Disusun Oleh:
RINA FARIDA
S091708006
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk
memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip melalui penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di
alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam.
Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang patuh pada hukum-hukum yang
menyebabkan fenomena itu muncul.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas
utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai
kebenaran. Semua orang yang berkeinginan untuk menjadi benar, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-
nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakikat kebenaran itu.
BAB II
PEMBAHASAN
Dasar pembenaran yang akan kita gunakan mengharuskan seluruh cara kerja ilmiah
yang diarahkan untuk mendapatkan derajat kepastian yang semaksimal mungkin dari
pengetahuan yang dihasilkan. Hal demikian mengandung pengertian sebagai berikut:
Pertama, pemahaman yang akan diuji dalam suatu cara kerja ilmiah haruslah dapat
dibenarkan secara a priori (sebelum teruji melalui metode ilmiah).
Kedua, cara pengujian itu sendiri harus memiliki dasar pembenaran yang sudah teruji,
sehingga dapat disebut sebagai metode ilmiah.
Ketiga, setelah teruji melalui metode ilmiah, pemahaman tadi menjadi pengetahuan
ilmiah atau ilmu, seyogyanya dapat dibenarkan secara a postereori (setelah teruji melalui
metode ilmiah).
Dalam banyak situasi, pemahaman yang dapat dibenarkan secara a priori yaitu,
pemahaman yang akan diuji melalui suatu metode ilmiah, adalah hasil kajian cara berfikir
deduktif atau induktif dari berbagai pengetahuan yang telah memiliki kadar kebenaran
tertentu, dan karenanya pemahaman itu sendiri sering sudah merupakan pengetahuan atau
pemahaman a posteori pada kesempatan lain. Cara-cara bertingkat itu akan berlangsung
terus menerus dan dengan demikian paling sedikit akan menjadikan: Pertama, makin
tingginya tingkat kepastian suatu kebenaran ilmiah. Kedua, makin berkembang dan
bervariasinya ilmu karena potensi besar ke arah itu yang boleh dikatakan dimiliki oleh
setiap ilmu.
Ukuran Kebenaran
Bila dalam filsafat bersifat logis tidak empiris atau logis dan logis saja, maka ukuran
kebenarannya adalah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis maka dipandang benar,
dan bila tidak logis maka salah. Sementara itu dalam ilmu bersifat logis empiris.
Ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan mistis juga memiliki kriteria
yang berbeda. Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu akan terlihat
pada argumen yang menghasilkan simpulan atau teori tersebut. Oleh karena itu pada
kebenaran filsafat tidak diperlukan menuntut bukti empiris, karena kebenaran filsafat
cukup logis san logis saja.
Berbeda pula dengan ukuran kebenaran penegtahuan mistis. Pengetahuan mistis
memiliki berbagai ukuran. Pertama, jika pengetahuan tersebut dari Tuhan, maka
ukurannya teks Tuhan yang ada dalam kitab suci. Bila teksnya menyebutkan demikian,
yaitulah ukuran kebenatannya. Kedua, adakalanya ukuran kebenaran mendasarkan kepada
kepercayaan. Sesuatu dianggap benar karena kita mempercayainya bahwa itu benar. Misal,
kita percaya bahwa jin (tuyul) dapat disuruh mencari atau mencuri uang, maka
kepercayaan kitalah ukuran kebenarannya. Ketiga, kadang ukuran kebenaran mistis juga
menuntut bukti empiris, maka dalam hal ini bukti empiris itulah kebenarannya. Misal,
mulut seseorang yang tidak merasa sakit atau tidak luka ketika kedua pipinya ditembus
kawat, atau justru pipinya tidak tembus ditusuk jarum yang runcing. Meskipun yang
bersangkutan pun tidak dapat menjelaskan secara rasional hubungan sebab akibat yang ada
dalam peristiwa itu. Oleh karena itu pada segi-segi tertentu cukup merepotkan memahami
atau menjelaskan pengetahuan mistis bila teori itu tidak punya bukti empirik atau secara
rasional tidak terbukti dan bukti empirik tidak ada.
Sifat-sifat Kebenaran
Kebenaran berbeda dalam lingkup rasional antara subyek dan obyek. Oleh karena itu
menurut A.M.W. Pranarka (1978) perlu kita pahami sifat kebenaran dari aspek subyek dan
obyeknya. Kebenaran ditinjau dari aspek obyeknya, akan berarti kebenaran
epistemologikal yang tidak tuntas. Hal ini mengingatkan bahwa obyek itu sendiri adalah
suatu totalitas yang kompleks, banyak aspek dan seginya. Kebenaran dalam arti formal
adalah apabila pengetahuan benar tersebut telah memenuhi hakikat ataupun pengertian
dasar dari kebenaran epistemolokal, yakni secara defacto ada conformitas antara terminus
a quo dan terminus ad quem didalam pengetahuan. Jika konformitas itu ada, maka secara
formal pengetahuan tersebut telah memenuhi hakikat kebenaran, terlepas dari subyeknya
ataupun totalitas obyeknya. Istilah yang lazim disebut veritas formaliter spectata.
Kebenaran ini sifatnya mutlak, tidak berubah-ubah, tidak dapat ditambah-tambah
maupun dikurangi. Berlaku dimana dan kapan saja secara formal ia adalah benar.
Relativitas Kebenaran
Relativitas adalah suatu aliran atau paham yang mengajarkan bahwa kebenaran iti
tidak mmpunyai sifat mutlak. Tentu ini berbeda dengan aliran skeptisme yang
mengajarkan bahwa kebenaran itu tidak pernah ada. Oleh karena itu, orang-orang yang
menyatakan bahwa kebenaran bersifat tetap dan tidak dapat berubah serta mengaku-ngaku
telah memiliki kuncinya, pada hakikatnya mereka termasuk orang-orang yang telah
dibohongi oleh banyak kebenaran dan dibenturkan dengan multi realitas. Karena
kebenaran hanya merupakan pedoman prinsip, sistem aksioma, kerangka acuan untuk
melihat sesuatu dan dasar pemikiran untuk meneliti.
3.1. Kesimpulan
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Kebenaran merupakan tujuan yang hendak dicapai
oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran memiliki anggapan dasar (asumsi)
bahwa kebenaran itu berlaku atau diakui, karena ia memang menggambarkan menyatakan
realitas yang sesungguhnya.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak
bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah
melalui tahap-tahap metode ilmiah.
3.2. Saran
Dengan memahami tentang kebenaran ilmiah dapat menjadi manusia yang selalu
berusaha menemukan kebenaran, melalui beberapa cara yang ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui
pengalaman atau empiris.
DAFTAR PUSTAKA