Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manajemen merupakan ilmu atau seni mengenai penggunaan sumber daya
secara efisien dan efektif serta rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang
telah dititipkan sebelumnya (Swanburg, 2000). Manajemen keperawatan
merupakan suatu alur kerja dimana yang digunakan oleh anggota keperawatan dan
bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan, pengobatan, dan pelayanan
kepada pasien. Manajemen keperawatan yang diaplikasikan di ruangan
mempunyai dua tujuan yaitu manajemen pelayanan keperawatan dan manajemen
asuhan keperawatan. Dimana di dalam manajemen pelayanan keperawatan terdiri
atas perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, kepemimpinan, dan
pengendalian aktifitas-aktifitas upaya keperawatan (Swanburg, 2000).
Pelaksanaan manajemen keperawatan dapat menggunakan Model Praktik
Keperawatan Profesional (MPKP) dilaksanakan di rumah sakit dimana hal ini
bertujuan agar pelayanan yang diberikan menjadi lebih spesialistik dan
profesional. Pengembangan dan penatalaksanaan kegiatan keperawatan yang
dimaksud tentunya berdasarkan pada empat pilar nilai profesional yang ada dalam
konsep MPKP, yaitu: management approach, compensatory reward, professional
relationship dan patient care delivery (Keliat & Akemat, 2009).
Ruang Dahlia adalah pelayanan yang ditunjukan untuk klien gangguan
jiwa dalam kondisi kronis psikiatri dan membutuhkan perawatan. Indikasi klien
yang dirawat di Ruang Dahlia adalah pada pasien psikotik dengan Skizofrenia
yang kondisi kronis. Prevalensi skizofrenia di Indonesia berdasarkan Hasil riset
kesehatan dasar tahun 2013 (Depkes, 2013) menyatakan bahwa prevalensi
gangguan jiwa di Indonesia sebesar 1,7 permil, dimana dari 1000 penduduk
terdapat 1 sampai 2 orang menderita gangguan jiwa. Berdasarkan Riskesdas
(2013) di provinsi Jawa Timur ditemukan 2,2 permil dari total penduduk jawa
timur mengalami gangguan jiwa berat melampaui prevalensi secara nasional (1,7
permil), sementara gangguan mental emosional pada penduduk Jawa Timur
mencapai 6,5% melampaui prevalensi secara nasional (6%).

1
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan skizofrenia adalah sekelompok
reaksi psikotik yang mempengaruhi fungsi individu antara lain fungsi berpikir dan
berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan
menunjukkan emosi serta berperilaku. Pengertian lain menyebutkan skizofrenia
adalah sebagai kombinasi dari gangguan berpikir, persepsi, perilaku, dan
hubungan sosial (Fontaine, 2009). Skizofrenia merupakan sekumpulan sindroma
klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain
dari perilaku (Kaplan & Saddock, 2010). Skizofrenia juga diartikan sebagai suatu
penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi,
emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2008).
Kesimpulan yang dapat di ambil berdasarkan penjelasan para ahli di atas adalah
skizofrenia merupakan suatu respon maladaptif yang ditandai dengan reaksi
psikotik yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, perilaku dan hubungan
sosial individu.
Kebanyakan klien skizofrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan
pekerjaanya atau bahkan merawat dirinya sendiri sehingga sangat bergantung
kepada orang lain. Skizofrenia berdampak buruk pada individu, keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Kurangnya peran individu dan adanya respon lingkungan
yang negatif menyebabkan ketidakmampuan individu dalam mempertahankan
hubungan interpersonal yang positif. Hal ini dapat mengakibatkan stress dan dapat
menurunkan produktifitas individu tersebut. Kegagalan yang terjadi secara terus
menerus dalam menghadapi stressor dan penolakan dari lingkungan sosial
menyebabkan individu mengalami harga diri rendah yang kronis. Sehingga
individu akan merasa tidak berguna, malu untuk berinteraksi dengan orang lain
serta tidak percaya diri yang dimanifestasikan dengan perilaku menarik diri dari
lingkungan sosial atau menstimulus klien untuk melakukan perilaku kekerasan
sebagai mekanisme koping destruktif klien.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
membuat makalah praktek aplikasi yang disusun berdasarkan pengalaman dalam
mengelola kasus pasien dengan gangguan jiwa selama praktik aplikasi
keperawatan jiwa dengan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) yang
dilaksanakan di Ruang Dahlia Rumah Sakit Jiwa Malang.

2
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam mengaplikasikan teori keperawatan dalam melaksanakan
asuhan keperawatan jiwa dengan pendekatan Manajemen pelayanan.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang
Dahlia RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
2. Mengidentifikasi pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan
berdasarkan pendekatan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP)
di ruang Dahlia RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Aplikatif
Laporan hasil Praktik Aplikasi Keperawatan Jiwa Lanjut ini diharapkan
dapat membantu menyelesaikan masalah bersifat teknis operasional dari
suatu aspek manajemen pelayanan dan manajemen kasus keperawatan di
Ruang Dahlia ehingga diharapkan dapat membantu ruang Dahlia RSJ dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang dalam meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan secara umum yang pada akhirnya dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
1.3.2 Manfaat Keilmuan
1. Makalah praktik aplikasi keperawatan jiwa ini diharapkan dapat menjadi
dasar pengembangan pendidikan keperawatan jiwa dengan meningkatkan
kualitas pelayanan melalui pengembangan manajemen kasus, dan
manajemen pelayanan ruang Dahlia.
2. Laporan manajemen asuhan keperawatan ini dapat menggambarkan
bagaimana pelaksanaan tindakan keperawatan generalis yang
dikolaborasikan dengan tindakan keperawatan spesialis terhadap
penurunan tanda dan gejala pasien dengan masalah psikotik di Ruang
Dahlia.

3
BAB 2
MODEL ASUHAN KEPERAWATAN PROFESIONAL (MAKP)

2. 1 Definisi MAKP
Model Asuhan Keperawatan Profesional adalah sebagai suatu sistem
(struktur, proses dan nilai-nilai) yang memungkinkan perawat profesional
mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk lingkungan untuk menopang
pemberian asuhan tersebut (Hoffart &Woods, 1996).
Mc. Laughin, Thomas dean Barterm (1995) mengidentifikasikan 8 model
pemberian asuhan keperawatan, tetapi model yang umum dilakukan di ruamah
sakit adalah keperawatan tim dan keperawatan primer. Karena setiap perubahan
akan berdampak terhadap suatu stress, maka perlu mempertimbangkan 6 unsur
utama dalam penentuan dalam pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan
(Marquis & Huston, 1998; 143) yaitu:
a. Sesuai dengan visi dan misi institusi
b. Dapat diterapkan proses keperawatan dalam asuahan keperawatan
c. Efisien dan efektif penggunaan biaya.
d. Terpenuhinya kepuasan klien, keluarga dan masyarakat
e. Kepuasan kinerja perawat

2. 2 Jenis Model Asuhan Keperawatan Profesional


Menurut Grant & Massey (1997) dan Marquis dan Huston (1998) ada 4
metode pemberian asuhan keperawatan profesional yang sudah ada dan akan terus
dikembangkan dimasa depan dalam menghadapi tren pelayanan keperawatan,
yaitu:
2. 2. 1 Model Asuhan Keperawatan Profesional Fungsional
Model fungsional dilaksanakan oleh perawat dalam pengelolaan asuhan
keperawatan sebagai pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Pada saat itu
karena masih terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat maka setiap perawat
hanya melakukan 1-2 jenis intervensi keperawatan kepada semua pasien di
bangsal. Model ini berdasarkan orientasi tugas dari filosofi keperawatan, perawat
melaksanakan tugas (tindakan) tertentu berdasarkan jadwal kegiatan yang ada

4
(Nursalam, 2002). Model pelayanan keperawatan dilaksanakan berdasarkan tugas
yang ditentukan oleh kepala unit keperawatan (head nurse). Model ini cocok
untuk keadaan darurat, tetapi kurang untuk meningkatkan mutu asuhan
keperawatan (Gillies, 1998; tomey, 1992).
1) Keuntungan:
 Perawat terampil untuk tugas tertentu
 Efisien, memudahkan kepala ruangan untuk mengawasi staf atau
peserta didik yang praktek untuk keterampilan tertentu
2) Kerugian:
 Pelayanan keperawatan terpilah-pilah
 Sulit membangun hubungan perawat-pasien, karena tidak adanya
saling percaya
 Kemungkinan pasien merasa tidak puas
2.2.2 Metode Asuhan Keperawatan Profesional Medular
Metode keperawatan medular adalah suatu variasi dari metode
keperawatan primer dan metode tim. Metode ini memilik kesamaan dengan
metode primer dan metode tim (Gillies, 1994). Metode ini sama dengan metode
keperawatan tim karena baik perawat profesional maupun non profesional bekerja
bersama dalam memberikan asuhan keperawatan di bawah kepemimpinan seorang
perawat profesional disamping itu dikatakan memiliki kesamaan dengan metode
keperawatan primer karena dua atau tiga orang perawat bertanggung jawab atas
sekelompok kecil pasien sejak masuk dalam perawatan hingga pulang, bahkan
sampai dengan waktu follow up care. Dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan menggunakan metode keperawatan medular, satu tim yang terdiri dari dua
hingga tiga perawat memiliki tanggung jawab penuh pada sekelompok pasien
sekitar 8-12 orang (Magargau, 1987). Hal ini tentu saja dengan suatu persyaratan
peralatan yang dibutuhkan perawatan cukup memadai.
Sekalipun dalam memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan
metode ini dilakukan oleh dua hingga tiga perawat, tanggung jawab yang paling
besar tetap ada pada perawat profesional. Perawat profesional juga memiliki
kewajiban untuk membimbing dan melatih non profesional. Apabila perawat
profesional sebagai ketua tim tidak masuk tugas dan tanggung jawab dapat

5
digantikan oleh perawat profesional lainnya. Peran perawat kepala ruang
diarahkan dalam hal membuat jadwal dinas dengan mempertimbangkan
kecocokan anggota untuk bekerja sama, dan berperan sebagai fasilitator,
pembimbing serta mivator.
2.2.3 Model Asuhan Keperawatan Profesional Kasus
Metode manajemen kasus sering digunakan dalam perangkat pelayanan
kesehatan masyarakat, psikiatris, dan diadopsi dalam asuhan pasien rawat nginap,
berfokus pada populasi semua pasien penyakit dalam dan beresiko tinggi (Cardiac
Arrest). Manajement kasus adalah model yang digunakan untuk mengidentifikasi,
koordinasi, dan monitoring implementasi kebutuhan pelayanan untuk mencapai
asuhan yang diinginkan dalam periode waktu tertentu.
Elemen penting dalam manajemen kasus meliputi:
1) Kerjasama dan dukungan dari semua anggota pelayanan dan anggota
kunci dalam organisasi (administrator, dokter dan perawat).
2) Kualifikasi perawat manajer kasus.
3) Praktek kerjasama tim.
4) Kualitas system manajemen yang diterapkan.
5) Menggunakan prinsip perbaikan mutu yang terus menerus.
6) Menggunakan “Critical pathway” (hasil) atau asuhan MAPS
(Multidisciplinary Action Plans) yaitu kombinasi “Clinical Path dengan
Care Plans.
7) Promosi praktek keperawatan professional.
Dalam 1 unit diperlukan 2 manajer kasus yang bekerja
mengkoordinasikan, mengkomunikasikan, bekerja sama untuk menyelesaikan
masalah dan memfasilitasi asuhan sekelompok pasien. Idealnya satu orang
manajer kasus mempunyai 10-15 kasus pasien dimana perkembangan pasien akan
diikuti terus oleh manajar kasus dari masuk sampai pulang. Bila diperlukan
mengikuti perkembangan pasien dirawat jalan.
Keuntungan dari manajemen kasus meningkatnya mutu asuhan karena
perkembangan kesehatan pasien dimonitoring terus menerus sehingga selalu ada
perbaikan bila asuhan yang diberikan tidak memberikan perbaikan, dan adanya
kerjasama yang harmonis antara manajer kasus dengan tim kesehatan lain

