Anda di halaman 1dari 17

Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 1

BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara


penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes
sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada
abad 21. Perserikatan bangsa bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu
akan membengkak menjadi 300 juta orang.2
Diabetes mellitus (DM) itu sendiri merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas
dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema
anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.2
Salah satu komplikasi dari penanganan Diabetes Melitus adalah
Hipoglikemia. Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes
tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran
kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali
glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari
hipoglikemia.2 Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat
penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada
asupan glukosa yang berkelanjutan. Glukosa sendiri adalah bahan energi utama
untuk otak. Kekurangan glukosa sebagaimana kekurangan oksigen akan
menimbulkan gangguan fungsi otak, kerusakan jaringan atau mungkin kematian
kalau kekurangan tersebut berkepanjangan. Hipoglikemia sangat berbahaya bagi
otak, hal ini berdasar atas kenyataan bahwa otak tidak dapat menggunakan asam

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 2

lemak bebas sebagai bahan energi (jaringan yang lain dapat menggunakan asam
lemak bebas sebagai sumber energi).1,2 Hipoglikemia pada DM merupakan hasil
yang paling sering dari pemakaian obat anti DM atau obat lain, termasuk alcohol.
Dan jika berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan disfungsi
system saraf pusat, ganguan kognisi dan koma. 2,3

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa di bawah harga normal. 2
Yang bisa didefinisikan bila kadar glukosa plasma <2.5 – 2.8 mmol/L (<45-50
mg/dL).3 Namun ada juga yang menyebutkan batas terendah kadar glukosa darah
puasa (true glucose) adalah 60 mg%, dengan dasar tersebut maka penurunan kadar
glukosa darah di bawah 60 mg% disebut sebagai hipoglikemia. Pada umumnya
gejala-gejala hipoglikemia baru timbul bila kadar glukosa darah lebih rendah dari
45 mg%.1

Epidemiologi
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien Diabetes mellitus (DM) maupun bukan
pasien DM. pada pasien DM, hipoglikemia dapat terjadi pada mereka yang
menggunakan obat insulin maupun obat anti diabetes oral (sulfonil urea). Di
Negara barat, dimana banyak pasien IDDM (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus), hipoglikemia lebih sering terjadi pada pasien DM yang menggunakan
insulin daripada yang mengunakan sulfonilurea. Laporan dari Inggris
menunjukkan insidensi hipoglikemia sebesar 19/1000 pasien/tahun pada pasien
yang menggunakan sulfonilurea dan 4,2/1000 pasien/tahun perlu dirawat di rumah
sakit. Kematian akibat hipoglikemia pada pasien yang menggunakan insulin di
Inggris adalah 0,2/1000 pasien/tahun, sedangkan yang menggunakan sulfonilurea
di Swedia adalah 0-0,33/1000pasien/tahun. Laporan kejadian di Indonesia sendiri
belum banyak. Hipoglikemia di Indonesia didapatkan baik pada pasien yang
mendapat insulin maupun sulfonilurea, sedangkan kematian hanya didapatkan
pada pasien yang mendapat sulfonilurea. Keadaan ini sangat berbeda dengan di
Negara barat mungkin karena jumlah pasien DM di Indonesia sedikit.1

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 4

Etiologi
Jika bukan karena hipoglikemia, tentunya diabetes akan sangat mudah
untuk disembuhkan dengan pemberian insulin yang cukup (atau obat2an lain yang
efektif) untuk menurunkan konsentrasi glukosa plasma ke nilai normal. Tetapi
karena pengganti insulin ini kurang sempurna, seseorang dengan DM tipe 1 sangat
rentan akan resiko hiperinsulinemia dengan hasilnya yaitu hipoglikemia. Siapapun
yang berhasil menurunkan kadar glukosa mendekati normal pasti pernah
mengalami hipoglikemia dengan atau tanpa gejala tiap minggunya. Beberapa
pasien pernah mengalami suatu serangan hipoglikemia berat yang berulang,
seringnya dengan gejala seizure, atau koma dalam satu tahunnya.

