Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seluruh warga negara Indonesia selayaknya dijamin haknya atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sampai saat ini masalah

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi sebagian masyarakat Indonesia masih

terus menjadi persoalan mendasar, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi

dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Pembangunan ekonomi yang berbasis

modal tidak mampu menyelesaikan seluruh masalah ketenagakerjaan seperti

kesempatan kerja, pengangguran, dan kemiskinan. Masalah perekonomian bukan

hanya menyangkut masalah pekerjaan dan penghidupan yang layak tetapi juga

terletak struktur lapangan kerja dan status pekerjaan, tingkat upah dan penghasilan

yang relatif rendah terhadap kebutuhan hidup layak, masalah kompetensi dan

produktivitas yang kurang dapat bersaing, dan masalah ketenagakerjaan lainnya

yang saling kait- mengkait. Rendahnya kualitas SDM yang tercermin dari tingkat

pendidikan dan pelatihan akan mempengaruhi daya saing perekonomian.

Diperlukan program peningkatan kompetensi kerja SDM Indonesia dalam rangka

mendorong peningkatan daya saing perekonomian nasional.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan),

khususnya mengenai tenaga kerja dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian

kerja), pada dasarnya adalah merupakan hubungan hukum perdata (privaatrecht).

Namun, agar manusia sebagai makhluk Ilahi tidak dieksploitasi (exploitation de

1
2

long parlong) dan agar tidak terjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM), maka

Negara mengatur (melalui UU) perlindungan kepada tenaga kerja serta

memperketat persyaratan (administratif) untuk mempekerjakan seorang tenaga

kerja.

1.2. Rumusan Masalah

 Apakah yang dimaksud dengan Hukum Ketenagakerjaan ?

 Apakah yang dimaksud dengan Ketentuan Pidana ?

 Apakah yang dimaksud dengan Sanksi Administratif ?

1.3. Tujuan

 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum

Ketenagakerjaan;

 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ketentuan Pidana pada

Hukum Ketenagakerjaan;

 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sanksi Administratif

pada Hukum ketenagakerjaan.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan adalah

segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan

sesudah masa kerja.

Menurut pakar hukum, Bellefroid mengatakan bahwa “hukum adalah

peraturan yang berlaku di suatu masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan

didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat tersebut“. Sementara di

dalam Ensiklopedia, “Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-

peraturan, tata aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur

hubungan-hubungan antara anggota masyarakat”.1 Menurut pendapat penulis,

hukum adalah aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa yang bersifat mengikat

dan memaksa, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang bertujuan untuk

mengatur tingkah laku manusia agar tercipta ketenteraman.

Dengan demikian pengertian dari hokum ketenagakerjaan itu adalah

seluruh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak atau Instansi yang

berwenang, mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja

pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.

Menurut Soetiksno, pengertian hokum ketenagakerjaan merupakan

keseluruhan peraturan-peraturan jukum mengenai hubungan kerja yang

mengakibatkan seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan orang

3
4

lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan

hubungan kerja tersebut.

Menurut Prof. Imam Soepomo, diartikan sebagai himpunan dari

peraturan-peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang

berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan

menerima upah.

Menurut Molenar, pengertian dari hokum ketenagakerjaan adalah bagian

dari hokum yang berlaku di suatu Negara, yang pada pokoknya mengatur

hubungan antar buruh dengan buruh dan antara buruh dan penguasa.

Sedangkan menurut NEH Van Asveld, menegaskan bahwa hokum

ketenagakerjaan merupakan hokum yang bersangkutan dengan pekerjaan di

dalam hubungan kerja dan di luar hubungan kerja.

Dasar daripada hokum ketenagakerjaan merupakan Pasal 27 ayat (2) UUD

1945 yang menyatkan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan yang

layak bagi kemanusiaan”. Secara umum, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal

28, dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 juga menjadi dasar hokum utama. Berdasarkan

pondasi tersebut terbentuklah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang menjadi dasar hokum utama dalam bidang

ketenagakerjaan.

2.2. Pengertian Sanksi

Seorang filosof Yunani,Aristoteles, mengatakan bahwa manusia adalah

zoon politicon, artinya manusia merupakan makhluk yang hidup bermasyarakat.

Sejak lahir hingga meninggal, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat dan


5

melakukan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan antara seseorang

dengan orang-orang lain mungkin bersifat langsung ataupun tidak langsung.

Hubungan itu menyebabkan kehidupan bermasyarakat antara manusia saling

membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kebutuhan dapat sama dengan satu yang

lainnya, atau bahkan dapat bertentangan/berlawanan.

Pertentangan-pertentangan tersebut dapat menimbulkan perselisihan dan

kekacauan di dalam masyarakat, untuk mengatasinya diadakan ketentuan yang

mengatur yaitu tata tertib yang dapat mengembangkan kepentingan yang

bertentangan tersebut, sehingga timbul kedamaian (Rust en Orde). Ketentuan-

ketentuan tersebut merupakan petunjuk hidup yang merupakan hukum yang

berkembang bersama-sama masyarakat atau dengan lain perkataan hukum berarti

tertib social.

Berbicara mengenai hukum, maka sebaiknya membahas tentang artinya

terlebih dahulu. Secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab yaitu “Alkas”,

bahasa Jerman disebut sebagai “Recht”, bahasa Yunani yaitu “Ius”, sedangkan

dalam bahasa Prancis disebut “Droit”. Kesemuanya itu mempunyai arti yang

kurang lebih sama, yaitu hukum merupakan paksaan, mengatur dan memerintah.

Menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip oleh Soeroso dalam bukunya

yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum merupakan

himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah) dan larangan-larangan yang mengatur

tata tertib dalam sesuatu masyarakat dan seharusnyalah ditaati oleh anggota

masyarakat itu. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk tersebut dapat menimbulkan

tindakan dari pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.


6

Menurut P. Borst hukum adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau

perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan

dan bertujuan agar menimbulkan tata kedamaian atau keadilan. Pelaksanaan

peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi,

berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti-rugi

bagi yang menderita.

Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum

berkaitan dengan sanksi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya hukum itu

memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur,

terdapat larangan-larangan.Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat

menimbulkan sanksi. Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa

tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa tertentu karena dianggap

merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut. Dengan

cara memaksa, maka suatu penderitaan dikenakan terhadap seseorang dengan paksa

walaupun yang bersangkutan tidak menghendakinya.

Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or

coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a

sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang

dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang. Sedangkan pengertian

sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan (tindakan

atau hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan

undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya); tindakan

(mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu negara; Hukum, a


7

imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum;

b imbalan positif, yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum.

Berbagai tipe ideal dapat dirumuskan atas dasar cara-cara perilaku manusia

dilaksanakan berdasarkan perintah atau larangan. Suatu tertib sosial mungkin

memerintahkan agar manusia melakukan perbuatan tertentu, tanpa memberikan

akibat tertentu apabila perintah itu ditaati atau dilanggar. Suatu tertib sosial dapat

pula memerintahkan agar suatu perbuatan dilakukan sekaligus dengan imbalan atau

hukumannya. Imbalan dan hukuman merupakan sanksi-sanksi, namun lazimnya

hanya hukuman yang disebut sebagai sanksi.

Menurut Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif

masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu masyarakat.

Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi.

Esensi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum bersandar pada

sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial tertentu. Dalam

kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk menjaga hukum dan ada sebuah

organ dari komunitas yang melaksanakan hal tersebut. Setiap norma dapat

dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu harus dilihat

berhubungan dengan norma yang lainnya.

2.2.1 Ketentuan Pidana

Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan

dengan pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum

administrasi. Pendekatan yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk
8

mencegah dan mengatasi kejahatan melalui hukum pidana dengan pelanggaran

dikenakan sanksinya berupa pidana. Menurut Roeslan Saleh, sebagaimana yang

dikutip oleh Samsul Ramli dan Fahrurrazi, mengemukakan pendapat bahwa pidana

adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja

ditimpakan negara pada pembuat delik (perbuatan yang dapat dikenakan hukuman

karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang). Hukum pidana

menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu dalam

prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.

Wujud atau sifat perbuatan pidana itu adalah melawan hukum dan/atau

perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan

dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat

yang dianggap baik dan adil. Namun, perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak

pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan

kata lain, untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, harus

dilihat dari rumusan undang-undang.10 Sumber hukum pidanadi Indonesia

merupakan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) sebagai induk aturan

umum dan peraturan perundang-undangan khusus lainnya di luar KUHP. Sebagai

induk aturan umum, KUHP mengikat peraturan perundang-undangan khusus di luar

KUHP. Namun, dalam hal-hal tertentu peraturan perundang-undangan khusus

tersebut dapat mengatur sendiri atau berbeda dari induk aturan umum, seperti

misalnya UU RI No. 39 Tahun 2004.Bentuk hukuman Pidana diatur dalam Pasal

10 KUHP, yaitu :

1. Pidana Pokok, yang terbagi atas :


9

a. Pidana Mati;

b. Pidana Penjara;

c. Pidana Kurungan;

d. Pidana denda;

e. Pidana Tutupan.

2. Pidana Tambahan, yang terbagi atas :

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman Putusan Hakim

Sanksi pada Pasal 183 :

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,

dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tindak

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pelanggaran :

Pasal 74 :

Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-

pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada

ayat (1) meliputi: segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk

pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; segala pekerjaan

yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan


10

perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

dan/atau semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral

anak. Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau

moral anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan

Keputusan Menteri.

Sanksi di Pasal 184 :

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167

ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). Tindak

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pelanggaran :

Pasal 167 Ayat 5 :

Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang

mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun

maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar

2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156

ayat (4).

Sanksi di Pasal 185 :

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42

ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat

(1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara
11

paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling

sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pelanggaran :

Pasal 42 :

Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib

memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberi kerja orang

perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing

Pasal 68 :

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

Pasal 69 Ayat 2 :

Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: izin tertulis dari orang tua

atau wali; perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; waktu kerja

maksimum 3 (tiga) jam; dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu

sekolah; keselamatan dan kesehatan kerja; adanya hubungan kerja yang jelas; dan

menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 80 :

Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada

pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya

Pasal 82 : Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama

1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
12

bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.

Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak

memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan

dokter kandungan atau bidan.

Pasal 90 Ayat 1 :

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

Pasal 143 :

Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat

pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara

sah, tertib, dan damai. Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau

penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang

melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

Pasal 160 Ayat 4 dan 7 :

Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam)

bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan

tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.

Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami

pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5),

uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang

penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).


13

Sanksi di Pasal 186 :

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan

sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun

dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pelanggaran Pasal 35 Ayat 2 dan 3 :

Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja

Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan

tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,

keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 93 Ayat 2 :

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan

pengusaha wajib membayar upah apabila: pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat

melakukan pekerjaan pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan

kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; pekerja/buruh

tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,

membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau

isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga

dalam satu rumah meninggal dunia; pekerja/buruh tidak dapat melakukan

pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;


14

pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah

yang diperintahkan agamanya; pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang

telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan

sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; pekerja/buruh melaksanakan tugas

serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan pekerja/buruh

melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Pasal 137 :

Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat

buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138 Ayat 1 :

Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud

mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung

dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

Sanksi di Pasal 187 :

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),

Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan

Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan

paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana

pelanggaran.
15

Pelanggaran Pasal 37 ayat 2 :

Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib

memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 44 ayat 1 :

Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan

dan standar kompetensi yang berlaku.

Pasal 45 ayat 1 :

Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: menunjuk tenaga kerja warga

negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan

untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan melaksanakan

pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud

pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja

asing.

Pasal 67 ayat 1 :

Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib

memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 71 ayat 2 :

Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib memenuhi syarat: di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;

waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan kondisi dan lingkungan kerja tidak

mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

Pasal 76 :
16

Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)

tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00. Pengusaha dilarang

mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter

berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila

bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00. Pengusaha yang mempekerjakan

pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib: memberikan

makanan dan minuman bergizi; dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di

tempat kerja. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi

pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00

s.d. pukul 05.00. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur

dengan Keputusan Menteri.

Pasal 78 ayat 2 :

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

Pasal 79 ayat 1 dan 2 :

Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.

Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah beker-ja

selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam

kerja; istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)

minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; cuti

tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang

bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
17

istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun

ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah

bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama

dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya

dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa

kerja 6 (enam) tahun.

Pasal 85 ayat 3 :

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan

pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah

kerja lembur.

Pasal 144 :

Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang: mengganti

pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan;

atau memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada

pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah

melakukan mogok kerja.

Sanksi di Pasal 188 :

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),

Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling

sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00


18

(lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pelanggaran Pasal 14 ayat 2 :

Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Pasal 38 ayat 2 :

Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja

dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.

Pasal 63 ayat 1 :

Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka

pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang

bersangkutan.

Pasal 78 ayat 1 :

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: ada

persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan waktu kerja lembur hanya dapat

dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam

dalam 1 (satu) minggu.

Pasal 108 ayat 1 :


19

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah

disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 111 ayat 3 :

Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib

diperbaharui setelah habis masa berlakunya.

Pasal 114 :

Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan

naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh

Pasal 148 :

Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh

dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum

penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya

memuat:

waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan

(lock out); dan alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh

pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 189 :
20

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan

kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga

kerja atau pekerja/buruh.

2.2.2. Sanksi Administratif

Pada hakikatnya, hukum administrasi negara memungkinkan pelaku

administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap

sikap administrasi negara, serta melindungi administrasi negara itu sendiri. Peran

pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus

diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam

melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut dinamakan

hukum administrasi negara.

Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat

hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum

Administrasi Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi

dalam hukum administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat

hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai

reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving). Jenis Sanksi Administrasi

dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:

a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula

sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom;

b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada

seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif;


21

c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang

diterbitkan.

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari

tujuan pengenaan sanksi itu sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada

perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar

dengan memberi hukuman berupa nestapa. Sanksi administrasi dimaksudkan agar

perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah reparatoir artinya

memulihkan pada keadaan semula. Di samping itu perbedaan antara sanksi pidana

dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. Sanksi adminitrasi

diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur peradilan,

sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses

pengadilan.

Sanksi administrative menurut UU No 13 Tahun 2003 sebagai berikut :

Pasal 190 :

Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas

pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal

15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal

87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa: teguran;

peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha;


22

pembatalan persetujuan; pembatalan pendaftaran; penghentian sementara

sebahagian atau seluruh alat produksi; pencabutan ijin.

Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pelanggaran :

Pasal 5 :

Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi

untuk memperoleh pekerjaan.

Pasal 6 :

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa

diskriminasi dari pengusaha.

Pasal 15 :

Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan: tersedianya

tenaga kepelatihan; adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;

tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan tersedianya dana bagi

kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 25 :

Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin

dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk memperoleh izin sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum

Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


23

Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah

Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan

Keputusan Menteri.

Pasal 38 ayat 2 :

Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja

dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.

Pasal 45 :

Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: menunjuk tenaga kerja warga

negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan

untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan melaksanakan

pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud

pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja

asing.

Pasal 47 ayat 1 :

Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing

yang dipekerjakannya.

Pasal 48 :

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan

tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Pasal 87 :

Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan

kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Ketentuan


24

mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 106 :

Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang

pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Lembaga

kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum

komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.

Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk

oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di

perusahaan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan

lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur

dengan Keputusan Menteri.

Pasal 126 ayat 3 :

Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja

bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.

Pasal 160 ayat 1 dan 2 :

Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga

melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak

wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga

pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:


25

 untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari

upah;

 untuk 2 (dua)orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari

upah;

 untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus)

dari upah;

 untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh

perseratus) dari upah.

Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama

6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh

pihak yang berwajib.


BAB III

PENUTUP

Pengaturan (dalam UU) tersebut baik mengenai waktu kerja dan waktu

istirahatnya, keselamatan dan kesehatan kerjanya (K3), maupun mengenai upah dan

jaminan sosialnya (social savety net and social security) serta bentuk perlindungan-

perlindungan lainnya. Oleh karena itu, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran UU

Ketenagakerjaan, di samping terdapat sanksi (konsekuensi) perdata, juga ada sanksi

pidana serta sanksi yang bersifat administratif.

Terdapat beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur

mengenai sanksi perdata (contoh misalnya pasal 59 ayat [7] UU Ketenagakerjaan),

di samping itu, para pihak – juga - harus memperjanjikan konsekuensi – perdata -

lainnya dalam perjanjian kerja (PK) dan/atau dalam peraturan

perusahaan/perjanjian kerja bersama (PP/PKB) bila terjadi wanprestasi.

Sedangkan, sanksi pidana dan sanksi administratif diatur dalam pasal 183 s/d pasal

189 serta pasal 190 UU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), apabila terjadi perselisihan hubungan

industrial – sampai di Pengadilan Hubungan Industrial/PHI -, hukum acara yang

berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum (yakni HIR/RBG), kecuali diatur secara khusus dalam

UU (mengenai PPHI) ini.

26

Anda mungkin juga menyukai