Anda di halaman 1dari 29

1.

1 Definisi
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium.
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma abdomen adalah terjadinya cedera atau
kerusakan pada organ abdomen yang menyebabkan perubahan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunologi dan gangguan faal
berbagai organ (MH Assiddqi, 2014).

1.2 Klasifikasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari:
1. Trauma penetrasi: trauma tembak, trauma tusuk (MH Assiddqi, 2014).
Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ke
trauma center. Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma
penetrasi pada populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit
hitam pada umur 15-24 tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab
wound, impalements, gigitan anjing, dan kecelakaan mesin. Oleh karena
kebanyakan trauma penetrans pada abdomen biasanya memerlukan
tindakan pembedahan maka persiapan di ruang operasi harus simultan
dengan assessment pasien (Pratama, 2014).
2. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3
mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi
dan akselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat
berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang
terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang
salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya
dapat menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat
visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen
pada organ berongga dan menyebabkan rupture (MH Assiddqi, 2014).
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80%
trauma pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan
berhubungan dengan kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal
dapat disebabkan juga oleh karena terjatuh dan langsung mengenai dinding
abdomen misalnya pada handlebar injuri (Pratama, 2014).

1.3 Etiologi
Penyebab trauma abdomen antara lain: trauma, iritasi, infeksi, obstruksi dan
operasi. Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan trauma
tembus, biasanya tikaman atau tembakan dan trauma tumpul akibat
kecelakaan mobil, pukulan langsung atau jatuh. Luka yang tampak ringan bisa
menimbulkan cedera eksterna yang mengancam nyawa (MH Assiddqi, 2014).

1.4 Patofisiologi
Terlampir

1.5 Manifestasi Klinis


Secara umum manifestasi klinik trauma abdomen antara lain :
1. Nyeri
2. Nyeri tekan lepas menandakan iritasi peritoneum karena cairan
gastrointestinal atau darah
3. Distensi abdomen
4. Demam
5. Anoreksia
6. Mual dan muntah
7. Takikardi
8. Peningkatan suhu tubuh

Sementara manifestasi berdasarkan etiologinya:


1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi ke dalam rongga
peritonium):
Manifestasi klinis dari trauma tembus tergantung pada berbagai faktor,
termasuk jenis objek yang menembus, area tempat cedera terjadi, organ
yang mungkin terkena, dan lokasi serta jumlah luka. Tanda dan gejala yang
seringkali muncul adalah:
a. Terdapat nyeri dan/atau nyeri tekan lepas serta perdarahan
Nyeri dapat menjadi petunjuk terjadinya kerusakan organ. Semisal,
terdapat nyeri bahu, mungkin nyeri tersebut merupakan akibat dari limpa
yang rusak dengan darah subphrenic
b. Biasanya disertai dengan peritonitis
Tanda-tanda peritoneal terjadi ketika katup peritoneal dan aspek posterior
dari dinding abdomen anterior mengalami inflamasi. Darah dan organ di
dalam peritoneal atau retroperineal terangsang oleh ujung saraf yang
lebih dalam (serabut visceral aferen nyeri) dan mengakibatkan rasa yang
sangat nyeri. Iritasi pada peritoneum parietal mengarah ke nyeri somatik
yang cenderung lebih terlokalisasi.
c. Distensi abdomen. Apabila distensi abdomen pada pasien tidak responsif,
hal tersebut dapat menunjukkan adanya perdarahan aktif.
d. Pada laki-laki, prostat tinggi-naik menunjukkan terjadinya cedera usus
dan cedera saluran urogenital. Jika ditemukan terdapat notasi darah di
meatus uretra juga merupakan tanda adanya cedera saluran urogenital.
e. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Hilangnya fungsi organ dapat menjadi penanda terjadinya syok, karena
pada saat syok, darah akan dipusatkan kepada organ yang vital,
sehingga untuk organ yang tidak begitu vital kurang mendapatkan
distribusi darah yang mencukupi untuk dapat bekerja sesuai dengan
fungsinya sehingga kinerja organ dapat mengalami penurunan atau
bahkan fungsi organ menjadi terhenti (Offner, 2014).

2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi ke dalam rongga peritonium)


Penilaian klinis awal pada pasien trauma abdomen tumpul seringkali sulit
dan akurat. Tanda dan gejala yang paling nampak antara lain:
a. Nyeri
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Hipovolemia
d. Ditemukannya iritasi peritoneal
Sebagian besar darah dapat menumpuk di rongga peritoneal dan
panggul tanpa adanya perubahan signifikan atau perubahan awal dalam
temuan pemeriksaan fisik. Bradikardi dapat mengindikasikan adanya
darah disekitar intraperitoneal.
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan:
a. Tanda lap belt: berhubungan dengan adanya ruptur usus kecil
b. Memar berbentuk kemudi, sering terjadi pada kecelakaan
c. Memar/ekimosis di sekitar panggul (Grey Turner sign) atau umbilikus
(cullen sign): mengindikasikan perdarahan retroperitoneal, tetapi
biasanya terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari
d. Distensi abdomen
e. Auskultasi bising usus dada: menunjukkan adanya cedera diafragma
f. Bruit abdomen: mengindikasikan penyakit vaskular yang mendasari
atau trauma fistula arteriovena
g. Nyeri secara keseluruhan atau lokal, kekakuan, atau nyeri tekan lepas:
mengindikasikan adanya cedera peritoneal
h. Kepenuhan dan konsistensi pucat pada palpasi: mengindikasikan
perdarahan intra abdominal
i. Krepitasi atau ketidakstabilan rongga dada bagian bawah: menunjukkan
potensi cedera limpa atau hati (Legome, 2016).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Pengkajian diagnostic yang diperlukan selama kondisi preoperative di
gawat darurat, meliputi pemeriksaan darah (hemoglobin, leukosit, laju endap
darah, waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah, serta hematokrit),
serum elektrolit, pemeriksaan USG, Foto polos (abdomen dan toraks), dan CT
scan (muttaqin, kumalasari, 2013).
Pemeriksaan diagnostic dapat mencakup sonografi abdomen terfokus
untuk trauma, (FAST, focused abdomen sonography for trauma), lavase
peritoneum diagnostic (DPL, diagnostic peritoneal lavage), foto toraks (untuk
menentukan kelainan makroskopik serta adanya pergeseran organ), dan CT
scan abdomen.
1. Pemeriksaan FAST
- Pemeriksaan yang relative cepat menyediakan informasi yang
bermanfaat dan banyak digunakan oleh pusat trauma
- Pemeriksaan ini dilakukan dengan menaruh ultrasound probe diatas
berbagai area abdomen yang menentukan apakah ada cairan bebas di
area tersebut. Area yang dievaluasi adalah kantong morison di kuadran
kanan atas, kantong pericardial, region splenorenal di kuadran kiri atas,
dan panggul (kantong douglas).
- Jika hasil FAST positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, maka
dilakukan laparotomi eksploratif.
2. Pemeriksaan DPL
- Prosedur diagnostic cepat yang digunakan selama fase resusitasi pada
perawatan pasien trauma hemodinamiknya tidak stabil untuk
menegakkan diagnosa perdarahan intra-abdomen.
- Indikasi: cedera tumpul abdomen dengan perubahan status mental,
hipotensi tidak jelas sebabnya, penurunan hematokrit, syok, hasil
pemeriksaan abdomen tidak jelas, cedera medulla spinalis, cedera alih
(fraktur tulang, trauma dada), trauma tembus abdomen (jika eksplorasi
tidak diindikasikan).
- Kontraindikasi: riwayat pembedahan abdomen berulang, kehamilah
trimester tiga, sirosis hati lanjut, obesitas morbid, riwayat koagulopati,
dan riwayat pembedahan abdomen berulang kali (terdapat peningkatan
resiko laserasi omentum dan visera atau perforasi vascular jika DPL
dilakukan pada pasien yang menunjukkan temuan ini).
- Teknik: masukkan kateter lavase ke ruang peritoneum melalui insisi 1
-2 cm, upayakan aspirasi cairan peritoneum, infusikan salin normal atau
ringer laktat mengggunakan gaya gravitasi, miringkan pasien ke kiri dan
kanan (kecuali kontraindikasi), Biarkan cairan masuk ke dalam kantong
melalui gravitasi, kirim specimen ke laboratorium.
- Hasil positif: 10-20 ml darah makroskopik pada aspirasi awal, >
100.000 sel darah merah/mm3, lebih dari 500 sel drah putih/mm3, kadar
amylase meningkat, adanya (empedu, bakteri, atau feses)
- Jika hasil DPL positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, dilakukan
laparotomi eksploratif.
- Ketika melakukan DPL, penting terlebih dahulu memastikan bahwa
pasien terpasang kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik
untuk mendekompresi lambung dan kandung kemih sehingga
mencegah terjadinya perforasi tidak sengaja saat memasang kateter
lavase. Ketika kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik
terpasang, katetter lavase dimasukkan ke dalam ruang peritoneum.
Jika darah makroskopi yang kembali kurang dari 10 ml, kantong berisi
satu liter kristaloid (larutan RL atau NS 0,9%) hangat diinfuskan ke
dalam peritoneum. Setelah infuse selesai, kantong IV diletakkan pada
posisi tergantung guna memungkinkan cairan keluar dari abdomen
karena gravitasi.
3. CT Scan
- Lebih sering digunakan pada pasien yang hemodinamiknya lebih stabil.
- Sering dilakukan dengn kontras IV atau oral untuk melihat organ dan
mengetahui adanya gangguan.
- CT scan memungkinkan visualisasi area peritoneum, retroperineum,
dan panggul serta memungkinkan perkiraan jumlah cairan di area ini.
- CT scan juga digunakan untuk menentukan derajat cedera pada organ
padat
- Keterbatasan penggunaan CT mencakup lama waktu yang diibutuhkan
untuk melakukan pemeriksaan, kebutuhan untuk memindahkan pasien
keluar dari area resusitasi, dan syarat bahwa pasien harus memiliki
hemodinamik yang stabil dan pergerakan dibatasi selama
pemeriksaan. (Morton ,2011)