dikutip dari 4

Hipoglikemia jarang ditemukan pada DM tipe 2, tetapi tetap muncul pada


seseorang dengan pengobatan insulin atau sulfonylurea.
Hipoglikemia biasanya diklasifikasikan sebagai postprandial atau puasa.
Bagaimanapun, di lingkungan klinik, hipoglikemia biasa seringnya terjadi pada
pengobatan untuk diabetes. Maka dari itu, hipoglikemia pada DM dipikirkan lebih
dahulu sebelum memikirkan penyebab lain dari hipoglikemia.

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 5

Pada pasien DM hipoglikemia dapat terjadi karena terapi insulin atau


sulfonilurea. Kadang-kadang pada pasien DM stadium dini timbul gejala
hipoglikemia beberapa jam setelah makan. Memang pasien DM dini kadang-
kadang menunjukkan penurunan glukosa darah pada jam ke-4 pada tes toleransi
glukosa, tetapi pola ini tidak berbeda dengan hipoglikemia asimptomatik pada
orang sehat. Beberapa faktor yang memudahkan terjadinya hipoglikemia pada
pasien DM yang mendapat pengobatan insulin/sulfonilurea adalah pemasukkan
makanan yang terlambat atau menurun, kesalahan dosis obat, latihan jasmani yang
berlebihan, perpindahan tempat suntikkan insulin (dari lengan ke dinding perut),
kebutuhan insulin dan sulfonilurea yang menurun (neuropati, penyakit hati,
persalinan, penyembuhan dari infeksi/stress, hipotiroidisme), pemberian obat-obat
lain yang berefek hipoglikemia, gastroparesis diabetic.
Sampai saat ini pemberian insulin masih belum sepenuhnya dapat
menirukan pola sekresi insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan kadar
glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai puncak sesudah 1 jam. Bahkan
insulin yang bekerjanya paling cepat bila diberikan subkutan belum mampu
menirukan kecepatan peningkatan kadar puncak tersebut dan berakibat
menghasilkan puncak konsentrasi insulin 1-2 jam sesudah disuntikkan. Oleh sebab
itu pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai
waktu makan yang berikutnya. Oleh sebab itu waktu dimana resiko hipoglikemia
paling tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan malam hari.
Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin, dan sebagian besar
pasien yang mendapat sulfonilurea, pernah mengalami keadaan dimana kadar
insulin di sirkulasi tetap tinggi sementara kadar glukosa darah sudah dibawah
normal. Untuk menghindarkan timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu
diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah
makanan (karbohidrat), pengaruh aktifitas jasmani terhadap kadar glukosa darah,
tanda-tanda hipoglikemia dan cara penanggulangannya.

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 6

Berikut faktor-faktor yang merupakan predisposisi timbulnya hipoglikemia :

Faktor yang merupakan Predisposisi atau Mempresipitasi Hipoglikemia


Berbagai factor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi hipoglikemia adalah :
1. Kadar insulin berlebihan
 Dosis berlebihan : kesalahan dokter, farmasi, pasien; ketidaksesuaian dengan
kebutuhan pasien atau gaya hidup; deliberate overdose (factitious hipoglicemia)
 Peningkatan bioavailibilitas insulin : absorbsi yang lebih cepat (aktifitas jasmani),
suntik di perut, perubahan ke human insulin; antibody insulin; gagal ginjal
(clearance insulin berkurang); “honeymoon” periode
2. Peningkatan sensitifitas insulin
 Defisiensi hormone counter-regulatory : penyakit Addison; hipopituitarisme
 Penurunan berat badan
 Latihan jasmani, postpartum; variasi siklus menstruasi
3. Asupan karbohidrat kurang
 Makan tertunda atau lupa, porsi makan kurang
 Diet slimming, anorexia nervosa
 Muntah, gastroparesis
 Menyusui
4. Lain-lain
 Absorpsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
 Alcohol, obat (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonylurea; penyekat β
non-selektif; pentamidin)

dikutip dari 2

Patogenesis
Untuk memahami patogenesis hipoglikemia perlulah meninjau kembali
mengenai homeostasis glukosa dan energi tubuh. Pada waktu makan (absorptive)
cukup tersedia sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan energi tersebut
akan disimpan sebagai makromolekul, karena itu fase ini dinamakan sebagai fase

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 7

anabolik. Hormon yang berperan adalah Insulin. 60 % dari glukosa yang diserap
usus dengan pengaruh insulin akan disimpan di hati sebagai glikogen, sebagian
lagi akan disimpan di jaringan lemak dan otot juga sebagai glikogen. Sebagian
lain dari glukosa tersebut akan mengalami metabolisme anaerob maupun aerob
untuk memperoleh energi yang digunakan seluruh jaringan tubuh terutama otak.
Sekitar 70 % dari seluruh penggunaan glukosa berlangsung di otak. Berbeda
dengan jaringan lain, otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai
sumber energy.1
dikutip dari 4

Pencernaan dan penyerapan protein akan menimbulkan peninggian asam


amino di dalam darah yang dengan bantuan insulin akan disimpan di hati dan otot
sebagai protein. Lemak diserap dari usus melalui saluran limfe dalam bentuk
kilomikron yang kemudian akan dihidrolisasi oleh lipoprotein lipase dan terjadilah
asam lemak. Asam lemak ini akan mengalami esterifikasi dengan gliserol dan

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 8

terbentuklah trigliserida yag akan disimpan di jaringan lemak. Proses tersebut


berlangsung dengan bantuan hormon insulin.1

dikutip dari 5

Pada waktu sesudah makan (post absorptive) atau sesudah puasa 5-6 jam,
kadar glukosa darah mulai turun, keadaan ini menyebabkan sekresi insulin juga
menurun, sedangkan hormon kontra regulator yaitu glukagon, epinefrin, kortisol
dan hormon pertumbuhan akan meningkat. Terjadilah keadaan sebaliknya
(katabolic) yaitu sintesis glikogen, protein dan trigliserida akan menurun
sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan meningkat.1
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam keadaan post absorptive
(puasa) terjadi penurunan insulin dan kenaikan hormone kontra regulator.
Keadaan tersebut akan menyebabkan penurunan penggunaan glukosa di jaringan
insulin sensitive dan dengan demikian glukosa yang jumlahnya terbatas hanya
disediakan untuk jaringan otak.1

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 9

Selama homeostasis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak


akan terjadi. Hipoglikemia terjadi karena ketidakmampuan hati memproduksi
glukosa. Ketidakmampuan hati tersebut dapat disebabkan karena penurunan bahan
pembentuk glukosa, penyakit hati atau ketidakseimbangan hormonal. Kenaikan
penggunaan glukosa di perifer tidak menimbulkan hipoglikemia selama hati masih
mampu mengimbangi dengan menambah produksi glukosa.1

dikutip dari 6

PROTEKSI FISIOLOGIS MELAWAN HIPOGLIKEMIA2


Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada
kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula
meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain
meningkatkan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga menyebabkan

lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol,

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 10

hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan baku
glukoneogenesis di hati.
Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, yang pada
keadaan tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Pada keadaan
hipoglikemia yang berat, walaupun kecil hati juga menunjukkan kemampuan
otoregulasi.
Kortisol dan growth hormone berperan pada keadaan hipoglikemia yang
berlangsung lama, dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak
dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hormone
(panhipopituitarisme) dan kortisol (penyakit Addison) pada individu menimbulkan
hipoglikemia yang umumnya ringan.
Bila sekresi glucagon dihambat secara farmakologis, pemulihan kadar
glukosa setelah hipoglikemia yang diinduksi insulin berkurang sekitar 40%. Bila
sekresi glucagon dan epinefrin dihambat sekaligus, pemulihan glukosa tidak
terjadi.
Sel β pancreas terhadap hipoglikemia adalah dengan menghambat sekresi
insulin dan turunnya kadar insulin di dalam sel β berperan dalam sekresi glucagon
oleh sel α.

