Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

RHINOLITHIASIS

Penyusun :
Wan Muhammad Mulkan
030.12.277

Pembimbing :
dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit THT


Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, 24 Oktober 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunianya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Rhinolith”. Referat ini ditulis untuk
menambah pengetahuan dan wawasan mengenai ilmu penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.
Dalam penyusunan referat ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada: pertama, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kelancaran dan jalan keluar dari segala kendala yang penulis alami selama
penulisan referat ini. Kedua, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr.
Dumasari Siregar, sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran
serta tenaga bersedia membimbing penulis dengan penuh ketekunan dan kesabaran hingga
referat ini selesai. Terakhir, penulis juga berterima kasih kepada teman seperjuangan stase
ilmu THT periode ini, Shella, Fina, Fira, Poppy dan Risa yang telah memberikan semangat
serta dukungan.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak terlepas dari kekurangan. Kritik dan saran
yang membangun sangan penulis butuhkan demi penulisan serupa yang lebih baik di masa
mendatang. Penulis berharap hasil referat ini bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 24 Oktober 2017

Wan Muhammad Mulkan


LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :

“Rhinolithiasis”

Disusun oleh :
Wan Muhammad Mulkan
030.12.277

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing :


dr. Dumasari Siregar Sp.THT-KL
SIP : 2.2.01.3172.3521/5.40.01/11.15.2

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu THT
Di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Periode 2 Oktober – 4 November 2017

Jakarta, …………….. 2017


Mengetahui

dr. Dumasari Siregar Sp.THT-KL


SIP : 2.2.01.3172.3521/5.40.01/11.15.2
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2
2.1 Anatomi Hidung ..................................................................................... 2
2.2 Histologi Hidung .................................................................................... 7
2.3 Fisiologi Hidung ..................................................................................... 8
2.4 Rhinolithiasis .......................................................................................... 9
2.4.1 Definisi ...................................................................................... 9
2.4.2 Epidemiologi ............................................................................. 9
2.4.3 Etiologi ...................................................................................... 10
2.4.4 Patogenesis ................................................................................ 10
2.4.5 Gejala Klinis ............................................................................. 11
2.4.6 Diagnosis dan Pemeriksaan ...................................................... 11
2.4.7 Diagnosis Banding .................................................................... 11
2.4.8 Terapi ........................................................................................ 12
2.4.9 Komplikasi ................................................................................ 12
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 13
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN

Rhinolith berasal dari bahasa Yunani yang berarti “Rhino yang berarti hidung” dan
“Lithos yang berarti batu”. Rhinolith adalah suatu proses mineralisasi yang diakibatkan oleh
benda asing dalam rongga hidung yang biasanya ditemukan secara kebetulan saat
pemeriksaan THT rutin atau karena gejala terkait seperti hidung tersumbat atau bau busuk
yang persistent nasal discharge yang biasanya unilateral. Benda asing yang tersisa di dalam
rongga hidung selama beberapa tahun menyebabkan pembentukan rhinolith. Ini merupakan
suatu akumulasi dari kalsium, zat besi, magnesium dan fosfor sekitar inti tengah yang
kemudian semain bertambah ukurannya. Insidensi rhinolith jauh sangat rendah dibandingkan
dengan benda asing pada hidung, terutama pada orang dewasa.
Rhinolith dapat ditemukan secara tidak sengaja selama pemeriksaan klinis rutin yang
biasanya didapatkan di lantai rongga hidung terletak di tengah antara nares anterior dan nares
posterior. Rhinolith tidak menunjukkan gejala apapun pada tahap awal, tetapi dapat
menyebabkan gejala ringan akibat peningkatan bertahap dalam ukuran. Namun, dengan
adanya peningkatan ukuran yang signifikan pada rhinolith, nasal discharge dan obstruksi
yang dapat diamati tetapi dapat terjadi misdiagnosis sebagai rhinitis atau sinusitis. Selain
gejala unilateral, presentasi lain dari rhinolith termasuk epistaksis dan erosi pada septum
nasal dan dinding medial sinus maksila dan perforasi palatum keras.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


Hidung merupakan organ yang penting karena fungsinya sebagai pelindung dari
lingkungan luar yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas. Struktur
hidung luar terdiri atas 3 bagian yang dapat dibedakan yaitu :
 Bagian paling atas, kubah tulang yang tak dapat digerakkan.
 Dibawahnya, terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan.
 Yang paling bawah, lobulus hidung yang sangat mudah digerakkan.(1)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri atas :
 Tulang hidung (os nasal) yang merupakan belahan bawah aperture piriformis,
memisahkan hidung luar dan hidung dalam.
 Prosesus frontalis os maksila, terletak dibagian superior yang berjalan ke atas dan
kedua tulang hidung
 Prosesus nasalis os frontalis, suatu bagian yang menyokong os nasal dan prosesus
frontalis os maksila dan suatu bagian lamia perpendikularis tulang etmoidalis.(1,2)
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
 Sepasang kartilago nasalis superior, yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi
pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis.
 Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), yang berfungsi
untuk mempertahankan bentuk dari sepertiga bawah hidung atau lobulus hidung.
 Tepi anterior kartilago septum.(1)
Gambar 1. Anatomi Hidung luar

Hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dan nasofaring. Rongga
hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang dipisahkan oleh
septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi pada bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dan nasofaring.(1)
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.(1) Tiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu, dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi merupakan struktur tulang di
garis tengah yang secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Septum nasi dilapisi
oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan
pada bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung.(2) Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Struktur tulang yang membentuk septum adalah lamina perpendikularis os etmoid
disebelah atas, vomer dan rostum sfenoid di posterior, krista nasalis os maksila dan krista
nasalis os palatine pada bagian bawah. Sedangkan bagian tulang rawan yang membentuk
septum nasi adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) di sebelah anterior dan
kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
adalah konka inferior yang merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksilaris dan
labirin etmoid. Selanjutnya konka media, konka superior dan konka suprema yang
merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka dan dinding lateral terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letaknya meatus, ada tiga meatus yaitu :
 Meatus inferior, terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada bagian anterior meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis.
 Meatus media, terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus media terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior
yang membentuk Hiatus semilunaris.
 Meatus superior, merupakan ruang diantara konka superior dan konka media dimana
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoidalis yang bermuara pada
resesus sfenoetmoidalis.

Gambar 2. Struktur anatomi dinding lateral hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.
Gambar 3. Dinding lateral hidung diperlihakan tanpa konka

Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung dimana jumlah, bentuk, ukuran dan simetris sangat bervariasi. Sinus paranasalis
ini membentuk rongga didalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai dengan lokasi
dari rongga tersebut seperti sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis. Seluruh
sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mucus dan bersilia, secret tersebut disalurkan ke dalam rongga hidung.(2)
Terdapat tempat yang berfungsi sebagai ventilasi dan drenase yang dikenal sebagai kompleks
osteomeatal (KOM). Komplek osteomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan resesus frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka
akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.(1)

SUPLAI DARAH
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoidalis anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dan a.karotis interna. Selain memperdarahi
bagian atas rongga hidung, percabangan dari a.etmoidalis anterior dan posterior juga
menyuplai darah untuk sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Sedangkan untuk sinus maksilaris
di perdarahi oleh suatu cabang a.labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris
dari a.maksilaris interna dan cabang faringealis dari a.maksilaris interna disebarkan ke sinus
sfenoidalis. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang
ujung posterior konka. Cabang dari a.sfenopalatina ini akan memperdarahi konka, meatus dan
septum. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis.(1,2)

Gambar 4. Suplai darah

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus kiesselbach. Pleksus
kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga serig menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak.(1)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena-vena tersebut membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat dibawah
membrane mukosa. Drenase vena terutama melali vena oftalmika, fasialis anterior dan
sfenopalatina. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
PERSARAFAN
Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi
oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya, saraf
fasial untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar, dan system saraf otonom. Yang
terakhir ini terutama melalui ganglion sfenopalatina, yang berfungsi untuk mengontrol
diameter vena dan arteri hidung dan juga produksi mukus, dengan demikina dapat mengubah
pengaturan hantaran, suhu dan kelembapan aliran udara.

