Anda di halaman 1dari 25

Terapi Non Spesifik

Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bermanfaat hampir

pada semua kasus, melalui cara-cara seperti memasu muntah, bilas lambung, dan

memberikan zat absorben. Cara lain adalah mempercepat eliminasi dengan

pengasaman dan pembasaan urin atau hemodialisis.

a. Menghambat absorpsi zat racun

Menghambat absorpsi zat racun dapat dilaksanakan dengan beberapa cara

antara lain dengan membersihkan atau mencuci kulit yang terkontaminasi

zat toksik, mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah absorpsi, dan

memberikan pencahar. Mencuci kulit dilakukan dengan air mengalirkan

dan jika zat mengenai pakaian, pakaiannya ditanggalkan. Zat toksik yang

sudah masuk ke dalam lambung dapat dilakukan dengan pembarian norit

(arang aktif), memuntahkan atau memberi pencahar atau bilas lambung.

1. Pemberian arang aktif (norit)

Arang aktif diberikan pada kasus keracunan karena dapat

mengabsorpsi zat racun atau toksin dalam saluran pencernaan. Lenih

dini norit diberikan akan lebih efektif hasilnya. Norit masih efektif

hingga 2 jam drai racun tertelan dan lebih lama lagi pada keracunan

obat sediaan lepas lambat atau keracunan obat-obat yang bersifat

kolinergik. Karbon aktif relatif aman dan dosisnya sangat tergantung

dari jumlah zat toksik yang tertelan. Dosis minimumnya adalah 30

gram. Dosis pada orang dewasa adalah 50 g dapat diulang setiap 4-6

1
jam. Pemerian dosis berulang juga bermanfaat mempercepat eleminasi

zat toksik yang sudah terabsorpsi.

Karbon aktif dapat menyerang zat zat seperti salisilat, acataminophen,

karbamazepin, dapson, teofilin, quinin, dan obat-obat anti depresan.

Pemebrian karbon aktif dapat dikombinasikan dengan bilas lambung

atau katartik, tetapi tidak dengan sirup ipekak atau susu karena akan

mengurangi efektifitasnya.

2. Mengeluarkan racun dari lambung

Pengeluaran zat racun dari lambung harus mempertimbangkan yang

tertelan, tingkat keracunan dan berapa lama zat racun tertelan.

Pengosongan lambung tidak berguna jika resiko dari keracunan kecil

atau pasien sudah datang terlambat. Pengosongan dengan bilas

lambung diragukan kegunaannya bila dilakukan lebih dari 1-2 jam

setelah racun tertelan. Bahaya dari bilas lambung adalah teraspirasinya

isi lambung, karena itu tidak boleh dilakukan pada pasien yang

mengantuk atau koma kecuali jika reflek batuk sangat baik atau

saluran napas dapat dilindungi dengan pipa endotrakea. Pipa lambung

tidak boleh dimasukkan pada keracunan zat korosif.

Produk petroleum lebih berbahaya di dalam paru-paru dibandingkan di

lambung, karena itu pencucian lambung tidak dianjurkan karena ada

resiko terhirup. Dengan berbagai pertimbangan, bilas lambung

umumnya tidak praktis dan jarang diperlukan, kecuali di rumah sakit.

2
Memuntahkan isi perut dengan pemberian ipecacuanha telah dipakai

baik pada orang dewasa atau anak-anak, tetapi sangat terbatas

kegunaannya. Tidak terbukti bahwa ipecacuanha megurangi

penyerapan secara bermakna (walaupun digunakan 1-2 jam) dan efek

sampingnya dapat menyulitkan penegakan diagnosa terutam pda

keracunan zat besi. Pemberian ipecacuanha hanya boleh

dipertimbangkan bila pasien sadar sepenuhnya, atau bila zat racun

yang tertelan tidaj korosif dan produk petroleum atau tidak dijerap

dangan arang aktif.

3. Pemberian katartik/pencahar

Pencahar digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari

saluran gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah

mencapai usus halus. Pemberian sorbitol direkomendasikan pada

penderita yang tidak ada gangguan jantung. Magnesium sulfat dapat

digunakan pada penderita yang tidak ada gangguan ginjal.

