Bab Ii
Bab Ii
Landasan Teori
A. KEKERASAN
1. Pengertian Kekerasan
(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal
dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan kasus
cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple
fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya
(unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey
melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan,
melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis
atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan
seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau
dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).
definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse,
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak
(ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika
kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah
tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa
Universitas Sumatera Utara
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan
atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi
i. Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian
dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau
Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan
(penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan
voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori
kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin,
masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada
klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara
paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi
korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang
mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari
kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor
yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya
40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang
dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia
hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower,
2002).
foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002).
Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan
pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti,
4. Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).
7. Masturbasi
9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku).
14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau
Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak,
dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik
atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan
atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan.
Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau
setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada,
perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik
umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak
nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang
kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor,
memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan
perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri,
pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan
orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun
perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest,
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian
yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan
dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak
untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa
perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja
rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau
Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi
menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan
menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2
sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan
mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua.
Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan
ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi
baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian
(the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan
kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan
kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta
dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan
melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain
itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat
keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil,
bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat
kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang
terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis.
waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam
Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu:
1) Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak
individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami.
Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower,
2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami
oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan
individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam
bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban
lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan
4) Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk.
Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka
tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda
dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan
yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk
B. IDENTITAS DIRI
Erikson (1968) mengatakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah
pembentukan identitas diri, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang merupakan aspek
penting dalam perkembangan berdiri sendiri. Identitas diri adalah mengenal dan menghayati
dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya
sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak
muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti
pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin
menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang (Erikson, 1968).
Proses terjadinya identitas diungkapkan secara abstrak yang merupakan proses restrukturisasi
segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu diolah dalam perspektif masa depan.
Identitas merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak, pengertian diri yang sekarang,
dan menjadi petunjuk di masa depan, oleh sebab itu seseorang membentuk identitas dirinya
pada usia remaja akhir. Remaja yang berada pada periode remaja akhir dapat melihat dirinya
dan tahu bagaimana bertindak untuk membentuk identitas dirinya. Identitas diri tidak dapat
berkembang penuh sebelum masa remaja tengah dan akhir karena unsur pokok diintegrasikan
(jenis kelamin, kemampuan fisik, seksualitas, kemampuan kognisi pada tahap operasional
konkrit, dapat merespon harapan sosial) semua hal tersebut tidak muncul bersama dalam
suatu waktu. Remaja akhir diharapkan dapat memutuskan identitas dirinya. Erikson (1968)
menjelaskan bahwa pada masa remaja akhir identitas individu untuk pertama kalinya melaui
suatu keputusan yang tepat atas pengalaman-pengalaman langsung maupun tidak langsung
Erikson menyatakan bahwa pada usia remaja, krisis yang harus kita selesaikan berkaitan
dengan pencarian identitas diri (Schulz, 1994). Erikson (1968) mempertegas bahwa masa
remaja adalah masa krisis pencarian identitas diri (identity crisis) yang menunjukkan bahwa
pada masa ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yang utama yaitu menemukan
perkembangan selama masa remaja, meliputi penerimaan keadaan fisik, peran seks secara
sosial, membentuk hubungan baru dengan lawan jenis, kemandirian emosi dan ekonomi,
(Havinghurst, dalam Papalia, 1998). Krisis yang dialami pada masa remaja berfungsi untuk
menetapkan suatu identitas stabil. Krisis identitas selama masa remaja sebenarnya merupakan
krisis yang paling berat dan paling berbahaya karena penyelesaian yang gagal atau berhasil
dari krisis identitas itu mempunyai akibat jauh untuk seluruh masa depan. Remaja berusaha
untuk melepasakan diri dari mileu orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya.
Erikson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego (Monks, 1999).
Ada dua proses yang penting berupa eksplorasi dan komitmen dalam perkembangan
identitas (Bosma, 1994). Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu
aktivitas yang secara aktif dilakukan individu untuk mencari, menjajaki, mempelajari,
pikiran, dan potensi yang dimiliki untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang berbagai
alternatif vokasi. Indikasi ada tidaknya eksplorasi dapat ditunjukkan melalui kriteria-kriteria
ditunjukkan oleh keluasan dan kedalaman informasi yang berhasil dihimpun tentang
b. Activity directed toward gathering information yaitu aktivitas yang terarah untuk
d. Desire to make an early decision yaitu keinginan untuk membuat keputusan secara
berbagai kemungkinan atau alternatif yang dipilih. Ditandai oleh faktor-faktor berikut
(Marcia, 1993):
a. Knowledgeability yaitu merujuk kepada sejumlah infomasi yang dimiliki dan
b. Activity directed toward implementing the chosen identify element yaitu aktivitas yang
c. Emotional tone yaitu nada emosi yang merujuk kepada berbagai perasaan yang
aspek positif dan negatif dari figur yang dianggap ideal olehnya.
tetapkan. Mereka tetap teguh pada keputusannya, tetapi mereka bukan anti perubahan.
Berdasarkan pendapat dari para tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri
adalah pengenalan dan penghayatan diri sebagai individu yang unik sehingga tidak tenggelam
a. Pola Asuh
Orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas seseorang. Seperti
yang dikemukakan Grotevant & Cooper (dalam Archer, 1994) bahwa peran penting
kualitas keluarga yang ikut mewarnai pembentukan identitas antara lain terletak pada
interaksi orang tua dengan anak, yang dalam hal ini disebut pola pengasuhan.
b. Homogenitas Lingkungan
foreclosure karena ia tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai
orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan heterogen, individu dihadapkan
pada banyak pilihan sehingga ia sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan
Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak
akan menjadi seperti orang tersebut. Mereka menjadikannya idola dan menjadikannya
model dalam hidupnya. Orang dewasa yang berperan sebagai model bagi remaja ini dapat
mengalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis indentitas pada masa remaja. Menurut
komitmen yang kuat dan konsisten sehingga ia dapat menyelesaikan krisis identitas
dengan baik.
f. Sifat individu
Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu
g. Pengalaman kerja
Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan
h. Etnis identitas
Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat indvidu tinggal akan mempengaruhi
pencapaian identitasnya.
3. Status Identitas
pekerjaan, ideologi, dan nilai-nilai interpersonal. Hampir seluruh status identitas meliputi
kepercayaan dan politik; dan nilai-nilai interpersonal misalnya peran jenis kelamin dan
seksualitas. Menurut (Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994) menganalisis
teori perkembangan identitas Erikson berdasarkan krisis atau eksplorasi dan komitmen,
a. Identity Foreclosure
Foreclosure merupakan status identitas yang umum dan biasanya berkembang lebih
mengalami suatu krisis. Dalam keadaan seperti ini, remaja belum memiliki peluangpeluang
dalam membuat keputusan masih ragu dan lebih senang untuk mengambil keputusan
orangtua daripada membuat keputusan sendiri, biasanya mereka tinggal dekat dengan
orangtua. Individu yang berada pada status identitas Foreclosure ragu-ragu untuk
memutuskan apa yang benar, mereka cenderung memilih teman yang baik, yang
menyukainya.
b. Identity Moratorium
Identity moratorium adalah status untuk menggambarkan remaja yang sedang berada
sedang berada dalam periode pembuatan keputusan dan mungkin telah melakukan
beberapa keputusan yang bersifat kabur dan umum. Remaja yang berada pada status
identitas Moratorium terkadang aktif dan bersemangat, berjuang keras. Remaja masih
memiliki nilai kompromi yang tinggi atas harapan orang tua dan masyarakat
disamping keinginannya sendiri, terlihat sensitif, etis, dan terbuka. Dalam suatu studi
cenderung cemas. Selain hal itu, hubungan mereka dengan orang lain intens dan
relatif singkat, dan susah bagi mereka untuk mempertahankan komitmen kepada
orang lain.
c. Identity Diffusion
Identity diffusion adalah ialah status untuk menggambarkan remaja yang belum
mengalami krisis (yaitu mereka belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna) atau
membuat komitmen apa pun. Remaja belum melakukan eksplorasi atau pernah
Universitas Sumatera Utara
melakukannya, namun sepintas lalu saja, juga tidak memiliki komitmen dan tidak
diffusion mencakup seseorang yang tidak pernah merasakan krisis atau mengalami
persoalan yang muncul akhirnya tidak membuat keputusan. Remaja pada status ini
terlihat tidak memiliki tujuan, tidak pernah mengalami krisis atau masih berada pada
masa yang penuh pertanyaan dan tidak mampu memecahkannya, cenderung bersikap
apatis, dimana individu merasa tidak memiliki tempat dan mengalami isolasi sosial,
mengakibatkan remaja memiliki keraguan akan peran yang akan dilakukannya atau
identitas yang jelas, remaja menjadi depresi dan kurang percaya diri, dan cenderung
d. Identity Achievement
Identity achievement adalah status yang digunakan bagi remaja yang telah mengalami
suatu krisis dan sudah membuat suatu komitmen. Disini remaja sudah mengalami
krisis dan sudah menentukan siapa dirinya. Individu yang berada pada status identitas
Achievement terlihat tenang, mampu menjelaskan alasan terhadap pilihan mereka dan
mampu menjelaskan bagaimana pilihan tersebut muncul. Hal yang berbeda dibanding
dengan status identitas lain adalah proses pembentukan identitas akan berlanjut dalam
kehidupan mereka. Individu yang berasa pada status identitas ini sensitif terhadap
tuntutan luar, mereka membuat keputusan sendiri. Seseorang disebut identity achiever
bila orang itu telah selesai masa krisisnya dan telah berkembang relatif tetap tanggung
jawabnya. Seorang identity achiever cenderung fleksibel dan tidak kaku dalam
memutuskan pilihannya.
Crisis Commitment
Foreclosure
Moratorium
Diffusion
Achievement
Keterangan:
X : Ada
O : tidak ada
? : kabur
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status identitas ialah istilah yang
digunakan untuk kondisi perkembangan ego yang tergantung kepada kehadiran atau
1. Pengertian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti
tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa
ditandai oleh periode transisisonal panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa remaja
secara umum dimulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan seksual
Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anakanak
dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial.
Masa remaja menawarkan peluang untuk tumbuh, bukan hanya dalam dimensi fisik,
tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Periode remaja merupakan periode yang
penting karena pada masa ini terjadi perkembangan fisik dan psikologis yang pesat (Atkinson
dkk, 1993). Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang
berkisar 10 tahun – 13 tahun dan berahir di usia 18 tahun 22 tahun. Menurut Hurlock (1999)
batasan usia masa remaja adalah 13 tahun – 17 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja
menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan dan masa remaja
akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja
pertengahan berlangsung kira-kira dari 15 tahun sampai 17 tahun. Masa remaja akhir
Kekerasan yang mewarnai berbagai media massa menjadi suatu perhatian besar
sekarang ini. Melalui data yang diperoleh bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk
kekerasan yang sering terjadi. Hal menarik yang perlu disoroti adalah sebagian besar
pelakunya berasal dari lingkungan keluarga, dan tidak menutup kemungkinan juga orang lain
Seringkali yang menjadi korban perilaku tak terpuji itu adalah kaum yang dianggap
lemah, dan tidak terbatas pada usianya. Tower (2002) mengungkapkan bahwa mayoritas
korban kekerasan seksual adalah perempuan. Anak perempuan empat kali lebih besar
kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki-laki (Papalia, 2004). Sesuai dengan
Hukum Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18
tahun. Berdasarkan teori Psikologi Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja.
Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10 tahun-
13 tahun dan berakhir di usia 18 tahun-22 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja
menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan
(15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (18 sampai 21 tahun).
Remaja perempuan seringkali menjadi korban merasa tidak mampu melawan pelaku,
dan bersikap pasrah. Hingga pada akhirnya korban mengalami berbagai dampak setelah
kekerasan secara seksual terjadi. Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam
periode transisi antara anak-anak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis,
kognitif, dan psikososial. Dampak yang diakibatkan peristiwa kekerasan tentu saja
mempengaruhi remaja secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut
Maschi (2009), dampak yang ditimbulkan mempengaruhi masa remaja hingga dewasa.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres dan trauma setelah perkosaan.
Seperti yang diungkapkan oleh Ekandari, dkk (2001) bahwa korban perkosaan mengalami
Sebagai seorang individu yang berada pada masa peralihan, remaja memiliki tugas
dalam perkembangannya, dan tugas yang utama adalah memecahkan krisis identitas versus
kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang
dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam
masyarakat. Apabila krisis identitas dapat diselesaikan, timbul suatu bentuk identitas yang
terintegrasi, koheren, dan jelas (Erikson, 1989). Remaja yang mengalami kekerasan
merasakan dampak kekerasan tersebut. Dampak yang terjadi adalah remaja gagal
mengintegrasikan diri, memiliki gambaran diri yang negatif, mendapat stigma negatif dari
lingkungan sehingga merasa takut ditolak dari pergaulan dengan teman sebaya. Berbagai
identitas.
Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, (1994) menggunakan eksplorasi dan
komitmen untuk menjelaskan mengenai empat status identitas, yaitu identity achievement
Moratorium merupakan proses yang menjelaskan mengenai keadaan remaja yang telah
mengalami krisis tetapi belum memiliki komitmen, atau tampak samar. Foreclosure
merupakan keadaan remaja yang menerima nilai dan komitmen tanpa eksplorasi, misalnya
komitmen berasal dari orang tua atau orang-orang yang berarti dalam hidupnya. Sedangkan
diffusion merupakan ketidakmampuan dalam membuat komitmen, dan sebelumnya juga tidak
pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual mulai dari
status identitas korban hingga pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan