Anda di halaman 1dari 7

SATUAN PEMUKUL ANTI-TEROR INDONESIA:

KAJIAN KOMPREHENSIF

Executive Summary

Terorisme pada dasarnya telah menjadi sebuah ancaman semua bangsa,


khususnya bagi Indonesia, dilihat dari begitu banyaknya kasus terorisme
yang terjadi di tanah air. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 telah
terjadi sebanyak 74 kasus pemboman yang terjadi di Indonesia. Data yang lain
menyebutkan bahwa sejak 1999 sampai dengan 2007, telah terjadi setidaknya
765 kali kasus teror, terdiri dari 211 kali peledakan, 182 kali bom tidak meledak,
364 kali ancaman teror, dengan korban meninggal dunia sebanyak 317 orang. Ini
membuktikan bahwa Indonesia adalah target serangan teror. Pemerintah Indonesia
telah melakukan berbagai langkah maupun menginvestasikan sumber daya dalam
rangka memerangi terorisme.

Permasalahan: Complexity in Counter-Terror System


Memperhatikan begitu banyaknya aksi teror yang terjadi di tanah air akhir-
akhir ini, sebenarnya jauh sebelumnya Indonesia telah memiliki elemen-elemen
anti teror yang siap digerakkan untuk memberantas terrorisme. Satuan-satuan
pemukul (striking forces) tersebut antara lain Satuan-1 Penanggulangan Teror
(Sat-1 Gultor Kopassus) di tubuh TNI AD, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka)
TNI AL, dan Detasemen Bravo 90 (Den Bravo 90) TNI AU, dan juga satuan
berkemampuan dan dapat difungsikan untuk melawan terorisme seperti Kopaska
TNI AL dan Yon Raider TNI AD. Sedangkan di tubuh Polri juga terdapat Satuan

1
1 Gegana Brimob Polri, Satgas Bom Polri, serta Densus-88 AT Polri yang
dibentuk pasca peledakan bom di Bali Oktober 2002.
Dalam kaitannya dengan efektifitas dan efisiensi, ada beberapa hal yang
menjadi persoalan mendasar pemberantasan terorisme di tanah air. Persoalan-
persoalan tersebut antara lain: masalah framework dalam pemberantasan
terorisme, masalah koordinasi antar satuan pemukul anti terror, dan yang juga
penting adalah masalah pencegahan tindakan terorisme.

Permasalahan dalam pemberantasan terorisme antara lain:


1. Masalah framework satuan-satuan pemukul anti teror
Terdapat beberapa persoalan mendasar dari tingkat strategis hingga taktis
dalam pemberantasan terorisme, meliputi kurangnya penanganan dalam
hal:
• Strategic – penggunaan psywar techniques, menanggulangi akar
permasalahan terrorisme (pencaplokan wilayah, diskriminasi,
kekerasan, serta kemiskinan, penganguran, pembangunan idologi
dan karakter bangsa dan lain-lain)
• Tactical - defensive counterterrorism, sarananya antara lain
berupa legislasi peraturan yang jelas, meningkatkan kemampuan
keamanan, serta memperkuat pengamanan di perbatasan
• Tactical - offensive counterterrorism, melalui operasi intelijen,
investigasi polisi, dan operasi militer
2. Masalah Respon terhadap aksi teror oleh satuan-satuan pemukul anti teror
• Ada banyak counter-terror unit yang ada di Indonesia, akan tetapi,
kenyataanya tidak semuanya difungsikan optimal, nampaknya
hanya Densus-88 AT yang memiliki peran besar dalam upaya
pemberantasan terorisme
• Esprit de corpse yang selalu ada di masing-masing unit
menciptakan rivalitas diantara unit-unit yang ada

2
3. Masalah Koordinasi
Menurut Prof. Dr. Adrianus Meliala:
Institusi yang memiliki kapasitas tetapi tidak berwenang, memang suatu
persoalan. Tetapi, persoalan menjadi lebih serius apabila ada institusi
yang berwenang tetapi ternyata tidak memiliki kapasitas. Apabila eksekusi
kewenangan terhadap institusi keamanan (juga) bisa dilakukan oleh
institusi sipil dan dengan mekanisme demokratik, eksekusi kapasitas pada
dasarnya hanya bisa dilakukan oleh institusi keamanan itu sendiri.

Telah sejauh mana DKPT dalam kapasitasnya mengkoordinasikan seluruh


elemen pemberantasan teror termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam mengikis terorisme di Indonesia?

4. Masalah Aturan
Kontroversi atas keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sesuai
UU TNI No. 34 tahun 2004, pada pasal 7 ayat 2b, disebutkan bahwa
salah satu tugas TNI selain perang (Military Operation Other than War/
MOOTW) adalah “menangani terorisme”. Hal tersebut secara tidak
langsung menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan institusi lain.
Karena Polri pun dalam UU No. 2 tahun 2002 Polri pembahasan terorisme
ada dalam penjelasan UU termasuk dalam kejahatan internasional yang
merupakan salah satu tugas Polri.

Permasalahan muncul ketika baik UU TNI No. 34 tahun 2004 dalam


pasal 7 ayat 2 huruf b angka 10 yang berkaitan dengan tugas TNI dalam
penanganan terorisme, maupun UU Polri No. 2 tahun 2002, pasal 41
mengenai mekanisme perbantuan TNI kepada Polri, keduanya memiliki
amanat aturan pelaksanaan yang berbeda. UU TNI No. 34 tahun 2004
mengamanatkan aturan pelaksanaannya dalam undang-undang, sementara
UU Polri No. 2 tahun 2002 mengamanatkan perbantuan TNI dalam
penanganan terorisme diatur dalam peraturan pemerintah. Sampai saat ini

3
mekanisme perbantuan tersebut belum ada satupun yang dibuat.