Gambar 5. Suplai saraf hidung

2.2 Histologi Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (nukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).(2)
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel toraks bersilia, bertingkat semu (pseudostratified) dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.(1,2)
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum. Mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih
dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang
jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks bersilia pendek dan agak ireguler. Sel-sel
meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang
panjang dan tersusun rapi. Sinus mengandung epitel kubus dan silia yang sama panjang dan
jarak antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga mempengaruhi
ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina tipis pada daerah dimana
aliran udara lambat atau lemah, namun tebal didaerah aliran udara yang kuat. Jemlah kelenjar
penghasil secret dan sel goblet, yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan
lamina propria.(1)

2.3 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologi
hidung dan sinus paranasal adalah :
1. Fungsi respirasi
 Tahanan jalan nafas
Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernafas menghantarkan udara
lewat saluran pernafasan atas dan bawah kepada alveoli paru dala volume,tekanan,
kelembapan, suhu dan kebersihan yang cukup untuk menjamin suatu kondisi ambilan
oksigen yang optimal dan pada proses sebaliknya menjamin karbondioksida yang
optimal. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup
dari jaringa erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk alian udara,
mengatur volume dan tekanan udara yang lewat dan menjalankan berbagai aktifitas
penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembapan udara).(1)
 Penyesuaian udara (air conduction)
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh parut lender. Pada suhu panas
atau ekstreme dan kekeringan, udara inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah
aliran udara oleh parut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.(2)
 Purifikasi udara
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lender. Debu
dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflek bersin.
2. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan jaringan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat.(2) Proses persepsi bau belum diketahui secara pasti, tetapi
terdapat 2 macam teori untuk menjelaskan hal tersebut. Menurut teori kimia, partikel zat yang
berbau disebarkan secara difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat
mecapai epitel olfaktorius. Sedangkan menurut teori undulasi, gelombang energi serupa
dengan tempaan ringan pada ujung saraf olfaktorius.(1)
3. Fungsi fonetik
Pembentukan bicara merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan paru-paru
sebagai sumber tenaga, laring sebagai generator suara dan struktur kepala dan leher seperti
bibir, lidah gigi, dll. Sebagai articulator untuk mengubah suara dasar dari laring menjadi
pembicaraan yang dapat dimengerti. Hidung dan sinus, demikian pula nasofaring berperan
dalam artikulasi. Pada bunyi tertentu misalnya “m”,”n”, dan ”ing”, resonansi hidung adalah
penting.(1)
4. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardivaskular dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
napas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung
dan pankreas.(2)

2.4 Rhinolithiasis
2.4.1 Definisi
Rhinolitiasis berasal dari bahasa yunani yaitu “rhino” yang berarti hidung dan “lithos”
yang berarti batu. Rhinolithiasis sendiri adalah pembentukan calcareous konkresi yang terdiri
dari garam, kalsium dan magnesium di sisi rongga hidung.(3)

2.4.2 Epidemiologi
Secara historis, rhinolitiasis pertama kali dikemukakan oleh Bartholin pada tahun
1654 dimana Bartholin menggambarkan sebuah benda asing batu – keras yang tumbuh
disekeliling batu ceri. Istilah rhinolithiasis ini pertama kali diciptakan pada tahun 1845 untuk
menggambarkan sebagian atau seluruhnya pengapuran benda asing didalam hidung.(4)
Selanjutnya pada tahun 1829 dilakukan analisis kimia oleh Axmann, yang mendeteksi
komposisi rhinolit secara umum terdiri dari 90% bahan anorganik seperti garam mineral,
kalsium, fosfat, magnesium karbonat, besi, dan aluminium dengan sisanya 10% terdiri dari
zat organik hasil lesi dari lendir hidung misalnya asam glutamate dan glycin yang tergabung
kedalam lesi dari secret hidung. Pada tahun 1900 dilakukan deskripsi radiografi oleh
MacIntyre.(5)
Rhinolithiasis merupakan penyebab sumbatan hidung yang sering ditemukan pada
anak-anak oleh karena benda asing, namun rhinolith dapat terjadi pada pasien dari berbagai
usia meskipun sangat jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding
pria.(5,4)

2.4.3 Etiologi
Penyebab utama untuk terjadinya rhinolith paling sering disebabkan oleh benda asing
baik secara antegrade maupun secara retrograde. Sebagian besar benda asing masuk ke
rongga hidung secara antegrade namun tidak banyak juga benda asing masuk ke rongga
hidung secara retrograde baik oleh karena muntah, batuk ataupun bersin.(3)
Penyebab rhinolith bisa disebabkan oleh eksogen maupun endogen. Penyebab
eksogen paling sering terjadi seperti manik-manik, kancing, penghapus, biji buah, pecahan
kayu, pasir, potongan kertas, fragmen tulang dan tampon hidung yang tertinggal. Sedangkan
penyebab endogen adalah sekresi kering, stagnansi sekresi hidung, gumpalan darah, produk
lisis sel, nekrosis mukosa, aktivasi enzimatik bakteri pathogen dan fragmen gigi.(6,4)

2.4.4 Patogenesis
Sampai saat ini, mekanisme terjadinya rhinolith belum dapat dijelaskan dan diketahui
secara pasti. Namun terdapat beberapa kemungkinan dan kondisi untuk perkembangan lesi
rhinolit, yaitu :
1. Benda asing masuk kedalam hidung dan menimbulkan peradangan akut atau kronik
dari mukosa hidung diikuti dengan pembentukan pus.
2. Benda asing yang membusuk didalam rongga hidung memiliki kandungan tinggi
kalsium dan atau magnesium selain zat organic seperti asam glutamate dan glisin.
3. Ada obstruki mekanikal yang memblokir pus dan lendir yang keluar dari rongga
hidung.
4. Ada pajanan arus udara supaya pus dan secret bisa terkonsentrasi dan garam mineral
dapat mengendap sehingga dengan demikian akan membentuk selubung
pengapuran.(5,7)

Waktu merupakan faktor penting dalam pengembangan rhinolith. Dimana


pertumbuhan ukuran rhinolith berjalan lambat dan relative inert dan tidak menimbulkan
gejala sampai rhinolit semakin membesar dan menimbulkan gejala penyumbatan hidung atau
nasal kronis.(6)

2.4.5 Gejala Klinis


Seiring dengan ukuran rhinolith yang meningkat sangat lambat dan mereka relative
inert, awalnya tidak menimbukan gejala hingga menyebabkan gejala ringan. Jika rhinolith
memiliki ukuran yang cukup besar maka mereka akan menyebabkan gejala umum seperti
obstruksi nasal unilateral dan rhinorea purulent. Gejala lain yang dapat timbul meliputi nafas
menjadi bau busuk, demam, nyeri pada wajah,anosmia, nyeri kepala, epistaksis,
dakriosistisis, foetor, perforasi palatum dan perforasi septum.(8)

2.4.6 Diagnosis dan pemeriksaan


Diagnosis rhinolithiasis biasanya dapat ditegakkan berdasarkan simptomatologi,
riwayat pengenalan benda asing ke hidung, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis, biasanya kita sering menemukan keluhan nafas berbau, hidung tersumbat
unilateral, rhinorea dan nyeri kepala. Namun pada anamnesis kita belum bisa menegakkan
rhinolithiasis karena keluhan tersebut bukan merupakan keluhan khas pada rhinolithiasis.(7)
Menurut Bader dan Hiliopoulo (1974), dengan semua kasus yang pernah terjadi
meskipun ada gejala khas yang timbul, diagnosis rhinolith tidak selalu mudah untuk
ditegakan seperti yang telah dicatatkan oleh Seifer pada tahun 1921.(8)
Pemeriksaan fisik pada rhinolith mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan
rinoskopi anterior yang menunjukkan massa abu-abu dan gelap dengan konsistensi keras dan
tidak beraturan permukaannya.(7)
Menurut Seiver, pada kasus yang dicurigai rhinolith perlu untuk dilakukan
pemeriksaan endoskopi pada hidung dimana dapat kita temukan konkret putih kekuningan
yang biasanya berbentuk ruang antar konka media, konka inferior, septum dan dasar hidung.
Selain menggunakan nasoendoskopi, kita juga dapat menggunakan CT-scan untuk
mendukung diagnosis dan perencanaan pembedahan. Pada foto CT-scan gambaran yang
ditemukan adalah lesi dengan kepadatan tinggi yang relative homogen dengan mineralisasi
yang halus.(8)

2.4.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding rhinolith umumnya dapat kita singkirkan dengan melakukan
pemeriksaan CT-scan dimana diagnosis banding untuk rhinolith mencakup :
 Polip hidung kalsifikasi
 Osteosarcoma
 Chondrosarcoma
 Odontoma
 Sequestrasi tulang
 Hemangioma
 Ossyfing fibroma
 Penyakit granulomatosa(6)

2.4.7 Terapi
Tujuan terapi pada rhinolith adalah dilakukan pengangkatan batu keluar dari
lokasinya. Terapi dapat dilakukan dengan menggunakan terapi non-operatif maupun secara
operatif. Terapi non-operatif yang dapat dilakukan adalah menggunakan alat pengait benda
asing yang dikeluarkan langsung endonasal. Namun jika batu rhinolith terlalu besar, Mink
dkk menyarankan untuk menggunakan lithotripter dengan mengurangi ukurannya dan
dikeluarkan secara endonasal. Mink dkk menyarankan penggunaannya dalam semua kasus
dimana bagian kalsifikasi terlalu besar atau terlalu kuat untuk dilewati.(4) Selain
menggunakan lithotripter, terapi pembedahan juga dapat dilakukan secara Caldwell-Luc dan
menggunakan operasi Le Fort I.(6,8)

2.4.7 Komplikasi
Komplikasi rhinolithiasis digambarkan seperti deviasi septum, perforasi septum,
kerusakan tulang, dan perluasan kalkulus yang melibatkan sinus maksila, fistula oroantal dan
oroantal. Kasus meningitis pernah dilaporkan terjadi pada pasien rhinolitiasis oleh karena
infeksi dan sinusitis juga pernah dilaporkan terjadi pada rhinolith oleh karena penyumbatan
pada osteomeatal kompleks.
BAB III
KESIMPULAN

Meskipun rhinolith merupakan kasus langka yang jarang ditemukan, namun sebagai
dokter Umum maupun dokter THT kita harus mampu mengetahui gejala dan terapi yang akan
dilakukan. Rhinolit merupakan penyakit langka yang tidak dapat terdiagnosis selama
bertahun-tahun dan baru diketahui setelah terjadi komplikasi. Meskipun relative jarang pada
remaja dan orang dewasa, rhinolith harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
dengan obstruksi nasal unilateral ataupun secret purulent. Diagnosis rhinolith biasanya baru
dapat ditegakkan pada saat pasien melakukan pemeriksaan rutin atau terkait gejala yang
dirasakan tidak dapat tertahan. Tujuan dari terapi rhinolith adalah dengan melakukan
pengangkatan massa batu baik secara non-operatif maupun operatif
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Hilger A.D. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. In: Effendi H, editors. Buku Ajar
Penyakit THT. 6th ed. EGC; 2015. p. 173 – 189
2. Soetjipto D, Mangungkusumo E, Wardani R.S. Hidung. In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti. RD, Editors. Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala
dan Leher. 7th ed. Badan Penerbit FKUI. p. 96 – 100
3. Bhandari R, Limbu TR, Ghimire A. Rhinolith – Like a Nasal Tumor: A Case Report.
Journal of Chitwan Medical College. 2012; 1(2):65-6.
4. Orhan K, Kocyigit D, Kisnisci R, Paksoy CS. Rhinolithiasis: an uncommon entity of the
nasal cavity. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and
Endodontology. 2006; 101(2):e28-32.
5. Brehmer D, Riemann R. The rhinolith - a possible differential diagnosis of a unilateral
nasal obstruction. Case reports in medicine. 2010. Doi:10.1155/2010/845671
6. Balatsouras D, Eliopoulos P, Kaberos A, Economou C. Rhinolithiasis: an unusual cause
of nasal obstruction. Rhinology. 2002 Sep 1;40(3):162-4.
7. Dib GC, Tangerina RP, Abreu CE, de Paula Santos R, Gregório LC. Rhinolithiasis as
cause of oronasal fistula. Brazilian journal of otorhinolaryngology. 2005 Feb
28;71(1):101-3.
8. Bayram B, Deniz K, Ozsoy OP, Uckan S. A simple surgical approach for management of
the rhinoliths: case report. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. 2011 May
1;69(5):1403-7.
9. Yuca K, Çaksen H, Etlik Ö, Bayram İ, Sakin YF, Dülger H, et.al. The importance of rigid
nasal endoscopy in the diagnosis and treatment of rhinolithiasis. Auris Nasus Larynx.
2006 Mar 31;33(1):19-22.

Anda mungkin juga menyukai