Pemberian magnesium sulfat sering kali diberiakan setelah pemberian

arang aktif sebagiamana dijelaskan sebelumnya. Dosis oral yang sering

dipakai adalah 5-15 g yang diberikan dengan segelas air. Efek

katartiknya dimulai dari 0,5-2 jam setelah pemerian. Magnesium sulfat

dikontraindikasikan pada pasien obstruksi usus, mual, muntah dan

gangguan ginjal. Jika pemberian obat ini diperpanjang, kondisi pasien

harus dipantau kemungkinannya terjadi dehidrasi dan ketidak

seimbangan elektolit.

3
b. Mempercepat eliminasi

Kecepatan eliminasi akan mempengaruhi jumlah obat yang berada di sel

sasaran dalam melampaui nilai KTMnya. Percepatan eleminasi dapat

dilakukan dengan cara meningkatkan ekskresi melalui pengasaman atau

pembasaan urin dan diuresis paksa. Pengasaman urin (menurunkan pH

urin) dengan memberikan zat seperti ammonium klorida atau vitamin C

akan mengurangi reabsorpsi zat atau obat yang bersifat basa lemah seperti

amfetamin. Sebaliknya pembasaan urin melalui pemberian natrium

bikarbonat akan mengurangi reabsorpsi pada obat / zat yang bersifat asam

lemah seperti aspirin dan fenobarbital. Pengurangan reabsorpsi tubulus

terjadi karena pengasaman / pembasaan urin tersebut di atas akan

meningkatkan derajat ionisasi di tubulus sehingga akan mengurangi

reabsorpsi.

Hemodialisis adalah salah satu cara untuk mempercepat eleminasi suatu

zat dan mengembalikan keseimbangan elektrolit. Cara ini efektif jika

zatnya sudah terabsorpsi dan berada pada cairan sistemik dan tidak

mempunyai volume distribusi terlalu beras atau obat tidak terdistribusi

secara ekstentif pada jaringan. Salisilat, methanol, etilen glikol, paraquat

dan litiumeleminasinya dapat efektif ditingkatkan dengan cara

hemodialisis.

2.4 Terapi Spesifik

Terapi antidotum spesifik adalah terapi antidotum yang hanya efektif

untuk zat-zat tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan dalam

4
klinik. Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum yang spesifik

dikelompokan menjadi : antidotum yang bekerja secara kimiawi, bekerja secara

farmakologi dan yang bekerja secara fungsional.

a. Antidotum yang bekerja secara kimiawi

Contoh paling sederhana dari antidotum jenis ini adalah penggunaan zat

pembentuk kelat. Penggunaan antidotum jenis ini akan menyebabkan

terjadinya reaksi antara abtidotum dengan zat toksik membentuk suatu

produk yang kurang toksik dan mudah dieksresikan. Ada banyak contoh

zat pembentuk kelat yang sering digunakan seperti untuk keracunan

logam-logam berat ; cobalt-containing cyanide untuk keracunan cyanide

dan fab-fragment untuk keracunan digoksin.

a. Zat-zat pembentukan kelat

Zat pembentuk kelat biasanya mengandung dua atau lebih gugus

elektronegatif yanf membentuk ikatan kovalen komplek stabil dengan

logam-logam atau kation menghasilkan zat komplek yang kurang

toksik daripada logam berat bebas atau membatasi logam-logam berat

untuk berikatan dengan tempat kerjanya sehingga mudah tereleminasi.

Dalam semua keadaan semua proses diatas akan memberikan

kontribusi dari effektifitas antidotum. Semakin banyak ikatan ligan

terbentuk, semakin stabil ikatan komplek yang terjadi dan semakin

efisien proses chelatornya. Zat-zat kelat umunya mempunyai gugus-

gugus fungional seperti –OH, -SH dan –NH yang akan berkompetisi

5
logam-logam pada tempat ikatannya pada protein sel. Contoh zat-zat

chelator adalah :

1) Dimercaprol (British anti-lewisite, atau BAL)

 Zat mirip minyak, tidak berwarna, bau tidak enak

(busuk). Pemerian umumnya melalui injeksi im 10%

dalam minyak kacang

 Bereaksi dengan logam-logam berat sehingga

mencegah inaktivasi enzim-enzim yang mengandung

gugus SH. Dimercaprol paling efektif jika deberikan

segera setelah terpapar logam berat

 Berguna untuk keracunan arsen, merkuri dam timbal

 Efek samping takijardia, hipertensi, mual dan iritasi

lambung

 Sekarang tersedia 2 macam obat yang mirip dengan

dimercaprol yaitu dimercaptosuccinic acid (DMSA) dan

dimercaptopropane sulphonic acid (DMSP). Kedua zat

chelat tersebut juga mempunyai 2 gugus thiol (-SH)

tetapi lebih hirofilik. Tidak seperti dimercaprol, DMSA

dam DMPS dapat diberikan secara oral dan mempunyai

indek terapi yang lebih besar

2) EDTA (etilendiamin tetra asetat)