6
merupakan elemen penting yang mempengaruhi meningkatnya mutu asuhan,
menurunnya komplikasi dan biaya menjadi lebih efektif. Manajer kasus
melakukan monitoring terhadap asuhan keperawatan yang dilaksanakan oleh
tenaga perawat dan non keperawatan.
Setiap perawat ditugaskan untuk melayani seluruh kebutuhan pasien saat
ia dinas. Pasien akan dirawat oleh perawat yang berbeda untuk setiap shift dan
tidak ada jaminan bahwa pasien akan dirawat oleh orang yang sama pada hari
berikutnya. Metode penugasan kasus biasa diterapkan satu pasien, satu perawat,
dan hal ini umumnya dilaksanakan untuk perawat privat atau untuk keperawatan
khusus seperti isolasi intensive care. Metode ini berdasarkan pendekatan holistic
dan filosofih keperawatan. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan dan
observasi pada pasien terentu (Nursalam, 2002).
Metode ini adalah suatu penugasan yang diberikan kepada perawat untuk
memberikan asuhan secara total terhadap seorang atau sekelompok klien.
1) Keuntungan:
Asuhan yang diberikan komperhensi, berkesinambungan dan holistic.
2) Kerugian:
Kurang efisien karena memerlukan perawat professional dengan
keterampilan tinggi dan imbalan yang tinggi, sedangkan masih ada
pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh asisten perawat.
2.2.4 Model Asuhan keperawatan Profesional Primer
Adalah suatu metode pemberian askep dimana perawat profesional
bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap asuhan keperawatan pasien
selama 24 jam. Tanggung jawab meliputi pengkajian pasien, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi askep dari sejak pasien masuk ruma sakit hinggga
pasien dinyatakn pulang, ini merupakan tugas utama perawat primer yang dibantu
oleh perawat asosiet. Menurut Gillies (1986) perawat menggunakan metode
keperawatan primer dalam pemberian asuhan keperawatan disebut perawat primer
(primary nurse). Pada metode keperawatan primer terdapat kontinutas
keperawatan dan bersifat komperhensif serta dapat dipertanggung jawabkan,
setiap perawat primer biasanya mempunyai 4-6 klien dan bertangggung jawabkan
selama 24 jam selama klien dirawat di rumah sakit. Perawat primer bertanggung

7
jawab untuk mengadakan komunikasi dan koordinasi dalam merencanakan asuhan
keperawatan dan juga akan membuat rencana pulang klien jika diperlukan. Jika
perawat primer sedang tidak bertugas kelanjutan asuhan akan didelegasikan
kepada perawat lain (associate nurse).
Metode penugasan dimana satu orang perawat bertanggungjawab
penuhselama 24 jam terhadap asuhan keperawatan pasien mulai dari pasien masuk
sampai pasien keluar rumah sakit. Mendorong praktik kemandirian perawat, ada
kejelasan antara si pembuat rencana asuhan dan pelaksana. Metode primer ini
ditandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara pasien dan
perawatyang ditugaskan untuk merencanakan, melakukan dan koordinasi
keperawatan selama pasien dirawat.
1) Keuntungan:
 Otonomi, motivasi, tanggung jawab dan tanggung gugat perawat
meningkat.
 Menjamin kontinuitas asuhan keperawatan
 Meningkatnya hubungan antara perawat dan pasien
 Terciptanya kolaborasi yang baik
 Penugasan pasien oleh seorang perawat primer
2) Kerugian
 Ruangan tidak memerlukan perawat pelaksana, harus perawat
profesional
 Biaya yang diperlukan banyak
2.2.5 Model Asuhan Keperawatan Profesional Tim
Metode tim merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawtan
dimana seorang perawat rofesional memimpin sekelompok tenaga keperawtan
dalam memberikan asuhan keperawatan kelompok klien melalui upaya koopreatif
dan kolaboratif (Douglas, 1984). Model tim didasarkan pada keyakinan bahwa
setiap anggota kelompok mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan
memberikan asuhan keperawatan sehingga timbl motivasi dan rasa tangung jawab
perawat yang tinggi sehingga diharapkan mutu asuhan keperawatan meningkat.
Menurut Kron & Gray (1987) pelaksanaan model tim harus berdasarkan
konsep berikut:

8
1) Ketua tim sebagi perawat profesional harus mampu menggunakan teknik
kepemimpinan.
2) Komunikasi yang efektif penting agar kontinitas rencana keperawatan
terjamin.
3) Anggota tim menghargai kepemimpinan ketua tim.
4) Peran kepala ruang penting dalam model tim. Model tim akan berhasil
baik bila didukung oleh kepala ruang.
Metode ini digunakan bila perawat pelaksana terdiri dari berbagai latar
belakang pendidikan dan kemampuannya.Ketua tim mempunyai tanggung jawab
untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan asuhan keperawatan dalam tanggung
jawab anggota tim. Tujuan metode penugasan keperawatan tim untuk memberikan
keperawatan yang berpusat pada pasien. Ketua tim melakukan pengkajian dan
menyusun rencana keperawatan pada setiap pasien , adan anggota tim
bertanggung jawab melaksanakan asuhan keperawatan yang telah di buat. Oleh
karena kegiatan dilakukan bersama-sama dalam kelompok, maka ketua tim
seringkali melakukan pertemuan bersama dengan anggota tim (konfrensi tim)
guna membahas kejadian-kejadian yang dihadapi dalam pemberian asuhan
keperawatan.
Metode ini menggunakan tim yang terdiri dari anggota yang berbeda-beda
dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat
ruangan dibagi menjadi 2-3 tim/group yang terdiri dari tenaga profesional,
tehnikal dan membantu dalam satu group kecil yang saling membantu.
1) Peran Kepala Ruangan
 Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf.
 Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan
 Memberi kesempatan kepada ketua tim untuk pengembangan
kepemimpinan.
 Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim
keperawatan.
 Menjadi nara sumber bagi ketua tim.
 Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset
keperawatan.

9
 Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka
2) Tugas dan Tanggung Jawab Ketua Tim
 Bertanggung jawab terhadap pengelolaan asuhan keperawatan klien
sejak masuk sampai pulang
 Mengorientasikan klien yang baru dan keluarganya
 Mengkaji kondisi kesehatan klien dan keluarganya
 Membuat diagnose keperawatan dan rencana keperawatan
 Mengkomunikasikan rencana keperawatan kepada anggota tim
 Mengarahkan dan membimbing anggota tim dalam melakukan
tindakan keperawatan
 Mengevaluasi tindakan dan rencana keperawatan
 Melaksanakan tindakan keperawatan tertentu
 Mengembangkan perencanaan pulang
 Memonitor pendokumentasian tindakan keperawatan yang dilakukan
oleh anggota tim
 Melakukan/mengikuti pertemuan dengan anggota tim/tim kesehatan
lainnya untuk membahas perkembangan kondisi pasien
 Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota
kelompok dan memberikan bimbingan melalui konfrensi
 Mengevaluasi pemeberian asuhan keperawatan dan hasil yang dicapai
serta pendokumentasiannya
3) Tugas dan Tanggung Jawab Anggota Tim
 Melaksanakan tindakan keperawatan yang telah direncanakan ketua
tim.
 Mendokumentasikan tindakan keperawatan yang dilakukan.
 Membantu ketua tim melakukan pengkajian, menentukan diagnosa
keperawatan dan membuat rencana keperawatan.
 Membantu ketua tim mengevaluasi hasil tindakan keperawatan.
 Membantu/bersama ketua tim mengorientasikan pasien baru.
 Mengganti tugas pembantu keperawatan bila perlu
4) Tugas dan Tanggung Jawab Pembantu Keperawatan
 Membersihkan ruangan dan meja pasien.

10
 Menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk tindakan keperawatan.
 Membersihkan alat-alat yang telah digunakan.
 Membantu perawat dalam melakukan asuhan keperawatan.
 Mengurus pemberangkatan dan pemulangan pasien konsul.
 Mengatur urinal dan pispot pasien
Dalam keperawatan tim perawat profesional dapat mempraktikan
kemampuan kepemimpinannya secara maksimal. Kepemimpinan perawat ini
menjadi kunci keberhasilan praktek keperawatan dan menjamin asuhan
keperawatan bermutu bagi pasien.

2.2.6 Metode Tim


1. Kelebihan Metode Tim
 Memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh
 Mendukung pelaksanaan proses keperawatan
 Memungkinkan komunikasi antar tim, sehingga konflik mudah diatasi
dan memberi kepuasan kepada anggota tim
2. Kelemahan Metode Tim
Komunikasi antar anggota tim terbentuk terutama dalam bentuk konferensi
tim, yang biasanya membutuhkan waktu karena sulit untuk
melaksanakannya pada waktu-waktu sibuk.
3. Konsep Metode Tim
Secara garis besar,konsep keperawatan tim ini terdiri atas beberapa poin
yang harus dilaksanakan, yaitu:
 Ketua tim sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan
berbagai tehnik kepemimpinan.
 Komunikasi yang efektif sangat penting, agar kontinuitas rencana
keperawatan terjamin.
 Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim
 Peran kepala ruangan dalam metode tim ini sangat penting. Artinya
metode tim ini akan berhasil dengan baik hanya bila didukung oleh
keperawatan ruagan

11
4. Tanggung Jawab Anggota Tim
 Memberikan asuhan keperawatan pada pasien di bawah tanggung
jawabnya.
 Kerjasama dengan anggota tim dan antar tim
 Memberikan laporan
5. Tanggung Jawab Ketua Tim
 Membuat perencanaan
 Membuat penugasan, supervisi dan evaluasi
 Mengenal/ mengetahui kondisi pasien dan dapat menilai tingkat
kebutuhan pasien
 Mengembangkan kemampuan anggota
 Menyelenggarakan konferensi
6. Tanggung Jawab Kepala Ruangan
1) Perencananaan
a) Menunjukan ketua tim akan bertugas di ruangan masing-masing
b) Mengikuti serah terima pasien di shift sebelumnya
c) Mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien : gawat, transisi dan
persiapan pulang bersama ketua tim
d) Mengidentifikasi jumlah perawat yang dibutuhkan berdasarkan
aktifitas dan kebutuhan klien bersama ketua tim, mengatur
penugasan/penjadwalan.
e) Merencanakan strategi pelaksanaan keperawatan
f) Mengikuti visitedokter untuk mengetahui kondisi, patofisiologis,
tindakan medis yang dilakukan yang akan dilakukan, program
pengobatan dan mendiskusikan dengan dokter tentang tindakan
yang akan dilakukan terhadap pasien.
g) Mengatur dan mengendalikan asuhan keperawatan:
 Membimbing pelaksanaan asuhan keperawatan
 Membimbing penerapan proses keperawatan dan menilai
asuhan keperawatan
 Mengadakan diskusi untuk pemecahan masalah

12
 Memberikan informasi kepada pasien atau keluarga yang baru
masuk Rumah Sakit
h) Membantu mengembangkan niat pendidikan dan latihan diri
i) Membantu membimbing terhadap peserta didik keperawatan
j) Menjaga terwujudnya visi dan misi keperawatan di rumah sakit
2) Pengorganisasian
a) Merumuskan metode penugasan yang digunakan
b) Merumuskan tujuan metode penugasan
c) Membuat rincian tugas tim dan anggota tim secara jelas
d) Membuat rentang kendali kepala ruangan membawahi 2 ketua tim
dan ketua tim membawahi 2-3 perawat
e) Mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan : membuat
proses dinas, mengatur tenaga yang ada setiap hari dan lain-lain
f) Mengatur dan mengendalikan logistik ruangan
g) Mengatur dan mengendalikan situasi tempat praktik
h) Mendeegasikan tugas kepala ruangan tidak berada di tempat,
kepada ketua tim
i) Memberi wewenang kepada tata usaha untuk mengurus
administrasi pasien
j) Identifikasi masalah dan cara penanganannya
3) Pengarahan
a) Memberikan pengarahan dan penugasan kepada ketua tim
b) Memberikan pujian kepada anggota tim dan melaksanakan tugas
dengan baik
c) Memberi motivasi dalam peningkatan pengetahuan, keterampilan
dan sikap
d) Menginformasikan hal-hal yang dianggap pentingdalam
berhubungan dengan askep pasien
e) Melibatkan bawahan sejak awal hingga akhir kegiatan.
f) Meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim lain
g) Meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim lain (Nursalam,
2011).

