru non-infeksi. Namun hal inipun tidak sepenuhnya ditaati oleh
para ahli.2

II.2 Anatomi
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama
neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia
tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan
jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan
implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan
resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau
partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan
ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus
terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari
epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada
area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari
pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting
dalam mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus
memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel
goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis
yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal
sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.
Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat
dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut
incissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo dekstra dibagi
menjadi 3 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius
Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
3. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal,
posterobasal

Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:


1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior,
lingularis inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan
posterobasal

II.3 Mekanisme pertahanan paru


Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring
dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup.
Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan
pembersihan yang efektif. 3
1. PEMBERSIHAN UDARA
Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi hidung,
orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar dan
memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati area-
area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan pada
temperatur tubuh dan dilembapkan. 3

2. PEMBAU
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan
dengan di trakhea n alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk
mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan
berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat tersebut membawa
udara menempel pada sensor pembau tanpa membawanya ke paru-paru. 3

3. MENYARING DAN MEMBUANG PARTIKEL YANG TERHIRUP


Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh
bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat
dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat
gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel tersebut
terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas, trakhea,
bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan mencapai duktus
alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai aerosol
dan 80% nya dikeluarkan. 3

Pembuangan partikel dilalui dengan beberapa mekanisme :


- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis
Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan
tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi
untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga
menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor
di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi sebagai akibat stimulasi
reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai kapasitas paru
total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang terutup. Tekanan
intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg. Selama fase refleks
tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas menurun
cepat, menghasilkan penekanan jalan nafas dan ekspirasi yang besar,
dengan aliran udara yang cdepat melewati jalan nafas yang sempit,
sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus keluar dari traktus
respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati hidung; saat batuk
ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga membantu
mengeluarkan mukus dari jalan nafas. 3

- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier


Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana
terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator mukosilier”
adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan dalam
menghilangkan partikel yang terinhalasi. Partikel terperangkap dalam
mukus kemudian dibawa ke atas kefaring. Pergerakan tersebut dapat
meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring
dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya,
pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal
tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak
dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. 3

4. MEKANISME PERTAHANAN DARI UNIT RESPIRASI TERMINAL


- makrofag alveolar
- pertahanan imun
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit
yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang lebih
80% sel yang membatasi jalan napas di bagian tengah merupakan epitel
bersilia, bertingkat, kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang
pada jalan napas bagian perifer. Masing-masing sel bersilia memiliki
kira-kira 200 silia yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi
kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan
kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga
terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap gelombang
disebarkan ke arah orofaring. 3

Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan


hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin,
sementara partikel yang terkumpul pada permukaan bersilia yang lebih
proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke lapisan mukus
nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan
glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian
bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran
napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit
utama di dalam saluran napas bagian bawah. Makrofag alveolar akan
menyiapkan dan menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan
mensekresikan sitokin yang mengubah proses imun dalam limfosit T
dan B. 3

III.4 Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK)
atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia nosokomial/PN). 4
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah
maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia
dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000
orang per tahun dan merupakan penyebab kematian akibat infeksi pada orang
dewasa di negara itu. Angka kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di
negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila
tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik
secara empiris. 1

III.5 Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 5
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu


Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemis; orang tua atau
orang muda
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan Pasien transplantasi, onkologi, AIDS
imun

III.6 Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen
penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : 5
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)

Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan


pneumonia anak, terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang
bersumber dari data di negara maju : 5,6
Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang
Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Bakteri : Bkateri anaerob,
Streptococcus grup B, Streptococcus grup D,
Listeria monocytogenes Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae

Virus : CMV, HMV


3 minggu – 3 Bakteri : Clamydia Bakteri : Bordetella
bulan trachomatis, pertusis, Haemophilus
Streptococcus pneumoniae influenza tipe B, Moraxella
catharalis, Staphylococcus
Virus : Adenovirus,
aureus
Influenza, Parainfluenza
1, 2, 3 Virus : CMV
4 bulan – 5 Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus
tahun pneumoniae, Mycoplasma influenza tipe B, Moraxella
pneumoniae, catharalis, Staphylococcus
Streptococcus pneumoniae aureus, Neisseria
meningitidis
Virus : Adenovirus,
Rinovirus, Influenza, Virus : Varicela zoster
Parainfluenza
5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus
pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.
pneumoniae

III.7 Patogenesis
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa
atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang
umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh
pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru
mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah
merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan
demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan
sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. 3
Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh
mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk.
Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme
patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori,
dan imunoglobunlin lain. 5
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat
fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,
kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. 5
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan
napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi
jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan
napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat.
Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch menyebabkan
hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral pada traktus
respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri sekunder
dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi
normal, dan memodifikasi flora bakterial. 5
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel pada epitel
respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan
memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler
yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan onstruksi jalan napas,
dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang bronkial, seperti
pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang membantu
proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain, biasanya
menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapangan paru. 7,8
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi
yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi
terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang
compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan
terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa
limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan
cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang
tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan
bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada sati sisi ditandai
adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur. 1

III.8 Manifestasi Klinik


Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman
penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi
klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat
jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi
gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal.
Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah.
Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah,
kembung, diare, atau sakit perut.3
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung.
Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung,
takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal
mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus
bisa tanpa batuk. 2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana
pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau
tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada
setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari
normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus
memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak
tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan patologinya
menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. 2
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi
basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada
bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas
saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi. 2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia
bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. 2

Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.
a. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi
mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi
dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena
kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada neonatus
dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih,
napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi
atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering
terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis
dan meningitis. 6
b. Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita
dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala,
anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare).
Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest
indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering
ditemukan bersama konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis.
Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada
infiltrat alveoler. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi
dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat
nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan
semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan
berubah menjadi nyeri tumpul. 6
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan
bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke
kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami
distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerografi atau ileus
paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh diafragma, atau memang
membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi
pneumonia. 6
c. Pneumonia atipik
Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia spp, Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum.
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab
potensial infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak
usia sekolah dan remaja. Chlamydia trachomatis sering ditemukan sebagai
penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal
(proses kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting.
Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan
menyebabkan ifeksi pada anak. 6

1. Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae


Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama,
keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak). Masa
inkubasi lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik
didahului dengan gejala menyerupai influenza (influenza like flu
syndrome) seperti demam (jarang lebih dari 380C), malaise, sakit
kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk. Kadang-kadang dapat
sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing
pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi
pleura pernah dilaporkan. Kadang dapat berlanjut menjadi bronkitis,
bronkiolitis, dan pneumonia. 6
Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya tidak
produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin
berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu.
Mengi dapat ditemukan pada 30-40% kasus pneumonia mikoplasma
dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih besar. Kultur bakteri
memerlukan waktu 2 minggu dan uji serolig hanya bermanfaat bila
telah terjadi pembentukan antibodi (ketika penyakit telah sangat
berkembang). Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi
gambaran infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak
konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai
efusi pleura. 6
2. Infeksi oleh Chlamydia penumoniae
Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk
kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak
tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan.
Gejala respiratori umunya tidak mencolok. Leukosit darah tepi
biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukan infiltrat
difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat
daripada gejala klinis. Pneumonia Klamidia lebih sering ditemukan di
daerah tropis, bersifat endemik, dan epidemik dengan interval 3-4
tahun. Infeksi Klamidia juga dapat berperan dalam patogenesis asma.6

III.9 Pemeriksaan Penunjang


a) Darah Perifer Lengkap
Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ). Dengan
prdominan PMN. Leukopenia ( < 5000/mm3 ) menunjukkan prognosis
yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang ditemukan
eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat
berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih
rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan
dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan darah perifer
lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara
pasti. 6
b) C- Reaktif Protein ( CRP )
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel rusak. 6
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi
superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus atau infeksi superfisialis daripada profunda. 6
c) Uji Serologis
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum,
uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri
tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak
peningkatan anibodi IgM dan IgG. 6
d) Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. 6
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia. 6
e) Pemeriksaan rontgen Thoraks
Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi. 6
 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia
lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru,
dikenal sebagai round pneumonia. 6
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke
daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.6

Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu


paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian,
ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru
kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak di
olbus bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih
berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar. 6

III.10 Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau
serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari
satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas cuping hidung, rtraksi,
ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran radiologis. 6
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,
maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis
dan tatalaksana pneumonia yang sederhana. 6
Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut. 6,8
 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
o Pneumonia sangat berat
 Tidak dapat minum/makan
 Kejang
 Letargis
 Malnutrisi
o Pneumonia berat
 Bila ada sesak nafas, ada retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
o Pneumonia
 Bila tidak ada sesak nafas
 Ada nafas cepat dengan laju nafas
 > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
 > 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun
 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
o Bukan pneumonia
 Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
 Bayi berusia dibawah 2 bulan
o Pneumonia sangat berat
 Tidak mau menetek/minum
 Kejang
 Letargis
 Demam atau hipotermi
 Bradipnea atau pernapasan ireguler
o Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas
 Retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik
o Bukan pneumonia
 Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

III.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau
infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan sistolik
ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal jantung)
juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. 6
III.12 Penatalaksanaan
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan,
tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan
terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. 6
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa,
elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik
/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. 6
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia
yang diduga disebabkan oleh bakteri. 6
a. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara
oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang
diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB
TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol. 6
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan
sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia,
dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan
bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam
selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis 15
mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari pertama)
dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya. 6
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta
laktam, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol.
Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB
setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan seftriaxon
intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan selama 10 hari.6

III.13 Pencegahan

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko
terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT
(Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di
samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu
mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan
polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
b. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan.
Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat
sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral
dan penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau
amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi
antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung
pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas
yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri
penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi
balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan
tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut
seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa : 9
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik
selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak
memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan
terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan
kematian.

III.14 Prognosis
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi. 1
BAB III
LAPORAN KASUS
II. Laporan Kasus KIA
1. Identitas
Nama pasien : An. H
Umur : 2 tahun
Nama Ibu : Ny E Nama Suami : Tn S
Umur : 27 tahun Umur : 30 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Lubuk Buaya Alamat : Lubuk Buaya

2. Subjektif
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 5 hari yang lalu, pasien panas tinggi, terus menerus, batuk (+) ngekel, pilek
(+), sesak (+), mengi (-), biru-biru (-), nafsu makan berkurang (+). Buang air besar
dan buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien sudah dibawa ke bidan, diberikan
Paracetamol dan CTM tetapi tidak kunjung membaik.
Riwayat Pemeliharaan Prenatal
Pemeriksaan kehamilan di bidan 8x, mendapat imunisasi TT 2x, penyakit
kehamilan (-), trauma kehamilan (-), diberi vitamin dan obat penambah darah.
Riwayat Persalinan
Bayi laki-laki lahir dari ibu G2P1A0, 25 tahun, hamil aterm, trauma dalam
kehamilan disangkal, infeksi selama kehamilan disangkal, riwayat minum jamu-
jamuan (-), riwayat sering sakit seperti flu (-), riwayat foto rontgen selama hamil
(-). Lahir di Puskesmas, ditolong bidan, spontan, bayi lahir langsung menangis,
dengan Apgar Score 7-8-9, berat lahir 2700 gram, panjang lahir 49 cm.
Riwayat Postnatal
Pemeriksaan post natal di Puskesmas, keadaan anak sehat.
Riwayat Imunisasi
Lengkap sesuai usia.
Riwayat Makan dan Minum
ASI diberikan sejak lahir, saat ini mengkonsumsi MPASI sesuai arahan posyandu
Riwayat Perkembangan
Perkembangan sesuai umur.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga batuk lama disangkal, asma disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya ditanggung Jamkesda. Kesan sosial ekonomi kurang.

3. OBJEKTIF
a. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Tampak sesak, menangis lemah
 Vital sign
o Nadi : 110 kali/ menit
o Nafas : 50 X/ menit
o Suhu : 37,3oC
o BB : 10,3 kg

Status Generalis
 Kepala
 Mata : konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : deformitas (-), discharge (-), napas cuping hidung (-)
 Leher : simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Thorax
RBH
Pulmo
o Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
retraksi (+) epigastrial dan intercostal
o Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
o Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronkhi basah halus nyaring
(+/+), wheezing (-/-)
Cor
o Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
o Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS
o Perkusi : Kesan kardiomegali (-)
o Auskultasi : S1-S2 regular, bising jantung (-)
 Abdomen
o Inspeksi : cembung, lemas, venetaksi (-)
o Palpasi : hepar teraba 1 cm BAC, lien tak teraba
o Perkusi : timpani, pekak sisi (+)N, pekak alih (-)
o Auskultasi : bising usus (+) N
 Genitalia : laki-laki, dalam batas normal
 Anggota gerak
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capp. Refill <2” <2”

4. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan

III. Assesment
Anak laki-laki, 2 tahun, dengan bronkopneumonia

IV. Planning
Melakukan edukasi kepada orang tua mengenai pentingnya dilakukan rujukan
kepada pasien ke spesialis anak karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan
dirawat di Puskesmas karena keterbatasan sarana prasarana.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Bronkopneumoni. Diunduh dari : http://id.scribd.com


2. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006.
Diunduh dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6
3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta : 1997. Hal 633.
4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.
5. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
6. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.
7. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Bandung: 2005.
8. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
2010.
9. Definisi Pneumoni. Diunduh dari : Chapter II.pdf

Anda mungkin juga menyukai