Anda di halaman 1dari 35

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam Refleksi Kasus

Program Profesi Dokter Universitas Mulawarman


RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSUS

(SLE)

Disusun Oleh:

Nadia Shahnaz 1610029042


Cassandra Savira Alisa 1610029028

Pembimbing:

dr. M. Natsir Akil, Sp. PD - KR

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Balikpapan
Februari 2017

i
Refleksi Kasus

SISTEMIK LUPUS ERITOMATOUS


(SLE)

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Dalam
Nadia Shahnaz 1610029042
Cassandra Savira Alisa 1610029028

Menyetujui,
dr. M. Natsir Akil, Sp. PD - KR

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
BALIKPAPAN
FEBRUARI 2017

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus dengan judul “Lupus
eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus)”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak
yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya refleksi kasus ini,
diantaranya:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman.
3. dr. Kuntjoro Yakti, Sp. PD, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. M. Natsir Akil, Sp. PD - KR, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan saran selama penulis menjalani co.assisten di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam,
khususnya di bidang reumatologi.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar Lab/SMF Ilmu Penyakit
Dalam, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan kepada penulis.
6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNMUL dan semua pihak yang
telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan
kepenulisan di masa mendatang.

Balikpapan, 24 Februari 2017

iii
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................1
BAB 2 STATUS PASIEN................................................................................................................2
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................8
BAB 4 PEMBAHASAN...............................................................................................................21
BAB 5 KESIMPULAN.................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................25

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan
penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi
klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang
wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik
dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender
wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total
pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000
pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut
adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%,
keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang
dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan SLEi subkutaneus
akut 6,7%.

Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang
berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.

Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan risiko kematian
yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini SLE serta penatalaksanaan yang tepat.

5
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai
Systemic Lupus Erythematosus, serta meningkatkan kemampuan dalam menganalisa data dan
permasalahan yang ditemukan pada kasus tersebut.

6
BAB 2
STATUS PASIEN

2.1. Identitas
Nama : Ny. PF

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 34 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Pendidikan Terakhir : SMA

Alamat : Jl. Ahmad Yani No 32 Balikpapan

2.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik Reumatologi RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dengan


keluhan sesak napas dan pandangan gelap sejak 2 hari SMRS. Menurut pasien sebenarnya ia sering
sesak napas terutama jika pasien lelah. Sesak napas tanpa disertai suara “ngik-ngik”. Menurut
pengakuan pasien, ia merasa cepat lelah dan lemas sejak 7 tahun SMRS, namun semakin memberat
dalam beberapa hari terakhir ini. Pasien juga mengeluhkan wajah dan kedua kakinya bengkak,
sebelumnya pasien juga sering mengalami keluhan ini sejak 7 tahun terakhir. Nafsu makan pasien
menurun selama keluhan ini muncul. Selain itu, pasien juga sering mengeluhkan pusing dan sakit
kepala, mual, nyeri pada seluruh sendi tubuh, dan rambut rontok sejak 7 tahun SMRS. Selain itu,
batuk dan pilek juga dialami pasien selama 3 hari, berdebar – debar juga dialami pasien sejak 2 hari
SMRS. Pasien mengatakan kulitnya memerah bila terkena cahaya matahari secara langsung,
terutama di daerah wajah yaitu pada pipi kanan dan kiri. Keluhan sariawan selama 7 tahun terakhir
disangkal. Pasien mengaku sering merasakan tubuhnya sumer-sumer yang hilang timbul sejak 7
tahun terakhir. Riwayat alergi disangkal. BAK sering sejak pasien mengkonsumsi obat dari dokter.
BAB dalam batas normal.

7
Riwayat Penyakit Dahulu :

1. Sejak 7 tahun yang lalu pasien pernah didiagnosis oleh dokter dengan sakit Sistemik Lupus
Eritomatous (SLE).

2. Asma bronkhial sejak masih kecil

3. Hipertensi sejak 7 tahun yang lalu ( sering kontrol dan mengkonsumsi obat losartan).

4. Pasien memiliki riwayat pembengkakan pada jantung sejak 7 tahun yang lalu

5. Riwayat DM (-). Asam Urat (-), Kolesterol (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

1. di keluarga pasien, ayah dan ibunya menderita asma

2. tidak ada anggota keluarga yang menderita SLE

Riwayat Psikososial :

Pasien sudah menikah dan tinggal dengan suami dan anaknya. Pasien merupakan seorang
ibu rumah tangga. Hubungan dengan keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja baik.

Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun makanan.

2.3. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Kondisi Umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis
b. Tanda Vital
TD : 190/100 mmHg
N : 101 x/i, regular, kuat angkat
RR : 25 x/I, regular
T : 36,7º C
c. Kepala dan Leher
Umum
Ekspresi : tampak sakit sedang
Kepala : normochepale
8
Rambut : mudah rontok
Wajah : edema (+), butterfly rush (+)
Pipi : Malar rash (+)

Mata
Bola mata : normal
Alis : normal
Kelopak : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : isokor, 3mm/3mm
Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal
Pendengaran : tidak dapat dievaluasi

Hidung
Penyumbatan : (-/-)
Perdarahan : (-/-)
Daya penciuman : tidak dapat dievaluasi
Pernapasan cuping hidung : tidak ada

Mulut
Bibir : pucat (-), sianosis (-), bercak merah (-)
Gigi : normal
Gusi : berdarah (-)
Sariawan: tidak ada

Leher
Posisi trakea : di tengah

9
d. Thoraks
Paru

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi


Besar dan bentuk Pergerakan Sonor pada Vesikuler (+/+),
normal, pergerakan napas lapangan paru rhonki basal (+/
napas simetris, simetris, kanan dan kiri. +), wheezing
retraksi ICS (-), fremitus Redup pada paru (-/-)
jarak ICS normal suara simetris bawah kanan
dan kiri.
Batas paru-
hepar di MCLD
ICS VI

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi


iktus kordis tidak Teraba iktus Batas kanan: S1S2 reguler,
tampak kordis di ICS linea parasternal murmur (-),
5, 2 cm dextra gallop (-)
lateral linea Batas kiri: relatif
mid klavikula sesuai dengan
sinistra iktus kordis

e. Abdomen

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi


Distensi (+), Soefl, NT abd (-), Redup (+) pada BU (+) kesan
tampak massa (-), 4 kuadran, normal
striae organomegali (-), Asites (+)
distensae tugor kulit baik
lupus
nefrotik

10
f. Ekstremitas
Superior
Teraba hangat, CRT < 2”
Kulit : normal
Jari : clubbing finger (-)
Edema : (-/-)
Sianosis : (-/-)
Nyeri tekan sendi : (+/+)

Inferior
Teraba hangat, CRT < 2”
Kulit : Normal
Edema : (+/+)
Sianosis : (-/-)
Nyeri tekan sendi : (+/+)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium 17/02/2017 :

Leukosit : 16,330/uL (4.500-11.500/uL)

Hb : 7,9 g/dL (12 - 15 g/dL)

Ht : 23,3% (35,0-49,0%)

PLT : 167.000/uL (150.000-450.000/uL)

Hitung Jenis :

Eosinofil : 2,1 (1,0-3,0)

Basofil : 0,1 (0,0-2,0)

Segmen : 63,5 (50,0-70,0)

Limfosit : 25,2 (18,0-42,0)

Monosit : 9,1 ( 2,0-11,0)

Glukosa Sewaktu : 95 ( 76-180 )

SGOT : 12 ( 10 – 35 )

11
SGPT : 8 ( 10 – 35 )

Ureum : 104,2 ( 14 – 40 )

Kreatinin : 5,21 ( 0,5 – 0,9 )

Natrium : 141 ( 136 – 146 )

Kalium : 3,6 ( 3,5 – 5,1 )

Kalsium : 0,97 ( 1,12 – 1,32 )

Pemeriksaan Laboratorium 18 Februari 2017


Albumin : 1,94 g/dl ( 3,5 – 5,2 g/dl )
Pemeriksaan Laboratorium 19 Februari 2017
Albumin : 2,46 g/dl ( 3,5 – 5,2 g/dl )

2.5. Diagnosis Kerja


SLE on terapi + SN + CKD + dispneu + febris.

2.6. Tatalaksana
o IVFD D5% : asering 1 : 1 28 tpm
o Metilprednison 125 mg/ 24 jam
o Pantoprazole 1 ampul / 12 jam
o Lasix 1 ampul / hari
o Transfusi albumin 20 % 100 cc
o Amlodipin 1 x 10 mg
o Ceftriaxone 2 x 1 gram

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit
ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2009).

13
3.1. Epidemiologi
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia
dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-
400/100.000 dan terutama menyerang wanita usia reproduktif yaitu 15-40 tahun. Rasio wanita
dibandingkan pria berkisar antara (5,5-9):1. Berdasarkan penelitian di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata adalah 37,7 per 10.000 perawatan (IDI, 2014).

3.2. Etiopatogenesis
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan interaksi
yang kompleks dan multifaktorial. Beberapa hal yang diduga berperan dalam kejadian SLE yaitu :

1. Faktor Genetik
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas
II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam
fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen
lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin
(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2009).

2. Faktor hormonal
Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal
(HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme
pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun
merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi
imun, meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan
peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan
memproduksi autoantibodi patogenik.

14
SLE lebih banyak diderita oleh wanita terutama usia produktif. Wanita yang mengalami SLE
memiliki konsentrasi androgen plasma yang rendah. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif
dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi leptin pada wanita SLE didapatkan kadarnya lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol sehat (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2009).

3. Faktor Autoantibodi
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen 8 MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-
kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal
membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.

Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan
anti-DNA). Antibodi antinuklear (ANA) merupakan antibodi paling banyak ditemukan pada
penderita SLE (>95%). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti small nuclear ribonuleo
protein (anti-Sm) merupakan antibodi spesifik untuk SLE. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi
respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi,
& Suarjana, 2009).

Tabel 1. Autoantibodi patogenik pada SLE (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2009)

Antigen spesifik Prevalensi Efek klinis utama


Anti ds-DNA 70-80% Gangguan ginjal, kulit
Nukleosom 60-90% Gangguan ginjal, kulit
Ro 30-40% Gangguan ginjal, kulit, dan jantung
fetus
La 15-20% Gangguan jantung fetus
Sm 10-30% Gangguan ginjal
Reseptor NMDA 33-50% Gangguan otak
Fosfolipid 20-30% Trombosis, abortus

15
Alpha-Actinin 20% Gangguan ginjal
C1q 40-50% Gangguan ginjal

4. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet,
tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi
karena menyebabkan apoptosis keratinosit.

Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki
resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu
amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada
penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit.
Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2009).

3.3. Manifestasi Klinis


1. Manifestasi Konstitusional
 Kelelahan, merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita SLE dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
 Penurunan berat badan, dijumpai pada sebagian penderita SLE dan terjadi dalam beberapa
bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.

16
 Demam, sebagai salah satu gejala konstitusional SLE sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.
 Gejala lainnya, seperti rambut rontok, hilang nafsu makan, pembesaran KGB, bengkak,
sakit kepala, dan mual muntah.
2. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute Cutaneous Lupus
Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa
SLEi vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena
Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat pula
ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi pada bibir.

3. Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita SLE mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa
nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid
karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada SLE tidak
meyebabkan kelainan deformitas. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga
sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya
berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita SLE<5% kasus. Miopati juga
dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis
sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

4. Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli paru,
hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus
dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis
lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang
sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan

17
penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan plasmafaresis atau pemberian
sitostatika.

5. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis
ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15%
kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction
rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis
Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50%
SLE disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus
dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.Wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit
jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44
tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

6. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5
tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak
tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Penilaian keterlibatan ginjal
pada pasien SLE harus dilakukan dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk
melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens
kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan
hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan
untuk biopsi ginjal.

7. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit SLE atau sebagai akibat pengobatan.
Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih
kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid
serta didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada

18
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

8. Manifestasi Hematologi
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik
normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis
erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.

9. Manifestasi Neuropsikiatrik
Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih
banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis,
uremia, dan hipertensi berat. Manifestasi neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada
SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik
sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran
yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi. (EEG)
juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

3.4. Pemeriksaan Penunjang


1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila

diperlukan kreatinin urin

3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
19
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan
diagnosis SLE
6) Foto polos thorax

- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring


- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

3.5. Diagnosis
Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis American College of
Rheumatology (ACR) 1997 revisi, dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR
untuk SLE.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis SLE (IDI, 2014)

20
Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan
bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu
SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (IDI, 2014).

21
3.6. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjögren

c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

3.7. Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE


 Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf
pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

 Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:


a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
 Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade


jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
fibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
22
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia <
20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

3.8. Penatalaksanaan
Pilar pengobatan SLE, yaitu :

1. Edukasi dan konseling


Tabel 3. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2009)

1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.

2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masingtipe tersebut.

3. Masalah yang terkait dengan fi sik: kegunaan la han terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.

4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,


mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,

mengatasi rasa nyeri.

5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotik

6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok


pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

2. Program rehabilitasi
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti

23
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada
pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

3. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain

Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE (IDI, 2014)

24
25
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:

 Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama
pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,
manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
 Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis.
 Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
 Danazol pada trombositopenia refrakter.
 Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE ringan.
 Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat
lainnya.
 Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
 Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B
telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)
 Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).
 Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

26
Bagan 1. Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE sesuai dengan
keparahan manifestasinya. TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh KS adalah
kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat anti in lamasi
steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.

3.10. Prognosis Penyakit SLE


Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila
mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan SLE telah
menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5
tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun
terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia
dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang
berhubungan dengan SLE dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan
dalam pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.
27
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, Pasien Ny. PF umur 34 tahun datang ke RSU
Kanujoso Djatiwobowo pada tanggal 17 Februari 2017 dengan keluhan sesak napas dan pandangan
gelap. Diagnosa masuk dan diagnosa kerja pasien ini adalah lupus eritematosus sistemik (SLE).
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.

2.1. Anamnesa
Teori Kasus
o Perempuan >> laki-laki o Jenis kelamin Perempuan
o Usia produktif o Usia 34 tahun
o Riwayat keluarga menderita penyakit o Riwayat keluarga penyakit
autoimun. autoimun (-)
o Faktor lingkungan dapat menjadi o Riwayat merokok (-)
o Riwayat konsumsi obat (-)
pemicu pada penderita lupus,
o Pasien sebelumnya telah
seperti radiasi ultra violet, tembakau,
didiagnosis menderita SLE sejak 7
obat-obatan, virus.
tahun lalu
o Manifestasi klinik LES sangat
o Pasien terkadang merasakan sesak
beragam dan seringkali tidak terjadi
napas bila pasien terlalu banyak
saat bersamaan. Keluhan awal
aktivitas
dapat berupa: o Pasien sering merasa cepat lelah
Kelelahan dan lemas sejak 7 tahun SMRS,
Nyeri sendi yang berpindah-pindah namun semakin memberat dalam
Rambut rontok beberapa hari terakhir.
Ruam pada wajah o Pasien sering mengalami nyeri

Sakit kepala pada sendi seluruh tubuh sejak 7

Demam tahun yang lalu.


o Rambut pasien rontok yang mulai
Ruam kulit setelah terpapar sinar
dirasakan sejak 7 tahun yang lalu.
matahari o Pasien mengaku pernah
Gangguan kesadaran mengalami ruam di wajah yaitu
28
daerah pipi kanan dan kiri
o Keluhan pusing dan sakit kepala
dirasakan pasien terutama saat
pasien dalam keadaan lelah
o Pasien mengeluhkan tubuhnya
sumer-sumer hilang timbul sejak 3
hari SMRS
Sesak o Pasien mengaku kulitnya akan
Edema anasarka memerah bila terpapar sinar
Sariawan yang tidak nyeri matahari langsung.
Keluhan GIT o Pasien juga mengeluhkan wajah
dan kedua kakinya membengkak,
sebelumnya pasien juga sering
mengalami keluhan ini
o Keluhan sariawan disangkal
o Nafsu makan pasien menurun
sejak keluhan ini muncul
o Kadang pasien merasa mual
namun tidak muntah

2.2. Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
o Edema merupakan gejala klinis o KU : sedang, CM
o TD : 190/100 mmHg, T : 36,7 C, N:
yang menonjol, edema umumnya
101x/i kuat angkat, RR: 25x/i
pada kedua kelopak mata
o K/L : rambut rontok (+),
o Manifestasi Konstitusional seperti
konjungtiva anemis (-/-), wajah
kelelahan, penurunan BB, gangguan
bengkak (+), bibir kering dan
29
GI, demam tampak bercak merah (+), sariawan
o Kelainan kulit dapat berupa
(-), pembesaran KGB (-)
fotosensitifitas, LED, SCLE, lupus o Th : ves (+/+), wh (-/-), rh basal (+/
profundus / paniculitis, allopecia. +), S1S2 tunggal, reguler
o Mengalami keluhan o Abd : distensi (+), soefl, BU(+)N,
muskuloskeletal dapat berupa NTE (-), striae distensiae lupus
mialgia, artralgia atau arthritis nefrotik (+)
o Manifestasi paru seperti o Ekst sup : hangat, sianosis (-/-),
pneumonitis, emboli paru, pucat (-/-), bercak merah (-/-), kulit
hipertensi pulmonum. mengelupas (-), edema (-/-), nyeri
o Manifestasi kardiovaskular berupa
tekan sendi (+/+), tanda inflamasi
perikarditis, efusi pericardial.
(-/-), krepitasi (-/-), deformitas (-/-),
o Manifestasi ginjal berupa ada
tofus (-/-)
tidaknya hipertensi, proteinuria,
o Ekst inf : hangat, sianosis (-/-),
silinderuria, ureum, kreatinin.
pucat (-/-), bercak merah (-/-), kulit
o Manifestasi GI berupa disfagia,
mengelupas (-), edema (+/+), nyeri
dyspepsia, nyeri abdominal
o Manifestasi neuropsikiatrik berupa tekan sendi (+/+),tanda inflamasi
migraine, neuropati perifer, kejang (-/-), krepitasi (-/-), deformitas (-/-),
sampai psikosis. tofus (-/-)

2.3. Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
o Manifestasi hemopoietik berupa o DL : Leu 16.330/uL, Hb 7,9 g/dL, Ht
peningkatan LED, anemia 23,3%, PLT 167.000/uL
o Albumin : 1,94 (tanggal 18 Februari
normokrom normositik
o Hemoglobin, lekosit, hitung jenis 2017)
o Albumin : 2,46 (tanggal 19 Februari
sel, laju endap darah (LED)
o Urin rutin dan mikroskopik, 2017)
o UL : tidak dilakukan pemeriksaan
protein kwantitatif 24 jam
o ANA Test : tidak dilakukan
o Kimia darah (ureum, kreatinin,
30
fungsi hati, profil lipid) o Anti-dsDNA : tidak dilakukan
o Serologi ANA test, anti-dsDNA, o C3 : tidak dilakukan
o C4 : tidak dilakukan
komplemen (C3,C4)
o Toxoplasma IgG & IgM : tidak
o Foto polos thorax
dilakukan
o Rheumatoid Factor : tidak dilakukan
CMV IgG : tidak dilakukan
o CMV IgM : tidak dilakukan

2.4. Penatalaksanaan
Teori Kasus
o Edukasi dan konseling tentang o IVFD D5% : asering 1 : 1
penyakit ini 28 tpm
o Program rehabilitasi o Metilprednison 125 mg/
o Terapi medikamentosa : 24 jam
 NSAID  tergantung OAINS o Pantoprazole 1 ampul /
 Kortikosteroid  tergantung
12 jam
dereajat SLE o Lasix 1 ampul / hari
 Klorokuin 250 mg/hari o Transfusi albumin 20 %
 Hidroksiklorokuin 200-400mg/hari
100 cc
 Azatioprin 50-150 mg/ kgBB/hari
o Amlodipin 1 x 10 mg
 Siklofosfamide 50 – 150 mg/hari o Ceftriaxone 2 x 1 gram
 Metotreksat 7,5 – 20 mg/minggu
dosis tunggal atau terbagi
 Siklosporin 2,5 – 5 mg/kgBB
 Mikofenolat mofetil 1000-2000 mg
dalam 2 dosis

31
32
BAB 5

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Pasien Ny. PF, perempuan, berusia 34 tahun, datang dengan keluhan utama
sesak napas dan pandangan gelap. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah Systemic
Lupus Erythematosus.

Tatalaksana yang diperoleh pasien ini adalah terapi dengan kortikosteroid


dan terapi suportif. Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan
sudah sesuai dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan
perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah dubia.

5.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah laporan kasus ini,
baik dari segi diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter
muda dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.

33
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Askandar, Tjokroprawiro; Poernomo, Boedi Setiawan; Djoko, Santoso; Gatot,


Soegiarto. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press.
IDI. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.
Isbagio, H., Kasjmir, Y. I., Setyohadi, B., & Suarjana, N. (2009). Lupus
Eritematosus Sistemik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K.,
& S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2565-2577). Jakarta:
InternaPublishing.
Isselbacher dkk. (2012). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC.

34
35

Anda mungkin juga menyukai