13
2.3 Konsep Manajemen
Manajemen adalah proses untuk melaksanakan pekerjaan melalui upaya
orang lain. Menurut P. Siagian, manajemen berfungsi untuk melakukan semua
kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas –
batas yang telah ditentukan pada tingkat administrasi. Sedangkan Liang Lie
mengatakan bahwa manajemen adalah suatu ilmu dan seni perencanaan,
pengarahan, pengorganisasian dan pengontrol dari benda dan manusia untuk
mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.
Sedangkan manajemen keperawatan adalah proses pelaksanaan pelayanan
keperawatan melalui upaya staf keperawatan untuk memberikan asuhan
keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada pasien, keluarga dan masyarakat.
(Gillies, 1989). Manajemen keperawatan adalah suatu tugas khusus yang harus
dilaksanakan oleh pengelola keperawatan untuk merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan serta mengawasi sumber – sumber yang ada,
baik sumber daya maupun dana sehingga dapat memberikan pelayanan
keperawatan yang efektif baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat.
2.3.1 Fungsi-Fungsi Manajemen
a. Perencanaan (planning), perncanaan merupakan :
a) Gambaran apa yang akan dicapai
b) Persiapan pencapaian tujuan
c) Rumusan suatu persoalan untuk dicapai
d) Persiapan tindakan – tindakan
e) Rumusan tujuan tidak harus tertulis dapat hanya dalam benak saja
f) Tiap – tiap organisasi perlu perencanaan
b. Pengorganisasian (organizing), merupakan pengaturan setelah rencana,
mengatur dan menentukan apa tugas pekerjaannya, macam, jenis, unit
kerja, alat – alat, keuangan dan fasilitas
c. Penggerak (actuating), menggerakkan orang – orang agar mau / suka
bekerja. Ciptakan suasana bekerja bukan hanya karena perintah, tetapi
harus dengan kesadaran sendiri, termotivasi secara interval
d. Pengendalian / pengawasan (controling), merupakan fungsi pengawasan
agar tujuan dapat tercapai sesuai dengan rencana, apakah orang –

14
orangnya, cara dan waktunya tepat. Pengendalian juga berfungsi agar
kesalahan dapat segera diperbaiki.
e. Penilaian (evaluasi), merupakan proses pengukuran dan perbandingan
hasil – hasil pekerjaan yang seharusnya dicapai. Hakekat penilaian
merupakan fase tertentu setelah selesai kegiatan, sebelum, sebagai
korektif dan pengobatan ditujukan pada fungsi organik administrasi dan
manajemen.
2.3.2 Sumber Manajemen
Adapun unsur yang dikelola sebagai sumber manajemen adalah
a) Man
b) Money
c) Material
d) Methode
e) Machine
f) Minute
g) Market.
2.3.3 Prinsip – Prinsip Manajemen
Prinsip – prinsip manajemen menurut Fayol adalah
a) Division of work (pembagian pekerjaan)
b) Dicipline (disiplin)
c) Unity of command (kesatuan komando)
d) Sub ordination of individual to generate interest (kepentingan individu
tunduk pada kepentingan umum)
e) Renumeration of personal (penghasilan pegawai)
f) Centralization (sentralisasi)
g) Scalar of hierarchy (jenjang hirarki)
h) Order (ketertiban)
i) Stability of tenure of personal (stabilitas jabatan pegawai)
j) Equity (keadilan)
k) Inisiative (prakarsa)
l) Esprit de Corps (kesetiakawanan korps)

15
2.3.4 Proses Manajemen Keperawatan
Proses manajemen keperawatan sesuai dengan pendekatan sistem terbuka
dimana masing-masing komponen saling berhubungan dan berinteraksi dan
dipengaruhi oleh lingkungan. Karena merupakan suatu sistem maka akan terdiri
dari lima elemen yaitu input, proses, output, kontrol dan mekanisme umpan balik.
Pendekatan sistem terbuka masing-masing komponen saling berhubungan dan
berinteraksi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Komponen dari Manajemen
Keperawatan terdiri dari :
a) INPUT : Terdiri dari Informasi, Personal, Peralatan dan Fasilitas.
Proses dalam manajemen keperawatan adalah kelompok manajer dari
tingkat pengelola keperawatan tertinggi sampai ke perawat pelaksana yang
mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dalam pelaksanaan
pelayanan keperawatan.
b) PROSES : Kelompok manejemen dari tertinggi sampai dengan perawat
pelaksana] yang mempunyai tugas dan wewenang untuk melaksanakan
perencanaan, organisasi, pengarahan dan pengawasan dalam pelaksanaan
pelayanan keperawatan.
c) OUTPUT : Askep (Asuhan Keperawatan), Pengembangan staf sampai
dengan riset
d) KONTROL : Budget, Prosedur, Evaluasi Kinerja, Akreditasi.
e) FEED BACK MECHANISM : Laporan Financial, Audit Keperawatan,
Survey Kendali Mutu, Kinerja.
2.3.5 Prinsip-prinsip yang mendasari manajemen keperawatan adalah :
a) Manajemen keperawatan seyogyanya berlandaskan perencanaan karena
melalui fungsi perencanaan, pimpinan dapat menurunkan resiko
pengambilan keputusan, pemecahan masalah yang efektif dan
terencana.
b) Manajemen keperawatan dilaksanakan melalui penggunaan waktu yang
efektif. Manajer keperawatan yang menghargai waktu akan menyusun
perencanaan yang terprogram dengan baik dan melaksanakan kegiatan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

16
c) Manajemen keperawatan akan melibatkan pengambilan keputusan.
Berbagai situasi maupun permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan
kegiatan keperawatan memerlukan pengambilan keputusan di berbergai
tingkat manajerial.
d) Memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan pasien merupakan fokus
perhatian manajer perawat dengan mempertimbangkan apa yang pasien
lihat, fikir, yakini dan ingini. Kepuasan pasien merupakan poin utama
dari seluruh tujuan keperawatan.
e) Manajemen keperawatan harus terorganisir. Pengorganisasian
dilakukan sesuai dengan kebutuhan organisasi untuk mencapai tujuan.
f) Pengarahan merupakan elemen kegiatan manajemen keperawatan yang
meliputi proses pendelegasian, supervisi, koordinasi dan pengendalian
pelaksanaan rencana yang telah diorganisasikan.
g) Divisi keperawatan yang baik memotivasi karyawan untuk
memperlihatkan penampilan kerja yang baik.
h) Manajemen keperawatan menggunakan komunikasin yang efektif.
Komunikasi yang efektif akan mengurangi kesalahpahaman dan
memberikan persamaan pandangan, arah dan pengertian diantara
pegawai
i) Pengembangan staf penting untuk dilaksanakan sebagai upaya
persiapan perawat – perawat pelaksana menduduki posisi yang lebih
tinggi atau upaya manajer untuk meningkatkan pengetahuan karyawan.
j) Pengendalian merupakan elemen manajemen keperawatan yang
meliputi penilaian tentang pelaksanaan rencana yang telah dibuat,
pemberian instruksi dan menetapkan prinsip – prinsip melalui
penetapan standar, membandingkan penampilan dengan standar dan
memperbaiki kekurangan.
Lingkup Manajemen Keperawatan salah satunya dengan mempertahankan
kesehatan dan Pelayanan kesehatan. Keperawatan merupakan disiplin praktek
klinis. Manajer keperawatan yang efektif seyogyanya memahami hal ini dan
memfasilitasi pekerjaan perawat pelaksana.

17
2.4 Konsep Skizofrenia
2.4.1 Pengertian
Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu
schizo yang berarti ‘terpotong’ atau ‘terpecah’ dan phren yang berarti pikiran,
sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-
kata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia,
yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang
mengalaminya. Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala
kelainannya adalah gangguan sikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas,
penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan
kognisi (Wiramihardja, 2007). Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis
yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan
perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk.,
2008).
Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat
mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan
berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat
dan biasanya dalam jangka panjang. Skizofrenia merupakan sebuah sindroma
kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan
penderita maupun anggota – anggota keluarganya. Gangguan ini dapat
mengganggu persepsi, pikiran, pembicaraan, dan gerakan seseorang. Nyaris
hampir semua aspek fungsinya sehari – hari terganggu (Durand, 2007).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien
yang terkena. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala
fundamental (atau primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan
gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnya
adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala
sekundernya adalah waham dan halusinasi (Kaplan& Sadock, 2015).

18
2.4.2 Psikodinamika pada klien Schizophrenia
Teori psikodinamika menjelaskan terkait perkembangan kepribadian
dimana berfokus pada motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya. Pada
teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian seseorang terbentuk ketika terjadi
konflik-konflik dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi
pada anak-anak (Yustinus, 2006).
Teori psikodinamika ditemukan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Dia
memberi nama aliran psikologi yang dia kembangkan sebagai psikoanalisis.
Banyak pakar yang kemudian ikut memakai paradigma psikoanalisis untuk
mengembangkan teori kepribadiannya (Alwisol, 2005).
Ada beberapa teori kepribadian yang termasuk teori psikodinamika, yaitu:
psikoanalisis, psikologi individual, psikologi analitis, dan neo freudianisme
(Zaviera, 2007). Teori psikoanalisis menjelaskan bahwa kehidupan jiwa memiliki
tiga tingkat kesadaran, yaitu : sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak
sadar (unconscious). Yang kemudian pada tahun 1923 diganti dengan tiga model
struktural yang lain bahwa kepribadian memiliki sebuah sistem yang terdiri dari 3
unsur, yaitu id, ego dan super ego yang masing-masing memiliki asal, aspek,
fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapan sendiri (Yustinius, 2006).
Id digambarkan sebagai kehidupan psikis seseorang seperti halnya gunung
es yang terapung-apung di laut. Kehidupan psikis seseorang sebagian besar juga
tidak tampak (bagi diri mereka sendiri), dalam arti tidak disadari oleh yang
bersangkutan. Meski demikian, hal ini tetap perlu mendapat perhatian atau
diperhitungkan, karena mempunyai pengaruh terhadap keutuhan pribadi
(integrated personality) seseorang (Yustinius, 2006). Berdasarkan teori tersebut
jadi dapat diartikan id yang ada pada diri klien berupa isolasi sosial. klien merasa
lebih nyaman jika sendirian dan tidak melakukan interaksi sosial dengan siapa
pun. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Yustinius (2006),
yang menjelaskan bahwa Id hanya melakukan apa yang disukai. Ia dikendalikan
oleh prinsip kesenangan.
Ego, dimana berfungsi sebagai jembatan dalam memberi jalan bagi id dalam
kehidupan nyata (Sumadi, 2005). Jadi, ego adalah aspek psikologis dari

19
kepribadian yang timbul karena kebutuhan manusia untuk berhubungan secara
baik dengan dunia kenyataan, seperti halnya contoh orang lapar tentu perlu makan
untuk menghilangkan ketegangan yang ada di dalam dirinya. Aktivitas Ego ini
bisa sadar, pra sadar atau tak disadari (Yustinius, 2006). Selain itu, gagasan Freud
tentang psikodinamik ini kemudian disempurnakan oleh Sullivan dalam teorinya
tentang perkembangan kepribadian. Sullivan meyakini bahwa perilaku individu
dan perkembangan kepribadian merupakan hasil langsung dari hubungan
interpersonal. Sullivan lebih menekankan pada pengembangan model
interpersonal, dimana dia mengatakan bahwa perilaku manusia dapat diamati dari
interaksinya sehari-hari dengan orang lain (Townsend, 2013).
Berdasarkan super egonya, berarti dilihat dari nilai dan norma-norma yang
berlaku di dunia eksternal, kemudian melalui proses internalisasi, nilai dan norma-
norma tersebut menjadi acuan bagi perilaku yang bersangkutan. Superego
merupakan dasar moral dari hati nurani. Aktivitas superego terlihat dari konflik
yang terjadi dengan ego, yang dapat dilihat dari emosi-emosi, seperti rasa
bersalah, rasa menyesal, juga seperti sikap observasi diri, dan kritik kepada diri
sendiri (Yustinius, 2006).
Menurut pendekatan psikodinamik, kelainan ini disebabkan ketika trauma
dari konflik yang belum terselesaikan antara id, ego, dan superego ditekan ke
alam bawah sadar dan ini menyebabkan regresi untuk tahap awal perkembangan
psikoseksual. Fiksasi dan regresi berarti bahwa ego tidak sepenuhnya
dikembangkan dan sehingga individu dapat didominasi oleh id atau superego, dan
karena ego lemah individu akan kekurangan dasar yang kuat dalam realitas.
Penjelasan psikodinamik menunjukkan sebagian besar penderita skizofrenia
mengalami lingkungan masa kecil yang sangat keras, sering karena orang tua
mereka yang sangat dingin dan tidak mendukung. Hal ini menyebabkan fiksasi
atau regresi untuk tahap awal perkembangan psikoseksual. Secara khusus,
skizofrenia terhubung ke bagian awal dari tahap oral disebut narsisme primer
selama ego tidak lepas dari id. Ego adalah bagian rasional pikiran dan sehingga
orang tersebut berhenti beroperasi atas dasar prinsip realitas, oleh karena itu
kehilangan kontak dengan realitas. Berikut ini menjelaskan beberapa gejala
skizofrenia:

20
1. Kehilangan kontak dengan realitas. teori Freud menyumbang ini dengan
asumsi bahwa orang dengan skizofrenia kemunduran ke masa anak usia dini di
mana bayi tidak memiliki gagasan yang tepat dari realitas.
2. Beberapa gejala. Misalnya, delusi keagungan, neologisme.
3. Tidak bisa diuji. Teorinya adalah spekulatif karena tidak mungkin untuk
menguji konsep-konsep secara empiris seperti tidak sadar, ego, regresi, dll, dan
sehingga ada kekurangan bukti penelitian.
4. Tidak menjelaskan onset skizofrenia. Teori ini menunjukkan masalah dimulai
di masa kecil, yang tidak menjelaskan mengapa skizofrenia tidak berkembang
sampai akhir masa remaja atau dewasa awal.
2.4.3 Psikopatologi
Menurut Stuart & Laraia (2010), menjelaskan bahwa etiologi dari
skizofrenia adalah :
1. Diatesis-Stres Model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan
lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang
sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia.
Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis
(Kaplan & Sadock, 2015).
2. Faktor Biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan di bagian kortikal otak, dan berkaitan dengan gejala positif
dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga menunjukkan pentingnya
neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamat dan
GABA. Selain perubahan yang sifatnya neurokimiawi, penelitian
menggunakan CT Scan ternyata ditemukan perubahan anatomi otak
seperti pelebaran lateral ventrikel, atropi koteks atau atropi otak kecil
(cerebellum), terutama pada penderita kronis skizofrenia (Kaplan &
Sadock, 2015).
3. Genetika

21
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
masyarakat umum 1 %, pada orang tua resiko 5 %, pada saudara
kandung 8 % dan pada anak 12 % apabila salah satu orang tua
menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang tua
sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40 %. Pada kembar
monozigot 47 %, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 12 %
(Kaplan & Sadock, 2015).
4. Faktor Psikososial
a. Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya
perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal
kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri,
salah interpretasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan
sosial pada penderita skizofrenia (Sirait, 2008).
b. Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang
menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berfikir irasional
orang tua yang mungkin memiliki masalah emosional yang
bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari penderita
skizofrenia akan berkembang karena mempelajari model yang
buruk selama anak-anak (Sirait, 2008).
c. Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam
menimbulkan skizofrenia. Namun beberapa penderita skizofrenia
berasal dari keluarga yang disfungsional (Sirait, 2008).
2.4.4 Gambaran Klinis
Menurut Hawari (2009) perjalanan penyakit skizoprenia dapat dibagi
menjadi 3 fase yaitu :
1. Fase prodromal, pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik
yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum
onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi

22
perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta
membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini
tidak seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya.
2. Fase aktif, pada fase Aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti
tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan
afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak
mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu
saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.
3. Fase residual, pada fase ini gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal
tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-
gejala yang terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizoprenia juga
mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan,
mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi,
hubungan sosial), (Luana, 2007).
Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler
dalam Maramis (2008), yaitu :
1. Gejala primer.
a. Gangguan proses berpikir.
b. Gangguan emosi.
c. Gangguan kemauan.
d. Autisme.
2. Gejala sekunder.
a. Waham.
b. Halusinasi.
c. Gejala katatonik atau gangguan psikomotor yang lain.
2.4.5 Klasifikasi Skizofrenia
Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) :
1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau
halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan

23
afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham
kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan
tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas)
mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan,
menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau,
tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate.
Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang
tidak erat kaitannyadengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah
laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai
aktivitas hidup sehari-hari.
3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas
motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak
mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak
terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti
tingkah laku orang lain (echopraxia).
4. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua
indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet,
kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena
berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah,
adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi,
depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan
ketakutan.
5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari
skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau
sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih

24
memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional.
Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial,
pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
2.4.6 Diagnosa Dan Diagnosa Banding
Menurut Eugen Bleuler diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila
terdapat gejala-gejala primer dan disharmoni (keretakan, perpecahan atau
ketidak seimbangan) pada unsur-unsur kepribadian (proses pikir, afek/emosi,
kemauan dan psikomotorik), diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Penyusunan gejala rangking pertama (first rank symtoms) dan
berpendapat bahwa diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat satu
gejala dari kelompok A dan satu gejala dari kelompok B, dengan syarat
bahwa kesadaran penderita tidak menurun. (Schneider dalam Maramis,
2004). Gejala-gejala rangking pertama yaitu:
1. Halusinasi pendengaran
a. Pikirannya dapat didengar sendiri.
b. Suara-suara yang sedang bertengkar.
c. Suara-suara yang mengkomentari perilaku penderita.
2. Gangguan batas ego
a. Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu
kekuatan dari luar.
b. Pikirannya diambil atau disedot keluar.
c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya dimasukkan
kedalam pikiran orang lain.
d. Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar
secara umum.
e. Perasaannya dibuat oleh orang lain.
f. Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain.
g. Dorongannya dikuasai orang lain.
h. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham
2.4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis,
dan terapi psikososial.

25
1. Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu
terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif,
dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat
antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol(haldol). Obat ini
disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,
sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan
mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia
yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock
pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electro
convulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk
skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan
di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal
terhadap ECT semakin memudar karena metode ini kemudian
diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita
skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga
saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan,
ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien
seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya
dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali
menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu.
Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak
mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007). Pada terapi
biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam

26
Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu
proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness”
atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab
perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil
dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada
penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an
cara ini ditinggalkan karena menyebabkan klien kehilangan
kemampuan kognitif, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi
monoton dan menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan
psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan
akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman
yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2010).

2.5 Halusinasi
2.5.1 Pengertian
Halusinasi adalah sensori persepsi terhadap suatu hal tanpa adanya
stimulus. Halusinasi merupakan pengalaman terhadap mendengar suara
Tuhan, suara setan, dan suara manusia yang berbicara terhadap dirinya, ini
sering terjadi pada pasien skizofrenia (Stuart dan Sudden,1994).

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien


mempersiapkan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar, keyakinan tentang halusinasi
adalah:sejauh mana pasien itu yakin bahwa halusinasi merupakan kejadian
yang benar, umpamanya mengetahui bahwa hal itu tidak benar, ragu-
ragu/yakin sekali bahwa hal itu benar adanya (Maramis,2004).
2.5.2 Jenis-jenis halusinasi
Jenis – jenis halusinasi menurut Stuart dan Sundeen (2001) meliputi :

27
1) Halunasi pendengaran (Akustik)
Karakteristik : mendengar suara-suara/bisikan-bisikan, paling-paling
suara orang, suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai
kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan percakapan antara
dua orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi pikiran
yang mendengar dimana klien mendengar perkataan bahwa pasien
disuruh untuk melakukan sesuatu kadang-kadang membahayakan.
2) Halusinasi penglihatan (visual)
Karakteristik : stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar,
geometri, gambar kartoon, bayangan yang rumit/kompleks, bayangan
bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3) Halusinasi penghidu
Karakteristik : membau-bauan tertentu seperti bau darah, urin atau
feses, umumnya bau-bauan yang tidak menyenagkan. Halusinasi
penghidu sering akibat stroke, tumor, kejang/dimensi.
4) Halusinasi pendengaran
Karakteristik : mendengar suara yang menyuruh pasien untuk
melakukan sesuatu , atau mendengar bisikan tentang ejekan dan lain
sebagainya.
5) Halusinasi perabaan
Karakteristik : mengalami nyeri atau ketidaknyaman tanpa stimulus
yang jelas rasa kesetrum listik yang datang dari tanah, benda stimulus
atau orang lain.
6) Halusinasi canesthetic
Karakteristik : merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah divena atau
diarteri, perencanaan makanan atau pembentukan urine.
7) Halusinasi klinesthetic
Karakteristik : merasa pergerakan sementara bergerak tanpa berhenti

28
2.5.3 Fase-fase halusinasi
1) Fase comforting (ansietas sebagai halusinasi menyenangkan )
Klien mengalami ansietas sedang dan halusinasi yang menyenangkan
klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah, takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan, untuk meredakan ansietas. Individu mengalami bahwa
pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran.
Perilaku klien: menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang
cepat, diam dan asyik sendiri, rspon verbal yang lambat jika sedang
asyik.
2) Fase condemning (ansietas berat halusinasi memberatkan)
Pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil dirinya dengan
sumber yang dipersiapkan. Klien mungkin mengalami dipermalukan
oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain psikotik
ringan.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom akibat
ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan
darah. Rentang perhatian menyempit, asyik dengan pengalaman sensori
dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.
3) Controlling (ansietas berat pengalaman sensori menjadi berkuasa)
Klien berhenti mengehntikan perlawanan terhadap halusinasi tersebut.
Isi halusinasi menjadi menarik, klien mungkin menghalami pengalaman
kesepian jika sensori halusinasi berhenti psikotik.
Perilaku klien : kemampuan yang dikendalikan halusinasi akan lebih
diikuti kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian
hanya beberapa detik atau menit adanya tanda-tanda fisik. Ansietas
berat:berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi peraturan.
4) Conquering panik (umumnya menjadi lebur dalam halusinasi).
Pengalaman sensori jadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Halusinasi berakhir beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi terapeutik psikotik berat.

29
Perilaku klien: perilaku tremor akibat panik, potensi kuat
suicide/nomicide aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti
perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau ketatonia tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang (Stuart dan Laraira,2001)
2.5.4 Rentang respon neurobiologis
Respon perilaku dapat diidentifikasikan sepanjang rentang respons
yang berhubungan dengan fungsi neurologi. Perilaku yang dapat diamati dan
mungkin menunjukkan adanya halusinasi disajikan dalam tabel berikut:

Respon Respon maladaptif


adaptif
Persepsi akurat Ilusi Gangguan
pikiran/waham
Emosi konsisten Reaksi emosional Halusinasi
berlebihan/kurang
Perilaku sesuai Perilaku ganjil Kesulitan untuk
memproses emosi
Hubungan sosial Menarik diri Ketidakterasturan
Pikiran logis Pikiran kadang-kadang Isolasi sosial
menyimpang

2.5..5 Etilogi
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh
baik dari klien maupun keluarganya. Factor predisposisi dapat meliputi factor
perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetic. (Yosep, 2009)
1) Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2) Faktor sosiokultural
Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang
membesarkannya.

30
3) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
buffofenon dan dimethytrenferase (DMP).
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada ketidakmampuanklien
dalam mengambil keputusan demi masa depannya. Klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetic
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
b. Factor presipitasi
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, penasaran,
tidak aman, gelisah, bingung, dan lainnya.
Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi
yaitu:
1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan
menakutkan.
3) Dimensi intelektual
Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang
menekan merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien.
4) Dimensi sosial

31
Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi di alam
nyata sangat membahyakan. Klien asyik dengan halusinasinya seolah
merupakan temapat memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak di dapatkan di dunia nyata.

5) Dimensi spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai denga kehampaan hidup, ritinitas tidak
bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual
untuk menyucikan diri.
2.5.6 Tanda dan Gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk
terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara
sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri
tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).
Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat,
1999) :
a. Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan
Gejala klinis:
1) Menyeriangai / tertawa tidak sesuai
2) Menggerakkan bibir tanpa bicara
3) Gerakan mata cepat
4) Bicara lambat
5) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
b. Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis:
1) Cemas
2) Konsentrasi menurun
3) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
c. Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan
Gejala klinis:
1) Cenderung mengikuti halusinasi

32
2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain
3) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
4) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti
petunjuk).
d. Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis:
1) Pasien mengikuti halusinasi
2) Tidak mampu mengendalikan diri
3) Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
4) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2.5.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien
akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara
individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di
sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau
emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien,
bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di
lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan
2) Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di
berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3) Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang
ada

33
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan
pasien.
4) Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat
membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk
hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan
memilih kegiatan yang sesuai.
5) Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan,
misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia
sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di
dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar
pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau
aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga
pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran
yang di berikan tidak bertentangan.

34
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pelaksanaan Manajemen Pelayanan Keperawatan


3.1.1 Manajemen Ruangan

Penatalaksanaan kegiatan keperawatan di Ruang Dahlia berdasarkan empat


pilar nilai profesional yaitu pendekatan manajemen (management approach),
compensatory reward, hubungan profesional (profesional relationship), dan
patient care delivery. Pelayanan keperawatan sebagai bagian dari pelayanan
kesehatan perlu menerapkan konsep manajemen yaitu dalam bentuk manajemen
keperawatan. Swanburg (2000) mendefinisikan manajemen sebagai ilmu atau seni
tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Gillies
mengemukakan manajemen keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui
anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan, pengobatan dan bantuan
terhadap para pasien. Model praktek keperawatan professional mensyaratkan
pendekatan manajemen (management approach) sebagai pilar praktek profesional
yang pertama. Oleh karena itu proses manajemen harus dilaksanakan dengan
disiplin untuk menjamin pelayanan yang diberikan kepada pasien atau keluarga
merupakan praktek yang profesional.
Pelayanan keperawatan Ruang Dahlia merupakan suatu ruangan yang
dirancang sebagai tempat perawatan intermediate sesuai kebutuhan klien dan
dikelola secara profesional. Untuk itu diperlukan manajemen yang akurat agar
pelayanan dan asuhan keperawatan dapat diberikan sehingga klien serta keluarga
berhasil memperoleh kemampuan yang optimal.
Tim kesehatan di Ruang Dahlia harus bekerja bersama-sama agar tujuan
kesembuhan klien dapat tercapai. Di Ruang Dahlia pendekatan manajemen
diterapkan dalam bentuk fungsi manajemen yang terdiri dari: 1) Perencanaan
(planning), 2) Pengorganisasian (organizing), 3) Pengarahan (directing) dan 4)
Pengendalian (controlling).
Hirarki dalam perencanaan terdiri dari perumusan visi, misi, filosofi,
peraturan, kebijakan, dan prosedur (Marquis & Houston, 1998). Perencanaan

35
dapat juga diartikan sebagai suatu rencana kegiatan tentang apa yang harus
dilakukan, bagaimana kegiatan itu dilaksanakan, dimana kegiatan itu dilakukan.
Dengan demikian perencanaan yang matang akan memberi petunjuk dan
mempermudah dalam melaksanakan suatu kegiatan. Dalam suatu organisasi
perencanaan merupakan pola pikir yang dapat menentukan keberhasilan suatu
kegiatan dan titik tolak dari pelaksanaan kegiatan selanjutnya.
Kegiatan perencanaan dalam praktek keperawatan profesional merupakan
upaya meningkatkan profesionalisme dalam pelayanan keperawatan sehingga
mutu pelayanan bukan saja dapat dipertahankan tapi bisa terus meningkat sampai
tercapai derajat kepuasan tertinggi bagi penerima jasa pelayanan keperawatan dan
pelaksana pelayanan itu sendiri. Dengan demikian sangat dibutuhkan perencanaan
yang profesional juga.
Jenis-jenis perencanaan terdiri dari rencana jangka panjang, rencana jangka
menengah dan rencana jangka pendek. Perencanaan jangka panjang disebut juga
perencanaan strategis yang disusun untuk 3 sampai 10 tahun. Perencanaan jangka
menengah dibuat dan berlaku 1 sampai 5 tahun. Sedangkan perencanaan jangka
pendek dibuat satu jam sampai dengan satu tahun. Perencanaan jangka pendek
berfokus pada perencanaan yang cepat dan tepat dikarenakan kondisi pasien akan
banyak berubah setiap harinya.
Kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang cenderawasih meliputi
perumusan visi, misi, filosofi dan kebijakan yang ada di Rumah Sakit Jiwa
Lawang. Sedangkan untuk jenis perencanaan yang diterapkan adalah perencanaan
jangka pendek yang meliputi rencana kegiatan harian, bulanan dan tahunan. Pada
kegiatan perencanaan juga disampaikan tentang setting dan fasilitas yang
dibutuhkan di ruang cenderawasih .
Visi Misi sebagai berikut:
Visi RSJ Dr. Radjiman Widiyodingingrat, Lawang Malang:
“Menjadi Rumah Sakit Pusat rujukan nasional psikogeriatri pada tahun 2019”.
Misi RSJ Dr. Radjiman Widiyodingingrat, Lawang Malang:
1. Mengembangkan Rumah Sakit pusat rujukan nasional dalam pelaksanaan
kesehatan jiwa yang prima dengan unggulan usia lanjut.

36
2. Mewujudkan sistem manajemen Rumah Sakit yang menjamin kepastian hukum
secara efektif, efisien, transparan, akuntable dan responsif menjawab tuntutan
masyarakat.
3. Mengembangkan pendidikan, pelatihan dan penelitian yang terintegrasi untuk
meningkatkan kualitas palayanan.
4. Meningkatkan upaya penangulangan masalah psikososial di masyarakat dan
mengembangkan jejaring kesehatan jiwa.
3.1.2 Karakteristik Ruang Dahlia
Ruang Dahlia merupakan salah satu dari ruang intermediate yang ada di RSJ
dr. Radjiman Widiodiningrat, Lawang Malang. Ruang Dahlia diperuntukkan bagi
klien perempuan. Berikut standard lingkungan fisik di Ruang Dahlia :
 Letak R. Dahlia berada sebelah timur.
 Jumlah tempat tidur sebanyak 20 tempat tidur
 Ada jalan yang menghubungkan dengan taman
 Ruangan Pasien bebas dan aman dari alat yang mungkin dapat melukai atau
mencelakakannya, seperti pipa, kabel/kawat.
 Cahaya mencukupi seluruh sudut ruangan.
 Tinggi langit-langitnya 3 (tiga) meter gunanya untuk memberikan perasaan
lapang/luas.
 Terdapat ruangan untuk orang yang datang berkunjung.
 Terdapat tiga pintu utama yang berlawanan.
 Ventilasi yang baik dengan jendela dapat dibuka tidak lebih dari 125 mm.
 Semua pintu yang memiliki konstruksi inti yang solid dengan sediaan kunci
yang memadai yang dipegang oleh perawat yang memungkinkan perawat
dapat mengawasi dan mengobservasi pasien.
 Kamar mandi dan toilet yang aman dan nyaman.
 Tempat tidur yang kuat

37
3.1.3 Ketenagaan
a. Jumlah Tenaga
Kualifikasi tenaga keperawatan di Ruang Dahlia Rumah Sakit Jiwa
Lawang berjumlah 11 orang dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 3.1 Kualifikasi Tenaga Keperawatan Ruang Dahlia

No Kualifikasi Jenis Jumlah Jumlah Total Persentase

1 SST Keperawatan PNS 2 2 18,1%

Non PNS -

2 DIII Keperawatan PNS 9 9 81,8%

Non PNS -

11 11
Total

Berdasarkan tabel diatas dapat diinterpretasikan bahwa sebagian


perawat di Ruang Dahlia yaitu 81,8% berpendidikan DIII Keperawatan,
18,1% berpendidikan SST.
b. Tenaga Non Keperawatan
Tabel 3.2 Tenaga Non Keperawatan Ruang Cenderawasih
No Kualifikasi Jumlah Persentase
1. Prakarya 1 100%
Jumlah 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diinterprtasikan tenaga non keperawatan
100% dengan kualifikasi prakarya.
c. Kebutuhan Tenaga Keperawatan Berdasarkan Metode Douglas
Tanggal 20 November 2017 dengan jumlah pasien 20 pasien
1. Tingkat ketergantungan pasien
a. Minimal : 10 orang
b. Parsial : 10 orang
2. Kebutuhan Perawat
Jumlah kebutuhan per shift tabel 3.3
Tingkat Dinas Pagi Dinas Sore Dinas Malam
Ketergantungan
Minimal 10x0,17= 1,7 10x 0,14 = 1,4 10x0,07= 0,7
Parsial 10x0,27= 2,7 10x0,15 = 1,5 10x0,10= 1,2
Jumlah 4,4= 4 Orang 2,9= 3 Orang 1 Orang

38
 Jumlah Kebutuhan Perawat per Hari
4+ 3+ 1 = 8 Orang
 Jumlah Loss day
0,6 x jumlah kebutuhan per hari = 0,6 x 8 = 4,8 orang= 5 orang
 Jumlah Tugas Non keperawatan
25% x (jumlah perawat/hari + loss day) = 25% x (8+5) = 3,25
orang
 Jumlah Kebutuhan Perawat satu unit
Kebutuhan perawat/hari + loss day + tugas non kep = 8+5 +3
= 16 orang
Tanggal 21 November 2017 dengan Jumlah pasien 33 orang
1. Tingkat ketergantungan pasien
a. Minimal : 10 orang
b. Parsial : 10 orang
2. Kebutuhan Perawat
Jumlah kebutuhan per shift tabel 3.4
Tingkat Dinas Pagi Dinas Sore Dinas Malam
Ketergantungan
Minimal 10x0,17= 1,7 10x 0,14 = 1,4 10x0,07= 0,7
Parsial 10x0,27= 2,7 10x0,15 = 1,5 10x0,10= 1,2
Jumlah 4,4= 4 Orang 2,9= 3 Orang 1 Orang
 Jumlah Kebutuhan Perawat per Hari
4+ 3+ 1 = 8 Orang
 Jumlah Loss day
0,6 x jumlah kebutuhan per hari = 0,6 x 8 = 4,8 orang= 5 orang
 Jumlah Tugas Non keperawatan
25% x (jumlah perawat/hari + loss day) = 25% x (8+5) = 3,25
orang
 Jumlah Kebutuhan Perawat satu unit
Kebutuhan perawat/hari + loss day + tugas non kep = 8+5 +3
= 16 orang
Berdasarkan rumus Douglas didapatkan hasil perhitungan rata-rata
jumlah perawat perhari adalah 8 orang, sedangkan jumlah perawat jaga di

39
ruang Dahlia adalah 5 orang perawat per hari, yaitu 4 perawat dinas pagi,
2 perawat dinas sore, 2 perawat dinas malam dan 3 perawat libur.
3.1.4 Kapasitas
Jumlah tempat tidur di ruang Dahlia sebanyak 20 tempat tidur dengan BOR
pada bulan oktober sebesar 102 %,. Sedangkan lama tinggal pasien pada Ruang
Dahlia (ALOS/Average Lenght Of Stay) pada bulan Oktober adalah 30 hari. TOI
bukan oktober sebesar 0,5 hari (Data, November 2017).
3.1.5 Struktur Organisasi Ruangan
Bagan 3.1: Struktur Organisasi MPKP R. Dahlia (Data per November 2017).

Kepala Ruang
Kawit Andaryaniwati, SST

Ketua Tim 1 Ketua Tim 2

Budi Winarni, SST Lilis Mihariyani, Amd. Kep

Perawat Pelaksana Perawat Pelaksana

Lilik Yuliasih, Amd. Kep Agnes Sisfini, Amd. Kep

Ika Yudha K, Amd. Kep Septia Ratna D, Amd.. Kep

Sri Purniawati, Amd.Kep Wening Trifina, Amd. Kep

Yessi Wulandari, Amk. Kep Nita Sariska P, Amd. Kep

40
3.1.6 Denah
Bagan 3.2: Denah R. Dahlia (Per November 2017)

Kamr mandi Kamr mandi


Ruang
Penyimpanan Kamar
Alat Mandi
Dapur
Ruang Perawatan Ruang
Ruang Perawatan
Periks
Komputer a
Dokte
r
Kursi Tempat
Meja
RUANG UTAMA Cucian

DAHLIA
T
a P P
m i Meja Meja i
a n n
n t t
Meja Meja Taman
u u

Pintu

Pos Satpam Taman

3.1.7 Manajement of Sevice (MOS)


a. Pilar I (Management Approach)
Model praktek keperawatan menempatkan pendekatan manajemen
(management approach) sebagai pilar praktek profesional yang pertama. Oleh
sebab itu, proses manajemen harus dilaksanakan dengan disiplin demi menjamin
pelayanan yang diberikan kepada pasien dan atau keluarga (Keliat & Akemat,
2009). Di ruang MPKP pendekatan manajemen diterapkan dalam bentuk sebagai
berikut:
1. Perencanaan
Di Ruang Dahlia RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang mengacu
pada visi, misi, filosofi dan kebijakan rumah sakit. Ruangan telah menyusun
rencana kegiatan harian, dan bulanan. Khusus untuk rencana harian, dibuat
dalam bentuk jadwal kegiatan ruangan per hari, yang ditempel di dinding
ruangan sehingga dapat dilihat oleh setiap perawat dinas. Jadwal kegiatan

41
terdiri atas kegiatan: timbang terima, Pre conference, Post Conference dan
kebersihan lingkungan.
2. Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas untuk mencapai
tujuan melalui penugasan suatu kelompok tenaga keperawatan, menentukan
cara pengkoordinasian aktivitas yang tepat, baik vertikan maupun horizontal,
yang bertanggung jawab untuk mencapai tujuan organisasi (Keliat & Akemat,
2009). Pengorganisasian kegiatan dan tenaga perawat di ruang Dahlia MPKP
menggunakan pendekatan sistem penugasan Tim-Primer keperawatan, namun
ada beberapa kendala dalam pelaksanaannya sehingga pelaksanaannya masih
belum optimal. Pengorganisasian secara vertikal, terdapat kepala ruang, ketua
tim, dan perawat pelaksana.
Pengorganisasian di ruang MPKP mencakup:
a. Struktur organisasi
Struktur organisasi Ruang Dahlia menggunakan sistem penugasan tim
primer keperawatan. Ruangan dipimpin oleh Kepala Ruang yang membawahi
dua ketua tim. Ketua tim membawahi beberapa perawat pelaksana yang
memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh kepada sekelompok
pasien. Ketua tim I dan 2 membawahi 4 orang perawat pelaksana, ketua tim I
bertugas menggantikan Kepala Ruang apabila Kepala Ruang harus mengikuti
kegiatan struktural di luar ruangan. Bagan struktur organisasi Ruang Dahlia
diletakkan di dinding depan berupa bagan pengorganisasian disertai dengan
nama terang dan foto perawat sehingga dapat dilihat oleh seluruh perawat.
b. Daftar dinas ruangan
Daftar dinas Ruang Dahlia disusun berdasarkan tim dan dibuat untuk 1
minggu. Dengan demikian, perawat sudah mengetahui dan mempersiapkan
dirinya untuk melakukan dinas. Pembuatan jadwal dinas perawat dilakukan
oleh Kepala Ruang. Setiap tim memiliki anggota yang dinas pagi, sore,
malam, serta yang lepas dari dinas (libur).
Selama berdinas di Ruang Dahlia, mahasiswa menyusun daftar dinas
ruangan dimana seluruh mahasiswa berdinas pagi sesuai dengan peraturan
institusi dan telah diketahui oleh Kepala Ruangan.

42
c. Daftar pasien
Daftar pasien di Ruang Dahlia memuat informasi nama pasien, nomor
register, umur, tanggal masuk, alamat, kelas, terapi medis, dan perawat yang
bertanggungjawab. Daftar pasien di ruangan diisi oleh Ketua tim sebelum
operan dinas. Alokasi pasien terhadap perawat yang dinas pagi, sore atau
malam juga dilakukan oleh Ketua tim berdasarkan jadwal dinas.
d. Pengarahan
Di ruang Dahlia, bentuk pengarahan yang dilakukan adalah komunikasi
pada saat operan antar shift, supervisi Kepala Ruang dan pendelegasian tugas.
Operan antar shift ditulis dalam sebuah buku operan yang diisi oleh Ketua tim
setiap akhir dinas.
1. Timbang terima,
Pelaksanaan timbang terima di Ruang Dahlia dilaksanakan setiap operan
shif, pelaporan spesifik lebih pada pasien yang memerlukan perhatian
khusus. Pelaksanan timbang terima di ruang Dahlia diarahkan oleh
Kepala ruangan sedangkan untuk dinas sore dan malam oleh Ketua Tim.
2. Pre conference,
Pre confrence di ruang Dahlia berbarengan setelah pelaksanaan timbang
terima dan dilaksanakan setiap operan shif. Pelaksanan Pre conference
diarahkan oleh Kepala ruangan sedangkan untuk dinas sore dan malam
oleh Ketua Tim.
3. Post conference,
Post conference di ruang Dahlia belum optimal dilakukan.
4. Kebersihan lingkungan.
Kebersihan lingkungan di Ruang Dahliatiap hari dilakukan dengan
pengarahan dari kepala ruang ke kepala tim dan pada perawat pelaksana
yang memberikan role model pada pasien saat membersihkan ruangan
e. Pengendalian
Pada model praktek keperawatan profesional, kegiatan pengendalian
diterapkan dalam bentuk kegiatan pengukuran:
Indikator mutu umum
a) Jumlah rata-rata tempat tidur terpakai (Bed Occupancy Rate/ BOR)

43
BOR ruang Dahlia pada bulan oktober 2017 adalah 102 %
b) Rata-rata lama rawat (Average Length of Stay/ ALOS)
ALOS ruang Dahlia pada bulan oktober 2017 adalah 30 hari.
c) Penghitungan lama tempat tidur tidak terisi (Turn Over Interval/ TOI)
TOI ruang Cenderawasih pada bulan oktober 2017 adalah 0,5 hari.

b. Pilar II (Kompensasi dan Penghargaan)


Kemampuan perawat melakukan praktek profesional perlu
dipertahankan, dikembangkan, dan ditingkatkan melalui manajemen SDM
perawat yang konsisten dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pengembangan SDM di rumah sakit adalah
untuk menciptakan iklim kerja yang menyenangkan dan memberikan
kepuasan bagi staf perawat dan pasien. Pengembangan SDM digambarkan
sebagai suatu proses pengelolaan motivasi staf sehingga dapat bekerja
secara produktif. Hal ini juga merupakan penghargaan bagi profesi
keperawatan karena melalui manajemen SDM yang baik maka perawat
mendapatkan kompensasi berupa penghargaan (compensatory reward)
sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.
Pilar compensatory reward yang langsung berhubungan dengan
penatalaksanaan pada pasien adalah adanya jaminan bahwa SDM yang
ditempatkan di ruang MPKP telah memahami tugas dan wewenangnya
dalam menjalankan asuhan keperawatan dengan baik. Jaminan
kemampuan SDM ini diperoleh dari proses rekruitment, seleksi, orientasi
dan penilaian kinerja. Keliat (2009) menjelaskan bahwa proses rekruitment
perawat di ruang MPKP, perlu diketahui kategori Ruang MPKP yang akan
dikembangkan. Ruang MPKP dikategorikan menjadi tiga level, yaitu level
profesional I,II,III, pemula, dan transisi. Untuk level MPKP Profesional I
diharapkan karu dan katim mempunyai latar belakang pendidikan Ners,
Sarjana Keperawatan dengan jenjang karir minimal Perawat Klinik 3 (PK
3), serta seluruh perawat pelaksana minimal mempunyai latar belakang
pendidikan D III Keperawatan dengan jenjang karir minimal Perawat
Klinik 2 (PK 2) (Keliat, 2011).

44
Keliat (2009) menjelaskan bahwa Penilaian kinerja di ruang MPKP
ditujukan pada perawat. Kemampuan tiap SDM dievaluasi dengan
menggunakan supervisi baik secara langsung (observasi) maupun tidak
langsung (melalui dokumentasi). Kinerja kepala ruangan
disupervisi/dievaluasi oleh Kepala Bidang Perawatan dan fasilitator
nasional; kinerja perawat primer disupervisi/dievaluasi oleh Kepala
Bidang Perawatan, fasilitator nasional, dan kepala ruangan; kinerja
perawat pelaksana disupervisi/dievaluasi oleh kepala ruangan dan perawat
primer. Kepala Bidang Perawatan bertanggung jawab mengobservasi dan
menilai keberlangsungan seluruh aktivitas di ruang MPKP. Penilaian
kinerja ini dilakukan dengan menggunakan buku raport perawat yang
dimiliki oleh semua perawat. Penilaian kinerja terhadap asuhan
keperawatan, dilakukan pada saat perawat melakukan tindakan
keperawatan pada pasien sesuai dengan diagnosis yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hasil rekapitulasi yang dilakukan didapatkan kualifikasi
tenaga perawat di Ruang Dahlia sebagai berikut:
Tabel 3.5 Kualitas Tenaga Keperawatan Ruang Dahlia
Nama Pendidikan Masa Kerja Jnis Pelatihan yang
Ketenagaan pernah diikuti
Kawit Andaryaniwati, DIV 31 tahun PNS BCLS, TAK,
SST Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Budi Winarni, SST DIV 29 tahun PNS BCLS, TAK,
Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif

Lilis Mihariyani, Amd. DIII 31 tahun PNS BCLS, TAK,


Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Lilik Yuliasih, Amd. DIII 11 tahun PNS BCLS, TAK,
Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,

45
Komunikasi
efektif
Ika Yudha k, Amd. DIII 8 tahun PNS BCLS, TAK,
Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Sri Kurniawati, Amd. DIII 5 tahun PNS BCLS, TAK,
Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif

Yesi Wulandari, Amd, DIII 5 tahun PNS BCLS, TAK,


Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif

Agnis Sisfini, Amd. DIII 23 tahun PNS BCLS, TAK,


Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Septia Ratna D, Amd. DIII 9 tahun PNS BCLS, TAK,
Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Wening Trifina, Amd. DIII 7 tahun PNS BCLS, TAK,
Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Nita Sariska P, Amd, DIII 2 tahun PNS BCLS, TAK,
Kep Keperawatan APAR, ASKEP,
Manajemen
Bangsal,
Komunikasi
efektif
Berdasarkan tabel diatas di interpretasikan bahwa sebanyak 100% perawat
yang bekerja di Ruang Dahlia pernah mengikuti pelatihan

46
c. Pilar III (Hubungan Profesional)
Hubungan profesional dalam pemberian pelayanan keperawatan
merupakan standar dari hubungan antara pemberi pelayanan keperawatan
(tim kesehatan) dan penerima pelayanan keperawatan (pasien dan
keluarga) (Cameron, 1997 dalam Elizabeth & Kathleen, 2003). Pada
pelaksanaannya hubungan profesional bisa saja terjadi secara internal
artinya hubungan yang terjadi antara pemberi pelayanan kesehatan
misalnya antara perawat dengan perawat, antara perawat dengan tim
kesehatan dan lain-lain. Sedangkan hubungan profesional secara eksternal
adalah hubungan yang terjadi antara pemberi dan penerima pelayanan
kesehatan. Kedua hubungan tersebut merupakan suatu siklus yang tidak
terpisahkan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Fokus dari pilar ketiga dalam MPKP ini adalah lebih pada hubungan
profesional secara internal artinya hubungan yang terjadi antara perawat
dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan lainnya. Hubungan yang
terjadi diantara tim tidak terlepas dari komunikasi secara profesional di
dalam bekerjasama secara tim. Menurut Gillies (1994) hubungan
profesional yang terjadi di antara tim tergantung pada kemampuan
memimpin.
Bentuk jaringan dalam komunikasi hubungan profesional ada
beberapa cara yaitu: 1) horisontal yaitu komunikasi yang terjadi antara
sesama manajer, 2) vertikal yaitu komunikasi yang terjadi antara pimpinan
atas dengan bawahan, dan 3) diagonal yaitu komunikasi yang terjadi antara
berbagai jenjang dan masih dalam lingkungan yang sama (Cameron, 1997
dalam Elizabeth & Kathleen, 2003). Di ruang MPKP komunikasi
horizontal dapat terjadi antara Ketua Tim, antar perawat pelaksana,
sedangkan komunikasi vertikal antara Kepala Ruangan dan Ketua Tim dan
Perawat Pelaksana dan antara Ketua Tim dan Perawat Pelaksana.
Komunikasi diagonal dilakukan antara perawat dan profesi lain. Hubungan
profesional yang dikembangkan di ruang Model Praktek Keperawatan
Profesional yaitu: 1) rapat perawat ruangan, 2) case conference, 3) rapat
tim kesehatan, dan 4) visit dokter.

47
Hubungan profesional yang langsung berhubungan dengan
pelaksanaan asuhan keperawatan adalah visit dokter. Visit dokter adalah
kunjungan dokter ke ruangan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan
pada pasien, dan ketua tim bertanggung jawab melakukan kolaborasi serta
mendampingi dokter saat melakukan pemeriksaan dan menyampaikan
informasi tentang pasien (Keliat, 2009). Perawat yang mendampingi
dokter dalam melakukan visit adalah perawat yang merupakan
penanggungjawab pasien. Perawat dapat menggunakan metode ISBAR
(Introduction, Situation, Background, Assesment and Recomendation)
dalam berkomunikasi dengan dokter. Contoh pelaksanaan ISBAR adalah
perawat memperkenalkan diri, menjelaskan situasi saat ini atau alasan
laporan, latar belakang dirawat, assesment yang telah dilakukan dan
rekomendasi perawat untuk dokter.
Hubungan Profesionel yang ada di Ruang Dahlia:
1. Visit Dokter
Di Ruang Dahlia visit dokter setiap hari, pada saat dokter visit perawat
berkolaborasi dengan dokter untuk membantu kesembuhan pasien.
Perawat memberikan asuhan keperawatan dan aktifitas kegiatan yang
dilakukan oleh pasien sedangkan dokter memberikan terapi medis.
2. Gizi
Petugas Gizi datang ke Ruang Dahlia dalam 1 minggu minimal 2 kali
kunjungan, petugas gizi mengatur pola diet makanan yang akan di
konsumsi oleh pasien, mengevaluasi status nutrisi (IMT) pasien dan
dikomunikasikan pada perawat.
3. Pelaksanaan Rehabilitasi
Pasien yang akan dilakukan rehabilitasi telah diseleksi terlebih dahulu
oleh tim (dokter, psikolog dan perawat ruang dahlia). Pelaksanaan
rehabilitasi tiap hari senin sampai jumat dengan waktu 3 jam di ruang
Rehabilitasi
4. Farmasi
Alur dalam penyediaan obat diruang Dahlia meliputi, perawat
mendapatkan resep dari dokter, resep yang telah diberikan oleh dokter

48
dipesankan oleh perawat ke bidang farmasi. Sediaan obat yang telah
siap akan diantar oleh kurir dari bidang farmasi. Dengan alur
penyediaan obat yang terputus pada proses penyampaian obat maka
tidak ada penjelasan yang detail tentang farmakinetik dan
farmakodinamik obat yang telah diberikan ke pasien.

d. Pilar IV (Manajemen Asuhan Keperawatan)


Profesi keperawatan bertujuan memberikan pelayanan kepada pasien
dan juga mempertahankan hidupnya profesi itu sendiri (Keyzer, 1992
dalam Draper 1996). Untuk mencapai tujuan tersebut perawat perlu
memiliki ketrampilan intelektual, teknikal, interpersonal, dan etik. Semua
ketrampilan ini harus tampak dalam pemberian asuhan keperawatan
kepada pasien. Praktek keperawatan profesional dengan ciri praktek yang
didasari dengan keterampilan intelektual, teknikal, interpersonal dapat
dilaksanakan dengan menerapkan suatu metode asuhan yang dapat
dipertanggungjwabkan secara ilmiah. Metode asuhan untuk praktek
profesional tersebut adalah proses keperawatan, suatu rangkaian asuhan
yang terdiri dari pengkajian, menyusun diagnosis keperawatan,
perencanaan tindakan, implementasi, dan evaluasi (Keliat, 2009). Salah
satu pilar praktek profesional keperawatan adalah pelayanan keperawatan
dengan menggunakan patient care delivery system di MPKP tertentu.
Patient care delivery system yang diterapkan di MPKP adalah asuhan
keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan.
Berdasarkan survey masalah yang dilakukan kelompok di Ruang
Dahlia Rumah Sakit Jiwa Lawang ditemukan dari 7 diagnosis keperawatan
utama pasien yang dirawat meliputi: risiko perilaku kekerasan, halusinasi,
isolasi sosial, waham, risiko bunuh diri, defisit perawatan diri, dan harga
diri rendah kronis yang paling banyak adalah Halusinasi dan Resiko
Perilaku Kekerasan. Pelaksanaan terapi kelompok (TAK) dilaksanakan
setiap ada mahasiswa yang di Ruang Cenderawsih. Setiap ada keluarga
yang datang berkunjung ke Ruang Dahlia keluarga memberikan
pendidikan kesehatan keluarga sesuai diagniosa keperawatan pasien.

49
e. Analisa SWOT
Pengkajian di Ruang Dahlia dianalisis dengan mempertimbangkan empat
komponen yaitu kelemahan, kelelahan, kesempatan dan ancatam atau dikenal
dengan analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat). Tabel 3.6 Hasil
analisis situasi Ruang Dahlia adalah:
Jenis Kekuatan (S) Kelemahan (W) Kesempatan (O) Ancaman (T)
Pilar 1: Adanya rencana Konten yang Adanya Adanya
Management harian dan disampaikan saat mahasiswa monitoring
Approach bulanan di Ruang timbang terima dan praktek dapat evaluasi
Dahlia pre confrence mentransfer hal- melalui
hanya fokus pada hal baru dalam akreditasi
pasien yang pengembangan
memerlukan pelayanan dan
pengawasan keperawatan
khusus
Sudah adanya Belum berjalan Adanya dukungan
pengorganisasian secara optimal dari pihak
(struktur metode tim yang manajemen rumah
organisasi) di sudah sakit untuk
ruang dahlia) direncanakan mengembangkan
ruang Dahlia
dengan
pendekatan
MPKP
Sudah adanya Pelaksanaan post Adanya
timbang terima, confren masih pengembangan
preconfren di belum optimal staf melalui
ruang dahlia pendidikan dan
pelatihan baik
formal maupun
informal
Pilar II: Adanya Masih adanya Adanya program Adanya
Compensatory pengembangan perawat yang SPK untuk monitoring
Reward tenaga perawat melanjutkan study evaluasi dari
dalam bentuk lebih lanjut organisasi
pelatihan profesi
Pilar III: Adanya kolaborasi Belum Adanya kerjasama -
Professional antara dokter, ahli terlaksanakannya antara disiplin
relationship gizi, farmasi dan ronde keperawatan ilmu yang baik
rehabilitasi. pada kasus yang untuk
memerlukan kesembuhan
perawatan khusus. pasien
Pilar IV: Adanya Belum optimalnya Adanya dukungan Adanya
Patient Care pelaksanaan pelaksanaan TAK, dari pihak tuntutan yang
Delivery asuhan belum optimalnya manajemen rumah lebih tinggi
keperawatan, pelaksanaan sakit untuk dari
adanya pendidikan pemberian pengembangan masyarakat
kesehatan pendidikan ruang Dahlia untuk
keluarga dan kesehatan pada dalam mendapatkan

50
terapi aktifitas keluarga pelaksanaaan pelayanan yang
kelompok (TAK) terapi. berkualitas

Berdasarkan hasil analisa SWOT terhadap kondisi ruangan Dahlia, maka


kekuatan dan kesempatan serta ancaman yang dimiliki oleh ruang Dahlia lebih
besar dibanding dengan kelemahan. Hal ini menggambarkan bahwa Ruang Dahlia
memiliki potensi positif dan kesempatan luas untuk meminimalkan ancaman
dengan melakukan perubahan pelayanan keperawatan yang lebih profesional
melalui pendekatan MPKP.

f. Rumusan Masalah
a. Pilar 1: Management Approach
Belum maksimalnya pelaksanaan Management Approach
b. Pilar 2: Compensatory Reward
Belum optimalnya pelaksanaan Compensatory Reward
c. Pilar 3: Professional relationship
Belum optimalnya Professional relationship
d. Pilar 4: Patient Care Delivery
Belum optimalnya Care Delivery

51
g. Alternatif Pemecahan Masalah
Alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi masalah sesuai dengan hasil
pengkajian di Ruang Dahlia, dapat dilihat pada tabel 3.7
No Pilar MPKP Alternatif Penyelesaian Masalah Masalah

1 Pilar I: Management KARU: Belum optimalnya


Approach 1. Menganjurkan pembuatan format pelaksanaan
rencana harian dengan bentuk kegiatan fungsi
sederhana perencanaan dan
2. Menganjurkan Karu untuk rutin pelaksanaan MAKP
dalam pembuatan rencana kegiatan
3. Menganjurkan Karu dalam
mendokumentasikan pembuatan
rencana kegiatan harian
4. Menganjurkan Karu untuk
melakukan supervisi Katim dalam
mengisi daftar pasien secara rutin
5. Mendiskusikan pelaksanaan pre
dan post konferen
6. Menganjurkan Karu dalam
melaksanakan pre dan post
konferen
7. Melakukan operan beserta pre dan
post konferen bersama mahasiswa
yang praktek
8. Mengobservasi penciptaan iklim
motivasi di ruangan
9. Mendiskusikan mengenai kegiatan
supervisi
10. Mendiskusikan kegiatan pengendalian
indikator mutu
11. Mendiskusikan mengenai kegiatan
audit dokumentasi
12. Menganjurkan karu untuk melakukan
audit dokumentasi
13. Mengobservasi pelaksanaan audit
dokumentasi
14. Mendiskusikan mengenai kegiatan
survey masalah keperawatan
15. Menganjurkan karu untuk selalu
melakukan kegiatan survey masalah
keperawatan dan tingkat
ketergantungan serta kepuasan pasien
dan keluarga

KATIM :
1. Menganjurkan Katim untuk
membuat rencana harian
2. Menganjurkan Katim dalam
mendokumentasikan pembuatan
rencana kegiatan harian

52
3. Menganjurkan Katim untuk
membuat dan mengisi daftar pasien
secara rutin
4. Menganjurkan pelaksanaan pre dan
post konferen sesuai dengan
pedoman
5. Mengobservasi penciptaan iklim
motivasi di ruangan
6. Mendiskusikan mengenai kegiatan
supervisi
7. Menganjurkan untuk melakukan
kegiatan supervisi secara terjadwal
dan didokumentasikan
8. Menganjurkan untuk melakukan
pelatihan untuk kegiatan supervisi

PP:
1. Menganjurkan PP untuk membuat
rencana harian
2. Menganjurkan PP dalam
mendokumentasikan pembuatan
rencana kegiatan harian

2 Pilar II: KARU: Belum optimalnya


Compensatory 1. Mendiskusikan mengenai kegiatan pelaksanaan
Reward penilaian kinerja staf Compesatory
2. Menganjurkan Karu dalam Reward
melakukan penilaian kinerja staf
melalui kegiatan supervisi
3. Mendiskusikan mengenai kegiatan
pengembangan staf
4. Menganjurkan karu untuk terus
melakukan pengembangan staf

KATIM:
1. Mendiskusikan mengenai kegiatan
penilaian kinerja PP
2. Menganjurkan Katim untuk
melakukan penilaian kinerja PP
melalui kegiatan supervisi
3 Pilar III: KARU: Belum optimalnya
Professional 1. Menganjurkan karu untuk pelaksanaan

53
Relationship senantiasa melakukan kegiatan kegiatan
rapat keperawatan secara rutin dan professional
terjadwal serta mempersiapkan relationship
dokumentasinya.
2. Mendiskusikan mengenai kegiatan
konferensi kasus/ ronde
keperawatan.
3. Menganjurkan karu untuk
senantiasa melakukan kegiatan
konferensi kasus
4. Menganjurkan karu untuk
senantiasa melakukan kegiatan
rapat tim kesehatan
5. Mendiskusikan kegiatan visite
dokter
6. Mengobservasi kegiatan visite
dokter

KATIM:
1. Mendiskusikan mengenai kegiatan
konferensi kasus
2. Menganjurkan katim untuk terlibat
dalam kegiatan konferensi kasus
4 Pilar IV: Patient KARU: Belum optimalnya
Care Delivery 1. Mengevaluasi penerapan 2 SAK pelaksanaan patient
yang sudah ada untuk pasien care delivery
terbanyak yaitu askep halusinasi
dan RPK,
2. Menerapkan pengkajian-intervensi
pada diagnose pasien terbanyak
yaitu askep halusinasi, dan RPK.
3. Mendiskusikan mengenai kegiatan
pendidikan kesehatan keluarga
individu dan kelompok
4. Menganjurkan karu untuk
senantiasa menggunakan
media/leaflet untuk pendidikan
kesehatan keluarga inidividu dan
kelompok
5. Menganjurkan karu untuk tetap
melakukan dokumentasi tindakan
keperawatan

KATIM:
1. Mengevaluasi penerapan 7 SAK
gangguan yang sudah ada yaitu
askep halusinasi, RP, isolasi sosial,
HDR, RPK, DPD, RBD
2. Mendiskusikan mengenai kegiatan
pendidikan kesehatan keluarga
individu dan kelompok
3. Menganjurkan untuk memanfaatkan

54
media/leaflet untuk pendidikan
kesehatan keluarga inidividu dan
kelompok
4. Menganjurkan untuk tetap
melakukan pendidikan kesehatan
keluarga individu dan kelompok
5. Menganjurkan untuk
mendokumentasikan hasil tindakan
keperawatan

PP:
1. Mendiskusikan mengenai
pemberian asuhan keperawatan
sesuai SAK yang ada
2. Mengevaluasi penerapan 7 SAK
yang sudah ada yaitu askep
halusinasi, isolasi sosial, HDR,
RPK, DPD, waham dan RBD
3. Menganjurkan untuk tetap
melaksanakan asuhan keperawatan
berdasarkan 7 SAK gangguan yang
sudah ada
4. Mendiskusikan mengenai penerapan
TAK pada masalah keperawatan
yang ada
5. Menganjurkan untuk melakukan
TAK jika kondisinya
memungkinkan
6. Mendiskusikan mengenai kegiatan
pendidikan kesehatan keluarga
individu dan kelompok
7. Menganjurkan untuk memanfaatkan
media/leaflet untuk pendidikan
kesehatan keluarga inidividu dan
kelompok
8. Menganjurkan untuk melakukan
pendidikan kesehatan keluarga
individu dan kelompok
9. Mendiskusikan mengenai
pelaksanaan dokumentasi hasil
tindakan keperawatan
10. Menganjurkan untuk pelaksanaan
dokumentasi hasil tindakan
keperawatan

55
3.2 Hasil Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan
Berdasarkan data hasil scanning asuhan keperawatan jiwa yang dilakukan pada
tanggal 20-25 November 2017 di ruang Dahlia RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang
oleh mahasiswa Program Magister Peminatan Jiwa Universitas Brawijaya Malang,
didapatkan data rekapitulasi sebagai berikut :
3.2.1 Faktor Predisposisi dan Presipitasi
a. Faktor Predisposisi
Tabel 3.9 Tabel Faktor Predisposisi
FAKTOR PREDISPOSISI Persentase
Biologis
a. Genetik 5%
b. Riwayat Penyakit Fisik 5%
c. Dipasung 5%
d. Obat dan kontrol tidak teratur 14%
Psikologis
a. Kepribadian introvert 25%
b. Motivasi rendah 45%
c. Pengalaman tidak menyenangkan 70%
d. Konsep diri kurang baik 40%
Sosial Budaya
a. Pola asuh tidak sesuai 20%
b. Konflik dengan teman / orang lain 40%
c. Tuntutan keluarga/lingkungan 25%
d. Dikucilkan oleh keluarga/lingkungan 40%
e. Masalah pekerjaan 10%
f. Masalah perkawinan 15%
g. Tidak aktif dalam kegiatan sosial -
h. Tidak mau melakukan interaksi -

Sumber: Data Scanning, 2017

Klien yang dirawat di Ruang Dahlia sebagian besar mengalami gangguan


jiwa disebabkan oleh beberapa faktor. Apabila dari sudut pandang yang dilihat
dari faktor predisposisi memperlihatkan bahwa secara biologis klien gangguan

56
jiwa dikarenakan adanya ketidakpatuhan didalam minum obat dan kontrol yang
tidak rutin mencapai 14%, secara psikologis klien mempunyai pengalaman tidak
menyenangkan 70%, secara sosial budaya mengalami penolakan/dikucilkan dari
keluarga dan masyarakat mencapai 40%.

b. Faktor Presipitasi
Tabel 3.10 Tabel Faktor Presipitasi

FAKTOR PRESIPITASI Persentase


Biologis
a. Putus obat 40%
b. Obat tidak efektif 50%
Psikologis
a. Keinginan tidak terpenuhi 65%
b. Kegagalan 55%
c. Kehilangan orang berarti 45%
Sosial budaya
a. Masalah ekonomi 15%
b. Masalah pekerjaan 10%
c. Konflik lingkungan 55%
d. Konflik keluarga 60%
Asal Stressor
a. Internal 5%
b. Eksternal 5%
c. Internal dan eksternal 85%
Waktu
a. Kurang dari 3 bulan 10%
b. 3 - 6 bulan 85%
Jumlah Stressor
a. Satu stressor -
b. Dua stressor 45%
c. Tiga stressor 10%
d. > Tiga stressor 30%
Sumber: Data Scanning, 2017

57
Klien yang dirawat di Ruang Dahlia sebagian besar mengalami gangguan
jiwa disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor presipitasi yang diberesiko
menyebabkan gangguan jiwa dari aspek biologis dikarenakan obat tidak efektif
sebanyak 50%, psikologis berupa kehilangan orang yang berarti sebesar 65%.
sosial budaya berupa konflik keluarga sebesar 60%, asal stressor berupa dari
internal dan eksternal sebesar 85%, waktunya dalam rentang 3-6 bulan sebanyak
85%, jumlah stressor sebanyak dua stressor sebesar 45%.
c. Penilaian Terhadap Stressor
Tabel 3.11 Penilaian Terhadap Stressor

Respon Kognitif Persentase


a. Pandangan negatif terhadap diri 50%
b. Tidak mampu memecahkan masalah 75%
c. Sulit berkonsentrasi 45%
d. Supresi pikiran -
Respon afektif
a. Merasa tidak berguna/berarti 30%
c. Putus asa 65%
d. Sedih berlebihan 20%
e. Malu/minder 25%
f. Kecewa 40%
g. Cemas 15%
h. Kesepian 30%
i. Marah 40%
j. Curiga berlebihan 20%
Respon Fisiologis
a. Susah tidur 60%
b. Pusing/sakit kepala 10%
c. Mual -
d. TD meningkat -
e. Tangan mengepal 15%
f. HR meningkat -
g. RR meningkat -
Respon perilaku
a. Tidak bicara/diam 20%
b. Bingung 20%
c. Menyendiri 40%
d. Penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol 5%
e. Agresi 15%
f. Meyakini ide-ide yang salah 10%
g. Tidak bisa kontrol diri 55%

58
h. Tidak ada kontak mata 15%
i. Mondar-mandir 30%
j. Gelisah 20%
Respon sosial
a. Isolasi diri dan keluarga 25%
b. Sikap bermusuhan 25%
c. Tidak mampu berkomunikasi 35%
d. Penolakan 40%
e. Pengasingan 10%
f. Tidak melakukan kegiatan di masyarakat 30%
g. Restrain -
Sumber: Data Scanning, 2017

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa penilaian pasien terhadap


stressor terdiri dari respon kognitif terbanyak adalah tidak mampu menyelesaikan
masalah sebesar 75%. Adapun respon afektif terbesar putus asa 65% serta
terendah malu/minder sebesar 8,57%. Selanjutnya respon fisiologis terbesar
adalah susah tidur sebesar 60%. Terakhir adalah respon perilaku terbesar adalah
tidak bisa kontrol diri sebesar 55%. Selanjutnya respon sosial terbesar adalah
penolakan sebesar 40% .
d. Sumber Koping
Tabel 3.11 Sumber Koping
SUMBER KOPING Persentase

Personal ability
a. Mampu mengenal halusinasi dan senang 30%

b. Mampu mengenal perasaan ingin marah 15%

c. Masih ada keinginan berinteraksi dengan orang lain 40%

d. Masih memiliki kemampuan walaupun sederhana 35%

Sosial support
a. Keluarga mendukung proses pengobatan pasien 20%

b. Keluarga tidak mengetahui cara merawat 15%

c. Ketidakadekuatan hubungan antar keluarga dan 55%


Masyarakat

59
Finansial dan Yankes
a. BPJS 75%
b. Umum/mandiri -

c. PKM 15%

d. RS -

e. Tidak punya uang untuk beorbat, tidak ada tabungan -


f. Sulit mendapat pelayanan kesehatan -

Positif Beliefs
a. Meyakini bisa sembuh 55%

b. Meyakini bisa jadi lebih baik 40%


c. Kurang memiliki motivasi 30%
g. Perawatan diri yang buruk
Sumber: Data Scanning, 2017

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa sumber koping pasien pada


personal ability terbesar adalah masih ada keinginan berinteraksi dengan orang
lain sebesar 40%. Sedangkan sosial support terbesar berupa ketidak adekuatan
efektif keluarga dan masyarakat 5,5%. Adapun aspek finansial dan Yankes
terbanyak adalah BPJS, sebanyak 75%. Selanjutnya aspek positif belief terbanyak
adalah memiliki keyakinan bisa sembuh sebanyak 55% .
e. Mekanisme Koping
Tabel 3.12 Mekanisme Koping
MEKANISME KOPING Persentase
Konstruktif
a).Menerima kritikan 25%
b). Kompromi 30%
c). Meminta saran 35%
d). Gambaran diri positif 5%
e). Identitas diri jelas -
i). Komunikasi terbuka 25%
j). Minum Obat 65%

60
Destruktif
a). Disosiasi -
b). Isolasi 5%
c). Proyeksi 5%
d). Pengalihan 15%
e). Amuk 40%
f). Benci pada diri sendiri 15%
g). Penyalahgunaan obat -
h). Denial 10%
i). Rasionalisasi -
j). Regresi -
k). Represi -

Sumber: Data Scanning, 2017

Klien yang dirawat di Ruang Dahlia mempunyai mekanisme koping


konstruktif terbanyak adalah minum obat sebanyak 65%, sedangkan mekanisme
koping destruktif amuk 40%.
f. Status Mental
Tabel 3.13 Status Mental
STATUS MENTAL Persentase
Penampilan
a) rambut acak-acakaan 25%
b) kancing baju tidak tepat 5%
c) baju terbalik -
d) ada kotoran mata -
e) sisa makanan di mulut 5%
f) penggunaan pakaian tidak sesuai 10%
g) ada bau mulut 30%
i) gigi tidak bersih 25%
Pembicaraan
a) keras 10%
b) cepat 20%
c) gagap -

61
d) membisu 20%
Klien yang dirawat di Ruang Dahlia sebagian besar dari segi
penampilannya seperti bau mulut sebesar 30%, sisa makanan di mulut 5%.
Sedangkan dari segi pembicaraan, sebagian besar saat berbicara menggunakan
intonasi suara yang cepat sebesar 20% dan keras sebesar 10%.

g. Diagnosa Medis

Diagnosa Medis

5%
10% F.20.1
5%
F.20.0
10%
F.32.2
70% F.20.6
F.25.0

Gambar 3.4 Diagnosa Medis Klien di Ruang Dahlia

Klien yang dirawat di Ruang Dahlia mengalami beberapa diagnosa medis


berupa F.20.0 sebanyak 70%, F 20.0 sebanyak 10%, F.32.2 sebanyak 5%, F.20.6
sebanyak 10%, F.25.0 sebanyak 5%

62
h. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

RBD
Waham
HDR 8% 2% RPK
RPK
7% 30% Halusinasi
Isolasi Sosial Isolasi Sosial
20%
HDR
Halusinasi Waham
33%
RBD

Gambar 3.5 Diagnosa Keperawatan Klien di Ruang Dahlia

Klien yang dirawat di Ruang Dahlia sebagian besar ditegakkan diagnosa


keperawatan resiko perilaku kekerasan sebesar 31%, halusinasi 8,57%, isolasi
sosial 14%, dan HDR 8,57%.

63
i. Tindakan Keperawatan
1. Asuhan Keperawatan Generalis

Asuhan Keperawatan Generalis

Gambar 3.6 Asuhan Keperawatan Generalis Klien di Ruang Dahlia

Klien yang dirawat di Ruang Dahlia seluruhnya telah mendapatkan terapi asuhan
keperawatan generalis sebesar 100%.

2. Asuhan Keperawatan Spesialis

Asuhan Keperawatan Spesialis

CT
31%
38% AT
TS
8%
CBT
15% 8%
Tidak diberikan

Gambar 3.7 Asuhan Keperawatan Spesialis Klien di Ruang Dahlia

64
Klien yang dirawat di Ruang Dahlia sebagian besar mendapatkan terapi CT
sebanyak 31%, AT sebanyak 8%, sedangkan TS sebanyak 15%, dan CBT
sebanyak 8 % dan 38% masih belum diberikan asuhan keperawatan spesialis.

65
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Manajemen pelayanan keperawatan MPKP
Mahasiswa praktikan S2 dan mahasiswa DIII yang praktek di Ruang
Dahlia RSJ Dr. Radjiman Wedyodiningrat sudah belajar menerapkan
Manajemen Pelayanan Keperawatan (MPKP) dengan melakukan role play
menjadi KaRu, menjadi KaTim dan perawat pelaksana meskipun tidak
berjalan sempurna karena beberapa kendala.
2. Manajemen asuhan keperawatan
Berdasarkan analisa matrik jumlah kasus terbanyak di Ruang Dahlia
tentang diagnosa keperawatan yakni dengan resiko perilaku kekerasan dan
Halusinasi. Pada umumnya semua pasien sudah dilakukan terapi generalis
namun belum semua sesi dilaksanakan. Sedangkan untuk terapi spesialis,
hanya terapi individu yang dapat dilakukan yakni AT dan CT tetapi tidak
pada semua pasien.

4.2 Saran
1. Untuk RSJ Dr. Radjiman Wedyodiningrat terus mendukung
pengembangan pelaksanaan MPKP disetiap ruangan rawat inap dengan
membekali perawat melalui peningkatan kompetensi sumber daya
manusianya baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan
informal.
2. Untuk ruang Dahlia, agar terus meningkatkan pelayanan asuhan
keperawatan terhadap klien di ruangan akut berbasis MPKP.

66

Anda mungkin juga menyukai