Anda di halaman 1dari 10

BAB II

ISI

2.1 Tanah
2.1.1. Pengertian Tanah
Ditinjau dari segi asal-usul, tanah merupakan hasil alih rupa (transformation) dan
alih tempat (translocation) zat-zat mineral dan organik yang berlangsung di permukaan
daratan di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bekerja selama waktu sangat
panjang. (Schroeder, 1984)
Secara umum, pengertian tanah dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek pendekatan
geologi, aspek pendekatan pedologi, dan pendekatan edhapologi. Jika dilihat dari aspek
pendekatan geologi, maka tanah berarti lapisan permukaan bumi yang berasal dari
bebatuan yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam sehingga
regolith (lapisan partikel halus). Namun jika dilihat dari segi pendekatan pedologi, maka
tanah berarti bahan padat (mineral atau organik) yang terletak di permukaan bumi, yang
telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor:
Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu. Sedangkan jika dilihat dari segi
pendekatan edhapologi maka tanah berarti media tumbuh tanaman.

2.1.2. Struktur Tanah


Struktur tanah merupakan sifat fisik tanah yang menggambarkan susunan ruangan
partikel-partikel tanah yang bergabung satu dengan yang lain membentuk agregat dari
hasil proses pedogenesis.Struktur tanah berhubungan dengan cara di mana, partikel pasir,
debu dan liat relatif disusun satu sama lain. Di dalam tanah dengan struktur yang baik,
partikel pasir dan debu dipegang bersama pada agregat-agregat (gumpalan kecil) oleh liat
humus dan kalsiumSecara umum tanah (dengan bahan induk mineral) tersusun atas 50%
bahan padatan (45% bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air, dan 25% udara.
Sedangkan pada tanah organik (misalnya gambut), bahan padatan terdiri atas 5% bahan
anorganik dan 45% bahan organik. Bahan organik di dalam tanah sendiri terdiri atas 10%
mikroorganisme, 10% akar, dan hunat 80%.

2.1.3. Kualitas Tanah


Kualitas tanah adalah kapasitas dari suatu tanah dalam suatu lahan untuk
menyediakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan manusia atau ekosistem alami dalam waktu
yang lama. Fungsi tersebut adalah kemampuannya untuk mempertahankan pertumbuhan
dan produktivitas tumbuhan serta hewan atau produktivitas biologis, mempertahankan
kualitas udara dan air atau mempertahankan kualitas lingkungan, serta mendukung
kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Sedangkan degradasi tanah adalah penurunan
kualitas tanah (Plaster, 2003 dalam Waluyaningsih, 2008).
Dampak negatif dari ketidakmampuan tanah untuk memenuhi fungsinya adalah
terganggunya kualitas tanah sehingga menimbulkan bertambah luasnya lahan kritis,
menurunnya produktivitas tanah dan pencemaran lingkungan. Penurunan kualitas tanah
akan memberikan kontribusi yang besar akan bertambah buruknya kualitas lingkungan
secara umum (Suriadi dan Nazam, 2005).

2.2 Minyak Bumi


2.2.1. Pengertian Minyak Bumi
Minyak bumi atau minyak mentah (crude oil) menurut Muhtar (2001) merupakaan
campuran yang komplek dari senyawaan kimia, yang terdiri dari unsur –unsur karbon (C),
hidrogen (H), sulfur (S), oksigen (O), nitrogen (N) dan logam (Cu, Fe, Ni dan lain-lain).
Senyawaan yang hanya terdiri dari unsur karbon dan hydrogen dikelompokkan sebagai
senyawaan hidrokarbon. Senyawaan hidrokarbon diklasikasikan atas hidrokarbon parain,
olein, naften dan aromat. Sedangkan senyawaan campuran antara unsur karbon, hidrogen
dan salah satu unsur atau lebih dari sulfur, oksigen, nitrogen dan logam dikelompokkan
sebagai senyawaan non hidrokarbon.

2.2.2. Karakteristik Minyak Bumi


Menurut Risayekti (2004), minyak bumi merupakan bahan tambang yang terdapat
di dalam perut bumi, komposisinya berupa senyawaan kimia terdiri dari komponen
hidrokarbon dan non hidrokarbon. Minyak bumi berwarna dari coklat kehitam–hitaman
sampai hitam pekat dalam bentuk cair dan terdapat gas–gas yang melarut didalamnya,
dengan speciic gravity berkisar antara 0,8000 – 1,0000. Pada berbagai industri kimia,
kilang minyak bumi telah diidentiikasi sebagai emitter besar dari berbagai polutan.
Benzene, toluene, ethylbenzene, dan xylene (BTEX) membentuk sebuah kelompok
senyawa aromatik penting dari senyawa organic volatil (volatile organic compounds)
karena perannya dalam kimia troposfer dan resiko yang ditimbulkan bagi kesehatan
manusia (Baltrenas et al, 2011).

2.3 Pencemaran Tanah akibat Tumpahan Minyak Bumi


Industri minyak bumi memiliki potensi sebagai sumber dampak terhadap
pencemaran air, tanah dan udara baik secara langsung maupun tidak langsung. Minyak
yang merembes ke dalam tanah dapat menyebabkan tertutupnya suplai oksigen dan
meracuni mikroorganisme tanah sehingga mengakibatkan kematian mikroorganisme
tersebut. Tumpahan minyak di lingkungan dapat mencemari tanah dan perairan hingga ke
daerah sub-surface dan lapisan aquifer air tanah. Jumlah tanah yang terkontaminasi
minyak bumi yang dihasilkan dalam proses produksi minyak telah meningkat ribuan ton
setiap tahun di Indoesia (Bambang Yudono et al. 2009).
Tumpahan minyak bumi pada permukaan tanah berpotensi mencemari lingkungan
terutama tanah dan air. Ketika suatu tumpahan minyak telah mencemari permukaan
tanah, maka tumpahan tersebut dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke
dalam tanah. Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat
kimia beracun di tanah, yang dapat berdampak langsung kepada manusia ketika
bersentuhan atau dapat mencemari air permukaan maupun air tanah. Selain itu tumpahan
minyak dapat menurunkan kestabilan tanah dan mendegradasi fungsi tanah hingga dapat
menyebabkan lahan kritis.
Menurut Nuryatini dan Edi (2010), Minyak bumi yang mencemari tanah dapat
mencapai lokasi air tanah, danau atau sumber air yang menyediakan air bagi kebutuhan
domestik maupun industri sehingga menjadi masalah serius bagi daerah yang
mengandalkan air tanah sebagai sumber utama kebutuhan air bersih atau air minum.
Sedangkan Culbertson et al (2008) menjelaskan bahwa pencemaran minyak bumi
meskipun dengan konsentrasi hidrokarbon yang sangat rendah sangat mempengaruhi bau
dan rasa air tanah.
Sisa-sisa dari tumpahan minyak bumi dapat bertahan selama puluhan tahun dalam
sedimen pantai yang dapat mempengaruhi flora dan fauna lokal, selain itu beberapa studi
telah meneliti dampak jangka panjang dari sisa tumpahan minyak juga mempengaruhi
ekosistem pesisir. Proses pengolahan minyak dan petrokimia di kilang (reinery) menurut
Carmen Marti et al (2009) menghasilkan lumpur minyak kilang (oil sludge), yang
berpotensi mencemari lingkungan.
Lumpur minyak merupakan kotoran minyak yang terbentuk dari proses
pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas kontaminan yang
memang sudah ada di dalam minyak maupun kontaminan yang terkumpul dan terbentuk
dalam penanganan suatu proses. Secara fisik lumpur minyak mempunyai berat jenis
antara : 0,93 – 1,05, berwarna dari coklat tua sampai hitam, berbau hidrokarbon dan
kelarutan dalam air sangat rendah.
Menurut Aguilera et al (2010) dampak dari tumpahan minyak berpengaruh pada
kesehatan fisik dan mental pada populasi yang terkena, terutama mengacu pada gejala
klinis dan kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup. Populasi atau individu
dengan derajat paparan yang lebih tinggi atau tinggal di daerah yang paling dekat dengan
tumpahan minyak menunjukkan rendahnya tingkat kesehatan mental dibandingkan
dengan mereka dengan derajat paparan yang rendah atau tinggal di daerah yang jauh dari
tumpahan minyak.
Soesanto (1973) menjelaskan akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran minyak
bumi sudah banyak dilaporkan. Molekul-molekul hidrokarbon minyak bumi dapat
merusak membran sel yang berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya
bahan tersebut ke dalam sel. Ikan-ikan yang hidup di lingkungan yang tercemar oleh
minyak dan senyawa hidrokarbon akan mengalami berbagai gangguan struktur dan fungsi
tubuh.
Secara langsung minyak dapat menimbulkan kematian pada ikan. Hal ini
disebabkan oleh kekurangan oksigen, keracunan karbondioksida dan keracunan langsung
oleh bahan beracun yang terdapat dalam minyak. Sedangkan akibat jangka panjang
menurut Sumadhilaga (1973), pencemaran minyak ternyata dapat pula menimbulkan
beberapa masalah yang serius terutama bagi biota yang masih muda. Mengingat dampak
pencemaran minyak bumi baik dalam konsentrasi rendah maupun tinggi cukup serius,
maka manusia terus berusaha untuk mencari teknologi yang paling mudah, murah dan
tidak menimbulkan dampak lanjutan.

