Setiap hari, bencana bisa terjadi di seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia.
Tidak semua bencana dapat kita cegah karena bencana merupakan peristiwa yang sulit
untuk diprediksi dan bersifat merugikan. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat serta menimbulkan korban jiwa,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta adanya dampak psikologis.
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana pada korban bencana bukan hanya dampak
fisik saja namun juga timbul dampak psikologis yang dialami oleh korban yang tertimpa
bencana tersebut.
Menyusul bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2010 yang melanda Negara
Chili dan menyebabkan dampak signifikan di daerah dimana 80% dari populasi
terkonsentrasi. Salah satu konsekuensinya adalah meningkatnya gangguan stress pasca
trauma (PTSD), yang mungkin terjadi setelah seseorang mengamati atau mengalami
peristiwa traumatis yang melibatkan ancaman pribadi. Dimana tiga bulan setelah
kejadian, prevalensinya adalah 12%, sementara di Constitucion, kota yang paling
terpengaruh oleh gempa bumi dan tsunami di negara Chili, setelah enam bulan memiliki
36% dari prevalensi PTSD (Bianchi, 2012.et.all).
Pada dasarnya respon setiap individu yang mengalami peristiwa traumatis dapat
berbeda-beda. Ada yang sulit melalui peristiwa tersebut dan ada pula yang mampu
melaluinya dan sembuh dengan baik tanpa intervensi. Namun sangatlah wajar, apabila
seseorang baru saja mengalami sesuatu peristiwa yang luar biasa, seperti gempa bumi
yang meluluh lantakkan tempat tinggalnya, seseorang mengalami stres dan trauma
(Martam, 2009).
“Trauma adalah luka atau kekagetan yang disebabkan oleh peristiwa yang sangat
menekan, terjadi secara tiba-tiba dan di luar kontrol/kendali seseorang, bahkan
seringkali membahayakan kehidupan atau mengancam jiwa (Martam, 2009).”
Pada umumnya korban bencana mengalami reaksi emosional awal seperti
kebingungan, ketakutan, putus asa, ketidakberdayaan, shock, dorongan agresivitas,
ketidakpercayaan, keguncangan spiritual, dan kehilangan rasa percaya diri. Reaksi
yang demikian merupakan reaksi yang normal dialami oleh mereka sebagai bentuk
penyesuaian dirinya terhadap kejadian bencana. Namun demikian, kendati dianggap
sebagai reaksi normal sekalipun, reaksi-reaksi semacam ini tetap perlu diatasi
karena apabila tidak, akan mengganggu fungsi psikis, sosial, dan spiritual, yang pada
akhirnya akan memperlemah kemampuan bertahan korban (Winurini, 2014).
Berikut adalah beberapa intervensi yang bisa diimplementasikan oleh tenaga
medis khususnya perawat dalam penanganan trauma korban bencana.
Intervensi lanjut yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder) :
Exposure Therapy
Menurut Yulle (1999) bahwa terapi ini memiliki efektivitas yang tinggi untuk
mengatasi berbagai gangguan ansietas. Ada beberapa variasi dalam terapi ini, yaitu
systematic dezensititation, flooding, image habituating training, dan plolonged
exposure, yang terakhir adalah terapi yang direkomendasikan oleh para ahli. Prolonged
exposure mencakup konfrontasi terapeutik yang terencana terhadap situasi yang
menciptakan ketakutan, memori atau object yang meningkatkan kewaspadaan tapi bisa
dikelola. Terapi ini berlangsung lama dan dilakukan berulang-ulang sampai derajat
kewaspadaan menurun sampai pada tingkat yang bisa diterima, minimal 50% dibawah
level puncak (Erwina, 2010).
Anxiety Management
Dalam anxiety management terapis akan mengajarkan klien beberapa kemampuan
untuk mengatasi masalah tanda dan gejala PTSD, antara lain relaxation training, klien
akan belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan dengan cara melakukan
relaksasi terhadap dan kecemasan dengan cara melakukan relaksasi terhadap otot-otot
secara sistematis, breathing retraining, dimana klien belajar bagaimana pernapasan
abdomen secara relaks dan menghindari hiperventilasi yang bisa menyebabkan berbagai
sensasi fisik yang tidak menyenangkan (palpitasi, pusing), selanjutnya positive thinking
and self-talk, dimana klien belajar untuk mengganti pikiran negative dengan pikiran
positif pada saat menghadapi stressor yang mengingatkan klien terhadap trauma,
assertiveness training, yaitu klien belajar untuk mengungkapkan harapan, pendapat, dan
emosi tanpa menyakiti orang lain, dan terakhir adalah thought stopping, dimana klien
belajar untuk menggunakan distraksi untuk mengatasi pikiran yang menakutkan dan
mengancam (Ross, 1999). Teknik tought stopping, dimana klien mungkin mengatakan
stop keluar dari ide-ide yang muncul. Pengalihan pikiran yang tidak diinginkan secara
diubah dank lien memilih alternative ide positif. Literature menjelaskan bahwa terapi
thought stopping atau disebut juga dengan istilah menghentikan pikiran merupakan
teknik efektif dan cepat membantu menghadapi pikiran yang membuat stress dimana
seringkali menyertai serangan panik, ansietas dan agrofobia (Erwina, 2010).
Mengenai manajemen kecemasan juga diungkapkan oleh Stuart dan Laraia (2005),
bahwa latihan relaksasi dilakukan melalui teknik pernapasan atau peregangan otot.
Seseorang yang mengalami perasaan tidak tentram, ansietas dan stress psikologis, jika
diberikan suatu latihan relaksasi yang terprogram secara baik maka akan menurunkan
denyut nadi, tekanan darah tinggi, mengurangi keringat dan frekuensi pernafasan
sehingga efektif sebagai anti ansietas (Erwina, 2010).
Family Therapy
PTSD tidak hanya akan mempengaruhi klien secara individual, tapi juga akan
membawa pengaruh pada orang-orang yang dekat dengan klien. Oleh karena itu terapi
keluarga dianggap efektif untuk mengatasi masalah PTSD. Terapi keluarga akan
membantu orang terdekat klien untuk memahami apa yang sedang dialami klien, dan
juga membantu setiap individu di keluarga tersebut agar berkomunikasi dengan baik
sehingga bisa mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal (Hundeko & Crenshaw, 2010).
Couples Therapy
Couples therapy bisa dilakukan pada klien dengan PTSD. Metode konseling ini
melibatkan pelayanan terhadap anggota keluarga. Terapis akan membantu setiap
anggota keluarga untuk ikut aktif dalam komunikasi yang terjalin, mempertahankan
hubungan yang baik, dan mengatasi tantangan masalah emosional. PTSD kadang kala
membawa dampak negative yang signifikan dalam hubungan interpersonal, sehingga
terapi ini akan membantu dalam beberapa kasus PTSD (Benedek, dkk, 2009).
KESIMPULAN
Benedek, dkk. 2009. PTSD : Treatment Options. APA Practice Guidelines. Di unduh
darihttp://psychiatryonline.org/pb/assets/raw/sitewide/practice_guidelines/
guidelines/acutestressdisorderptsd-watch.pdf
Jr, G.E., dkk. 2010. The Use of Psychological First Aid (PFA) Training Among Nurses
to Enhance Population Resiliency. International Journal of Emergency
Mental Health. Vol. 12 No.1. Di unduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20828087
Mitchell, A.M., dkk. 2005. Nursing Clinics of North America. Disaster Care:
Psychological Considerations. Vol. 40 No. 535. Di unduh dari
http://www.nursing.theclinics.com/article/S0029-6465(05)00022-8/abstract
Shultz, J.M., & Forbes, D. 2014. Psychological First Aid. Disaster Health. Di unduh
dari http://tandfonline.com/doi/full/10.4161/dish.26006
Watson, P.J., dkk. 2005. Assessment and Treatment of Adult Acute Responses to
Traumatic Stress Following Mass Traumatic Events. CME. Vol. 10. No. 2.
Di unduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15685123