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen
1. Trauma Tumpul Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila
pasien telah stabil baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu
sendiri. Pipa lambung, selain untuk diagnostic, harus segera dipasang untuk
mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan kateter di
pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin. Pada
trauma tumpul, bila terdapat kerusakan intra peritoneum harus dilakukan
laparotomi, sedangkan bila tidak, pasien diobservasi selama 24-48 jam.
Tindakan laparotomi dilakukan untuk mengetahui organ yang mengalami
kerusakan. Bila terdapat perdarahan, tindakan yang dilakukan adalah
penghentian perdarahan. Sedangkan pada organ berongga, penanganan
kerusakan berkisar dari penutupan sederhana sampai reseksi sebagian.
2. Trauma Tembus Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila
pasien telah stabil baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu
sendiri. Pipa lambung, selain untuk diagnostic, harus segera dipasang untuk
mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah. Sedangkan kateter di
pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin.
Peningkatan nyeri di daerah abdomen membutuhkan eksplorasi bedah.
Luka tembus dapat mengakibatkan renjatan berat bila mengenai pembuluh
darah besar atau hepar. Penetrasi ke limpa, pancreas, atau ginjal biasanya
tidak mengakibatkan perdarahan massif kecuali bila ada pembuluh darah
besar yang terkena. Perdarahan tersebut harus diatasi segera, sedangkan
pasien yang tidak tertolong dengan resusitasi cairan harus menjalani
pembedahan segera.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di
dada baian bawah atau abdomen berbeda-beda. Namun semua ahli bedah
sepakat semua pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus
menjalani eksplorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa tanda-
tanda sepsis dengan hemodinamik stabil.
Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi
terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum maka tindakan laparatomi
diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising
usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara
bebas intera peritoneal, dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan
indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi
selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar
dilakukan laparotomi.
Menurut Catherino (2003), Penatalaksanaan kegawatdaruratan
Trauma Abdomen ialah :
 Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang
menunjukkan trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri
diafragma, abdominal free air, evisceration) harus segera dilakukan
pembedahan
 Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-
operative berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
 Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
 Pemberian O2 sesuai indikasi
 Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
 Trauma penetrasi :
- Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas.
- Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung
kedalaman penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal.
- Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah
kondisi steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal ; jika
peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan dikeluarkan.
- Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan
pembedahan.
- Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan
dengan pembedahan

Sedangkan menurut ENA (2000) penatalaksanaan


kegawatdaruratan trauma abdomen yaitu :
 Monitor TTV
 Monitor CVP
 Monitor AGD
 Berikan terapi oksigen sesuai indikasi
 Berikan resusitasi cairan IV dengan cairan kristaloid, darah atau
komponen darah
 Pasang kateter urine
 Monitor pemasukan dan haluaran
 Pasang NGT sesuai indikasi
 Berikan analgesik jika diijinkan
 Minimalkan rangsangan dari luar
 Siapkan intervensi bedah sesuai indikasi
 Monitor GCS
 Monitor perfusi jaringan perifer
 Antiembolic stoking untuk mencegah pembentukan trombus sekunder
untuk meningkatkan trombosit
 Monitor tingkat kesadaran
 Monitor CRT
 Jelaskan prosedur dengan sederhana
 Jawab pertanyaan pasien
 Monitor serum amilase dan lipase
 Monitor serum dan kadar gula dalam urine
 Monitor suhu tubuh
 Monitor serum amilase dan lipase
 Monitor serum dan kadar gula dalam urine
 Monitor tanda-tanda peritonitis : spasme otot/kekakuan abdomen,
penurunan sampai tidak ada bising usus.
Menurut Bambang Suryono (2008),pengelolaan trauma abdomen ialah :
Perawatan pasien dengan perdarahan abdomen difokuskan seputar
pencegahan dan penanganan syok. Pengobatan definitif untuk perdarahan
internal hanya dapat dilakukan di ruang operasi rumah sakit. Tanda-tanda
syok harus dinilai sejak dini, periksa periksa dengan cermat nadi penderita,
kesadaran dan warna kulit. Penurunan tekanan darah merupakan tanda
yang terlambat. Tanda-tanda itu akan muncul setelah perdarahan internal
menyebabkan kehilangan darah yang signifikan. Pasien yang diduga
mengalami perdarahan internal harus dianggap serius dan harus dirujuk ke
rumah sakit secepatnya.
Seperti semua pasien, prioritas pertama adalah ABC. Pastikan
pembukaan jalan nafas, pernafasan yang adekuat dan sirkulasi. Pasien
dengan perdarahan internal kemungkinan akan memburuk dengan cepat.
ABC dan tanda vital harus sering dimonitor. Persiapkan untuk
mempertahankan jalan nafas pasien, untuk memberikan ventilasi atau
melakukan RJP jika diperlukan.

2.8 Komplikasi Trauma Abdomen


Beberapa komplikasi yang dapat disebabkan karena trauma abdomen adalah:
1. Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat
kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma
dan timbul gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah
seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul
gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. Kolon
merupakan tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah feses, maka jika kolon
terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika
tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh
bakteri dan feses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang bisa
memberikan dampak yang lebih berat.
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
Setiap trauma abdomen (baik trauma tumpul dan trauma tembus) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada
trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan
alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya tidak terkena.
Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan dengan
trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Dalam taraf pertama darah
akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum
perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Apabila perdarahan tidak
segera ditangani dengan baik dan tepat maka dapat terjadi syok hipovolemik
yang ditandai dengan hipotensi, takikardia, dehidrasi, penurunan turgor kulit,
oliguria, kulit dingin dan pucat.
3. Menurunnya atau menghilangnya fungsi organ
Penurunan fungsi organ dapat disebabkan karena terjadinya perdarahan
yang masif tanpa penanganan yang adekuat sehingga pasokan darah ke
organ tertentu menjadi berkurang sehingga dapat mengakibatkan
penurunan fungsi organ, bahkan fungsi organ bisa menghilang.
4. Infeksi dan sepsis
Peradangan dan penumpukan darah dan cairan pada rongga peritoneal
dapat menyebabkan mudahnya bakteri untuk menginfeksi sehingga risiko
terjadinya infeksi sangat tinggi, dan apabila infeksi tak terkendali,
mikroorganisme penyebab infeksi dapat masuk ke dalam darah dan
mengakibatkan syok sepsis.
5. Komplikasi pada organ lainnya
a. Pankreas: pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pankreas-duodenal,
dan perdarahan
b. Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin,
diaphoresis dan syok
c. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok
d. Ginjal: Gagal ginjal akut (Legome, 2016).
2.9 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori
Pengkajian
a. Pengkajian secara umum
Pada trauma abdomen pengkajian terdiri dari identitas klien dan
penanggung jawab, pengkajian darurat serta pengkajian lanjut.
Pengkajian darurat terdiri dari pengkajian primer dan skunder dimana
perlu dilakukan evaluasi cepat disertai resusitasi secara simultan.
Pengkajian primer dilakukan tanpa melakukan penilaian riwayat secara
menyeluruh sampai kondisi kegawatan teratasi. Namun untuk
memprediksi pola cedera yang lebih baik dan mengidentifikasi risiko yang
lebih fatal maka perlu dipastikan mekanisme cedera yang didapatkan dari
berbagai elemen yang dapat menjelaskan kronologi terjadinya trauma
secara jelas dan ringkas baik dari keluarga, saksi, pengantar atau pihak
kepolisian.
Faktor penting yang berhubungan dengan pengkajian darurat,
khususnya dengan etiologi kecelakaan kendaraan bermotor meliputi hal-
hal berikut:
 Tingkat kerusakan kendaraan.
 Apakah ada penumpang lain yang terluka atau meninggal.
 Penggunaan perangkat keselamatan seperti sabuk pengaman dan
helm.
 Penggunaan alkohol atau penggunaan obat adiktif.
 Adanya cedera kepala/otak dan cedera spina.
 Apakah ada masalah kejiwaan yang jelas.

Untuk menentukan prioritas resusitasi dan diagnosis ditetapkan


berdasarkan stabilitas hemodinamik dan tingkat keparahan cedera.
Berdasarkan arahan protokol Advanced Trauma Life Support adalah
untuk mengidentifikasi dan melakukan pencegahan terhadap kondisi
yang mengancam jiwa. Protokol ini terdiri dari:
 Airway, dengan tindakan pencegahan pada spina servikal.
 Breathing.
 Circulation.
 Disability.
 Expouse.
Selain prioritas resusitasi dilaksanakan, untuk melakukan
pengkajian riwayat cepat menurut Salomon (200) merekomendasikan
pendekatan AMPLE:
 Allergies.
 Medications.
 Past medical history.
 Last meal or other intake.
 Event leading presentation.

Resusitasi dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fisik sampai


kondisi kegawatan teratasi. Sementara pengkajian skunder dilanjutkan
untuk mengidentifikasi cedera melalui pemeriksaan head-to-toe. Selama
proses pengkajian pasien sampai saat memberikan intervensi kepada
pasien tenaga kesehatan yang bertugas perlu meningkatkan
kewaspadaan dengan menggunakan alat pelindung seperti cap,
pelindung mata, masker, gown, sarung tangan, dan sepatu penutup untuk
mencegah terjadinya kontaminasi cairan tubuh pasien.
Pada kondisi klinik, penilaian klinis awal pasien dengan trauma
abdomen seringkali silit dan tidak akurat. Pengkajian utama tetap
dilakukan terhadap status yang bisa menyebabkan kondisi disfungsi
neurologis, yang dapat disebabkan karena cedera kepala atau
penyalahgunaan zat. Pemeriksaan umum yang dapat diandalkan dan
gejala pada pasien yang masihh dalam kondisi sadar adalah nyeri, nyeri
tekan abdomen, adanya tanda perdarahan gastrointestinal, hipovolemia,
dan bukti adanya iritasi peritoneum. Sejumlah besar darah dapat
terakumulasi di rongga peritoneal dan pelvis tanpa adanya perubahan
yang signifikan atau didapat pada fase awal dalam temuan pemeriksaan
fisik.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi inspeksi,
auskultasi, palpasi, dan perkusi dengan hasil temuan sebagai berikut:
 Inspeksi: Pada saat pemeriksaan dapat ditemukan adanya kondisi
lecet (abrasi) atau ekimosis. Tanda memar akibat sabuk pengaman,
yakni luka memar atau abrasi di perut bagian bawah sangat
berhubungan dengan kondisi patologis intraperitoneal. Inspeksi
visual sangat penting dilakukan untuk mendapatkan adanya
distensi abdomen yang mungkin dapat terjadi karena
pneumoperitonium, dilatasi lambung, atau ileus yang diproduksi
oleh iritasi peritoneal. Fraktur iga bagian bawah dapat berhubungan
dengan cedera pada limpa atau cedera hati.
 Auskultasi: Ditemukannya bunyi usus pada bagian toraks
menunjukkan adanya cedera pada otot diafragma.
 Palpasi: Palpasi dapat menemukan adanya keluhan tenderness
(nyeri tekan) baik secara lokal atau seluruh abdomen, kekakuan
abdominal, atau rebound tenderness yang menunjukkan cedera
peritoneal.
 Perkusi: untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang
mengalami cedera.
 Pemeriksaan rektal: Dilakukan untuk mencari bukti cedera
penetrasi akibat patah tulang panggul dan pada feses dievaluasi
adanya darah kotor.
 Pemeriksaan fungsi perkemihan: Dilakukan terutama adanya tanda
dan riwayat trauma panggul yang dapat menyebabkan cedera pada
uretra dan kandung kemih. Palpasi kekencangan kandung kemih
dan kemampuan dalam melakukan miksi dilakukan untuk mengkaji
adanya ruptur uretra.
c. Pengkajian Psikososial
Pada pengkajian psikososial, pasien dan keluarga biasanya
mengalami kecemasan dan pasien memerlukan pemenuhan
informasi tentang sesuatu yang berhubungan dengan kondisi klinis
dan rencana pembedahan darurat.
Apabila pasien trauma abdomen memiliki indikasi untuk
dilakukan prosedur pembedahan maka pada kondisi pascabedah
pasien akan mendapatkan perawatan di ruang intensif. Pada
kondisi ini perlakuan pengkajian disesuaikan dengan konteks
keperawatan kritis. Pengkajian lanjutan pada konteks keperawatan
medikal-bedah di ruang rawat inap bedah dilakukan secara
anamnesis, pemeriksaan fisik, pengkajian diagnostik, dan
pengkajian penatalaksanaan medik. Pada pasien pascabedah
setelah dari ruang intensif di ruang bedah hasil pengkajian yang
dapat ditemukan:
1. Keluhan utama: Nyeri, keluhan yang berhubungan denga
penurunan motilitas usus.
2. Pengkajian riwayat penyakit: Merupakan pengkajian lanjutan
riwayat intervensi yang sudah didapat pasien selama di unit
gawat darurat, kamar bedah, dan ruang intensif, seperti jenis
pembedahan, penggunaan cairan dan transfusi darah, fungsi
gastrointestinal, serta pengetahuan dalam mobilisasi pasca
bedah.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan disik yang didapatkan dapat sesuai dengan
manifestasi klinik. Pada survei umum, pasien terlihat lemah,
TTV bisa didapatkan adanya perubahan. Pada pemeriksaan
fisik fokus akan didapatkan hal-hal berikut:
 Inspeksi: Kondisi yang paling sering adalah terdapat luka
pascabedah pada bagian abdomen dan terpasang Foley
kateter. Pada kondisi ini penting dikaji kondisi luka
pascabedah dan berbagai risiko yang meningkatkan
masalah pada pasien, seperti adanya infeksi luka operasi
(ILO), risiko dehisens dan eviserasi terutama pada pasien
obesitas.
 Auskultasi: Pada kondisi klinik sering didapatkan bising usus
tidak ada, terutama dengan pasien yang memiliki
keterbatasan mobilitas.
 Palpasi: pemeriksaan ini sering tidak dilakukan karena akan
menjadi stimulus nyeri pada pasien.
 Perkusi: Sering didapatkan adanya bunyi timpani akibat
abdomen mengalami kembung.
4. Pengkajian diagnostik lanjutan: Dilakukan di ruang rawat inap
bedah, meliputi: pemeriksaan darah rutin (hemoglobin,
leukosit, hematokrit, trombosit, dan LED), pemeriksaan serum
elektrolit, serta pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal.
5. Penatalaksanaan medis yang perlu dikaji: Adanya pemberian
antimikroba yang akan diberikan selama 5-7 hari pascabedah
terutama pada pasien trauma abdomen dengan kontaminasi
rongga peritoneal.

Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan

DS : Etiologi dan faktor Risiko Syok


predisposisi Hipovolemik
 Pasien mengeluh
kembung di area ↓
abdomen
Menyebabkan cedera
DO:
abdomen
 Pasien tampak

lemah
 Penurunan Perdarahan
kesadaran

 Akral dingin
 Hipotensi Penurunan volume
 Penurunan darah
hematokrit

Penurunan perfusi
perifer

Risiko syok
hipovolemik

DS : Etiologi dan faktor Defisiensi


predisposisi Pengetahuan
 Pasien sebelumnya
melakukan ↓
penatalaksanaan
Menyebabkan cedera
yang tidak tepat
abdomen
 Mengungkapkan
tidak pernah
mendapatkan ↓
informasi yang
Kurang paparan
adekuat
informasi
sebelumnya

Defisiensi
pengetahuan

DS : Etiologi dan faktor Risiko Trauma


predisposisi
 Pasien mengeluh
kembung di area ↓
abdomen
Menyebabkan cedera
 Pasien mengeluh
abdomen
nyeri di area
abdomen ↓
 Pasien mengatakan
Risiko trauma
terkena objek
tertentu di area
abdomen
DO:

 Terdapat jejas dan


hematom
 Peristaltik usus
7x/menit
 Pekak
DS : Etiologi dan faktor Nyeri Akut
predisposisi
 Pasien mengeluh
nyeri di area ↓
abdomen
Menyebabkan cedera
DO:
abdomen


 Wajah pasien Cedera organ
tampak menyeringai intraabdomen
karena nyeri

 Pengkajian PQRST
 Peningkatan TTV Distensi abdomen
 Terdapat jejas dan

hematom di sekitar
abdomen Nyeri akut

DS : Etiologi dan faktor Risiko


predisposisi ketidakseimbangan
 Pasien lemas
Volume Cairan
DO: ↓

 Pasien tampak Menyebabkan cedera


lemah abdomen
 Pasien tampak

pucat
 Penurunan Perdarahan
kesadaran

 Akral dingin
 Penurunan Penurunan volume
hematokrit darah
 Penurunan turgor

kulit
 Bibir kering Kehilangan cairan

 Oliguria dalam tubuh

Risiko
ketidakseimbangan
volume cairan

DS : Etiologi dan faktor Risiko Infeksi


predisposisi
 Pasien mengeluh ↓
demam
Menyebabkan cedera
DO:
abdomen
 Pasien tampak

lemah
 Peningkatan TTV Trauma jaring
 Kadar leukosit integumen: abrasi dan
abnormal/tinggi ekimosis

Port de entree
mikroorganisme

Risiko infeksi

DS : Etiologi dan faktor Ansietas


predisposisi
 Pasien mengeluh
kebingungan akan ↓
kondisi tubuhnya
Menyebabkan cedera
saat ini
abdomen
DO:

 Pasien tampak
bingung Kurang paparan
 Wajah pasien informasi
tegang

 Akral dingin
 Peningkatan TTV Defisiensi
pengetahuan

Perubahan kondisi
tubuh dan hospitalisasi

Cemas akan kondisi


yang dialami

Ansietas

Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat diangkat antara lain:
1. Risiko syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, skunder dari cedera
vaskular intraabdominal
2. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi dan kurang sumber
pengetahuan ditandai dengan kurangnya pengetahuan terkait dengan
penyakit, penatalaksanaan, dan perawatan
3. Risiko trauma b.d akses pada senjata, alat rumah tangga yang rusak,
bahaya listrik (mis. salah stop kontak, kabel terkelupas, kotak sikring
kelebihan daya), bermain dengan objek berbahaya, jalan tidak aman, jarak
yang berdekatan dengan jalur kendaraan (mis. jalan raya, rel kereta api),
kontak dengan mesin berbahaya, lingkungan tempat tinggal kriminal, tidak
menggunakan sabuk pengaman, kurang pengetahuan tentang
kewaspadaan keselamatan, dan gangguan keseimbangan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma) ditandai
dengan diaforesis, dilatasi pupil, ekspresi wajah nyeri, fokus menyempit,
keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri, laporan
tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas, mengekspresikan perilaku (mis.
gelisah, merengek, menangis, waspada), perilaku distraksi, perubahan
pada parameter fisiologis (mis. TD, frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, saturasi oksigen, dan end tidal karbondioksida), perubahan
posisi untuk menghindari nyeri, perubahan selera makan, putus asa, dan
sikap melindungi area nyeri.
5. Risiko ketidakseimbangan volume cairan b.d ansietas, berkeringat, trauma,
obstruksi intestinal, sepsis, dan program pengobatan.
6. Risiko infeksi b.d kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan,
prosedur invasif, gangguan integritas kulit, statis cairan tubuh, penurunan
hemoglobin dan malnutrisi.
7. Ansietas b.d ancaman pada status terkini, krisis situasi, dan stresor
ditandai dengan gelisah, kontak mata yang buruk, ekspresi kekhawatiran
karena perubahan dalam peristiwa, penurunan produktivitas, distres,
gugup, takut, sangat khawatir, peningkatan ketegangan, peningkatan
keringat, wajah tegang, anoreksia, dilatasi pupil, gangguan pernapasan,
jantung berdebar, mulut kering, peningkatan denyut nadi, peningkatan RR,
peningkatan TD, mual, nyeri abdomen, dan gangguan konsentrasi.

Rencana Keperawatan
1. Masalah keperawatan: Risiko syok hipovolemik
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak
mengalami syok hipovolemik. Didapatkan skor pada indikator NOC “Shock
severity: Hypovolemic “
Indikator 1 2 3 4 5

 Penurunan TD sistolik √
 Penurunan TD diastolik √
 Peningkatan RR √
 Pengisian capillary reffil yang
tertunda
 Aritmia
 Peningkatan nadi tetapi lemah
 Penurunan oksigen
 Peningkatan karcon dioksida
 Kulit dingin
 Dehidrasi
 Penurunan output urin
 Letargi
 Asidosis metabolic
 Hyperkalemia
Intervensi: NIC “Bleeding Reduction: Gastrointestinal”
1. Evaluasi respon psikologis klien terhadap pendarahan
2. Pertahankan patensi airway (bila perlu)
3. Monitor adanya tanda dan gejala adanya perdarahan persistent
4. Monitor adanya tanda dari syok hipovolemik
5. Minta pasien dan/atau keluarga untuk mempersiapkan replacement
darah

2. Masalah keperawatan: Defisiensi pengetahuan


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan
pengetahuan pasien tentang penyakit dan prosedur penatalaksanaan
meningkat. Didapatkan skor pada indikator NOC: “Knowledge: Pain
Management“
Indikator 1 2 3 4 5

 Faktor penyebab dan


pendukung
 Tanda dan gejala nyeri
 Strategi untuk mengontrol nyeri
 Regimen pengobatan yang
sesuai
 Penggunaan obat yang tepat
 Penggunaan obat secara aman
 Efek terapeutik pengobatan
 Efek samping obat
 Efek tambahan obat
 Pengurangan aktivitas
 Teknik posisi yang efektif
 Teknik relaksasi
 Sumber pengontrol nyeri yang
adekuat

Intervensi: NIC “Pain Management“


1. Memeriksa nyeri secara keseluruhan, meliputi lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan
faktor yang mendukung terjadinya nyeri
2. Mengobservasi nyeri dari respon non-verbal pasien
3. Mengeksplorasi faktor yang menyebabkan nyeri semakin membaik
atau semakin parah
4. Memberikan informasi tentang nyeri secara adekuat dan memberikan
cara mengantisipasi ketidaknyamanan dari prosedur yang dilakukan
5. Mengontrol lingkungan yang berpengaruh terhadap respon
ketidaknyamanan pasien
6. Mengajarkan prinsip manajemen nyeri
7. Mengajarkan tentang obat yang bisa mengurangi nyeri
8. Mengajarkan penggunaan obat anti nyeri dengan tepat
9. Memberikan waktu istirahat yang adekuat untuk mengurangi nyeri

3. Masalah keperawatan: Risiko trauma


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan trauma pada
pasien berkurang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Physical Injury
Severity“
Indikator 1 2 3 4 5

 Abrasi kulit
 Memar
 Laserasi
 Gangguan mobilitas
 Penurunan kesadaran
 Ruptur limpa
 Perdarahan
 Trauma abdomen
Intervensi: NIC “Pressure Management“
1. Memakaikan pakaian yang longgar kepada pasien
2. Memberikan tempat kepada pasien di tempat tidur yang
sesuai/memberikan efek terapeutik
3. Mencegah dari penerapan tekanan kepada bagian tubuh yang
berkaitan dengan cedera atau trauma
4. Tidak melakukan mobilisasi kepada pasien tiap 2 jam, berdasarkan
jadwal yang dibuat
5. Memantau adanya kemerahan atau luka disekitar kulit
6. Memantau mobilisasi dan aktifitas pasien

4. Masalah keperawatan: Nyeri akut


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan nyeri pada
pasien berkurang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Pain Level“
Indikator 1 2 3 4 5