5. Masalah Pencegahan
Intelligence failure on preventing, bisa disebabkan oleh ketiadaan aturan
yang jelas dalam komunitas intelijen berupa Undang-Undang sebagai
landasan hukum operasi pencegahan tindakan terorisme oleh intelligence
community. Atau, meskipun telah ada instruksi presiden yang menunjuk
BIN sebagai koordinator intelijen, namun dalam pelaksanaannya
peran itu kurang efektif. Faktor ego antar lembaga juga mempengaruhi
ketidakefektifan implementasi aturan yang telah ada.

Rekomendasi
Dalam upaya membenahi sistem pemberantasan terorisme yang perlu
dilakukan adalah pertama, perbaikan persoalan framework, pada level strategis
pemerintah mempersiapkan rencana-rencana pemberantasan terorisme secara
menyeluruh yang melibatkan semua komponen. Pada framework taktis, secara
nasional harus ada satu institusi lintas sektoral yang mempunyai otoritas
melakukan koordinasi dan sinkronisasi semua upaya dan langkah pemerintah
untuk memberantas terorisme secara efektif dengan harapan bahwa semua sektor
menjalankan fungsinya masing-masing secara profesional. Sinkronisasi pada level
taktis terutama terhadap satuan-satuan anti teror yang memiliki fungsi-fungsi
preventif, koersif, hingga investigatif. Intitusi lintas sektoral yang diharapkan
adalah yang mampu memadukan komunitas intelijen, satuan pemukul anti teror,
dan institusi investigatif.
Kedua, dalam hal permasalahan respon, spesialisasi diperlukan dalam
kaitannya dengan respon terhadap tindakan terorisme yang terjadi pada fase-
fase dan kondisi tertentu. Karena sulit bagi satuan anti terror untuk memiliki
kemampuan yang sangat baik pada semua spektrum pemberantasan terorisme.
Oleh sebab itu perlu dibuat alternatif spektrum pemberantasan terorisme sehingga
dapat di ketahui “siapa berbuat apa, kapan, dan bagaimana.”
Ketiga, permasalahan koordinasi antar satuan pemukul anti teror,

4
perlu dibentuk suatu lembaga yang memiliki wewenang mengkoordinasikan
pemberantasan terorisme tidak hanya pada level strategis tapi juga hingga taktis
operasional. Misalnya, Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT)
yang ada di Kementrian Polhukkam perlu ditingkatkan menjadi suatu Badan
yang sifatnya operasional yang mengkoordinasikan atau mengendalikan seluruh
elemen-elemen utama pemberantasan terorisme nasional secara komprehensif,
baik elemen pasukan pemukul maupun elemen intelijen serta badan pemerintah
lainnya. Di Perancis misalnya ada Vigipirate di bawah UCLAT (semacam
Group for the Coordination of Antiterrorist Action) yang memiliki wewenang
operasional menggunakan unsur-unsur anti teror kepolisian maupun militer.
Keempat, alternatif kebijakan legislasi dalam rangka mensinkronkan
kerja satuan-satuan pemukul anti teror yang ada di Indonesia. Karena terorisme
merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan
anti-terorisme cukup sulit jika hanya dilakukan dalam satu undang-undang
(umbrella act). Oleh sebab itu, perlu mengefektifkan ketentuan hukum
yang sudah ada dan terpencar dalam berbagai undang-undang, dengan cara
mengintegrasikannya ke dalam kerangka hukum yang komprehensif. Kerangka
hukum itu juga harus mencakup mekanisme-mekanisme operasional penanganan
terorisme lintas lembaga, mengatur hubungan antar lembaga dalam konteks
penanganan terorisme. Selain itu, melakukan revisi terhadap beberapa pasal dalam
UU lain yang relevan, serta memuat rumusan ketentuan-ketentuan baru, sekaligus
mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam 13 konvensi internasional tentang
terorisme. Melakukan aksesi dan atau ratifikasi terhadap berbagai ketentuan
internasional tentang terorisme yang baru. Sejauh ini Indonesia telah meratifikasi
6 konvensi internasional.
Kelima, berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2002, Badan Intelijen Negara
(BIN) berwenang mengkoordinasikan semua kegiatan intelijen tersebut. Maka
perlu ditegaskan kembali amanat inpres tersebut ke dalam tindakan operasional
dengan menjadikan BIN tidak saja secara de jure tapi juga secara de facto sebagai
koordinator intelijen nasional. Dalam hal pencegahan, intelijen harus memberikan
peringatan dini tentang adanya ancaman terorisme serta melakukan pencegahan

5
lain yang sesuai dengan tugas pokoknya. Intelijen juga perlu didukung oleh Pusat
Informasi dan Analisa Terorisme Terpadu.
Keenam, perbaikan struktur atau aktor-aktor baik dalam rangka operasi
pemberantasan teror yang juga didukung badan-badan intelijen. Di masa depan,
idealnya, hanya ada satu satuan pemukul anti teror yang ada di tubuh TNI dan
satu satuan pemukul di tubuh Polri. Satuan anti teror di masing-masing lembaga
tersebut memiliki pembagian tugas dan kewenangan yang jelas, ramping tetapi
efektif dan operasional. Hal tersebut diwujudkan melalui alternatif struktur
pemberantasan terorisme.

6
1

Anda mungkin juga menyukai