Anda di halaman 1dari 7

Assyfa Nabila Gamal

D I Kepabeanan dan Cukai

1 – 29 / 06

Realita Proses Pembentukan UU

Diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan (“UU 12/2011”) . Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam UU
No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”).

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui
undang-undang adalah:

1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945


Pada UUD 1945 BAB II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 2 ayat (1)
disebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota – anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang – undang.
Dalam Pasal 2 ayat (1) terdapat undang – undang yang mengamanatkan yaitu UU Nomor
17 tahun 2014 yang menjelaskan secara rinci mengenai MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

2. Perintah Suatu UU Untuk Diatur Dengan Undang – Undang


Pada Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017 pasal 4 ayat (3) no 11 ”Ketentuan lebih
lanjut mengenai rincian Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2017 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Presiden”
Peraturan Presiden RI Nomor 97 Tahun 2016 tentang Rincian Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017 tercantum dalam lampiran I
3. Pengesahan Perjanjian Internasional Tertentu
Dalam hal ini pengesahan perjanjian internasional tertentu salah satunya Peraturan
Presiden RI Nomor 8 Tahun 2013 mengenai “Agreement Between The Government of The
Republic Of Indonesia and The Government of The Czech Republic on Cooperation Activities
in The Field Of Defence” Perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintar Republik Ceko
tentang kegiatan kerja sama di bidang pertahanan.
4. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) memberi jalan hukum
atas kebuntuan pelaksanaan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65
ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Aturan itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) alias pekerja
kontrak (outsourcing) menjadi pekerja tetap secara otomatis.

Dalam putusannya, Mahkamah memaknai frasa “demi hukum” dalam ketiga


pasal itu terkait pengesahan proses peralihan status dari PKWT ke PKWTT melalui
penetapan pengadilan negeri. Sebelum ke pengadilan kedua pihak (pekerja dan
pengusaha) telah menempuh upaya perundingan bipartit, tetapi tidak mencapai
kesepakatan dan adanya nota hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
pada Dinas Ketenagakerjaan di daerah.
5. Pemenuhan Kebutuhan Hukum Dalam Masyarakat
Penerima Bantuan Hukum yang diterjemahkan dengan orang orang atau kelompok
orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, memang tidak
begitu saja bisa memperoleh atau mengakses bantuan hukum sebagaimana yang
diamanatkan.
Dapat dikatakan UU Bantuan Hukum dilaksanakan atau diselenggarakan berdasarkan
asas-asas bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ini mempunyai asas Keadilan,
kersamaan kedudukan di dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Menurut penulis rumusan pengertian Penerima Bantuan hukum ini telah mengalami
penyempitan makna dari “orang yang tidak mampu” menjadi “orang yang tidak mampu
secara ekonomi”.
Bagaimana dengan orang atau kelompok tidak mampu lainnya, antara lain orang atau
kelompok yang termarjinalkan karena suatu kebijakan publik; Orang atau kelompok yang hak-
hak sipil dan politiknya terabaikan; Komunitas masyarakat adat; perempuan dan penyandang
cacat hingga mereka para korban pelanggaran hak-hak dasar seperti penggusuran dan lain-
lain.
Penerima Bantuan Hukum yang diterjemahkan dengan orang orang atau kelompok
orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, memang tidak
begitu saja bisa memperoleh atau mengakses bantuan hukum sebagaimana yang
diamanatkan.

Anda mungkin juga menyukai