 Pelaporan nyeri
 RR
 Ekspresi wajah nyeri
 Tekanan darah
 Lama episode nyeri

Intervensi: NIC “Pain Management”


1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor resipitasi
2. Monitor TTV
3. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
4. Control lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi yg meningkatkan nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Berikan analgesic untuk mengurangi nyeri
8. Evaluasi keefektifan control nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul

5. Masalah keperawatan: Risiko ketidakseimbangan volume cairan


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan cairan
dalam tubuh pasien seimbang. Didapatkan skor pada indikator NOC “Fluid
Balance“
Indikator 1 2 3 4 5

 Tekanan darah
 Nadi
 Tekanan arteri
 Tekanan vena sentral
 Keseimbangan intake dan output
cairan dalam waktu 24 jam
 Turgor kulit
 Kelembapan mukus membran
 Serum elektrolit
 Perdarahan
 Edema
 Dehidrasi
Intervensi: NIC “Fluid Management“
1. Memberikan catatan input dan output cairan yang akurat
2. Memantau status hidrasi seperti mukus membran, nadi yang adekuat
dan tekanan darah
3. Memantau TTV
4. Memeriksa lokasi edema
5. Memantau status nutrisi
6. Memberikan terapi IV
7. Memberikan intake cairan selama 24 jam
8. Memberikan terapi elektrolit
9. Memantau respon pasien terhadap terapi elektrolit yang diberikan
10. Menyiapkan tranfusi darah
11. Memberikan produk tranfusi darah jika diperlukan

6. Masalah keperawatan: Risiko infeksi


Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak
mengalami infeksi. Didapatkan skor pada indikator NOC “Infection
Severy“
Indikator 1 2 3 4 5

 Kemerahan
 Perubahan bau tidak sedap
 Drainase purulen
 Demam
 Nyeri
 Letargi
 Kehilangan nafsu makan
 Jumlah sel darah putih
Intervensi: NIC “Infection Control“
1. Membersihkan lingkungan di sekitar pasien untuk meminimalisir
perkembangbiakan mikroorganisme penyebab infeksi
2. Membatasi kunjungan
3. Mengajarkan teknik membersihkan tangan dengan benar
4. Penggunaan masker, sarung tangan dan gown steril saat mengkaji
kondisi pasien
5. Memberikan terapi antibiotik dengan tepat
6. Mengajarkan kepada pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala
infeksi dan kapan harus segera lapor ke tenaga kesehatan
7. Mengajarkan pasien dan anggota keluarga untuk mencegas infeksi
7. Masalah keperawatan: Ansietas
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan kecemasan
pada pasien dan keluarga pasien berkurang. Didapatkan skor pada
indikator NOC “Anxiety Level“
Indikator 1 2 3 4 5

 Sikap gelisah
 Distress
 Wajah tegang
 Sulit berkonsentrasi
 Serangan panik
 Laporan ansietas
 Peningkatan TD
 Peningkatan nadi
 Peningkatan RR
 Dilatasi pupil
 Berkeringat
Intervensi: NIC “Anxiety Reduction“
1. Melakukan teknik relaksasi
2. Menjelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang akan
dirasakan ketika prosedur sedang berlangsung
3. Memberikan informasi faktual tentang diagnosis, pengobatan dan
prognosis
4. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan pasien
5. Mengenali pengungkapan perasaan ketakutan, persepsi dan
ketakutan pasien
6. Mengidentifikasi perubahan tingkat ansietas
7. Membantu pasien mengidentifikasi keadaan yang dapat
menyebabkan ansietas
8. Mendukung penggunaan strategi coping pasien
Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah
sebagai berikut:
1. Tidak terjadi syok hipovolemik.
2. Informasi kesehatan terpenuhi.
3. Tidak mengalami injuri pascaprosedur bedah laparotomi.
4. Nyeri berkurang dan teradaptasi.
5. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Infeksi luka operasi tidak terjadi.
7. Kecemasan berkurang.
8. Informasi prabedah terpenuhi.
Daftar Pustaka

Legome EL. 2016. Blunt Abdominal Trauma Clinical Presentation”.


http://emedicine.medscape.com/article/1980980-clinical#b3
Morton, P.G, Fontaine, D, Hudak, C. M, Gallo, B. M. 2008. Keperawatan Kritis.
Jakarta: EGC
MH Assiddqi. 2014. Bab II Tinjauan Pustaka.
http://eprints.undip.ac.id/44820/4/M.Hasbi_Asshiddiqi_22010110110072_
Bab2KTI.pdf. Diakses pada 8 Juni 2016.
Morton, Patricia Gonce.2011. Keperawatan kriris : pendekatan asuhan holistic.
Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2013. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Muttaqin A, Sari K. 2013. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Offner P. 2014. Penetrating Abdominal Trauma.
http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview.
Pratama, Andi, Djaja. 2014. Trauma Abdomen pada Anak.
http://www.academia.edu/9479086/TRAUMA_ABDOMEN_PADA_ANAK.
Diakses pada 8 Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai