Anda di halaman 1dari 32

BAB 6 ASMA

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) dan Dr. dr. Amira P Tarigan, M. Ked (Paru), Sp. P(K)

6.1. PENDAHULUAN

Asma adalah salah satu penyakit saluran pernapasan yang paling sering terjadi di dunia, namun sampai
saat ini belum ada sumber yang memberikan panduan pengobatan secara menyeluruh untuk membantu
para dokter dalam menangani dan mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh penyakit asma.
Asma merupakan penyakit yang sering mempersulit penderitanya, karena penderita dapat
terserang kapan saja dan tanpa diduga penderita. Serangan dapat terjadi dengan beraneka ragam pemicu.
Menurut Merck Manual kelompok penyebab asma ditemukan pada faktor kecenderungan alergi turunan
(atopy), alergi pada polen, bulu binatang, insektisida, makanan tertentu dan obat-obatan.
Sebagai penyakit, asma telah lama dikenal namun masih tetap menjadi suatu permasalahan bagi
kesehatan masyarakat. National Institute Of Health National Of heart Lung and Blood Institute (NHLBI)
bekerja sama dengan World health organization (WHO) menyusun kesepakatan dalam hal menangani
asma dengan baik dan benar yang pada akhirnya bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan
tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian oleh karena asma.

6.2. EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh anak dan dewasa baik di Negara maju
maupun di negara berkembang. Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025. Meskipun dengan pengobatan efektif, angka
morbiditas dan mortalitas asma masih saja tetap tinggi. Saat ini satu dari 250 orang yang meninggal
merupakan penderita asma. Di negara maju meskipun sarana pengobatan mudah didapat, asma masih
saja sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati secara tepat.
Angka kejadian asma di dunia semakin meningkat, begitu pula dengan angka kematian yang kini
menjadi perhatian utama. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di
Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalens asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000,
dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Kemajuan ilmu dan teknologi dibelahan dunia maju tidak selalu diikuti dengan kemajuan
penatalaksanaan asma. Hal tersebut dapat diinterpretasikan dari peningkatan prevalensi asma yang
berkunjung ke pelayanan gawat darurat, rawat inap. Berbagai argumentasi telah diketengahkan untuk
berbagai macam anjuran perbaikan perbaikan diagnosa dan juga perbaikan dalam hal penangan asma.
Masih banyak permasalahan yang belum teratasi mengenai asma. Masyarakat awam yang terkena asma
sepatutnya turut juga diberi penyuluhan oleh para dokter di tempat praktek.

6.3. DEFINISI

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalur nafas yang bersifat kronis.
Hal ini didefinisikan oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk
yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan intensitas, bersama-sama dengan variabel keterbatasan
aliran udara ekspirasi.
Defenisi ini telah disepakati oleh konsensus, berdasarkan dari pertimbangan karakteristik dari asma
yang tipikal yang membedakannya dari penyakit saluran nafas lainnya. Ciri khas dari penderita asma yang
sedang dalam serangan (asma eksaserbasi atau asma akut) adalah episode peningkatan yang progresif
dari napas yang tersekat terutama ketika menghembuskannya keluar, ada suara bising ( wheezing) tidak
terdengar oleh orang di sekeliling, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Bila serangan asma lebih
parah, ada suara mengi yang dapat didengar oleh orang di sekitar pasien.
6.4. PATOGENESIS

Asma adalah suatu kelainan inflamasi dari saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.

1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang
dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah
kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen terikat pada IgE yang menempel pas sel mast yang menyebabkan degranulasi.
Degranulasi mengeluarkan preformed mediator (histamin), protease dan newly generated mediator
(leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menimbulkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus
dan vasodilatasi.
b. Reaksi Asma Tipe Lambat
Reaksi timbul antara 6 – 9 jam setelah terpapar alergen melibatkan pengerahan eosinopil, sel T
CD4+, neutrofil dan makrofag.

2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi jenis kronik seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel
mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
a. Inflamasi Saluran Napas pada Asma
Peradangan terjadi mulai dari saluran napas bagian atas dan kebanyakan radang terjadi di bronkus.
Invariant natural killer sel T dan T helper 2 limfosit (Th2) yang melepaskan mediator-mediator yang
menimbulkan gejala-gejala. Sel-sel struktural dari saluran napas juga memproduksi mediator-
mediator peradangan dan menimbulkan kelanjutan peradangan akibat mediator-mediator dengan
cara yang bervariasi. Lebih dari 100 aneka ragam mediator yang menyebabkan peradangan saluran
napas yang kompleks.

Gambar
6.1. Patologi Asma Secara Biopsi Endobronkial

b. Perubahan struktur saluran napas


Perubahan struktur saluran napas dikenal sebagai perubahan model saluran napas pada pasien
asma. Sebagian dari perubahan tersebut berhubungan dengan keparahan dari penyakit ini dan
menyebabkan penyempitan saluran napas yang menetap. Perubahan tersebut mungkin
menimbulkan perbaikan sebagai responsi pada inflamasi kronis.

Perubahan struktur yang terjadi :


1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.
3. Penebalan membran retikular basal.
4. Pembuluh darah meningkat.
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat.
6. Perubahan struktur parenkim.
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis.

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas.
Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan
dan pengobatan dari proses tersebut.

c. Hiperesponsif Saluran Napas.


Saluran napas yang menyempit mengarahkan pada suatu keterbatasan saluran napas secara
variatif dan gejala-gejala penyerta. Hiperesponsif saluran napas dikaitkan pada peradangan dan
perbaikan pada saluran napas dan sebagian dapat disembuhkan dengan terapi. Mekanisme-
mekanisme tersebut belum dimengerti sepenuhnya.

d. Sel-Sel Radang
Sel radang yang ditemukan pada penyakit alergi terlihat pada asma, yaitu sel mast yang teraktifasi,
penambahan jumlah sel eosinofil yg teraktifasi, dan penambahan jumlah reseptor sel T. Asma sulit
dikontrol mengakibatkan gangguan yang lebih sering dan perawatan di rumah sakit dan
menyebabkan penurunan fungsi paru yang lebih cepat dan peningkatan resiko kematian. Pasien
asma yang merokok mengkin mengalami inflamasi akibat predominan netrofil pada saluran napas
dan tidak respon dengan pemberian glukokortikosteroid.
e. Serangan Asma
Serangan asma terjadi karena paparan faktor-faktor resiko sehingga timbul gejala-gejala asma,
atau munculnya “pemicu” seperti misalnya olah raga dan polusi udara, dan perubahan cuaca
misalnya, hujan dan petir. Hal lain yang memicu serangan asma biasanya dipicu oleh infeksi virus
saluran napas bagian atas (terutama rhinovirus dan respiratory syncytial virus) atau paparan
allergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran bagian bawah yang bertahan beberapa hari
atau beberapa minggu.

Gambar 6.2. Reaksi asma

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi, peningkatan
reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau
dengan pengobatan yang sesuai. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan
morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Seiring dengan
perlunya mengetahui hubungan antara terapi yang baik dan keefektifan terapetik, baik peneliti maupun
tenaga kesehatan harus memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien.

Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, penyumbatan mukus,
edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis
saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya
obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu
fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total
(KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan
lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan VEP 1 (Volume
Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas
Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi,
baik pada saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi ( wheezing) menandakan adanya
penyempitan disaluran napas besar, sedangkan penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan
sesak lebih dominan dibanding mengi.
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut :
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas.
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas.
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu.

4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaglandin.

Faktor risiko:
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor Host
a. Genetik
b. Gender
c. Obesitas
2. Faktor Lingkungan
a. Allergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Allergen di luar ruangan (alternariaa, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu
sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu seperti golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll.
e. Bahan yang mengiritasi misalnya parfum, household spray dll.
f. Ekspresi emosi yang berlebihan
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara diluar dan didalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas
tertentu
j. Perubahan cuaca.

6.5. FENOTIPE ASMA

Asma adalah penyakit heterogen, dengan proses penyakit yang mendasari berbeda-beda. Jenis
karakteristik demografi, klinis dan / atau patofisiologi yang dikenali sering disebut sebagai 'fenotipe asma'.
Pada pasien dengan asma yang lebih berat, terdapat beberapa perawatan sesuai fenotip. Namun, sampai
saat ini, tidak ditemukan adanya hubungan yang kuat antara gejala patologis yang spesifik dan pola klinis
tertentu atau respons pengobatan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami kegunaan secara
klinis klasifikasi fenotip pada asma.

Jenis fenotip asma antara lain:

Asma alergi

Ini adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang sering dimulai dimasa kanak-kanak dan
berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan / atau riwayat keluarga terhadap penyakit alergi
seperti eksema, rhinitis alergi, atau alergi obat atau makanan. Pemeriksaan sputum pasien sebelum
pengobatan sering didapatkan peradangan saluran napas bersifat eosinofilik. Pasien dengan asma
fenotipe ini biasanya memberikan respon yang baik dengan pengobatan inhalasi kortikosteroid.

Asma non-alergi

Beberapa orang dewasa yang memiliki asma tidak terkait dengan alergi. Gambaran mikrobiologik sputum
pada pasien ini mungkin neutropilik, eosinopilik atau hanya berisi beberapa sel inflamasi
(paucigranulocytic). Pasien dengan asma non-alergi sering kurang respon terhadap inhalasi kortikosteroid.

Asma late-onset
Beberapa orang dewasa, terutama perempuan, asma bisa saja muncul pertama kalinya pada usia
dewasa. Pasien ini cenderung non-alergi, dan seringkali memerlukan dosis inhalasi kortikosteroid yang
lebih tinggi atau relatif refrakter terhadap pengobatan kortikosteroid.

Asma dengan keterbatasan aliran udara menetap

Beberapa pasien dengan asma yang lama mengalami keterbatasan aliran udara tetap yang dianggap
karena proses remodelling dari dinding saluran napas.

Asma dengan obesitas

Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernafasan yang menonjol dan sedikit peradangan
saluran napas yang eosinofilik.

6.6. DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis yang tepat dan akurat sangatlah penting hingga terapi yang tepat pun dapat
diberikan. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Gejala-
gejala asma boleh jadi bervariasi.

Anamnesis
Berikut adalah gejala khas asma:
- Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada/dada terasa sempit), terutama pada
orang dewasa.
- Gejala sering lebih buruk pada malam hari atau di pagi hari.
- Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan dengan intensitas yang sering.
- Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca, tertawa, atau iritasi
seperti knalpot asap mobil, asap rokok atau bau yang kuat.

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai beratnya keterbatasan aliran udara dan
reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Menguji status alergi dapat membantu identifikasi faktor
risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons terhadap
bronkodilator dapat membantu diagnosis.
Berdasarkan pemeriksaan anamnesis pasien yg baik dan mencukupi dapat membantu dalam
pendiagnosaan asma dengan tepat. Anamnesis tersebut meliputi hal-hal seperti dibawah ini.

6.7. RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Gejala berupa batuk , terkadang berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari.

4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.

5. Respons terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:

a) Riwayat keluarga

b) Riwayat alergi

c) Penyakit lain yang memberatkan

d) Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode
gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan
cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi. W heezing boleh jadi tidak ada
atau hanya terdeteksi ketika ia mengeluarkan napas secara paksa, walaupun hal ini bukan berarti tidak
menunjukkan adanya hambatan saluran napas.
Faal paru

Pemeriksaan faal paru dengan tujuan untuk menilai:


a. obstruksi jalan napas
b. reversibiliti kelainan faal paru
c. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas.
Spirometri

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi
dan efek pengobatan. Hal utama yang penting untuk dinilai adalah pengukuran forced expiratory volume
untuk 1 detik (FEV1) dan forced vital capacity (FVC).

Peak expiratory flow (PEF) atau Arus puncak ekspirasi (APE)

Peak flow meter (PFM) merupakan alat pengukur faal paru yang sederhana, alat tersebut digunakan untuk
mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam
menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV 1 atau PFM). Spirometri
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV 1 untuk diagnosis
obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan
dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
Pada diagnosis pengukuran APE digunakan melalui penilaian reversibilitas dan variabilitas.
- reversebilitas: perubahan APE (APE meningkat) ≥60 l/menit atau 20% setelah pemberian bronkodilator
(SABA) mengindikasikan terdapat respon bronkodilator atau kemungkinan diagnosis asma.
- Variabilitas harian (variasi diurnal) dinilai dengan meminta subjek/pasien mengukur APE pagi dan
malam (untuk mendapatkan nilai tertinggi dan terendah) setiap harinya selama waktu beberapa hari
umumnya lebih dari 1-2 minggu atau praktisnya digunakan 2 minggu pengukuran, kemudian dihitung
variasi diurnal setiap harinya (pagi dan malam) dan rata-rata selama 2 minggu tersebut
Nilai variasi diurnal APE >20% (selama 2 minggu) mengindikasikan terdapat variabilitas (variasi diurnal)
yang lebih dari normal atau kemungkinan diagnosis asma.

APE malam – APE pagi


Variabiliti harian= --------------------------------- X 100%
½ (APE malam+APE pagi

Foto toraks

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.


Pemeriksaan lain yang berperan adalah:

1. Pemeriksaan IgE
2. Pemeriksaan Penanda Inflamasi
3. Pemeriksaan Uji hipereaktivitas bronkus

6.8. KLASIFIKASI ASMA

1. Asma kontrol

Tabel 6.1. Penilaian GINA kontrol asma pada orang dewasa, remaja dan anak-anak 6-11 tahun
1. Kaji kontrol asma = kontrol gejala dan risiko yangmemicu asma
• Menilai kontrol gejala selama 4 minggu terakhir
• Mengidentifikasi faktor-faktor risiko lain untuk eksaserbasi, pembatasan aliran udara tetap atau efek samping
• menilai fungsi paru pada awal diagnosis / awal pengobatan, 3-6 bulan setelah memulai pengobatan controller,
kemudian lakukan secara berkala
2. Menilai masalah pengobatan
• catat langkah saat pasien melakukan pengobatan
• perhatikan cara pasien menggunakan inhaler, menilai kepatuhan dan efek samping
• pastikan pasien memiliki rencana tindakan mengontrol asmanya secara tertulis
• Tanyakan tentang sikap pasien dan tujuan untuk asma dan obat-obatan mereka
3. Menilai komorbiditas
• Rhinitis, rhinosinusitis, gastroesophageal reflux, obesitas, obstruksi sleep apnoe, depresi dan kecemasan dapat
berkontribusi untuk gejala dan kualitas hidup yang buruk pada pasien asma, dan kadang-kadang memberikan
dampak yang buruk terhadap kontrol asma.

Alasan / kemungkinan asma tidak terkontrol:

1. Teknik inhalasi yang buruk: evaluasi teknik inhalasi penderita.


2. Kepatuhan: tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan obat-obat asma.
3. Lingkungan: tanyakan penderita adakah perubahan disekitar lingkungan penderita atau lingkungan
tidak terkontrol.
4. Penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis, bronkitis dll.
5. Bila semua dalam keadaan baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain. Salah diagnosis, dengan
gejala yang hampir sama dengan gejala penyakit saluran napas yang lain, gagal jantung, atau
masalah kesehatan yang lain.

2. Klasifikasi asma dalam serangan

Asma dalam serangan adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara progresif
disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Serangan akut
adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan harus cepat dan
sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan
asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Jadi pengobatan untuk mempertahankan diri dari serangan asma memerlukan peran suatu peran
penting karena pasien pasien sering kurang sensistif / kurang peka terhadap faktor-faktor resiko tersebut
ketika asma mereka sedang terkendali dengan baik. Pasien dengan asma yang terkendali baik sepertinya
kurang berpengalaman terhadap gangguan daripada mereka yang asmanya tidak terkendali secara baik.
Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan
bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya
tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium pada episode serangan yang dapat
menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan atau tindakan.
Kadang-kadang pada asma dalam serangan berat, wheezing tidak ditemukan hal ini disebabkan
oleh pengurangan aliran udara dan ventilasi yang sangat berat. Namun, pasien pada status seperti ini
biasanaya memiliki tanda-tanda fisik mencerminkan gangguan dan keparahannya, seperti cyanosis,
drowsiness, susah berkata-kata, tachicardia, dada hyperventilasi, menggunakan otot-otot membantu
pernapasan, dan resesi interkostal. Untuk penanganan yang tepat penting mengetahui derajat beratnya
serangannya.

Tabel 6.2 Klasifikasi berat serangan asma akut


Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Tanda Ringan Sedang Berat Mengancam jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,
kesadaran menurun
Frekuensi napas <20/ menit 20-30/ menit > 30/menit
Nadi < 100 - 10 mmHg 100 –120 + / - 10 > 120+> 25 mmHg Bradikardia - Kelelahan
Pulsus paradoksus – 20 mmHg otot

Otot Bantu Napas - + + Torakoabdominal


dan retraksi paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent Chest
paksa ekspirasi
APE > 80% 60 – 80% < 60%
PaO2 > 80 mHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91 – 95% < 90%
6.9. PENATALAKSANAAN ASMA

Faktor utama yang berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak terdiagnosisnya
penyakit dan pengobatan yang tidak cukup. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah atau
mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Untuk mencapai asma terkontrol
diperlukan penanganan dengan beberapa tahapan mengingat asma merupakan penyakit kronis yang
bersifat dinamis, sangat bervariasi dan individual. Acuan pengobatan hanya bersifat bantuan
penatalaksanaan yang dapat disesuaikan dengan kondisi penderita saat itu.Tujuan penatalaksanaan asma
adalah: menyembuhkan dan mengendalikan asma, mencegah kekambuhan, mempertahankan fungsi paru
senormal mungkin, menghindarkan efek samping obat-obat asma, mencegah terjadinya obstruksi saluran
nafas yang irreversible, mencegah kematian akibat asma.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit dimana asma dikatakan terkontrol bila.
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam.
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise.
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan).
4. Variasi harian APE kurang dari 20%.
5. Nilai APE normal atau mendekati normal.
6. Efek samping obat minimal (tidak ada).
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat.

Dari tujuh komponen penatalaksanaan yang telah ditetapkan salah satunya tercantum
merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang.Tujuan pengobatan jangka panjang untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol.Pengobatan asma diberikan berdasarkan
klasifikasi yang telah ditetapkan berdasarkan beratnya penyakit etiologi dan pola keterbatasan udara.
Obat-obat asma dikelompokkan atas dua golongan yaitu: obat-obat pelega napas ( reliever) dan obat-obat
pengontrol asma controller). Obat-obat reliever umumya adalah bronkodilator diberikan pada penderita
untuk mengatasi serangan asma.Obat-obat controller terdiri dari obat anti inflamasi bronkodilator kerja
lama serta anti alergi.

1. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering
disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol: kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik,
sodium kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi, leukotrien
modifiers, antihistamin generasi kedua (antagonis-H 1), lain-lain. Pasien yang telah mendapatkan obat
pengontrol harus dipertimbangkan peningkatan dosis untuk 2-4 minggu ke depan.

2. Pelega (reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah: agonis beta 2 kerja singkat , kortikosteroid sistemik (steroid sistemik
digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil
belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain),antikolinergik, aminofilin,
adrenalin.

3. Add-on terapi untuk pasien dengan asma berat.


Pengobatan ini dapat dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala persisten dan / atau eksaserbasi
meskipun pengobatan dioptimalkan dengan obat pengontrol dosis tinggi (biasanya ICS dosis tinggi dan
LABA a) dan pengobatan faktor risiko yang dimodifikasi.

Antibiotik (tidak disarankan)

Belum ada bukti yang mendukung peran antibiotik dalam asma eksaserbasi kecuali ditemukan bukti kuat
adanya infeksi paru (misalnya demam dan sputum purulen atau bukti radiografi pneumonia). Pengobatan
secara agresif dengan kortikosteroid harus dilaksanakan sebelum mempertimbangkan pemberian
antibiotik.

Terapi oksigen (jika tersedia)

Terapi oksigen harus disesuaikan dengan pulse oximetry (jika tersedia) untuk mempertahankan saturasi
oksigen pada 93-95% (94- 98% untuk anak-anak 6-11 tahun). Pemberian oksigen yang sesuai memberikan
hasil klinis yang lebih baik dibandingkan pemberian oksigen high-flow 100%). Oksigen tidak boleh
dikurangi jika oksimetri tidak tersedia, tetapi pasien harus dipantau jika muncul keadaan mengantuk atau
kelelahan.

Inhalasi short-acting β2-agonis

Terapi SABA inhalasi harus diberikan lebih sering pada pasien- pasien dengan serangan asma akut. Yang
mudah, efektif dan efisien adalah dengan pMDI menggunakan spacer. Belum ada bukti yang kuat
efektifitas inhalasi short-acting β2-agonis pada asma yang berat. Tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan pada fungsi paru-paru atau resiko kunjungan rumah sakit. Studi sebelumnya pada pasien yang
rawat inap ditemukan bahwa terapi intermiten memberikan efek yang signifikan lama rawatan rumah sakit
yang lebih pendek, dan kebutuhan obat nebulisasi lebih sedikit bila dibandingkan dengan terapi intermitten
per-4 jam berselang. Penggunaan SABA inhalasi pada asma eksaserbasi lebih tepat, oleh karena itu,
awalnya menggunakan terapi terus menerus, diikuti dengan terapi intermiten sesuai kebutuhan pasien
rawat inap.
Tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan rutin intravena beta2-agonis pada pasien dengan asma
eksaserbasi berat (Bukti A).

Epinefrin (untuk anafilaksis)

Epinefrin intramuskular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan terhadap terapi standar untuk asma
akut yang terkait dengan anafilaksis dan angioedema. Hal ini tidak secara rutin diindikasikan untuk
eksaserbasi asma lainnya.

Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid oral (OCS) harus diberikan segera, terutama jika pasien memburuk, atau telah memerlukan
peningkatan dosis dari pereda dan kontrolernya. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 1 mg
prednisolon / kg / hari atau setara sampai maksimal 50 mg / hari, dan 1-2 mg / kg / hari untuk anak-anak 6-
11 tahun sampai dengan maksimum 40 mg / hari) . OCS biasanya harus dilanjutkan selama 5-7 hari (Bukti
B).
Kortikosteroid sistemik bekerja cepat pada asma eksaserbasi dan lebih mencegah kekambuhan,
dan harus digunakan pada asma eksaserbasi ringan pada orang dewasa, remaja dan anak-anak 6-11
tahun. Bila memungkinkan, kortikosteroid sistemik harus diberikan kepada pasien dalam waktu 1 jam
penggunaan pertama. Kortikosteroid sistemik sangat penting pada unit gawat darurat jika:
 Pemberian SABA pada awal terapi tidak memberikan perbaikan gajala.
 Eksaserbasi terjadi selama pasien menggunakan kortikosteroid oral.
 Pasien memiliki riwayat eksaserbasi selama penggunaan kortikosteroid oral.

Rute Pemberian Medikasi

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan,
intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah:lebih efektif
untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas, efek sistemik minimal atau dihindarkan, beberapa
obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik
dan kromolin).
Waktu kerja bronkodilator lebih cepat bila diberikan secara inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi:
 Inhalasi dosis terukur (IDT) / metered-dose inhaler (MDI)
 IDT dengan alat bantu (spacer)
 Breath-actuated MDI
 Dry powder inhaler (DPI)
 Turbuhaler
 Nebuliser

Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan inhaler dan menarik
napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan berulang-ulang agar penderita
terampil.Penggunaanspacer mengatasi kesulitan dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT. Selain
spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat IDT dan mengurangi
kemungkinan kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid, serta mengurangi bioviabiliti sistemik dan risiko
efek samping sistemik. Berbagai studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis beta-2
kerja singkat dengan IDT dengan spacer memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan pemberian
secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT denganspacer terbukti memberikan efek bronkodilatasi yang
lebih baik daripada melalui DPI.
Kelebihan DPI adalah tidak menggunakan campuran yaitu propelan freon, dan relatif lebih mudah
digunakan dibandingkan IDT. Saat inhalasi hanya dibutuhkan kecepatan aliran udara inspirasi minimal,
oleh sebab itu DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan.Sebagian DPI
terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI tidak mengandung
klorofluorokarbon sehingga lebih baiktetapi lebih sulit pada udara dengan kelembaban tinggi.
Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT, sekarang telah diganti hidrofluoroalkan (HFA).Pada obat
bronkodilator dosis dari CFC ke HFA adalah ekivalen, tetapi pada kortikosteroid, HFA menghantarkan lebih
banyak partikel yang lebih kecil ke paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan juga efek samping
sistemiknya. Dengan DPI,obat lebih banyak terdeposit dalam saluran napas dibanding IDT, tetapi studi
menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT dan spacer memberikan efek yang sama melalui DPI .
Karena perbedaan kemurnian obat dan teknik penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu
penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.

 Pengobatan ICS dosis rendah yg lbh awal memberi perbaikan fungsi paru yg lebih besar dari pada jika
gejala telah ada lbh dr 2-4 thn

 Pasien dgn eksaserbasi berat tanpa ICS memiliki fungsi paru jangka panjang yg lebih buruk daripada yg
telah memulai ICS lebih awal

 Pada asma kerja, penghindaran awal dari paparan zat sensitizing dan pengobatan awal meningkatkan
kemungkinan perbaikan

Berikut ini adalah langkah- langkah pengobatan asma


Gambar

6.3. Langkah-Langkah Pengobatan Asma

Pengobatan pengontrol awal

Untuk hasil terbaik, pengobatan pengontrol sehari-hari harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis
asma dibuat, sebagai bukti menunjukkan bahwa:
 Memulai pengobatan ICS dosis rendah sedini mungkin pada pasien dengan asma yang
menunjukkan ke peningkatan yang lebih besar dalam fungsi paru-paru daripada jika gejala telah
hadir selama lebih dari 2-4 years. Suatu penelitian menunjukkan bahwa ICS dosis yang lebih tinggi
diperlukan, dan lebih rendah fungsi paru-paru.
 Pasien tidak mengambil ICS yang mengalami eksaserbasi parah memiliki penurunan jangka
panjang yang lebih besar dalam fungsi paru-paru dibandingkan dengan mereka yang sudah mulai
ICS.
 Untuk pasien dengan asma akibat kerja, menghindari paparan agen kepekaan dan pengobatan
dini meningkatkan perbaikan.

Pilihan Direkomendasikan untuk pengobatan pengendali awal pada orang dewasa dan remaja,
berdasarkan pedoman yang dan konsensus. Respon pasien harus ditinjau, dan pengobatan dapat
dikurangi setelah kontrol yang baik dicapai.

a. Tahap 1

Dijumpai gejala asma yang sangat jarang, di antara episodik tidak ada gejala dan faal paru normal,
tidak ada riwayat pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi (ICS).
Pengobatan: pelega (reliever) jika perlu, pelega yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja
singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral SABA dan teofilin/aminofilin
atau kolinergik kerja singkat inhalasi.

b. Tahap 2

Dijumpai gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang periodik, dengan atau tanpa riwayat
pengobatan ICS sebelumnya.
Pengobatan: pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan pelega hanya jika diperlukan.
Alternatif pengontrol pada tahap 2 adalah leucotrien modifiers/anti-leukotrien terutama pada pasien
yang tidak dapat menggunakan inhalasi atau tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi atau
mempunyai efek samping dengan kortikosteroid inhalasi dan pasien mempunyai rinitis alergika
dominan. Alternatif lainnya adalah teofilin lepas lambat, terutama pada pasien dengan keluhan
gangguan asma malam hari. Pelega (SABA) jika diperlukan.

c. Tahap 3

Jika pasien dalam tahap 2 selama ± 12 minggu dan belum terkontrol, dan diyakini tidak ada masalah
lainnya (cara penggunaan obat, kepatuhan, komorbid, pencetus, dll), maka masuk ke tahap 3. Selain itu
pada awal penilaian dapat langsung ke tahap 3 pada pasien dengan gejala sering, dengan atau tanpa
riwayat pengobatan ICS sebelumnya, maka diberikan pengontrol kombinasi atau masuk ke tahap 3,
yaitu pengontrol kombinasi inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA)
yang kombinasinya dikenal dengan LABACS. Alternatif pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi (ICS)
dosis sedang yang direkomendasikan diberikan melalui IDT dengan spacer untuk meningkatkan
pengantaran obat ke saluran napas dan mengurangi deposit atau efek samping di orofaring serta
mengurangi absorpsi sistemik. Alternatif lain kortikosteroid inhalasi dosis rendah dikombinasi dengan
antileukotrien/leukotrien modifiers atau alternatif lain pada pasien dewasa yaitu kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis rendah dengan teofilin lepas lambat.

d. Tahap 4

Merupakan pindahan dari tahap sebelumnya yaitu tahap 3, artinya tidak ada langsung ke tahap 4 dari
penilaian awal.
Pengobatan yaitudengan pengontrol kombinasi inhalasi kortikosteroid (ICS) dosis sedng- tinggi
dengan agonis beta-2 kerja lama (LABACS). Kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis tinggi dalam LABACS
sebaiknya diberikan tidak dalam waktu lama (3-6 bulan). Lebih disukai pemberian ICS dosis sedang
dalam LABACS bila perlu dikombinasi dengan pengontrol lain seperti antileukotrien/leukotrien modifiers
atau teofilin lepas lambat.

e. Tahap 5

Jika pasien dalam tahap 4 dan masih belum terkontrol, terdapat keterbatasan beraktivitas dan sering
eksaserbasi, maka pengobatan dilanjutkan ke tahap 5. Artinya pada pasien sudah terkontrol sebagian
dalam tahap 4, tidak dianjurkan masuk ke tahap 5 apalagi jika pasien sudah puas dengan kondisi asma
terkontrol sebagian.
Pengobatan tahap 5 adalah pengobatan tahap 4 dengan menggunakan LABACS dengan ICS
dosis tinggi dan kombinasi pengontrol lainnya (sesuai tahap 4) dan jika perlu ditambahkan kortikosteroid
(golongan glukokortikosteroid) oral dosis terendah, atau antiIge pada pasien yang mempunyai faktor
alergi dominan (asma alergi), sebagai pengganti glukokortikoid oral sehingga menghindari efek samping
kortikosteroid.
Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi
maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan atau
glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk segera
mengontrol asma, setelah asma terkontrol dosis diturunkan secara bertahap sampai seminimal mungkin
dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut stepdown therapy.
Pendekatan lain adalah stepuptherapyyaitu memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi
secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.
Stepdown therapy untuk penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya menekan
inflamasi jalan napas dan mencapai keadaan asma terkontol sesegera mungkin, dan menurunkan
terapi sampai seminimal mungkin dengan tetap mengontrolasma. Bila terdapat keadaan asma yang
tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah satu bulan terapi) maka
pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan pengobatan asma sesuai
beratnya gejala.
Stepwise controller treatment : utk mencapai kontrol astma yg baik, mengurangi (resiko eksaserbasi,
keterbatasan aliran udara yg menetap dan efek samping obat).
Sekali asma sudah terkontrol dlm 2-3 bln → step down → untuk mengetahui pengobatan efektif yg
paling minimal.

Setelah pengobatan kontroler dlm 2-3 bln gejala menetap dan/atau terjadi eksaserbasi nilai dahulu hal
berikut sebelum melakukan step up pengobatan:

 Tehnik menggunakan inhaler yang tidak tepat.


 Kepatuhan pasien yang buruk terhadap pengobatan asma.
 Eksposur yg menetap.
 Komorbid.
 Diagnosis tidak tepat.

Penatalaksanaan Asma dalam Serangan

1. Prinsip Manajemen Penatalaksanaan dalam Serangan


Penatalaksanaan dibagi menjadi 2 macam yaitu secara farmakologi dan secara non farmakologi dibuat
untuk mencapai target dan prinsip-prinsip yang akurat dan ilmiah:
1) Target yang akan dicapai
a. Menjaga kelangsungan hidup penderita pada tahap normal.
b. Mempertahankan fungsi paru pasien seoptimal mungkin, normal.
c. Mencegah penyakit supaya tidak menahun.
d. Mencegah jangan kembali kambuh.
e. Menghindari efek samping obat-obat asma.

2) Prinsip-prinsip Pengobatan Asma secara Umum


a. Pengobatan harus berkesinambungan.
b. Menghindari faktor pencetus.
c. Pengobatan berdasarkan temuan patofisologis.
d. Menghindari eksaserbasi akut.
e. Disertai dengan edukasi, pengawasan lingkungan, keteraturan dan pengendalian pemakaian
obat-obatan.

Penatalaksanaan asma dalam serangan diteliti oleh Rodrigo, Carlos dan Rodrigo Gustavo. Dalam
laporan Treatment of Acute Asma menegaskan bahwa prinsip penatalaksanaan adalah : “ Lack of
therapeutic benefit and increase of the toxicity from “aminophylline” given in addition to high doses of
salbutamol delivered by metered dose inhaler with a spacer” dideskipsikan dalam abstrak laporan
penelitian mereka sebagai berikut:
Mereka melakukan penelitian dengan model pemberian placebo aminophylin terkendali untuk
menentukan apakah pemberian aminophylin secara intravenous bermanfaat terhadap pengobatan
asma dalam serangan dibandingkan dengan pemberian inhalasi salbutamol tunggal. Pada penelitian
tersebut ditemukan bahwa pemberian aminophilin secara sistemik atau intravena yang dikombinasi
dengan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat pada asma dalam serangan hanya memberikan sedikit efek
bronkodilasi atau malah tidak sama sekali jika dibandingkan dengan pemberian inhalasi beta-2 kerja
singkat secara tunggal. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa pasien yang diberikan
aminophyline mengalami efek sampingan yang lebih tinggi (p<0,05).. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pemberian inhalasi beta-2 agonis dosis tinggi secara terus menerus atau berulang melalui alat spacer
MDI (metered dose inhaler) dapat menjadi terapi bronkodilator yang optimal untuk pengobatan asma
dalam serangan diruang gawat darurat. Peneliti menyimpulkan bahwa pemberian aminophyline secara
sistemik hanya menambah toksisitas tetapi tidak menambah manfaat pada penanganan asma dalam
serangan jika dibandingkan pada pemberian inhalasi salbutamol tunggal.
Penatalaksanaan Asma dalam Serangan di Rumah Sakit.

Pada serangan asma ringan, sedang dan berat harus dengan oksigenasi dengan nasal kanul.
Kemudian inhalasi agonis beta-2 keja singkat (nebulisasi) setiap 20 menit dalam satu jampertama atau
agonis beta-2 injeksi. Kortikosteroid sistemik diberikan pada asma serangan berat, tidak ada respons
dengan pengobatan bronkodilator dan yang menggunakan kortikosteroid oral.penilaian diulang 1 jam
lagi berdasarkan pemeriksaan fisik, saturasi oksigen dan penunjang lainnya. Apabila respon baik dan
stabil dalam 60 menit, penderita dapat pulang dan pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-
2 dan kortikosteroid oral dan edukasi penderita.
Apabila respon tidak sempurna maka diberi inhalasi agonis beta-2 boleh ditambah dengan anti-
kolinergik, ditambah kortikosteroid sistemik dam aminophillin drip, peetimbangkan terapi oksigen nasal
kanul atau masker venturi. Pantau APE, sat O2, nadi, kadar teofilin. Apabila tidak ada perbaikan maka
dirawat ICU. Apabila respon buruk dalam 1 jam maka indikasi rawat ICU, selain pengobatan yang
diberikan pada respon tidak sempurna boleh ditambah dengan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV. Mungkin
perlu intubasi mekanik dan ventilasi mekanik. Untuk perawatan lebih adjuvan pada asma eksaserbasi
berat perlu dipertimbangkan pemberian magnesium sulfat atau heliox intra vena, dimana panderita tidak
memberikan respon baik terhadap pengobatan sebelumnya ( yaitu, VEP1 atau APE< 40% prediksi).
Secara ringkas dapat di lihat pada tabel 6.3.
Tabel 6.3 Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan 6
SERANGAN PENGOBATAN TEMPAT PENGOBATAN
RINGAN Terbaik : Di rumah
Aktiviti relatif normal Inhalasi agonis beta-2 Di praktek dokter/Klinik/
Berbicara satu kalimat Alternatif: Puskesmas
Dalam satu napas Kombinasi oral agonis beta-2
Nadi < 100 Dan teofilin
APE > 80%
SEDANG Terbaik Darurat Gawat / RS
Jalan jarak jauh Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Timbulkan gejala Alternatif: Praktek Dokter
Berbicara beberapa kata dalam - Agonis beta-2 subkutan Puskesmas
satu napas - Aminofilin IV
Nadi 100-120 - Adrenalin 1/1000 0.3 ML SK
APE 60-80%
BERAT Terbaik Darurat Gawat/ RS Klinik
Sesak saat istirahat Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam
Berbicara kata perkata Alternatif
Dalam satu napas - Agonis beta-2 SK/IV
Nadi > 120 - Adrenalin 1/1000 0.3 ml SK
APE < 60% atau
100 1/dtk
MENGANCAM JIWA Seperti serangan akut berat Darurat Gawat/RS ICU
Kesadaran berubah Pertimbangkan intubasi dan ventilasi
Menurun mekanis
Gelisah
Sianosis
Gagal napas

Mekanisme Kerja Kortikosteroid

Kortikosteroid bukan satu-satunya pengobatan yang dipakai pada asma tetapi cukup populer di anjurkan
oleh para dokter untuk menghilangkan obstruksi saluran pernapasan dengan segera. Obat-obatan tersebut
diantaranya adalah kortikosteroid (antiinflamasi) disertai bronkodilator sebagai pelega saluran napas dari
penyempitan.
Kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi saluran napas pada tingkat selular termasuk
eosinofil, limfosit T, sel mast, dan sel dendritik. Hal itu terjadi dengan menghambat perekrutan sel anti
inflamasi ke dalam saluran napas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi
serta menghambat keberadaan anti inflamasi dalam saluran napas misalnya, eosinofil, sel limfosit, dan sel
mast. Target selular utama kortikosteroid inhalasi adaalah sel epitel. Kortikosteroid memiliki spektrum luas
dalam memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat berbagai mediator serta sel inflamasi.
Beberapa hal yang perlu diketahui untuk menjelaskan mekanisme molekular aksi kortikosteroid adalah
remodelling kromatin dan ekspresi gen, reseptor glukokortikosteroid ( glucocorticoid receptor, GR), aktivasi
gen penyandi protein anti inflamasi serta inaktivasi gen inflamasi.

Gambar 6.4. Mekanisme Kortikosteroid Dalam Mengatur Ekspresi Gen

Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif pada asma. Kortikosteroid
memperbaiki faal paru, menekan proses inflamasi, menurunkan hiperesponsif saluran napas. Pasien asma
ringan dapat diatasi dengan inhalasi kortikosteroid dosis ringan, bila dengan asma berat dosisnya
diperbesar. Dosis oral sering efektif pada mereka yang tergantung pada kortikosteroid tetapi ada yang tidak
efektif bila pasien resisten kortikosteroid.
Glukokortikosteroid banyak digunakan di seluruh dunia. Pemakaian kortikosteroid pada asma
dimulai oleh Solomon Solis Cohen. Kendall dan Reichstein melakukan isolasi dan sintesis kortisol serta
hormon adrenokortikotropik. Perkembangan selanjutnya adalah pemakaian inhalasi kortikosteroid pada
pasien asma sebagai lini pertama.
Kortikosteroid merupakan anti radang yang efektif untuk pengobatan obstruksi saluran napas yang
reversibel. Kortikosteroid mempercepat katabolisme (termasuk IgE), turut menghalangi enzim fosfolipase
mengubah fosfolipid membran sel supaya tidak menjadi mediator penyempitan bronkiol.
Kortikosteroid bekerja : (1) Menghalangi arachidonic acid dan menghambat pembentukan lekotrin
dan prostaglandin; (2) Menghalangi aktifitas sel-sel radang secara langsung; (3) Meningkatkan respons
reseptor beta dari otot polos saluran pernapasan. (4) Kortikosteroid dapat dipakai dalam pengobatan
segera dan jangka pendek. Hasil pengobatan kortikosteroid jangka pendek dengan segera cukup baik
mengurangi durasi (rentang lamanya) serangan serta seringnya serangan.

Gambar 6.5 Kortikosteroid Inhalasi Sebagai Antiinflamasi

1. Glukokortikosteroid Oral
Glulokortikosteroid oral yang sering dipakai prednisolon 0.5 - 1 mg /kg atau equivalent diberikan jika
serangan kurang dari periode 24 jam terutama bila asma yang awalnya terkontrol dengan pengobatan
jangka pendek menjadi eksaserbasi apalagi pasien yang mengalami serangan ini termasuk resiko
tinggi.

2. Glukokortikosteroid Sistemik
Glukokortikoid sistemik akan mempercepat berkurangnya serangan termasuk asma dalam serangan
ringan sampai sedang khususnya bila terapi inhaled β2-agonis tak berhasil, pasien yang sebelumnya
sudah mendapat pengobatan kortikosteroid oral, serangan sebelumnya yang membutuhkan
glukokorticosteroid oral.
Kortikosteroid oral sama efektifnya dengan kortikosteroid sistemik hanya saja yang oral lebih non
invasif dan lebih murah. Bila terjadi efek muntah setelah pemberian kortikosteroid oral maka dengan
dosis ekuivalen hendaknya diberikan per intravenous. Kortikosteroid oral membutuhkan minimal 4 jam
untuk menimbulkan perbaikan klinis yang setara dengan dosis harian kortikosteroid sistemik
metilprednisolon 60-80 mg dalam dosis tunggal, atau hidrokortison 300- 400 mg dalam dosis terbagi.
Methilprednisolon 40 mg cocok untuk pasien yang diopname. Kortikosteroid oral dosis 1 mg/kg perhari
cukup untuk pengobatan pada asma persisten sedang yg mengalami serangan pada anak-anak. Fakta
yang terkini mengungkapkan tidak ada untungnya melakukan tappering dosis pengobatan
gluokortikosteroid oral baik dalam pemberian jangka pendek atau lebih dari beberapa minggu.

3. Kortikosteroid Inhalasi
Pemberian kortikosteroid inhalasi sangat efektif dalam mengatasi asma dalam serangan. Kombinasi
dosis tinggi kortikosteroid inhalasi dan salbutamol pada asma dalam serangan memberikan efek
bronkodilator lebih besar dibandingkan salbutamol saja. Dan lebih bermanfaat jika penambahan
glukokortikosteroid sistemik termasuk pasien yang dirawat di rumah sakit, khususnya untuk pasien-
pasien dengan serangan yang lebih berat. Glukokortikosteroid inhalasi pada kasus kambuh, pasien
yang sebelumnya dirawat dirumah sakit dengan pemakaian obat sebelumnya dengan prednison atau
budesonid inhalasi. Dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi (2.4 mg budesonide per hari dalam 4 dosis
terpisah) serupa dengan 40 mg oral prednisone per hari dalam mengatasi kejadian kambuhnya
asma.Selain pemberian secara inhalasi lebih efektif ternyata faktor biaya juga berperan dalam
mencegah seringnya kejadian serangan berulang.
Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan dosis rendah dapat mengurangi eksaserbasi ringan
maupun berat. Terbukti pada uji klinis OPTIMA (Oxis and Pulmicort Turbuhaler in the Management of
Asthma) bahwa penggunaan budesonide 200 mg pada pasien asma serangan ringan yang belum
pernah mendapatkan terapi kortikosteroid sebelumnya dapat mengurangi resiko eksaserbasi asma
berat sebanyak 60 % dan total tingkat eksaserbasi secara keselutuhan sebanyak 40 %. Dengan studi
yang sama penderita yang sudah menggunakan kortikosteroid inhalasi sebelumnya, peningkatan dosis
menjadi 200-400 mg per hari tidak memberikan manfaat tambahan. Menurut penelitian FACET
(Formoterol and Corticosteroids Establishing Therapy) bahwa pemberian budesonide 200-800 mg/hari
akan mengurangi tingkat eksaserbasi derajat berat hampir 50%. Peningkatan dosis kortikosteroid
sampai empat kali dapat mengurangi resiko eksaserbasi.
Efek Samping dan Kontraindikasi Kortikosteroid

Efek samping kortikosteroid terjadi karena pemberhentian secara tiba-tiba atau pemberian terus menerus
terutama dengan dosis besar. Pemberhentian kortikosetroid jangka panjang secara tiba-tiba dapat
menimbulkan insufiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, atralgia dan malaise. Insufiensi terjadi
akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen
karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen. Gejala - gejala ini sukar dibedakan
dengan gejala reaktivasi artritis reumatoid yang sering terjadi jika kortikosteroid dihentikan.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan yang lama adalah gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia, dan glukosuria, mudah mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien tukak peptik sampai
perforasi, oeteoporosis, miopati yang karakteristik, psikosis, hubitus pasien cushing (antara lain moon face,
buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae, ekimosis, akne
dan hirsutisme).
Untuk menghindari efek samping dari pemakaian kortikosteroid (terutama pada pemakaian jangka
panjang) dianjurkan pemakaian kortikosteroid aerosol dengan inhalasi. Pemakaian aerosol (topikal)
dianjurkan sebagai cara pengobatan awal atau pun berlanjut pada kasus serangan asma ringan dimana
mobilitas penderitanya dalam keadaan normal. Tetapi bila serangan asma tidak terkendali dan sampai
menganggu mobilitas sehari-hari, pengobatan dilakukan dengan cara intensif untuk mencegah timbulnya
hiperresponsif saluran napas, serta akibat lain karena penyempitan saluran napas yang berlarut-larut.
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosisi tunggal besar bila
diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat
dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat diberikan untuk beberapa hari
atau beberapa minggu kontraindikasi realtif yaitu, diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya dapat diperhatikan. Dibutuhkan pertimbangan
matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

Pengobatan Beta 2 Agonist pada Serangan Asma


Asma serangan berat memerlukan pengobatan segera dengan memberikan inhalasi dengan bronkodilator
dan kortikosteroid intravena yang bertujuan untuk mencegah ancaman gagal napas dan pemakaian
ventilasi mekanik.
Inhalasi dengan beta- 2 agonis dan ipratropium bromida ditambah aminofilin secara bolus dan per
drip merupakan terapi utama pada asma serangan berat, dan dalam waktu singkat akan terlihat perbaikan
nyata.
Pada asma serangan ringan cukup diberikan bronkodilator, sedangkan pada serangan sedang
ditambah dengan kortikosteroid oral serta pemberian terapi oksigen dan cairan intravena bila diperlukan.
Pada asma serangan berat perlu penanganan sesegera mungkin dengan pemberian terapi oksigen,
mengatasi dehidrasi dengan cairan intravena, inhalasi obat bronkodilator, kortikosteroid sistemik, dengan
atau tanpa penambahan aminofilin. Dengan pedoman tata laksana tersebut memberikan angka
keberhasilannya yang cukup tinggi dalam mengatasi asma serangan berat.
Beta-2 agonist adalah pengobatan dengan efek terutama mempengaruhi otot-otot di sekitar jalan
napas bronchus dan bronchiolus. Ketika paru-paru teriritasi, otot-otot di sekitar jalan napas mengetat, yang
pada akhirnya akan menyebabkan penyempitan daripada saluran napas. Kondisi ini sering membuat
kesulitan bernapas (breathlessness). Beta-agonists bekerja dengan merangsang otot otot relaksasi,
pelebaran jalan napas. Kondisi ini menghasilkan pernapasan jadi lega.
Namun hal yang perlu diingat adalah obat-obatan beta-2 agonis kerja singkat sebagai pelega adalah
medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi
gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan
napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas.
Jenis-jenis beta 2- agonist dikelompokkan berdasarkan berapa rentang waktu mereka berfungsi:
a) Beta 2-agonist rentang pendek (short-acting) bekerja cepat (di rentang 3 sampai 5 menit), tetapi efektif
hanya 4 s/d 6 jam. Pengobatan tersebut sering diberikan sebagai obat pereda karena mereka segera
meredakan sesak napas Obat-obat tersebut dapat juga dipakai mencegah atau meredam gejala-gejala.
b) Beta 2- agonist rentang panjang (long-acting). Berfungsi sekitar 12 jam dan dikenal sebagai obat
pengontrol.
Beta 2-agonis kerja singkat dapat diberikan dengan beberapa cara tetapi yang terumum adalah
dengan inhalasi dihirup dengan suatu MDI, DPI atau dalam bentuk cairan yang diberikan melalui alat
nebulizer. Beberapa beta 2- agonis dalam bentuk oral dan intravenous dipakai juga, tetapi dengan
kemungkinan efek samping (side-effects) yang lebih banyak.
Obat-obat yang termasuk dalam beta 2 agonis kerja singkat yang beredar di Indonesia
adalah6,17Salbutamol, Terbutalin, Fenoterol, Prokaterol, Formoterol, Metaproterenol, Salmeterol, Pirbuterol,
Bitolterol, Isoetarin, Rotodrin.

Cara Kerja Beta- 2 agonis Kerja Singkat

Efek yang ditimbulkan oleh reseptor beta pada otot polos di bronkus adalah efek simpatis berupa relaksasi
sedangkan efek parasimpatis nya adalah kontraksi. Berdasarka perbedaan selektivitas agonis dan
antagonis nya, reseptor beta masih dibedakan lagi menjadi 3 subtipe yang disebut beta-1, beta-2, dan
beta-3. Aktivasi reseptor beta-2 menimbulkan relaksasi otot polos. Diantara agonis dari reseptor beta,
salbutamol adalah reseptor beta-2 yang cukup selektif, pada dosis yang menyebabkan bronkodilatasi dan
hanya sedikit menimbulkan stimulasi pada jantung.
Cara kerja short acting beta agonis yaitu merelaksasi otot-otot di saluran pernapasan, memudahkan
pasien untuk bernapas, memberikan kelegaan bernapas, digunakan saat terjadi serangan asma. Cara
kerja long-term medicines yaitu mengobati inflamasi pada saluran pernapasan, mengurangi udem dan
mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, membantu mencegah timbulnya serangan
asma. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma dibedakan menjadi golongan bronkodilator, golongan
kortikosteroid, dan obat-obat lain. Ada tiga jenis bronkodilator, yaitu simpatomimetika (β 2 agonist), metil
santin, dan antikolinergik.
Sari pustaka ini membicarakan tentang terapi asma menggunakan obat asma golongan
bronkodilator jenis simpatomimetika beta-2 agonis kerja singkat. Obat simpatomimetika merupakan obat
yang memiliki aksi serupa dengan aktivitas saraf simpatis. Sistem saraf simpatis memegang peranan
penting dalam menentukan ukuran diameter bronkus. Ujung saraf simpatis yang menghasilkan
norepinepherine, ephinepherine, isoprotenerol disebut adrenergic. Adrenergic memiliki dua reseptor alpha
dan beta (beta-1 dan beta-2). Adrenergic menstimulasi reseptor beta-2 (pada kelenjar dan otot halus
bronkus) sehingga terjadi bronkodilatasi. Mekanisme kerja obat simpatomimetika adalah melalui stimulus
reseptor beta-2 pada bronkus menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim ini mengubah ATP
(Adenosintrifosfat) menjadi cAMP (cyclic-adenosine-monophosphat) dengan pembebasan energi yang
digunakan untuk proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek
bronkodilatasi.
Obat simpatomimetika (beta-2 agonis) seperti salbutamol dan terbutalin merupakan obat beta-2
agonist yang paling aman dan paling efektif untuk asma. Serangan asma ringan sampai sedang umumnya
memberikan respon secara cepat terhadap pemberian inhalasi seperti salbutamol dan terbutalin. Untuk
serangan asma yang lebih berat, diperlukan kortikosteroid oral jangka pendek agar asmanya terkontrol.
Salmeterol dan formeterol kerjanya lebih panjang ( long acting), diberikan secara inhalasi 2 kali sehari.
salmeterol dan formeterol mampu memberikan manfaat klinis untuk penggunan rutin tetapi tidak dapat
dipakai untuk serangan asma akut. Obat simpatomimetika (beta-2 agonis) short-acting tidak boleh
diresepkan secara rutin untuk pasien dengan asma ringan atau sedang, karena berbagai uji klinik
penggunaannya secara rutin tidak memberikan manfaat klinis.

Efek Samping terhadap Pemakaian Beta-2 agonis

Efek samping beta- agonis berupa tremor, rasa gugup, khawatir, takikardia, palpitasi, nyeri kepala, mual
dan muntah, terutama pada pemberian per oral. Efek samping jarang terjadi pada pemakaian inhalasi. Efek
lainnya adalah hiperglikemia, hipokalemia, edema paru pada ibu hamil.
Penggunaan beta-2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati pada pasien dengan hipertensi,
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongetif, hipertiroid, diabetes. Disamping itu, penggunaan beta-2
agonis untuk menunda kelahiran dikontraidikasikan pada pasien dengan penyakit jantung atau diabetes
yang tergantung pada insulin.
Efek samping tersebut dapat berlangsung dalm beberapa menit dan mungkin berlangsung setelah
beberapa hari setelah pemakaian yang berkelanjutan. Kadang-kadang efek samping tidak hilang begitu
saja, dengan demikian pengobatan beta agonis perlu dihentikan. Sering efek terjadi karena terlalu banyak
lapisan obat tertempel di di rongga mulut Hal tersebut dapat dihentikan dengan melakukan pembersihan
lapisan dari rongga mulut dengan teknik pembersihan kumur-kumur. Banyak pengobatan short-acting beta-
agonists tidak boleh diulang sebelum 4 jam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Castro Mario, Lugogo NL, Kraft Monica. epidemiology of asthma. [book auth.] Castro Mario and Monica
kraft. clinical asthma. philadelphia : Elsivier Mosby, 2008, pp. 1-11.
2. The Merck Manual Twelft Edition, Bronchial Asthma, Etiology, The Merck Manual of Diagnosis and
Therapy, West Point, USA, hal 543.
3. Maranatha D.Asma Bronkial : Wibisono MJ, Winarni, Hriadi.s. Dalam : buku Ajar Ilmu penyakit Paru
2010. Edts. Departemen Ilmu Penyakit paru. Surabaya, 2010 : H 55-73.
4. Masoli M. Fabian D, Holt S, Beasley R. The global burden of asma: Executive summary of the GINA.
Allergy 2004: 59: 469-78.
5. Departemen Kesehatan RI. Situasi derajat kesehatan. Dalam profil kesehatan Indonesia 1997. Jakarta
Dep-Kes RI 1997; 49-101.
6. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto Edi, et all. Asma
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika;
2011: 3-103.
7. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. NHLBI/WHO
Workshop report. Updated 2011: 2-77.
8. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto Edi, et all. Asma
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika;
2011: 3-103.
9. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy and
asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and
asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.4.
10.Murugan AT, Calhoun WJ. Invasive Tests: Bronchoalveolar Lavage and Biopsy: The Scope of the Scope
in Clinical Asthma. 1st Ed. China: 2008: 25, 109.
11. Levy ML,FlectherM, Price Db Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP. International Primary Care Respiratory
Group Guidelines: diagnosis of respiratory care. Prim Care of Respir 2006; 15(1) ;20-34.
12.Sutoyo K D, Setyanto BD, Rengganis I, Yunus F, Sundaru H. DAI. Pedoman tata laksana asma.
Jakarta; CV. Mahkota Dirfan; 2011.
13.UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam:Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto BD,
editors. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: Balai Pustaka FK UI; 2004.
14.Departemen Kesehatan RI, Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, Badan RI,Jakarta;
2013.
15.Sunyer J, dan Anto JM. The public health implications of asthma, Bulletin of the World Health
Organization, 1997.
16.RamaiahS. ASI dan Menyusui. Jakarta; PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok;Gramedia; 2006.
17.Fitriani F, Yunus F, Rasmin M.Prevalens asma pada siswa usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISSAAC dan uji provokasi bronkus di Jakarta Selatan.J Respir Indo 2011; 31: (2): 81-89.
18.SundaruH. Perbandingan prevalens dan derajat berat asma antara daerah urban dan rural pada siswa
sekolah usia 13-14 tahun (disertasi). Jakarta: Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.
19.YunusF. Penatalaksanaan asma bronkial masa kini. Majalah Kedokteran Indonesia; Jakarta; 46; 10;
1996.
20.Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengendalian asma. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta; 2009: 10.
21.National Heart Lung and Blood Institute. National asthma education and prevention program expert
panel report 3. Guidelines for the diagnosis and management of asthma. US Departement of Health and
Human Services. 2007.
22.Handayani D dan Wiyono WH. Penatalaksanaan alergi makanan. J. Respir Indo; 2004.
23.Oddy WH, Peat JK, de Klerk NH. Maternal asthma, infant feeding, and the risk for asthma in childhood.
J. Allergy Clin Immunol.
24.Dachroni. Promosi kesehatan penanggulangan masalah rokok. Interaksi Media Promosi Kesehatan No
XIV; Jakarta; 2003.
25.Adningsih. Tidak merokok adalah investasi. Interaksi Media Promosi Kesehatan Indonesia No XIV;
Jakarta; 2003.
26.Vita Health. Asma informasi lengkap untuk penderita dan keluarganya. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka
Utama; 2006.
27.Lincre and Bush A. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ketujuh. Philadelphia ;
Elsevier Inc;1999.
28.Rodrigo C & Rodrigo G, Treatment of Acute Asthma, Lack of Therapeutic Benefit and Increase of the
Toxicity From Aminophylline Given in Addition to High Doses of Salbutamol Delivered by Metered-Dose
Inhaler With a Spacer, http//journal publications.chestnet.org March 11, 1994 Universida Catolica del
Uruguay, Montevideo. Uruguai.
29.Rozaliyani A, Susanto AD, Swidarmoko B, Yunus F. Mekanisme Resistens Kortikosteroid pada Asma. J
Respir Indo 2011; 31; 4; 210-223.
30.Winkler J, Hochhaus G, Derendorf H. How the Lung Handles Drugs Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics of Inhaled Corticosteroids. Proc Am Thorac Soc 2004; 1; 356–363.
31.Masoli M, Shirtcliffe P, Holt S, Weatherall M, Beasley R. Inhaled Corticosteroid Therapy in the
Management of Asthma in Adults In: Lung Biology in Health and Disease. Phamacotherapy of Asthma.
Li JT (edt). New York. 2006; 84.
32.O’Byrne PM. Pharmacologic Interventions to Reduce the Risk of Asthma Exacerbations. Proc Am
Thorac Soc. 2004; 1; 105–108
33.Supriyatno B, Dewi R, Indawati W. Penggunaan MgSO 4 pada Asma Serangan Berat: Laporan Kasus.
Sari Pediatri. 2009: (11): 3: 155-158
34.Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif a, Bahry B. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdy,
Elysabeth (edt). Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima (cetak ulang dengan tambahan). Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2012; 513
35.Singh D, Woodcock A. β agonists. In: Lung Biology in Health and Disease. Phamacotherapy of Asthma.
Li JT (edt). New York. 2006; 29-38.

Anda mungkin juga menyukai