 Efektif untuk logam-logam transisi, oleh karena itu

EDTA juga membentuk kelat dengan Ca tubuh

6
 EDTA diberikan dalam bentuk injeksi im atau iv dalam

bentuk garamnya, Na atau Ca

 Dieksresi melalui filtrasi glomelurus

 Digunakan terutama pada keracunan Pb

 Pada dosis tinggi bersifat neprotoksik terutama pada

tubulus renal

3) Penisilamin (Cuprin)

 Enyawa mirip dengan pinisilamin

 Sangat baik diabsorpsi pada saluran pencernaan

 Toksik pada sumsum tulang belakang dan ginjal adalah

efek yang paling merugikan

 Biasanya digunakan untuk keracunan Cu pada individu

yang menderita penyakit Wilson’s. Kelebihan Cu akan

toksik pada herpa dan CNS

 Penisilamin juga digunakan pada keracunan Cu juga Hg

serta sebagai tambhan untuk terapi keracunan Pb dan

arsen

4) Deferoksamin

 Spesifik membentuk kelat dengan logam besi, dengan

ion feri membentuk feroxamin. Defaroxamin dapat

mingikat zat besi dari feritin dan homosiderin, tetapi

tidak dapat menarik zat besi dari hemoglobin, sitokrom

dan mioglobin.

7
 Pemerian infus secara cepat dapat menimbulkan shok

hipotensi karena memacu pelepasan histamin.

Deferoksamin dapat juga diberikan melalui injeksi im

 Deferoksamin dimetabolisme dan diekskresi melalui

ginjsl dan menyebabkan urin berwarna merah

 Dapat menyebebkan neurotoksik atau toksik pada

ginjal. Dikonraindikasikkan pada pasien dengan

gangguan ginjal

5) Trientin (cuprid)

 Membentuk chelat dengan Cu

 Terapi terbatas untuk penyakit Wilson’s pada individu

yang tidak dapat mentolerir penisilamin

b. Fab Fragment

Antiserum telah lama digunakan untuk pengobatan keracunan toksin

yang berasal dari botulimus atau ular. Secara teoritis pendekatan

seperti ini diadopsi untuk pengobatan keracunan. Fab fragment adalah

suatu antibodi monoklonal dapat mengikat digoksin dan mempercepat

ekskresinya melalui filtrasi glomelurus

c. Dikobaltedet dan Hidrokobalamin

Telah lama diketahui bahwa logam-logam transisi dapat membentuk

dengan sianida yang stabil dan bersifat non toksik. Disamping logam-

logam transisi, hidrokobalamin (vitamin B12a) juga telah terbukti

efektif untuk dikobalt edetat, digunakan hanya menjelang pasien

8
kehilangan kesadaran atau sudah kehilangan kesadarn, bukan untuk

tindakan pencegahan. Cobalt edetat diberikan melalui injeksi iv 300

mg (20 ml) dalam 1 menit (5 menit jika kondisi tidak berat) disusul

dengan 50 ml infus glukosa 50% jika tidak menunjukkkan perbaikan

yang memadai. Jika ada perbaikan setelah 5 menit boleh diberikan

dosis ke 2. Pemberian Na-nitrit yang diikuti dengan pemberian Na-

tiosulfat juga dapat digunakan untuk keracunan sianida

d. Detoksifikasi enzimatik

Detoksifikasi enzimatik dapat delakukan dengan dua jalur, dengan

memberikan kosubtrat pada reaksi yang terjadi dan memberikan enzim

dari luar nmempercepat metabolisme zat racun

1). Etanol

Etanol dapat digunakan untuk keracunan methanol atau etilen

glikol. Metanol dan etilenglikol dalam tubuh akan mengalami

oksidasi olehg enzim alkoholdehidrogenase menghasilkan

formaldehid dan asam format. Pemberian etanol akan

menyebabkan kompetisi dengan methanol atau etilenglikol dalam

memperebutkan enzim alkohol dehidrogenase. Hasil reaksi antara

etanol dengan enzim alkohol dehidrogenase adalah asam asetat

9
yang relatif tidak toksik dan mudah dieksresikan dibandingkan

dengan formaldehid dan asam format

2). Atropin dan Pralidoksin

Keracunan pestisida organofosfat dan carbamat dapat

menyebabkan timbulnya perangsangan kolinergik yang berlebihan.

Gejala yang timbul seperti cemas, gelisah, pusing, sakit kepala

miosis, mual, hipersaliva, muntah kolik andomen, diare,

brandikardi, dan berkeringat, lemah otot menyebabkan paralisis

umum (lemas) termasuk otot mata atu pernapasan

Gejala diatas dapat terjadi karena pestisida dapat mengikar enzim

asetil kolinesterasa yang berfungsi untuk menguraikan asetilkolin

menjadi aseil Co A dan kolin. Menyebabkan jumlah asetil kolin

berlebih sehingga timbul perangsangan parasimpatik (kolinergik)

yang berlebih pula (ingat asetilkolin adalah neorotransmiter sistem

saraf parasimpatik). Atropin adalah suatu antikolinergik yang

bekerja berlawanan dengan asetilkolin. Atropin diberikan dalam

bentuk garamnya (atropin sulfat) dengan dosis 2 mg melalui injeksi

(iv, im), pemberian dapat diulang tergantung pada tingkat

keparahan, setiap 20-30 menit hingga kulit kelihatan memerah dan

kering, pupil dilatasi dan timbul takikardia.

Pralidoksim adalah suatu reaktivator kolinesterase yang biasanya

ditambahkan pada atropin sulfat pada keracunan pestisida sedang

hingga berat. Dosis umumnya sebesar 30 mg / Kg BB dilarutkan

10
dalam 10-50 ml air, diberikan melalui injeksi iv perlahan-lahan.

Pada kasus keracunan yang berat, pemberian dapat di ulang.

Dengan cara yang sama, fisotigmin dapat digunsksn untuk

keracunan atropin. Sifat fisostigmin sebagai antikolinesterase dapat

menyebabkan akumulasi asetilkolin sehingga akan melawan efek

antikolinergik yang berlebihan dari atropin.

3). N-asetilsistein dan Metionin

Pada keracunan parasetamol (asetaminofen), toksisitas terjadi

karena parasetamol dimetabolisme menjadi N-acetyl-p-

benzoquinoneimine (NABQI). Pada dosis normal, parasetamol tidak

berbahaya karena tidak dimetabolisme menjadi NABQI, dan hanya

pada over dosis terbentuk NAQBI. NAQBI dapat menyebabkan

kerusakan sel terutama sel herpa, sehingga akan meningkatkan enzin

intraseluler SGPT dan SGOT. Asetilsistein suatu obat dapt diberikan

dengan NABQI membentuk senyawa non toksik.

Metionin dalam tubuh akan mengelami metabolisme homosistein

berfungsi sebagai donor sulfur untuk diikat oleh NABQI sehingga

dapat sebagai alternatif asetil siistein.

b. Antidotum yang bekerja secara farmakologi

Antidotum farmokologi adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan

zat toksik, bekerja pada reseptor yang sama atau berbeda.

1. Nalokson hidroklorida

11
Keracunan opioid dapat menyebabkan koma, depresi pernapasan,

brandikardi, depresi pernapasan dan pupil mengecil (pint point).

Nalokson adalh antagonis opioid yang bekerja pada reseptor yang

sama sehingga berkompetisi dalam memperebutkan reseptor opioid.

Karena kerja dari naloksaon sangat singkat, maka diperlukan

pemberian berulang sesuai dengan frukuensi nafas dan kedalaman

koma. Alternatif lain, nalokson dapat diberikan melalui infus yang

kecepatannya dapat diatur sesuai respon yang diinginkan. Dosis

pemberian inj iv adalaj 0,8-2 mg dapat diulang setiap 2-3 mnit sampai

dosis maksimal 10 mg

2. Flumazamil

Flumazamil adalah suatu antagonis benzodiazepin. Benzodiazepin

sebagai obat tunggal (besar) dapat menyababkan mengantuk, ataksia,

disatria dan kadang-kadang depresi. Obat-obat golongan

benzodiazepin bersifat sinergis dengan obat depresan lain jika

diminum bersamaan. Flumazamil juga dapat digunakan untuk diagnosa

dalam memastikan adanya keracunan yang penyebabnya tidak jelas.

Analisa atau nasehat ahli sangat penting dalam pemberian obat ini

karena dapat manyebabkan konvulsi pada pasien yang ketergantungan

obat-obat benzodiazepin seperti diazepam, nitrazepam atau lorazepam.

3. Oksigen

12
Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan keracunan karena

kemampuannya dalam mengikat homoglobin (Hb) dan membentuk zat

kompek yang tidak dapat berfungsi mengikat oksigen lagi. Afinitas

ikatan Hb dengan CO 200 kali lebih kuat dibandngkan ikatan Hb

dengan oksigen. Namun dengan pemberian oksigen dalam jumlah

banyak dan murni dapat mendesak ikatan Hb-CO dan menggantikan

posisi CO kembali ke oksigen.

c. Antidotum yang bekerja sebagai antagonis fungsional

Antidotum antagonis fungsional dapat juga digolongkan sebagai

antidotum non spesifik karena berguna sebagai terapi simtomatik dan

mengantagonis beberapa jenis zat toksik. Sebagai contoh penggunaan

diazepam untuk mengahambat konvulsi (kejang) dan fasciculasi yang

disebabkan zat seperti organofosfat, karbamat dan stimulan

Tabel. Daftar zat toksik beserta antidotum spesifiknya

No. Zat toksik Antidotum

1 Parasetamol N-asetil sistein

2 Arsen, Hg, Pb, Au BAL (dimercaprol)

3 Beta-bloker Glukakon

4 Benzodiazepin Flumazemil

5 CO Oksigen, hiperbaik oksigen

6 Koumarin Vit K

13
7 Sianida Nitrit dan nitrat

8 Digoksin Digoksin-fab fragment

9 Methanol dan eilen glikol Etanol

10 Heparin Promatin

11 Zat besi Deferoksiman

12 INH Piridoksin

13 Narkotika (opioid) Nalokson

14 Nitrit Metilen blue

15 Organofosfat dan karbamat Atropin, pralidoksim

2.4 Mekanisme Kerja Antidotum

 Membentuk senyawa kompleks dengan racun : dimerkaprol, EDTA,

penisilamin, dikobal edetat, pralidoksin.

 Mempercepat detoksifikasi racun : natrium tiosulfat,dll.

 Berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan reseptor : oksigen,

nalokson.

 Memblokade reseptor esensial : atropine.

 Efek antidot melampaui efek racun : oksigen, glukagon.

 Mempercepat pengeliaran racun : NaCl untuk meningkatkan pengeluaran

urin pada keracunan bromid

 Mengabsorpsi racun : karbon

 Menghambat absorpsi racun : MgSO4.

14
 Perangsang muntah : sir. Ipeca.

 Menginaktifkan racun : natrium tiosulfat, antibisa, antitoksin botulinus.

 Pengendap racun : natrium sulfat, kalsium laktat.

 Antidot universal (campuran karbon, asam tanat, MgO (1:1:2): asam ,

alkali, logam berat, glikosida.

 Antidot multiple (campuran besi sulfat, Mg S04, air, karbon) : As, opium,

Zn, digitalis, Hg, strihnin.

 Serum anti bisa ular : neurotoksis, hemotoksis.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Penanganan keracunan adalah menjaga fungsi organ dan menghindari

absorpsi lebih lanjut, mempercepat eliminasi, dan menormalkan fungsi tubuh.

b. Terapi antidotum didefinikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk

membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau menyembuhkannya sehingga

bermanfaat dalam mencegahnya timbulnya bahaya selanjutnya.

15
c. Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bermanfaat

hampir pada semua kasus, melalui cara-cara seperti memacu muntah, bilas

lambung, dan memberikan zat absorben, mempercepat eliminasi dengan

pengasaman dan pembasaan urin atau hemodialisis.

d. Terapi antidotum spesifik adalah terapi antidotum yang hanya efektif

untuk zat-zat tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan dalam

klinik. Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum yang spesifik

dikelompokan menjadi : antidotum yang bekerja secara kimiawi, bekerja secara

farmakologi dan yang bekerja secara fungsional.

3.2 Saran

Dalam kondisi telah terpapar toksik dan mengalami keracunan dapat

ditanggulangi dengan melakukan terapi antidotum

16
DAFTAR PUSTAKA

Priyanto.2014.Toksikologi, Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian

Resiko.Jakarta:Leskonfi

Aisyah.2012.Toksikologi dan Penanganan Kecarunan

Dapat diakses melalui : http://aisyah-

poetrisunda.Blogspot.com/2012/02/toksikologi-dan-penanganan-keracunan.html

17
Ayu.2013.Tugas Toksikologi Analisa Kasus

Dapat diakses melalui : http://s1farmasiayu.blogspot.com/2013/09/tugas-

toksikologi-analisis-kasus.html

TINJAUAN RINGKAS JURNAL

Gambaran Histopatologi Kerusakan Hati Mencit yang Diproteksi dengan

Air Rebusan Daun Sirih (Piper Betle Linn)

M. Yulis Hamidy, Zulkifli Malik S, Ryan Mutiara Machyar

ABSTRAK

Sirih digunakan sebagai obat tradisional oleh Indonesia. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengevaluasi efek hepatoprotektor sirih dengan pemeriksaan

18
histopatologi. Ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan acak

lengkap melalui histopatologi pemeriksaan pada tikus diinduksi dengan

parasetamol. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi 5 kelompok ( N = 5 ). Kelompok

I menerima pelet dan aqua dest, kelompok II diberi 500 mg / kg BB parasetamol,

kelompok III, IV, dan V diberi 500 mg / kg BB parasetamol menggabungkan

dengan 20 %, 40 %, dan 80% ( b / v ) dari sirih, masing-masing. Tingkat nekrosis

diperiksa dengan menghitung skor nekrosis sentrilobular. Data dianalisis

menggunakan uji Kruskal Wallis, dilanjutkan dengan Mann Whitney. Studi ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kontrol negatif dengan

kelompok lain, dan juga perbedaan yang signifikan dalam tingkat nekrosis antara

kontrol positif dan 20 %, 40 % dan 80 % dari sirih ( p < 0,05 ). Sebagai

kesimpulan, sirih memiliki efek hepatoprotektor pada tikus.

PENDAHULUAN

Gangguan fungsi hati kronik dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang

serius karena mengakibatkan terganggunya berbagai fungsi tubuh. Keadaan-

keadaan yang dapat menimbulkan gangguan hati antara lain adalah penyakit

autoimun primer (hepatitislupoid), infeksi virus, akibat obat (seperti parasetamol,

oksifenisatin, metildopa, nitrofurantoin, isoniazid,dan Iain-lain), alkoholisme, dan

defisiensi alfa-l-antitripsin. Gangguan hati yang disebabkan oleh obat dikenal

dengan hepatitis obat atau disebut juga dengan hepatitis toksik, karena kerusakan

hati yang terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik terhadap hati. Obat-obat

19
untuk mengobati gangguan fungsi hati yang diberikan selama ini hanya bersifat

simtomatik, selain itu dapat diberikan pengobatan yang bersifat suportif dan

promotif untuk menjaga kelangsungan fungsi hati. Obat-obat ini disebut dengan

hepatoprotektor, yaitu senyawa berkhasiat yang dapat melindungi sel hati dari

pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati. Salah satu tumbuhan berkhasiat

obat tersebut adalah sirih. Menurut Sidik, dkk minyak atsiri yang dikandung oleh

berbagai tumbuhan mempunyai beberapa efek farmakologis. Salah satu efek

farmakologis tersebut adalah efek hepatoprotektor. Pada penelitian ini akan diuji

bagaimana efek hepatoprotektor dari sirih, karena sirih merupakan salah satu

tumbuhan yang mengandung minyak atsiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui efek hepatoprotektor air rebusan daun sirih pada mencit jantan yang

diinduksi kerusakan hatinya dengan menggunakan parasetamol berdasarkan

pemeriksaan histopatologi.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan desain penelitian

Rancangan Acak Lengkap (RAL) . Sebagai variabel terikat dalam penelitian ini

adalah gambaran histopatologi hati mencit jantan, sedangkan sebagai variabel

bebasnya adalah konsentrasi air rebusan daun sirih. Alat-alat yang digunakan

dalam penelitian ini adalah alat untuk persiapan hewan coba yang meliputi

timbangan mencit, spuit1cc, kandang mencit, feeding tube No.SVi, wadah untuk

air dan pellet. Kemudian alat untuk persiapan bahan uji seperti pisau, kompor

20
listrik, timbangan analitik, saringan dan alat-alat gelas laboratorium. Selanjutnya

alat yang digunakan untuk membuat sediaan mikroskopis antara lain adalah minor

set, wadah hati mencit, papan fiksasi, oven, kassa, blok pencetak, reagen, lemari

es, manual microtom, kaca objek, waterbath, deckglass, dan mikroskop. Bahan-

bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air rebusan daun sirih

(PiperbetleLinn) sebagai bahan uji, parasetamol sebagai penginduksi kerusakan

hati mencit, aqua des sebagai pelarut, Carboxy Methyl Cellulose (CMC ) 2%

sebagai suspensi onagent, eter, formalin10%, aseton, parafin cair, lithium, alkohol

95%, alkohol 100%, hematoksilin eosin, gliserin, putih telur, dan entelan.

Penelitian ini menggunakan sejumlah mencit jantan Mus mus culus (20ekor),

berumur 2-3 bulan dengan bobot badan 25-35 gram. Mencit-mencit tersebut

diadaptasikan terlebih dahulu selama satu bulan, ditimbang setiap hari dan

dilakukan pengamatan terhadap tingkahlakunya. Hewan coba dapat digunakan

untuk penelitian jika bobot badannya tidak menurun lebih dari 10% bobot badan

awal. Selama penelitian mencit diberi makan pellet dan minum air putih

secukupnya. Daun sirih yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih

segar yang masih muda dan berwana hijau tua. Daun sirih dicuci bersih lalu diiris

halus. Kemudian direbus dengan aqua dest sampai mendidih. Selanjutnya dibuat

air rebusan daun sirih dengan konsentrasi 20%, 40% dan 80% (b/v) yang

kemudian diberikan secara oral kepada hewan coba. Setelah diadaptasikan selama

satu bulan, mencit dibagi menjadi lim a kelompok, masing masing terdiri atas 5

ekor. Kelompok I merupakan kelompok kontrol yang hanya mendapat pellet dan

air putih. Kelompok II merupakan kelompok hepatotoksik yang mendapat

21
parasetamol dengan dosis 500 mg/kg BB dan diberikan selama 14 hari dimulai

pada hari ke-8 sampai hari ke-21. Kelompok III merupakan kelompok perlakuan

yang mendapat 0,5 ml air rebusan daun sirih dengan konsentrasi 20% ) dan

diberikan selama 7 hari, dimulai dari hari ke-1 sampai hari ke-7 lalu dilanjutkan

dengan pemberian parasetamol 500 mg/kg BB selama 14 hari dimulai pada hari

ke-8 sampai hari ke-21. Kelompok IV merapakan kelompok perlakuan yang

mendapat 0,5 ml air rebusan daun sirih dengan konsentrasi 40% dan diberikan

selama 7 hari, dimulai dari hari ke-1 sampai hari ke-7 lalu dilanjutkan dengan

pemberian parasetamol 500 mg/kg BB selama 14 hari dimulai pada hari ke-8

sampai hari ke-21. Kelompok V merupakan kelompok perlakuan yang mendapat

0,5 ml air rebusan daun sirih dengan konsentrasi 80% dan diberikan selama 7 hari,

dimulai dari hari ke-1 sampai hari ke-7 lalu dilanjutkan dengan pemberian

parasetamol 500 mg/kg BB selama 14 hari dimulai pada hari ke-8 sampai hari ke-

21. Semua bahan-bahan dilarutkan dengan aqua dest dan diberikan secara oral

pada mencit dengan menggunakan feeding tube No.VA. Pada hari ke-21

dilakukan pengambilan hati mencit untuk diperiksa gambaran histopatologinya.

Pengambilan hati dilakukan setelah mencit dimatikan terlebih dulu dengan cara

menempatkan hewan coba ini dalam bejana berisi uap eter jenuh. Setelah mencit

mati, diletakkan pada papan fiksasi, kemudian dilakukan pembedahan untuk

mengambil hati mencit dengan menggunakan minor set. Organ hati yang baru

diangkat ditempatkan dalam wadah yang telah diberi label untuk masing-masing

kelompok, kemudian ditambahkan formalin 10% buffer kira-kira sampai seluruh

organ terendam dan segera ditutup rapat. Setelah itu sampel hati mencit tersebut

22
dibawa ke Laboratorium Patologi Anatomi untuk pembuatan slaid mikroskopis

dan diperiksa gambaran histopatologinya. Luas nekrosis pada hati mencit dinilai

secara semi kuantitatif menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40

kali pada zona 3 dalam 10 lobulus. Skornekrosis sentri lobular dibedakan atas 5.

HASIL

Kelompok 1 memperlihatkan gambaran mikroskopik hati pada kelompok kontrol

negatif dimana tidak ditemukan nekrosis sentrilobular. Kelompok 2 tersebut

terlihat adanya sebukan sel radang disekitar vena sentralis, nukleuspiknotik dan

disorganisasi dimana susunan hepatosit tampak tidak beraturan. Skor nekrosi

ssentrilobular pada yaitu nekrosis sentrilobular derajat berat dan skor nekrosis

sentrilobular mengalami nekrosis sentrilobular masif dimana nekrosis melewati

daerah sentrilobular atau ekstens meliputi banyak lobulus. Kelompok 3

menunjukkan bahwa skor nekrosis sentrilobular pada setiap mencit dalam

kelompok yang mendapatkan air rebusan daun sirih 20% mempunyai nilai

bervariasi yaitu 50% mencit mengalami nekrosis sentrilobular derajat ringan ,

50% mengalami nekrosis sentrilobular derajat sedang. Kelompok 4

memperlihatkan bahwa 50% mencit pada kelompok yang mendapatkan air

rebusan daun sirih 40% memiliki skor nekrosis sentrilobular 2 (ringan)dan 50%-

nya lagi mengalami nekrosis sentrilobular dengan skor 4 (berat). Kelompok 5

menunjukkan bahwa 75% mencit pada kelompok V memiliki gambaran

histopatologi dengan skor 3 (sedang) dan 25%-nya lagi memiliki gambarana

histopatologi dengan skor 4(berat).

23
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan uji preklinik yang dilakukan untuk mengetahui efek

hepatoprotektor air rebusan daun sirih yang dinilai melalui gambaran

histopatologi dengan membandingkan derajat nekrosis sentrilobular yang terjadi

pada setiap kelompok perlakuan. Dalam hal ini, diharapkan dengan pemberian air

rebusan daun sirih pada berbagai konsentrasi dapat memberikan perbedaan yang

bermakna pada derajat nekrosis hati sentrilobular karena sirih mengandung

minyak atsiri yang berdasarkan hasil penelitian sebelumnya memiliki efek

hepatoprotektor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor nekrosis sentrilobular

pada seluruh mencit pada kelompok kontrol negatif yang hanya mendapatkan

pellet dan aqua des adalah 0 yang artinya tidak ditemukan nekrosis. Sementara itu,

pada kelompok kontrol positif yang mendapatkan parasetamol 500 mg/kg BB saja

maupun yang mendapatkan parasetamol 500 mg/kg BB dan air rebusan daun sirih

konsentrasi 20%, 40% dan 80% terjadi nekrosis hati sentrilobular dengan skor

yang bervariasi mulai dari skor 2 yang artinya mengalami nekrosis sentrilobular

derajat ringan sampai skor 5 (nekrosis sentrilobular masif). Perbedaan derajat

nekrosis sentrilobular yang bermakna juga didapatkan antara kelompok kontrol

positif dengan kelompok yang mendapatkan air rebusan daun sirih 20%, 40% dan

80%. Hal ini menunjukkan bahwa air rebusan daun sirih mempunyai efek

hepatoprotektor terhadap hepatotoksitas parasetamol pada mencit. Mekanisme

hepatoprotektif air rebusan daun sirih terhadap parasetamol dapat dibandingkan

dengan mekanisme N-acetylcysteine sebagai antidotum terhadap erdosis

parasetamol, dimana sirih bekerja dengan cara meningkatkan kadar glutation

24
sedangkan N-acetylcysteine bekerja dengan cara stimulasi sintesis glutation. Hal

ini mungkin disebabkan karena sirih mempunyai efek sebagai antioksidan

sebagaimana dibuktikan oleh Saravanan dkk yang menguji kemampuan efek

antioksidan sirih terhadap tikus wistar yang diinduksi etanol dengan mengukur

kadar enzim petanda hati dan kadar antioksida n non enzimatik. Dari hasil

penelitian tersebut ternyata sirih mampu meningkatkan kadar antioksidan non

enzimatik yaitu glutation dan aktivitas enzim detoksifikasi radikal bebas antara

lain super oksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase serta menurunkan

kadar enzim pertanda kerusakan hati yaitu SGPT dan SGOT.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa air rebusan daun sirih konsentrasi

20%, 40% dan 80% mempunyai efek hepatoprotektor terhadap hepatotoksitas

parasetamol pada mencit jantan. Namun tidak terdapat perbedaan efek

hepatoprotektor pada konsentrasi air rebusan daun sirih yang digunakan dalam

penelitian ini.

25

Anda mungkin juga menyukai