2.4 Penanggulangan
Limbah minyak bumi dapat terjadi di semua lini aktivitas perminyakan mulai dari
eksplorasi sampai ke proses pengilangan dan berpotensi menghasilkan limbah berupa
lumpur minyak bumi (Oily Sludge). Salah satu kontaminan minyak bumi yang sulit diurai
adalah senyawaan hidrokarbon. Ketika senyawa tersebut mencemari permukaan tanah,
maka zat tersebut dapat menguap, tersapu air hujan, atau masuk ke dalam tanah kemudian
terendap sebagai zat beracun. Akibatnya, ekosistem dan siklus air juga ikut terganggu
(Karwati, 2009).
Secara alamiah lingkungan memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa-
senyawa pencemar yang masuk ke dalamnya melalui proses biologis dan kimiawi.
Namun, sering kali beban pencemaran di lingkungan lebih besar dibandingkan dengan
kecepatan proses degradasi zat pencemar tersebut secara alami. Akibatnya, zat pencemar
akan terakumulasi sehingga dibutuhkan campur tangan manusia dengan teknologi yang
ada untuk mengatasi pencemaran tersebut. (Nugroho, 2006).
Selain itu, Atlas (1981) dalam Nugroho (2006) juga menjelaskan bahwa banyak
senyawa-senyawa organik yang terbentuk di alam dapat didegradasi oleh mikroorganisme
bila kondisi lingkungan menunjang proses degradasi, sehingga pencemaran lingkungan
oleh polutan-polutan organik tersebut dapat dengan sendirinya dipulihkan. Namun pada
beberapa lokasi terdapat senyawa organik alami yang resisten terhadap biodegradasi
sehingga senyawa tersebut akan terakumulasi di dalam tanah.
Penanggulangan pencemaran minyak dapat dilakukan secara fisik, kimia dan
biologi. Penanggulangan secara fisik umumnya digunakan pada langkah awal
penanganan, terutama apabila minyak belum tersebar ke mana-mana. Namun cara fisika
memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengangkutan dan pengadaan energi guna
membakar materi yang tercemar.
Penanggulangan secara kimia dapat dilakukan dengan bahan kimia yang
mempunyai kemampuan mendispersi minyak, sehingga minyak tersebut dapat terdispersi.
Terutama ketika zat pencemar tersebut dalam konsentrasi tinggi. Namun cara ini memiliki
kelemahan, yaitu mahal pengoprasiannya karena memakan biaya yang cukup besar dan
metode kimia memerlukan teknologi dan peralatan canggih untuk menarik kembali bahan
kimia dari lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lain.
Mengingat dampak pencemaran minyak bumi baik dalam konsentrasi rendah
maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus berusaha mencari teknologi yang paling
mudah, murah dan tidak menimbulkan dampak lanjutan (Nugroho, 2006). Salah satu
alternatif penanggulangan lingkungan tercemar minyak adalah dengan teknik
bioremediasi, yaitu suatu teknologi yang ramah lingkungan, efektif dan ekonomis dengan
memanfaatkan aktivitas mikroba seperti bakteri. Melalui teknologi ini diharapkan dapat
mereduksi minyak buangan yang ada dan mendapatkan produk samping dari aktivitas
tersebut (Udiharto et al.,1995). Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif
untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman enzim
tanaman atau enzim mikroba (Gunalan, 1996). Bioremidiasi didefinisikan sebagai
teknologi pemulihan tanah terkontaminasi bahan pencemar (pollutant) secara biologi
melalui mekanisme biodegradasi alamiah (intrinsic bioremidiation) dan/ atau
meningkatkan mekanisme biodegradasi alamiah dengan menambahkan mikroorganisme,
nutrien, donor elektron dan/atau akseptor elektron (enhanced bioremidiation) Nutrien
yang paling berperanan adalah nitrogen dan fosfor, sedang donor electron adalah
methanol atau asam laktat untuk proses anaerobik. Akseptor elektron adalah oksigen
untuk proses aerobik sedang untuk anaerobik adalah besi dan nitrat (Crawford, 2001).
Keefektifan bioremidiasi ditentukan oleh kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan
ini digunakan untuk menentukan tempat proses bioremidiasi akan dilakukan, baik di
lokasi terjadinya pencemaran (in situ) maupun di luar tempat pencemaran (ex situ).
Kondisi lingkungan yang utama adalah temperatur. Pada temperatur rendah maka
viskositas akan meningkat dan volatilitas senyawa toksik akan menurun sehingga akan
menghambat proses bioremidiasi. Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat
sejalan dengan peningkatan temperatur sampai batas tertentu. Kedua adalah oksigen.
Ketersediaan oksigen sangat penting dalam proses biodegradasi, walaupun pada kondisi
tanpa oksigen (anaerob) beberapa bahan dapat didegradasi dengan baik seperti
hidrokarbon aromatik (BTEX) (Head and Swannell, 1999). Ketiga nutrien. Untuk dapat
mengoptimalkan kerja mikroorganisme diperlukan penambahan nutrien, seperti N dan P,
sehingga dicapai perbandingan antara C/N/P pada tingkat yang proporsional. Secara
teoritis 150 mg Nitrogen dan 30 mg Phosphor diperlukan mikroorganisme untuk
mengkonversi 1 gr hidrokarbon menjadi sel baru (Rosenberg and Ron, 1996). Keempat
pH. Kebanyakan bakteria heterotrof dan fungi menyukai pH netral, namun fungi masih
toleran terhadap pH rendah. Teknik bioremidiasi dapat dilakukan secara in-situ maupun
ex-situ.
 Pada umumnya, teknik bioremediasi in-situ diaplikasikan pada lokasi tercemar
ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang
volatil.
 Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi di mana lahan atau air yang
terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang
disiapkan untuk proses bioremediasi.
Penanganan lahan yang tercemar minyak bumi dilakukan dengan cara
memanfatkan mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan
pencemar. Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen
pendegradasi yang dipergunakan adalah mikroorganisme yang dapat terurai secara alami.
Ruang lingkup pelaksanaan proses bioremediasi tanah yang terkontaminasi minyak bumi
meliputi beberapa tahap yaitu:
 Treatibility study merupakan studi pendahuluan terhadap kemampuan jenis
mikroorganisme pendegradasi dalam menguraikan minyak bumi yang terdapat
di lokasi tanah terkontaminasi.
 Site characteristic merupakan studi untuk mengetahui kondisi lingkungan
awal di lokasi tanah yang terkontaminasi minyak bumi. Kondisi ini meliputi
kualitas fisik, kimia, dan biologi.
 Persiapan proses bioremediasi yang meliputi persiapan alat, bahan,
administrasi serta tenaga manusia.
 Proses bioremediasi yang meliputi serangkaian proses penggalian tanah
tercemar, pencampuran dengan tanah segar, penambahan bulking agent,
penambahan inert material, penambahan bakteri, nutrisi, dan proses
pencampuran semua bahan.
 Sampling dan monitoring meliputi pengambilan gambar tanah dan air selama
proses bioremediasi. Kemudian, gambar itu dibawa ke laboratorium
independen untuk dianalisa konsentrasi TPH dan TCLP.
 Revegetasi yaitu pemerataan, penutupan kembali drainase dan perapihan lahan
sehingga lahan kembali seperti semula.
Tabel analisis limbah industri :
BAKU MUTU HASIL
PARAMETER SATUAN
AIR LIMBAH
FISIKA
SUHU 00 30 -
ZAT YANG TERENDAP Mg/L 1,0 0,0

(word)
Selain bioremidiasi, penanganan secara biologi jugadapat dilakukan dengan cara
fitoremidiasi. Fitoremidiasi berasal dari kata Yunani phyton yang berarti
tumbuhan/tanaman dan remediation yang berasal dari kata latin remidium yaitu
memperbaiki atau membersihkan sesuatu (Anonim, 1999). Dengan demikian
fitoremidiasi didefinisikan sebagai penggunaan tanaman/tumbuhan untuk menyerap,
mendegradasi, menghilangkan, menstabilkan atau menghancurkan bahan pencemar
khususnya logam berat maupun senyawa organik lainnya.
2.5 Studi Kasus
Di Indonesia sendiri sudah banyak kasus-kasus pencemaran tanah akibat tumpahan
minyak bumi. Baik yang langsung dari industri pertambangan minyak bumi sendiri,
ataupun dari industri lainnya. Berikut beberapa studi kasus pencemaran tanah akibat
tumpahan minyak bumi :

A. Studi Kasus Kilang Minyak Cepu


Kilang minyak Pusdiklat Migas berada di daerah Cepu, kabupaten Blora, provinsi
Jawa Tengah, terletak pada areal seluas + 34 Ha, adalah salah satu sarana pendidikan dan
pelatihan Pusdiklat Migas Cepu yang sampai saat ini masih beroperasi mengolah minyak
mentah (crude oil) milik PT. Pertamina EP Region Jawa Field Cepu dari lapangan
Kawengan, Ledok dan Nglobo. Kapasitas kilang yang dimiliki rata-rata sebesar 200 m3/hari,
dengan produknya berupa pertamina solvent (pertasol), minyak tanah (kerosene), solar dan
residu.
Limbah minyak akibat tumpahan minyak (oil spill) pada operasi kilang minyak
Pusdiklat Migas berasal dari buangan air yang bercampur minyak saat penurasan (drain)
tangki timbun. Penurasan tangki timbun dilakukan setiap hari yang fungsinya untuk
memisahkan air yang bercampur dengan minyak. Selain itu limbah minyak akibat tumpahan
minyak dapat terjadi pada saat loading dan unloading di tangki timbun (storage tank),
pembersihan tangki timbun (tank cleaning), pada proses di separator dan pada pompa feed
maupun pompa produk. Minyak yang tumpah bisa berupa minyak mentah (crude oil) maupun
produk.. Sehingga berdasarkan neraca massa arus minyak kilang Pusdiklat Migas, minyak
yang hilang (losses) karena menguap, tumpah maupun tercecer selama proses produksi rata-
rata 0,4% atau 108,38 barrel per bulan atau 17.232,42 liter per bulan.
Berdasarkan PP no 18 tahun 1999 jo. PP no. 85 tahun 1999 tentang pengelolaan
limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), tumpahan minyak di area kilang termasuk dalam
katagori limbah B3 kode D 221, karena sifat dan konsentrasinya dapat membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Sedangkan karakteristik yang termasuk limbah B3
adalah mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi,
koroif dan bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker).
Setelah dilakukan penelitian didapat kesimpulan bahwa kualitas tanah semakin jauh
jarak sampel tanah dari outlet limbah maka kualitas tanah semakin baik yang ditunjukkan
dengan kadar minyak yang semakin kecil.
B. Studi kasus pencemaran minyak di Perisaru
Di daerah Perisaru, Lanca kota Braila adalah kota yang terdaftar sebagai kota dengan
polusi hidrokarbon terbesar. Dari data yang didapatkan di daerah ini, tanah telah tercemar
oleh kandungan hidrokarbon, yaitu kandungan dalam minyak bumi . pada kedalaman 0-
20 cm terdapat sekitar 92.000 mg/kg kandungan hidrokarbon. Kemudian pada kedalaman
20-40 sebesar 82400 mg/kg. pada kedalaman 55-75 cm dan 75-95 cm berturut-turut
adalah 41700 mm/kg dan 41000 mg/kg. melihat data ini disimpulkan bahwa TPH(Total
Petroleum Hidrokarbon) yang ada pada tanah tidak sesuai dengan TPH yang telah
ditentukan.

C. Studi Kasus Tambang Minyak Bumi dan Gas Alam Bojonegoro


Tambang Minyak Bumi dan Gas Alam di Kabupaten Bojonegoro yang terdapat di
wilayah kecamatan Kadewan adalah 74 unit sumur meliputi desa wonocolo 44 sumur dengan
kapasitas produksi 25.771 liter/hari, desa Hargomulyo 18 sumur dengan kapasitas produksi
12.771 liter/hari dan desa Beji 12 sumur dengan kapasitas produksi 8.249 liter/hari. Pada
setiap kegiatan penambangan di sumur bor (cutting) tersebut, terdapat tumpahan minyak pada
lahan sekitar akibat proses pengangkutan minyak, baik melalui pipa, alat angkut, maupun
ceceran akibat proses pemindahan (Nugroho, 2006).
Pada tanah yang tercemar minyak bumi di daerah pertambangan Bojonegoro
mengandung unsure makro yaitu karbon (C) 8,53% (sedang), Nitrogen (N) 0,20% (rendah),
Fosfor (P) 0,01% (sangat rendah), Kalium (K) 0,22 % (sedang) dan kadar TPH yaitu 41.200
mg/kg (Oktavia, 2008). Dari hasil analisis ini, tanah tidak baik untuk pertanian karena hara N
tergolong rendah dan senyawa hidrokarbon tergolong tinggi (Hardjowigeno, 2003).

Anda mungkin juga menyukai