Manifestasi klinis
Gejala dari hipoglikemia bisa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
neuroglycopenic dan neurogenic (autonomic) responses. Gejala
Neuroglikopenik merupakan hasil langsung dari berkurangnya glukosa di susunan
system saraf pusat. Gejalanya meliputi perubahan tingkah laku, bingung, fatigue,
seizure, kehilangan kesadaran, dan apabila hipoglikemia terjadi lebih lanjut dan

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 11

lebih lama, akan menimbulkan kematian. Hipoglikemia yang mengaktivasi respon


otonom meliputi gejala-gejala adrenergic seperti palpitasi, tremor, ketakutan, rasa
lapar, mual, berkeringat, dan parestesi. Gejala-gejala adrenergik ini di mediasi
oleh pelepasan norepinefrin dari saraf postganglion simpatis dan pelepasan
epinefrin dari medula adrenal. Peningkatan keringat di mediasi oleh saraf simpatis
kolinergik.1,3

Pada
individu yang
mengalami

hipoglikemia, respon fisiologis terhadap penurunan glukosa darah tidak hanya


membatasi makin parahnya perubahan metabolisme glukosa, tetapi juga
menghasilkan berbagai keluhan dan gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien
dan keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut sebagai episode
hipoglikemia dan dapat segera melakukan tindakan-tindakan koreksi dengan
memberikan glukosa oral atau bentuk karbohidrat oral “refined” yang lain.
Kemampuan mengenal gejala awal sangat penting bagi pasien diabetes yang
mendapat terapi insulin yang ingin mencapai dan mempertahankan kadar glukosa
darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman keluhan yang menonjol

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 12

diantara pasien maupun pada pasien itu sendiri pada waktu yang berbeda.
Walaupun demikian pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola tertentu,
sesuai dengan komponen fisiologis dan respon fisiologis yang berbeda.2

KELUHAN DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA AKUT YANG SERING DIJUMPAI PADA PASIEN
DIABETES
Otonomik Neuroglikopenik Malaise
Berkeringat Bingung (confusion) Mual
Jantung berdebar Mengantuk Sakit kepala
Tremor Sulit berbicara
Lapar Inkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
parestesi
dikutip dari 2

Pada pasien diabetes yang masih relatif baru, keluhan dan gejala yang
terkait dengan gangguan sisitim saraf otonomik seperti palpitasi, tremor, atau
berkeringat lebih menonjol dan biasanya mendahului keluhan dan gejala disfungsi
serebral yang disebabkan oleh neuroglikopeni, seperti gangguan konsentrasi atau
koma. Sakit kepala dan mual mungkin bukan merupakan keluhan malaise yang
khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan otonomik cenderung
berkurang atau menghilang. Hal tersebut dapat menunjukkan kegagalan yang
progresif aktivasi sistem saraf otonomik.2

Diagnosis

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 13

Pada pasien DM yang mendapat insulin atau sulfonilurea diagnosis


hipoglikemia ditegakkan bila didapatkan gejala-gejala yang disebut diatas.
Keadaan tersebut dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Bila
gejalanya meragukan sebaiknya diambil dulu darah untuk pemeriksaan
glukosanya. Bila dengan pemberian suntikkan bolus dekstrosa pasien yang semula
tidak sadar kemudian menjadi sadar, maka dapat dipastikan koma hipoglikemia.
Sebagai dasar diagnosis dapat digunakan Trias Whipple :
1) Hipoglikemia dengan gejala-gejala saraf pusat, psikiatrik atau vasomotorik
2) Kadar glukosa darah kurang dari 50 mg%
3) Gejala akan menghilang dengan pemberian gula.1

Penatalaksanaan
Hipoglikemia merupakan komplikasi DM yang sering terjadi, Karena itu
edukasi penderita mengenai gejala-gejala awal hipoglikemia dan cara
mengatasinya perlu diberikan. Pengobatan hipoglikemia harus secepatnya
dilakukan, bila pasien masih sadar, tindakan tersebut dilakukan oleh pasien sendiri
yaitu dengan minum larutan gula 10-30 gram. Pasien yang tidak sadar perlu
permberian suntikkan bolus dekstrosa 15-25 gram. Bila suntikkan tersebut belum
dapat dilakukan, dapat dilakukan tindakan mengoleskan madu atau sirup pada
mukosa pipi. Sebelum suntikan dekstrosa, darah diambil dulu untuk pemeriksaan
kadar glukosa darah. Bla dengan suntikan dekstrosa tersebut pasen menjadi sadar
maka pasti hipoglikemia, tetapi bila pasien belum sadar, kadar glukosa darahnya
perlu diperiksa untuk evaluasi lebih lanjut.
Bila hipoglikemia tersebut terjadi pada pasien yang mendapat terapi
insulin, maka selain penggunaan dekstrosa dapat juga digunakan suntikan
glucagon 1 mg IM, lebih-lebih bila suntikan dekstrosa IV sulit dilakukan.
Koma hipoglikemia yang terjadi pada penderita yang mendapat
sulfonylurea sebaiknya dirawat di rumah sakit. Walaupun pasien sudah sadar
sesudah pemberian bolus dekstrosa, tetapi pemberian dekstrosa harus diteruskan
dengan infuse dekstrosa 10% selama ± 3 hari. Bila tidak dilanjutkan dengan inuse
dekstrosa ada resiko pasien akan jatuh dalam keadaan koma lagi. Monitor glukosa
darah setiap 3-6 jam sekali dan kadarnya dipertahankan sekitar 90-180 mg%.
hipoglikemia karena sulfonylurea ini tidak efektif dengan pemberian suntikan

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 14

glucagon, malahan dapat memperburuk keadaan karena glucagon dapat memacu


pengeluaran insulin dan sulfonylurea sendiri yang menghambat enzim yang
berguna untuk glikogenolisis.1,2

dikutip dari 5

Sebagian kecil pasien hipoglikemia tidak berespon terhadap pengobatan


tersebut diatas dan tetap tidak sadar, walaupun kadar glukosa darahnya sudah di

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 15

atas normal. Pada pasien ini biasanya terjadi edema serebri dan perlu mendapat
pengobatan dengan manitol atau deksametason. Dosis manitol 1,5-2 gram/KgBB
diberikan setiap 6-8 jam. Dosis deksametason 10 mg bolus dilanjutkan 2 mg
setiap 6 jam. Disamping itu harus dicari kemungkinan penyebab lain koma
(keracunan obat, perdarahan otak, dan sebagainya). Pasien tetap mendapat infuse
dekstrosa 10%, dan glukosa darah dipertahankan sekitar 180 mg%. hindari
fluktuasi kadar glukosa darah yang besar karena akan memperjelek edema serebri.
Bila koma berlangsung lama, perlu pemberian insulin dosis kecil. Pasien sering
masih dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama dalam keadaan koma ini,
tetapi makin lama pasien koma makin besar kemungkinan terjadinya kerusakan
jaringan otak.1

Prognosis
Kematian akibat hipoglikemia jarang terjadi. Kematian dapat terjadi
karena keterlambatan mendapat pengobatan, terlalu lama dalam keadaan koma
sehingga terjadi kerusakan jaringan otak. Kemungkinan lain pasien peminum
alcohol dan saat terjadi hipoglikemia dia dalam keaadan mabuk sehingga tidak
dapat mengatasi keadaan gawat tersebut. Disamping itu alcohol menekan
glukoneogenesis. Hipoglikemia yang terjadi saat pasien mengemudikan kendaraan
dapat menyebabkan kecelakaan yang berakibat fatal.1

BAB III
KESIMPULAN

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 16

Hipoglikemia secara harfiah berarti kadar glukosa di bawah harga normal. 2


Yang bisa didefinisikan bila kadar glukosa plasma <2.5 – 2.8 mmol/L (<45-50
mg/dL). Laporan kejadian di Indonesia sendiri belum banyak. Hipoglikemia di
Indonesia didapatkan baik pada pasien yang mendapat insulin maupun
sulfonilurea, sedangkan kematian hanya didapatkan pada pasien yang mendapat
sulfonylurea. Pada pasien DM hipoglikemia dapat terjadi karena terapi insulin
atau sulfonylurea. Beberapa faktor yang memudahkan terjadinya hipoglikemia
pada pasien DM yang mendapat pengobatan insulin/sulfonilurea adalah
pemasukkan makanan yang terlambat atau menurun, kesalahan dosis obat, latihan
jasmani yang berlebihan, perpindahan tempat suntikkan insulin (dari lengan ke
dinding perut), kebutuhan insulin dan sulfonilurea yang menurun (neuropati,
penyakit hati, persalinan, penyembuhan dari infeksi/stress, hipotiroidisme),
pemberian obat-obat lain yang berefek hipoglikemia, gastroparesis diabetik.
Hipoglikemia terjadi karena ketidakmampuan hati memproduksi glukosa.
Ketidakmampuan hati tersebut dapat disebabkan karena penurunan bahan
pembentuk glukosa, penyakit hati atau ketidakseimbangan hormonal.
Gejala dari hipoglikemia bisa dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
neuroglycopenic dan neurogenic (autonomic) responses.
Hipoglikemia akut harus segera diterapi dengan pemberian glukosa oral
10-30 gram. Bila glukosa oral tidak dapat diberikan, pemberian glucagon 1 mg IM
75-100 ml larutan glukosa IV 20% merupakan terapi yang efektif.
Kematian akibat hipoglikemia jarang terjadi. Kematian dapat terjadi
karena keterlambatan mendapat pengobatan, terlalu lama dalam keadaan koma
sehingga terjadi kerusakan jaringan otak.

DAFTAR PUSTAKA

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS


Referat Hipoglikemia pada Diabetes Melitus 17

1) Wiyono, P. Hipoglikemia pada pasien Diabetes Melitus. Buku ajar ilmu


penyakit dalam. Jilid II. Ed III. Jakarta, Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1996. p; 616-21.
2) Wahono Soemadji, Djoko. Hipoglikemia Iatrogenik. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Ed IV. Jakarta, Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2006. p: 1892-95.
3) Cryer, Philip. Hypoglycemia. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Volume II. 16th Edition. United States of America, Medical Publishing
Division, McGraw-Hill: 2005. P: 2180-85.
4) Jeffman, MD. Hypoglicemia. Diunduh dari
www.jeffmann.net/NeuroGuidemaps/hypoglycemia.html Tanggal 26 Februari
2008.
5) Muir, Andrew, MD. Hypoglicemia. Diunduh dari
www.mcg.edu/pediatrics/pedsendo/hypoglicemia.htm. Tanggal 26 Februari
2008.
6) Okoye, Ikedi-Ani. Diabetes Resources. Diunduh dari
www.insightempire.com/diabetes/ Tanggal 26 Februari 2008.
7) Craig, Gloria, MD. Diabetes and the Native American Elder. South Dakota
State University. Diunduh dari www.maverick.sdstate.edu/users/nursing.
Tanggal 26 Februari 2008.

Kepaniteraan Departemen Penyakit Dalam RSPAD GS

Anda mungkin juga menyukai