Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum
ditemui sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi
mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis
biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot
dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ
tubuh baik secara primer maupun oportunistik.(1)(2)
Penelitian mengenai obat antijamur saat ini telah mengalami perkembangan
pesat. Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat
antijamur topikal dan sistemik.(3),(4) Penggunaan obat antijamur topikal
diindikasikan pada infeksi jamur dengan area yang terbatas dan pasien yang
memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur sistemik. Antijamur sistemik
diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik.(5),
Obat antijamur saat ini dibagi menjadi empat golongan utama yaitu polien,
azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat antijamur yang tidak termasuk
kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat antijamur
topikal lainnya. (7)
Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau
membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal kulit
dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang merupakan
tempat berkembangnya koloni jamur. (7)
Pada saat ini obat-obat anti jamur yang baru telah mengalami perkembangan
yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan diharapkan
prevalensi penyakit infeksi jamur dapat berkurang. (7)

B. Tujuan dan Manfaat

1
1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui anti jamur untuk penyakit jamur superfisial dan profunda
b. Tujuan Khusus
Mengetahui jenis penyakit kulit dermatofitosis dan nondermaofitosis
serta macam-macam anti jamur untuk prnyakit jamur superfisial dan
profunda
2. Manfaat

Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa dan penulis.


Setelah mempelajari referat ini mahasiswa dan penulis mampu mengtahui dan
memahami macam penyakit kulit dengan etiologi jamur serta macam obat anti
jamur.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

Kelainan kulit akibat jamur atau dermatomikosis umumnya digolongkan


menjadi 2 kelompok, yakni: mikosis superfisial dan mikosis subkutan. Mikosis
superfisial adalah infeksi jamur yang mengenai jaringan mati pada kulit, kuku dan
rambut. Dalam beberapa buku, infeksi jamur ini dibedakan lagi menjadi mikosis
superfisial dan mikosis kutan berdasarkan reaksi jaringan. Pada mikosis superfisial
tidak terjadi reaksi inflamasi atau terjadi reaksi inflamasi ringan, yakni pada pitiriasis
versikolor, folikulitis Malassezia, piedra dan tinea nigra atau disebut juga sebagai
kelompok non dermatofitosis. Pada mikosis kutan, meskipun yang diserang bukan
jaringan hidup, terjadi reaksi inflamasi yang diakibatkan metabolit jamur, yakni pada
kelompok dermatofitosis. Mikosis superfisial banyak ditemukan di dunia, terutama di
daerah tropis, termasuk Indonesia.(6)
Mikosis subkutan adalah kelainan akibat jamur yang melibatkan jaringan di
bawah kulit. Beberapa diantaranya misetoma, kromomikosis, zigomikosis subkutan,
sporotrikosis, rinosporidiosis. Kandidosis, suatu penyakit jamur yang banyak
ditemukan dan disebabkan Candida spp. (6)
A. NONDERMATOFITOSIS
1. PITIRIASIS VERSIKOLOR
a. SINONIM
Sering disebut panu/ panau, tinea versikolor. Jarang disebut
dermatomycosis furfuracea, tinea flava, liver spots, chromophytosis. (6)
b. DEFINISI
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik,
disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umunya tidak memberikan gejala
subjektif, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorasi berskuama
halus, tersebar diskret atau konfluen dan terutama terdapat pada badan
bagian atas. (6)
c. EPIDEMIOLOGI

3
PV merupakan penyakit universal, terutama di temukan di daerah
tropis. Lebih banyak ditemukan pada remaja dan dewasa muda, jarang
pada anak dan orang tua. (6)
d. ETIOLOGI
PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang
merupakan flora normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik,
bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa. (6)
Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada
kulit manusia yakni M furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M.
slooffiae, M obtusa; dan satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa
terdapat pada kulit hewan, M. pachydermatis. Sifat lipofilik menyebabkan
ragi ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi kelenjar
sebasea. (6)
e. PATOGENESIS
Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah
menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV Kondisi atau
faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut
berupa suhu, kelembaban lingkungan yang tinggi, dan tegangan CO2
tinggi permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi
imunosupresif dan malnutrisi. (6)
Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan
warna pada lesi kulit, yakni Malassezia sp. memproduksi asam
dikarboksilat (asam azeleat) yang mengganggu pembentukan pigmen
melanin, dan memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang mempunyai
kemampuan absorbsi sinar ultraviolet sehingga menyebabkan lesi
hipopigmentasi. (6)
f. GAMBARAN KLINIS
Lesi Pv terutama terdapat pada bagian atas leher dan perut, ektremitas
sisi proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan dapat juga ditemukan

4
pada aksila, paha, Les berupa makula berbatas tegas, dapat dan kadang
eritematosa, terdiri atas berb dan berskuama halus. (6)
g. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi
kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan se bagai
petunjuk lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi. Hasil pemeriksaan
fluoresensi positif palsu yang antara lain dapat karena penggunaan salap
yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif palsu dapat
terjadi pada orang yang rajin mandi. Pemeriksaan mikologis langsung
sediaan kerokan kulit akan menunjukkan kumpulan hifa pendek dan sel
ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian menyebabkan sebutan serupa
'spaghetti and meatballs' atau 'bananas and grapes’. Sediaan diambil
dengan kerokan ringan kulit menggunakan skalpel atau dengan
merekatkan selotip. Pemerik- saan dengan menggunakan larutan KOH
20% dan dapat ditambahkan sedikit tinta biru-hitam untuk memperjelas
gambaran elemen jamur. (6)
h. DIAGNOSIS
Diagnosis PV jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah
predileksi berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan,
sampai dengan hitam, yang berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu
Wood untuk melihat fluoresensi kuning keemasan akan membantu
diagnosis klinis. Konfirmasi diagnosis dengan didapatkannya hasil positif
pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit. (6)
i. DIAGNOSIS BANDING
Pitiriasis alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea,
morbus Hansen tipe tuberkuloid, dan tinea. (6)
j. TATALAKSANA
Terapi dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik. Sebagai obat
topikal dapat digunakan antara lain selenium sulfide bentuk sampo 1,8%

5
atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama 15-30 menit dan
kemudian dibilas. Pengolesan dianjurkan di seluruh badan selain kepala
dan genitalia. Ketokonazol 2% bentuk sampo juga dapat digunakan serupa
dengan sampo selenium sulfid. Alternatif lain adalah solusio natrium
hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk lesi terbatas, berbagai
krim derivat azol misalnya mikonazol, klotrimazo isokonazol, ekonazol
dapat digunakan; demikian pula krim tolsiklat, tolnaftat,
siklopiroksolamin, dan haloprogin. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2
minggu setelah hasil pemeriksaan dengan lampu Wood dan pemeriksaan
mikologis angsung kerokan kulit negatif . (6)
Obat sistemik antara lain dengan ketokonazol 200 mg/hariselama 5-10
hari atau itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari. (6)
Pengobatan rumatan (maintenance) dipertimbangkan untuk
menghindari kambuhan pada pasien yang sulit menghindari faktor
predisposisi antara lain dengan sampo selenium sulfide secara periodis
atau dengan obat sistemik ketokonazol 400 mg sekali setiap bulan atau
200 mg sehari selama 3 hari tiap bulan. (6)
k. PROGNOSIS
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten,
serta faktor predis- posisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi
dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah jamur negarif, hal ini perlu
dijelaskan pada pasien. (6)
2. FOLIKULITIS MALASSEZIA
a. SINONIM
Folikulitis pitirosporum (berdasarkan sebutan lama genus penyebab). (6)

b. DEFINISI
Folikulitis Malassezia adalah penyakit kronis pada folikel pilosebasea
yang disebabkan oleh jamaur Malassezia spp., berupa papul dan pustule

6
folikulae, yang biasanya gagal dan terutama berlokasi di batang tubuh,
leher, dan lengan bagian atas. (6)
c. EPIDEMIOLOGI
Kelainan ini biasanya mengenai dewasa muda sampai usia
pertengahan, dan banyak di daerah tropis, karena pada daerah dan suhu
panas, tetapijuga dilaporkan beriklim dingin saat musim panas. (6)
d. ETIOPATOGENESIS
Jamur penyebab adalah spesies Malassezia, yang merupakan flora
normal kulit, bersifat lipofilik, redominan ditemukan pada lesi M. globosa
dan M Sympodialis. Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi spesies
Malassezia tumbuh berlebihan dalam folikel sehingga folikel dapat pecah,
menyebabkan reaksi peradangan terhadap lemak bebas. (6)
Faktor predisposisi antara lain adalah suhu dan kelembaban udara
yang tinggi, hiperhidrosis, pakaianoklusif, pengunaan bahan-bahan
berlemak untuk pelembab badan yang berlebihan, penggunaan antibiotic.
kortikosteroid lokalsistemik, sitostatik dan penyakit serta keadaan tertentu
(diabetes mellitus, ke- ganasan, kehamilan, keadaan imunokompromais
dan AIDS serta sindrom Down). (6)
e. GAMBARAN KLINIS
Folikuliitis Malassezia memberikan keluhan gatal pada tempat
predileksi. Klinis morfologi terlihat papul dan pustul perifolikular
berukuran 2-3 mm diameter, dengan peradangan minimal. Tempat
predileksi adalah dada, punggung, dan kadang di leher dan lengan atas
jarang di wajah. (6)

f. DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan keluhan gatal dan lokasi serta morfologi lesi
dengan menemukan kelompokan sel ragi dan spora bulat atau blastospora

7
Malassezia pada pemeriksaan isi folikel yang dikeluarkan dengan
ekstrator komedo. Pemeriksaan dilakukan dengan larutan KOH dan tinta
Parker biru hitam. Mengingat flora Malassezia spp. menambahkan kriteria
yakni Jamora jika temuan jumlah dianggap folikulitis lebih dari 2-6 spora
dalam kelompok atau 3-12 spora tunggal tersebar. (6)
g. DIAGNOSIS BANDING
Akne vulgaris, selain folikulitis bakterial, erupsi akneiformis, dan
folikulitis eosinofilik. Pada akne vulgaris, banyak ditemukan komedo, dan
umumnya tidak gatal. (6)
h. TATA LAKSANA
Pendekatan tatalaksana baik dengan menghilangkan faktor
predisposisi maupun memberi kan pengobatan. Obat yang digunakan dapat
berupa: Antimikotik oral, misalnya: Ketokonazol 200 g/hari selama 4
minggu ltrakonazol 200 g/hari selama 2 minggu Flukonazol 150 g
seminggu selama 4 minggu Antimikotik topikal biasanya kurang efektif,
walaupun dapat menolong, misalnya sampo ketokonazol atau selenium
sulfide. (6)
i. PROGNOSIS
Secara umum prognosis baik, tetapi jika faktor predisposisi tidak dapat
dihilangkan maka akan bersifat kambuhan. (6)
3. PIEDRA
a. SINONIM
Piedra hitam: ti nodosa, nodularis. Piedra putih trikosporosis nodosa.
b. DEFINISI
Piedra adalah infeksi jamur pada helai rambut, ditandai dengan
benjolan (nodul) sepanjang rambut. Dikenal 2 jenis, yakni piedra hitam,
yang disebabkan jamur Piedra hortae, dan piedra putih yang dulu dianggap
disebabkan oleh Tricho- sporon beigelli. (6)
c. EPIDEMIOLOGI

8
Piedra hitam terutama menyerang rambut kepala, meskipun pernah
dilaporkan pada area tubuh lain yakni jenggot, kumis, dan pubis.. Piedra
putih terutama menyerang rambut aksila, genital, dan jenggot. (6)
d. ETIOPATOGENESIS
Piedra hortae, penyebab piedra hitam, ditemukan di tanah dan air
tergenang. Penyebab piedra putih, genus Trichosporon, dapat ditemukan
baik di tanah, udara, air, tumbuhan, dan permukaan kulit. Jamur penyebab
masuk ke kutikula rambut, tumbuh mengelilingi rambut dapat dan
membentuk benjolan-benjolan menimbulkan ruptur atau trikoreksis dan
patah rambut. (6)
e. GEJALA KLINIS
Piedra hitam terutama pada rambut kepala, bersifat asimtomatik,
ditandai dengan benjolan atau hitam lonjong, keras, multipel, yang melekat
erat pada rambut, berukuran mikroskopis sampai 1 milimeter. Bila rambut
disisir akan terdengar suara bergelitik. Rambut sering patah. Piedra putih
terutama pada rambut aksila, jenggot, berupa benjolan lunak, multipel
berukuran mikroskopik sampai 1 milimeter, ber wama putih sampai coklat
muda, dan tidak terlalu melekat erat pada rambut, sehingga mudah di
lepaskan. Kadang benjolan menyatu membentuk selubung mengelilingi
rambut. Rambut patah dapat terjadi, tetapi lebih jarang dibandingkan dengan
piedra hitam. (6)
f. DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan mikroskopik piedra hitam dengan larutan KOH,
tampak benjolan-benjolan terpisah yang terdiri atas anyaman padat hifa
berwarna coklat hitam, tersusun regular dalam substansi seperti semen. Di
bagian tepi dapat di temukan artrokonidia berdiameter 4-8 um, dan di tengah
dapat ditemukan askus yang berisi 8 askospora berbentuk fusiformis. (6)
Pada piedra putih, benjolan cenderung menyatu, terdiri atas anyaman
hifa yang tersusun kurang regular, membentuk massa seperti gelatin

9
menyelubungi rambut. Benjolan piedra putih kadang memberikan
fluoresensi pada pemeriksaan dengan lampu Wood. (6)
g. PENGOBATAN
Memotong rambut yang terkena infeksi adalah pengobatan terbaik
untuk piedra hitam maupun putih. Cara pengobatan lain dapat dengan
larutan sublimat 1/2000 setiap hari. atau sediaan azol topikal. Di Indonesia
pernah dilaporkan keberhasilan pengobatan piedra hitam dengan sampo
ketokonazol. (6)
4. TINEA NIGRA PALMARIS
a. SINONIM
Tinea nigra palmaris, keratomikosis nigrikan palmaris, pitiriasis nigra,
kladosporiosis epide- mika, mikrosporosis nigra. (6)
b. DEFINISI
Tinea nigra adalah infeksi jamur superfisial yang asimptomatik pada
stratum korneum, biasanya pada telapak tangan walaupun telapak kaki dan
permukaan kulit lain dapat terkena. Kelainan kulit berupa makula coklat
sampai hitam. (6)
c. EPIDEMIOLOGI
Penyakit terdapat sporadis, di daerah tropis dan subtropis, terutama
Amerika Selatan dan Tengah, Afrika dan Asia. (6)
d. ETIOPATOGENESIS
Organisme penyebab adalah jamur de tiaceae atau jamur berpigmen
Orta werneckii atau Cladosporium wernecki disebut Exophiala wernecki
atau P wernecki), yang biasa hidiin tanah, saluran pembuangan air, dan
tanaman busuk. (6)
e. GEJALA KLINIS
Kelainan kulit umumnya d telapak tangan, meskipun juga dapat di
telapak kaki dan permukaan kulit lainnya, berupa maku coklat hitam

10
berbatas tegas, tidak bersisik. Sangat jarang ditemui lesi bersisik. Penderita
umumnya berusia muda di bawah 19 tahun. (6)
f. DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
kerokan kulit dan biakan. Pada pemeriksaan sediaan langsung dalam larutan
KoH jamur telihat sebagai hi fa bercabang, bersekat ukuran sampai 5 u,
berwarna coklat muda sampai hijau tua. Biakan pada agar Sabouraud (suhu
kamar) menghasilkan koloni yang tampak sebagai koloni yang semula
menyerupai ragi dan koloni filamen berwarna hijau tua atau hitam. (6)
g. DIAGNOSIS BANDING
Tinea nigra dapat menyerupai nevus junor tional, dermatitis kontak,
kulit yang terkena zat kimia, pigmentasi pada penyakit Addison, sifilis pinta,
dan melanoma. (6)
h. PENGOBATAN
Tinea nigra dapat di obati dengan obat antijamur konvensional dan
kombinasi bahan antijamur dengan keratolitik, misalnya salep salisir sulfur,
Whitefield dan tincture jodii, selain dengan antijamue topical golongan azol.
(6)

i. PROGNOSIS
Karena asimtomatik, tinea nigra tidak memberi keluhan pada penderita
kecuali keluhan estetik, jika tidak diobati penyakit akan menjadi kronik. (6)
B. DERMATOFITOSIS
a. DEFINISI
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh
lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons
imun pejamu. (6)
b. SINONIM

11
Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata. (6)
c. ETIOLOGI
Dermatofita ialah golongan jamur yang me- nyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton. Dermatofita yang
menginfeksi manusia untuk berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik
jamur yang berasal dari tanah antara lain M. golongan zoofilik berasal dari
hewan, Misalnya M. canis antropofilik khusus untuk jamur yang bersumber
dari manusia contohnya yang bersumber rubrum. (6)
d. KLASIFIKASI
Gambaran klinis dermatofitosis bergantung pada spesies penyebab,
maka dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:
1) tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan kepala
2) tinea barbe, dermatofitosis pada jenggot dan dagu
3) tinea knuris, dermatofitosis pada krural, sekitar anus, bokong, dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah
4) tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
5) tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
6) tinea korporis, dermatofitosis pada kulit glabrosa pada bagian lain yang
tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas. (6)
e. GEJALA KLINIS
Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut
mempunyai morfologi Penderita merasa gatal dan kelainan berbau tegas,
terdiri atas macam-macam efloresensi ku (polimorfi). tepi lesi lebih aktif (ebih
tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah sehingga kepustakaan lama
menyebutkannya set bagai eczema marginatum yang mencerminkan deskripsi
klinis lesi dermatofitosis. (6)

12
Di bawah ini akan dibahas bentuk-bentuk kinis yang sering dilihat
sesuai dengan lokalisasinya.
1) Tinea pedis (Athlete's foot, nngworm of the foot kutu air)
Tinea pedis ialah dermatofitosis pada kaki terutama pada sela-sela jari
dan telapak kaki
a) Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Di
antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari, dapat meluas ke bawah jari
(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini
lembab, maka sering dilihat maserasi. Bila bagian kulit yang mati ini
dibersihkan maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga
telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung ber-
tahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan
sama sekali. (6)
b) Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan berisik
eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi
lesi. Bersifat kronik dan sering resisten pada bagian tepi lesi dapat pula
dilihat papul dan kadang vesikel. (6)
c) Pada bentuk subakut terlihat vesikel, dan kadang-kadang bula.
Kelainan mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung
kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental.
Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk
lingkaran yang disebut koleret. (6)
Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-
hari banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para
pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah. Penderita biasanya orang
dewasa. (6)

13
Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Klinis tampak
bentuk hiper- keratosis dan penebalan lipat. Semua bentuk kelainan di kaki
dapat terjadi pula pada tangan. (6)
2) Tinea unguium (dermatophytic onychomy cosis, ringworm of the nail)
Tinea unguium adalah kelainan kuku disebabkan oleh jamur dermatofita.
Terdapat beberapa bentuk klinis.
a) Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini
menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang
rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka kuku bagian distal akan
hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur. (6)
b) Leukonikia trikofita atau lekonikia mikotika
Kelainan kuku pada bentuk ini merupa- leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen
jamur. (6)
c) Bentuk subungual proksimal
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama
menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas yaitu
terlihat kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal
rusak Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis di
tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. (6)
3) Tinea krunis (eczema marginatum, dhobie itch jockey itch, ringworm of
the groin)
Dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
daerah saja, atau meluas ke daerah sekitar anus daerah gluteus dan perut
bagian bawah. atau bagian tubuh yang lain Kelainan kulit yang tampak
pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih

14
nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam
bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menjadi
menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan. (6)
4) Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap,
herpes sircine trichophytique)
Dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin)
a) Gambaran klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul
di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula terlihat sebagai lesilesi dengan pinggir yang polisiklik,
karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. (6)
b) Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap tubuh dan bersama-
sama dengan kelainan pada sela paha. (6)
c) Bentuk khas tinea korporis yang disebab kan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan
bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar.
Stratum komeum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar.
Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tenga,
sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Bila
dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah luar, akan
terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran
skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran
lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik.
d) Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah
tinea favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala

15
sebagai titik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan
berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula) dengan
berbagai ukuran. (6)
5) Tinea kapitis (ringworm of the scalp)
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita ditandai dengan lesi kemerah-
merahan, alopesia, dan kerion. (6)
Diklinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas, yaitu:
a) Gray patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya
disebabkan oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-
anak. Penyakit mulai dengan papul merah kecil di sekitar rambut.
Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan
bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. (6)
b) Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel
radang yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum
canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering
dilihat. (6)
c) Black dot ringworm, terutama disebabkan oleh Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum. Gambaran klinisnya
menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus Microsponum.
Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan yang
tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang
hitam di dalam folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black
dot. (6)

f. PENUNJANG DIAGNOSIS

16
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Pemeriksaan
langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pem
besaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan
pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan. (6)
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KoH. Konsentrasi larutan KoH untuk
sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan larutan KoH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk
melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan
pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai ke luar uap dari
sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan
terbentuk kristal KoH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk
melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan
KoH, misalnya tinta Parker superchroom blue black. (6)
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artrospora) padakelainankulitlamadan/atau sudah diobati. Pada sediaan
rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora).
Spora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut
(endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut. (6)
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja
(kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua zat tersebut
diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur
kontaminan. (6)

17
g. DIAGNOSIS BANDING
Kandidosis (erosio interdigitalis blastomisetika), Sifilis Il dapat berupa
kelainan kulit di telapak tangan dan kaki. Psoriasis yang menyerang kuku
dapat berakhir dengan kelainan yang sama. (6)
Eritrasma merupakan penyakit yang yang sering berlokalisasi di sela
paha. Efloresen yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi ini.
Tinea barbe kadang-kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe, yang
disebabkan oleh piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan
kedua penyakit ini. (6)
Impetigo yang menyertai pedikulosis kapitis menimbulkan kelainan
yang kotor dan berkrusta tanpa rambut yang putus. (6)
h. PENGOBATAN
Pengobatan topikal maupun sistemik untuk berbagai tipe dermatofitosis.
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda Secara umum, griseofulvin
dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g untuk orang
dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak anak sehari atau 10-25 mg/kg berat badan.
Diberikan 1-2 kali sehari, lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis
pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu. Untuk mempercepat waktu
diperlukan kadang-kadang penyembuhan tindakan khusus atau pemberian
obat topikal tambahan Efek samping griseofulvin jarang dijumpai yang
merupakan keluhan utama ialah sefalgia, dizziness dan insomnia. (6)
Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus ialah
nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar. Obat per oral, yang juga efektif untuk derma-
tofitosis yaitu ketokonazolyang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten
terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/ hari
selama 10 hari-2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol
merupakan kontra- indikasi untuk penderita kelainan hepar Sebagai pengganti

18
ketokonazol yang mem punyai sifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih
dari sepuluh hari, dapat diberikan suatu obat triazol yaitu itrakonazol yang
merupakan pemilihan yang baik. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit
dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari
dalam kapsul selama 3 hari. Khusus untuk onikomikosis dikenal sebagai dosis
denyut selama 3 bulan. Cara pemberiannya sebagai berikut, diberikan 3 tahap
dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1 minggu dengan dosis 2 x 200
mg sehari dalam kapsul. Hasil pemberian itrakonazol dosis denyut untuk
onikomikosis hampir sama dengan pemberian terbinafin 250 mg sehari selama
3 bulan. Kelebihan itrakonazol terhadap terbinafin adalah efektif terhadap
onikomikosis. (6)
Obat antijamur golongan dan golongan allamin mengalami proses
metabolisme oleh enzim sitokrom P450 sehingga dapat interaksi dengan
berbagai obat lain yang mengalami metabolisme oleh kelompok enzim yang
sama misalnya rifampisin simetidin. Terbinafin yang bersifat fungisidal juga
dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya
62,5 mg-250 mg sehari bergantung pada berat badan. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diarea,
konstipasi, umumnya ringan. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan
pengecapan, presentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara.
Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada
3,3- 7% kasus. Interaksi obat dapat terjadi antara lain dengan enmetideine dan
ritompisin. Pada masa kini selain obat-obat topikal kon- vensional, misalnya
asam salisilat 2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam
undesilenat 2-5%, dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat baru ini di
antaranya tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin, derivat derivat imidazol, siklo.
min, dan naftifine masing-masing 1%. Pada penggunaan obat topikal, selain

19
pemilihan obat yang begitu banyak ragamnya perlu juga diterapkan cara
pengobatan yang efektif. Dengan menggunakan vehikulum yang sesuai. (6)
C. MEKANISME KERJA OBAT ANTIJAMUR

Obat anti jamur disebut obat anti mikotik, dipakai untuk mengobati
dua jenis infeksi jamur : infeksi jamur superficial pada kulit atau selaput
lendir dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system saraf pusat.
Infeksi jamur oportunistik dapat ringan (infeksi ragi pada vagina) atau berat
(Infeksi Jamur Sistematik). Golongan obat-obat anti jamur ada empat yang
utama yaitu poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat anti
jamur yang bukan kelompok diatas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian
obat-obat anti jamur topikal. (7)
Saat ini dipahami bahwa obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada sel
jamur. Target pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua
mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur utama
dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein. (7)
Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung (seperti
golongan polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung
(seperti golongan azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja
pada unsur utama dinding sel β1,3 glukan.
1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran
sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding
membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien)
adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara
langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur, hal ini
menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan
menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung
(golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara

20
mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi
prekursor ergosterol).(8)
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah
dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis
DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat
adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui
sitosin permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin
trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan
berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat
timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA. (8)
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas
mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai
fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran
ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glukan. Obat
antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1,3
glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak
terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis.
(8)

21
Gambar 1. Target kerja antijamur pada dinding sel jamur 5

Sintesis dinding sel * Ekinokandin, pneumokandin dan


papulokandins; menghambat
sintesis glukan.
*Polyxins dan nikkomycin;
menghambat sintesis kitin

22
Fungsi membran ‡ Polien ; mengikat ergosterol
Peptida antimikrobial : defensins,
protegrins, gallinacini, cecropins A,
thanatin dan dermaseptins
† Pradimicins dan benanomicins :
mengikat mannoproteins dan
menyebabkan gangguan calcium-
dependent pada permebilitas
membran

Sintesis ergosterol ‡ Azol; menghambat sitokrom P 450-


dependent 14-α-demethylase
‡ Allylamines (naftifin dan terbinafin)
dan thiocarbamate (tolnaftaf);
menghambat squalene epoxidase
†Morpholine (amorolfine);
menghambat ∆14-reductase, ∆7, ∆8-
isomerase, oxido-squalan cyclase,
dan ∆24 methyltransferase

Inti ‡ griseofulvin

Sintesis asam nukleat ‡5-fluorocytosine, Sordarins :


miscoding RNA dan menghambat
thymidylate synthesis
Cispentacin derivates

*Dalam penelitian
†Potensial target
‡ Obat yang tersedia

Gambar 2. Titik tangkap obat antijamur8

A. ANTI JAMUR SISTEMIK UNTUK INFEKSI SISTEMIK


1. Anti Jamur Golongan Azol
a. Ketokonazol

23
Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol pertama yang
diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini
pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.4

Gambar 4 . Struktur kimia ketokonazol7

Aktivitas spektrum
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis,
Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis.
Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap
Aspergillus spesies dan Zygomycetes.7
Farmakokinetik
Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral
dosis 200,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20
µg/ml. Waktu paruh tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam
pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin sangat rendah. Di
dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat
pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai
keratinosit secara efisien, dan konsentrasi pada cairan di vagina sama
dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan serebrospinal (CSF) pada
pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total konsentrasi obat di
plasma.7
Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal
hepatik seperti rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi

24
ketokonazol. Konsentrasi ketokonazol dapat meningkat dalam plasma
apabila diberikan bersama dengan siklosporin, midazolam, triazolam,
indinavir, dan fenitoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim
sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi
ketokonazol dalam serum, maka preparat ini lebih baik diberikan dalam
kondisi perut kosong.7
Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari
sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5
hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea
versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.7
Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering
dijumpai terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari.
Pemberian pada saat menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat
mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa
rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.7
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya
pada jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10%
pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan
pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada
beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah
pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari)
dapat menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang
dapat menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten.7
Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang menurunkan sekresi asam lambung antasida,

25
antikolinergik dan H2 antagonis sehingga sebaiknya obat ini diberikan
setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang
waktu paruh terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan
bersamaan dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler
seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes.7
Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam
dan triazolam dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi
serum dari warfarin. Pemberian ketokonazol dan rifampisin secara
bersamaaam dapat menurunkan efektifitas kedua obat.7
b. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan sintesis derivat triazol. Digunakan sebagai lini
pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan spesies
nondermatofita lainnya.4

Gambar 5 . Struktur Itrakonazol 7

Aktivitas spektrum
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia
furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan
Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous
mould dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.7
Farmakokinetik

26
Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan
dan asam lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada
saluran gastrointestinal (55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan
jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan
dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2
mg/L dalam waktu 2-4 jam. 7
Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma
menuju keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat
ditemukan dalam keringat sampai 24 jam setelah pemberian dosis awal.
Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil itrakonazol
didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol
dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis
itrakonazol akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih
dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa mengalami perubahan.
Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P-
450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu
dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan
suatu bioaktif. Itrakonazol masih ditemukan pada stratum korneum selama
3-4 minggu setelah penghentian terapi. Pada model in vivo, efek terapi
itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu setelah
terapi dihentikan.7
Dosis
Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada
onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan,
sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol merupakan
obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan
menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam
bentuk kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung

27
penuh untuk absorpsi maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam
bentuk ini sering menimbulkan keluhan gastrointestinal.7
Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol5

Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1
1 minggu/bulan , 2 dosis pulse minggu/bulan, 2 dosis pulsea
Kuku kaki : 200 mg/harix12 Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1
minggu minggu/bulan, 3 dosis pulse
Atau
200 mg 2xsehari x
1minggu/bulan, 3 dosis pulse
Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 5
mg/kg/hari x 2-4 minggu
Infeksi Mikrosporum : 5
mg/kg/hari x 4-8 minggu
Tinea korporis, tinea kruris, 200 mg 2xseharix1 minggu Dosis berdasarkan berat x 1-4
tinea pedis minggu
Pitiriasis versikolor 200 mg/hari x 5-7 hari, untuk Tidak ada penelitian
pencegahan rekuren dengan 200
mg 2xsehari dosis tunggal/bulan
a
Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat
diganti dengan 200 mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti
sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi. Efek samping lain meliputi
insufisiensi adrenal, edema tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien
mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg perhari tidak
direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang.7
Interaksi obat
Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan
obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2
antagonis, omeprazol dan lansoprazol. Itrakonazol merupakan suatu
inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4 sehingga pemberian
bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat
meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari
waktu paruh paruh obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam,

28
lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat
meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin takrolimus, dan
warfarin.7
c. Flukonazol
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat
dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan
diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di Amerika Serikat. Bersifat
fungistatik dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).7
Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol
lain yaitu merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-α-
demethylase dan bersifat fungistatik.7

Gambar 6. Struktur Flukonazol7


Aktifitas spektrum
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau
esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan
efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral).7

Farnakokinetik
Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi
dan tidak tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu

29
paruh 25-30 jam, dan mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari
selama 7 hari. Flukonazol berikatan lemah pada protein plasma dan sekitar
90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar 80% obat
dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di
urin.7
Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit
dilaporkan sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan
farmakokinetik flukonazol berupa penurunan plasma klirens ditemukan
pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi di bawah 3 bulan ,
flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.7
Dosis
Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis
mukotan.5 Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang
disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5
mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi
Mycoplasma canis.7
Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan
200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk
sediaan intravena. Direkomendasikan pada anak-anak <6 bulan.7
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150
mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap
minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu
selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi
onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama
dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada
pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu
penelitian open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang
diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400

30
mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol
dengan dosis sama.7
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan
ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan
untuk wanita hamil dan menyusui.7
Efek samping
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu
hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons,
hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.7
Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau kadar dari obat astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonylurea, terfenadin, teofilin,
warfarin, simetidin, hidroklortiazid dan zidofudin. Pemberian bersama
flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin merupakan kontraindikasi
oleh karena dapat menimbulkan disritmia jantung yang serius dan torsade
de pointes. 9 Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid
yang menimbulkan efek hipoglikemia.7
Kadar atau efek flukonazol dapat menurun jika diberikan bersama
karbamazepin, isoniazid, fenobarbital, rifabutin dan rifampisin.7
d. Varikonazol
Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan
flukonazol dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan
derivat flukonazol.7

31
Gambar 7. Struktur varikonazol7

Mekanisme kerja
Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α- demethylase. Hal ini
menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols
yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.9
Aktifitas spektrum
Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,
Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant.,
Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan
Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap Zygomycetes.9
Farmakokinetik
Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam
bahan pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali
sehari. Bioavailabilabilitas oral vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat
dengan protein. Asam lambung dapat menghambat absorpsi vorikonazol.
Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam setelah pemberian
oral.14 Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi
1-3 μg/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah.9

32
Dosis
Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200
mg setiap 12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam
untuk berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit jamur,
lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum dan Fussarium spp,
direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam
pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam
dengan pemberian intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.9
Efek samping
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik
vorikonazol yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan transien
(30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik, pada 10-15% kasus ditemukan
adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian vorikonazol
perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada
hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.7,9
Interaksi obat
Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan
bersama dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi
mengurangi sekresi asam lambung.7
Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human
hepatik sitokrom P -450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun
ketokonazol, namun varikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum
terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin, tolbutamid, glipizid dan
quinidin. Varikonazol dapat menurunkan konsentrasi serum siklosporin dan
takrolimus.7
e. Posakonazol
Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki
struktur kimia serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin
dan cincin furan dengan cincin dioksolan. Posakonazol menghambat jamur

33
dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase. Deplesi ergosterol
menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi
pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur.7

Gambar 8. Struktur kimia posakonazol.7

Aktivitas spektrum
Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak
ditemukan resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol
merupakan satu-satunya golongan azol yang dapat menghambat jamur
golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat digunakan dalam
pengobatan aspergilosis dan fusariosis.7
Dosis
Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat
diberikan dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol
dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level plasma adekuat.
Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan
tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan
bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.9
2. Anti Jamur Kelompok Alilamin

a. TERBINAFIN
Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat
diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif
melawan dermatofit, tetapi kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan
yeast.9

34
Gambar 9. Struktur kimia terbinafim7
Mekanisme kerja
Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang
berfungsi sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada
membran sel jamur sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan
komponen sterol yang utama pada membran plasma sel jamur). Terbinafin
menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol yang
berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur
sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya
penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk
endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur
(efek fungisidal).7
Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif
terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida
albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis.
Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces
dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa
dermatiaceous moulds.7

Farmakokinetik
Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi
puncak di serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan
250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi
absorpsi obat.7

35
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas
pada dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma
terbinafin terbagi dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang
terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam; eliminasi waktu paruh 16
sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal; setelah 4 minggu
pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh rata-rata 22 hari. Di
dalam dermis-epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata
24-28 hari.7,9
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui
sebum kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya
berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam
kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap
di dalam kulit dengam konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3
minggu setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada
bagian distal nail plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan
kadar obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan. Terbinafin
tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah
pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit
tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces
sebanyak 20%.9
Dosis
Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan
dermatofita, pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada
itrakonazol dosis pulse.7,9
Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan
kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada
pasien dengan gangguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50
ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 µmol/ml) dosis harus
diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2

36
minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi
pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau
lebih.7,9
Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen7

Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua
minggu
Kuku kaki : 250 mg/hr x 12
minggu
Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 3-6
mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi Microsporum : 3-6
mg/kg/hr x 6-8 minggua
Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu 3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu
b
Tinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu
b
Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu
a
Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250
mg/hr (>40 kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau
lebih.

Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri
abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
penyakit hepar kronik atau aktif.9
Interaksi obat
Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama
rifampisin. Namun kadar dalam darah dapat meningkat apabila diberikan
bersama simetidin yang merupakan suatu inhibitor sitokrim P-450.7
3. Anti Jamur Kelompok Politen

a. Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari
Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui
digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960.10
Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk
pengobatan infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering

37
menimbukkan efek toksik terutama pada ginjal (nefrotoksik) sehingga
kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap
ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B
liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang
mengandung liposom. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC),
merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur
seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil, Amphotec,
ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang
membentuk potongan lemak kecil.10

Gambar 10. Struktur Amfoterisin B7

Tabel 3.Formula lipid Amfoterisin B10

Mekanisme kerja

38
Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga
mengakibatkan fungsi barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel
penting, mengganggu metabolisme jamur, serta menimbulkan kerusakan
oksidatif terhadap sel jamur.10
Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillus sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp.,
Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma
capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur,
Scedosporium sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten.10
Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral
(bioavailibilitasnya < 5%) sehingga untuk tetap mempertahankan
konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravena.10
Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB
akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0
mg/l. Kurang dari 10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah
setelah 12 jam pemberian dan > 90% akan berikatan dengan protein.
Sebagian besar ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari
dosis), ginjal (2% dari dosis), sedangkan di cairan serebrospinal (CSF) < 5
% konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase
kedua 24-48 jam dan waktu paruh fase ketiga 2 minggu.7
Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti
Amfoterisin B lipid kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari
dalam darah tetapi sebagian kecil liposom akan menetap di sirkulasi untuk
jangka waktu yang lama.
Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B
(AmBisome) yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L

39
dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L dapat dideteksi setelah
pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal
amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam
hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan
konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula
konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B ± 100-200 jam.10
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet)
setelah pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula
konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat,
konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah pemberian dosis 5
mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-
paru dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi
pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.
Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks ± 170 jam.
Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD)
sekitar 2 mg/L dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah
akan segera menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi
obat yang cepat ke jaringan. Pemberian amfoterisin B dispersi koloid akan
menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar dan limpa
dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada
ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.
Dosis
Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2
gr amfoterisin B deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan
fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum
pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg amfoterisin B di
dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak
dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian

40
diobservasi dan dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap
30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi hipotensi
berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat ditingkatkan > 1mg/kgBB,
tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di
dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan
memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.7
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0
mg/kg BB dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih.
Formula ini harus diberikan intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi
baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat menjadi 1 jam. Obat ini
berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa
efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3
mg/kbBB/hari.7
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid
kompleks yaitu 5 mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5
mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan pada individu selama 11 bulan
dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan.7
Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan
intravena dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat
ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada
individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek samping toksik yang
signifikan.7
Efek samping
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera
menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi
kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah
dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek lokal flebitis sering juga
dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus
ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering
menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat

41
dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari. Formula konvensional dapat juga
menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien yang mendapat
pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan
normositik sedang.10
Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian
amfoterisin B lipid kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih
sedikit dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang
dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan
sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya
tidak menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek
samping dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian
(konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan kerusakan ginjal akibat
amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi koloid
sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula
konvensional sebanyak 30-50%.7
Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu
peningkatan kadar transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum
bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B
dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50%, tetapi biasanya
tidak menetap.10
Interaksi obat
Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti
antibiotik aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga
kombinasi obat tersebut harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B
dengan kortikosteroid dan digitalis glikosid dapat menimbulkan
hipokalemi.10
b. Nistatin
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur,
diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan

42
kandidiasis oral, nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6
jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4
kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa
5 ml.10
B. EKINOKANDIN

a. Kaspofungin
Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0
yang merupakan fermentasi lipopeptida jamur Glarea lozoyensis.
Kaspofungin efektif melawan jamur yang resisten terhadap flukonazol.
Memiliki efektifitas sangat baik dan lebih aman diberikan pada infeksi
Candida.10
Pada awal 2001, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi
esofagitis dan orofaringeal kandida.3 Penelitian Mora-Duarte et al.
menunjukkan bahwa kaspofungin memiliki efektifitas serupa dengan AMB
konvensional untuk penatalaksanaan kandidiasis mukosa dan sistemik namun
kaspofungin dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh.3,6,10,15 kaspofungin
juga telah disetujui penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal
diterapi dengan terapi AMB atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan
caspofungin diperlukan dalam terapi fungemia akibat C. parapsilosis untuk
menghindari terjadi fungemia resisten.10
Mekanisme kerja
Kaspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glukan yang merupakan
komponen dinding sel jamur.10

43
Gambar 11. Struktur Kaspofungin10

Aktifitas spektrum
Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin
efektif terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus
terreus. Kaspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap
Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dermatiaceous molds.
Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida sp., dengan efek
fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan Candida krusei
kurang efektif, dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.9
Farmakokinetik
Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70
mg akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis
obat akan menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari
96% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan didistribusikan
ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi
dijumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa ada
perubahan melalui urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit
yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%).10

Dosis

44
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama
dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena
melalui infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang,
direkomendasikan dosis kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg.9
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit,
mual, muntah.5
Interaksi obat
Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan
transaminase 2-3 kali lipat dari batas normal.5
b. Mikafungin

Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis


kandida pada pasien HIV.5

Dosis
Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari
menyebabkan respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis
esophagus (97,2%) dan insiden efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien).
Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi aspergilosis invasif.5
Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas
mikafungin dengan flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien
yang menjalani transplantasi stem sel hemopoietik. Mikafungin diberikan 50
mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak selama enam minggu. Hasil
penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur profilaksis lebih
baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini
konsisten terhadap semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien
dengan netropenia persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog.

c. Anindulafungin

45
Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui
FDA tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan
abses intraabdomen disebabkan kandida.5
Dosis
Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk
menerima sediaan 50, 75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari. Kriteria
efikasi primer yang dinilai adalah tingkat respon klinis dan mikrobiologik
pada populasi saat pengamatan lanjut dan dua minggu setelah selesai terapi.
Saat pengamatan lanjut, nilai keberhasilan terapi adalah 72%, 85%, dan 83%
pada kelompok 50, 75, dan 100 mg. Pada saat akhir terapi, nilai keberhasilan
adalah 84%, 90%, dan 89%.5
Anindulafungin juga memiliki kemampuan menghambat aspergilus dan
kandida yang resisten terhadap kelompok azol dan AMB. Anindulafungin
tidak dimetabolisme di hati dan tidak dieliminasi melalui urin. Obat ini tidak
memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450. Karena itu, penggunaan
anindulafungin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien insufisien
renal atau hepar, juga pada pasien yang menggunakan obat lain.5
C. ANTI JAMUR KELOMPOK LAIN

a. Flusitosin
Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintesis dari fluorinated pirimidin
yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.10

Gambar 12. Struktur Flusitosin10

Mekanisme kerja

46
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease,
kemudian diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang
bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein
terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang
menyebabkan inhibisi sintesis DNA.10
Aktifitas spektrum
Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap
Candida sp., Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii,
Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa.10

Farmakokinetik
Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna.
Konsentrasi plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal
sekitar 70-80 µg/ml, tercapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis
37,5 mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis dieksresikan di urin tanpa
mengalami perubahan; konsentrasi di urin 200-500 µg/ml. Waktu paruh 3-6
jam pada orang normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama
selama 200 jam. Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara
simultan sama dengan di dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam
humour aqueus.10
Dosis
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian
flusitosin diawali dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis
dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian
flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB.10
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare.
Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam
darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat

47
dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa
pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.10
Interaksi obat
Kerja flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin
arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan
kontraindikasi, karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat
bertambah jika diberikan bersama dengan imunosupresif atau sitotoksik.
Pemberian zidofudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat
menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amfoterisin B dan flusitosin
mempunyai efek sinergis terhadap Candida sp dan Cryptococcus neoformans
namun efek nefrotoksik Amfoterisin B dapat berkurang ketika flusitosin
dieksresi.10
b. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies
Penicillium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada
tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita
pada hewan. Griseofulvin digunakan sejak tahun 1958 untuk pengobatan
infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur
yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.5,,9,10

Gambar 13. Struktur griseofulvin10

Mekanisme kerja

48
Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik,
berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur
sehingga tetap dalam fase metafase. 5

Aktifitas spektrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk
spesies Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp.,
yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku.
Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidiasis kutaneus dan pitiriasis
versikolor.10
Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan
menghasilkan konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam
waktu 4 jam. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih
kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam urin
dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.10
Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong.
Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi
dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum
akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan
dengan serum albumin dan distribusi di jaringan ditentukan dengan
konsentrasi bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan
keringat serta akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum),
selanjutnya terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang
terinfeksi akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten
terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan mencapai
stratum korneum setelah 4-8 jam.5,10

49
Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin
dan akan dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan
kurang dari 1% dari dosis akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.10
Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan
ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya
pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize.5
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea
kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh
Trychopyton tonsurans. Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize),
atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama 6-8 minggu.5
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/
hari (microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari
10
(ultramicrosize) dosis tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea
korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit
selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk tinea
unguium selama 3-6 bulan.5,10

Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual,
muntah, dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat
terjadi pada sebagian pasien.5
Interaksi obat
Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan
fenobarbital, namun efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi
griseofilvin bersama makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan
efektifitas warfarin. Kegagalan kontrasepsi juga ditemukan pada pasien yang
mengkonsumsi griseofulvin bersasma dengan penggunaan kontrasepsi oral.10

D. ANTI JAMUR TOPIKAL

50
1. Anti Jamur Golongan Azol
Merupakan kelompok anti jamur azol yang memiliki dua nitrogen pada
cincin azol.
Mekanisme kerja
Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara
menghambat pembentukan 14 – α-sterol demethylase, suatu enzim sitokrom
P450 (CYP). Hal ini mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma
jamur dan menyebabkan akumulasi 14 – α- metilsterol. Metilsterol merusak
rantai fosfolipid sehingga mengganggu fungsi enzim pada membran jamur
seperti ATP ase dan enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme ini yang
mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat.5
a. Klotrimazol

Gambar 14. Struktur Klotrimazol5


Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis,
kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis,
diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih.
Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari
ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke dalam
vagina. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim
klotrimazol 1% dosis dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien,
biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

b. Ekonazol

51
Gambar 15. Struktur Ekonazol10

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan


kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis
vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama
3 hari berurut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
ekonazol krim 1 %, dosis dan lamanya tergantung dari kondisi pasien,
biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Ekonazol penetrasi dengan cepat di stratum korneum. Kurang dari 1%
diabsorpsi ke dalam darah. Sekitar 3% pasien mengalami eritema lokal,
sensasi terbakar, tersengat, atau gatal. 10
c. Mikonazol

Gambar 16. Struktur mikonazol10


Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat
berpenetrasi pada stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah
pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah. Absorpsi kurang dari
1,3% di vagina.8 Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200
selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam
vagina. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan oral gel (25 mg) 4 kali
sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol krim 2%,

52
dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal
atau iritasi 7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit
kepala, urtika, atau skin rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang
terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol aman digunakan pada wanita
hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada kehamilan
trimester pertama.10
d. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan
mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin.
Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal
epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap
dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan.10
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan
dermatitis seboroik. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim
ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi
pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari
sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari.
Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam
bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu.10
e. Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis kutaneus. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
sulkonazol krim 1%. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis , tinea kruris
ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu
dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.10
f. Terkonazol

53
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis kutaneus dan genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang
disebabkan Candida albicans, digunakan terkonazol krim vagina 0,4% (20
gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan aplikator
sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal
supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1
kali sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.10
g. Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta
kandidiasis kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis
diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina.
Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis dan lamanya
pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea
korporis dan kandidiasis kutaneus biasanya diberikan selama 2-4 minggu
dan dioleskan 2 kali sehari. Untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari
selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2
minggu dan untuk pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4
minggu.10
h. Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
candida sp, digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari
selama 4 minggu.10
2. Anti Jamur Kelompok Alilamin dan Benzolamin
Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada
tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat
aktifitas squalene epoksidase. Dengan berkurangnya ergosterol akan
menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur sehingga mengakibatkan
kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungistatik terhadap
Candida albicans.
a. Naftifin

54
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
Candida sp., Untuk pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim
1% dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu.5
b. Terbinafin

Gambar 17. Struktur Terbinafin5

Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis


versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang
dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Untuk pengobatan tinea korporis dan tinea
kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu,
untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis
versikolor selama 2 minggu.10
c. Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya
sama dengan golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap
dermatofita dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea
kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.5
3. Anti Jamur Kelompok Politen
a. Nistatin
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada
kulit atau membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya
tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadabng dapat timbul mual, muntah dan
diare jika diberikan dengan dosis tinggi.

55
Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal
suppossitoria (100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih
14 hari.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

56
Penyakit kulit, kuku, rambut yang disebablan oleh jamur dapat dibagi
menjadi mikosis superfisialis (dermatofitosis), mikosis subkutan dan mikosis sistemik
(nondermatofitosis). Dermatofitosis terdiri dari pitiriasis versikolor, folikulitis
malassezia, piedra dan tinea nigra palmaris. Sedangkan untuk nondermatofitosis
terbagi menjadi tinea pedis, tine unguium, tinea kruris, tinea korporis dan tinea
kapitis, tergantung di mana letak kelainan.
Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas obat antijamur
sistemik dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat golongan
utama yaitu polien, azol, alilamin, dan ekinokandin. Golongan azol terbagi dua
berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol yaitu kelompok imidazol dan triazol.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS LD. Fitzpatricks’s
Dermatology in General Medicine: Deep Fungal Infections. 7th ed. New
York: Mc Graw-Hill; 2008. 1831-1844 p.

57
2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS LD. Fitzpatricks’s
Dermatology in General Medicine: Topical Antifungal Agents. 7th ed. New
York: Mc Graw-Hill; 2008. 2116-2121 p.
3. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p
2116-2121
4. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p
2211-2217
5. Ashley ES et.al. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical
Infectious Disease D 2006;43 (Suppl 1):28-39.
6. Yusharyahya SN. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Menaldi SLS,
editor. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. 103-116 p.
7. Katzung, B. G. (2014). Farmakologi Dasar dan Klimik, Edisi XII. Jakarta:
EGC. P 961-971.
8. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR,
Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196

9. Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. (2010). Farmakologi dan Terapi.


Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia.
10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS,
Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of
Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 2006
11. Bigby, M and Williams, H. C. (2010) Evidence-Based Dermatology, in Rook's
Textbook of Dermatology, Eighth Edition (eds T. Burns, S. Breathnach, N.
Cox and C. griffiths, Wiley-Blackwell, Oxford, UK. doi:
10.1002/97814444317633.ch7

58
12. Andrews. (2015). Diseases of the Skin Clinical Dermatology, 12th Edition.
New York: Saunders Elsevier

59

Anda mungkin juga menyukai