Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit sistem bilier merupakan penyakit yang sering terjadi di Indonesia. Penyakit
sistem bilier dapat terkait dengan adanya infeksi, obstruksi, maupun keduanya serta dapat
menimbulkan peradangan pada kandung empedu. Obstruksi pada sistem bilier dapat jinak
maupun ganas. Penyebab obstruksi bilier jinak yang tersering adanya batu dalam kandung
empedu maupun batu yang bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi
batu saluran empedu sekunder. Adanya karsinoma hati, saluran empedu atau pankreas yang
tumbuh dekat lumen saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolestasis dan jaundice. Hal ini
dapat mengancam jiwa dan jika tidak ditangani dalam waktu singkat menyebabkan koma
hepatika dan kematian. Tujuan dari pelaksanaan mekanis pengobatan jaundice adalah untuk
mengembalikan patensi saluran empedu.1
Di Amerika serikat insidensi obstruksi sistema bilier sekitar 5 kasus per 1000 orang
dengan mortalitas dan morbiditas obstruksi bilier tergantung pada penyebab obstruksi. Batu
empedu adalah penyebab paling umum pada obstruksi bilier. Perempuan lebih mungkin untuk
menderita batu empedu dibandingkan pria.2
Percuteneous Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) adalah sebuah prosedur yang dapat
dilaksanakan untuk membuka sumbatan dan melebarkan saluran empedu. PTBD telah menjadi
teknik yang aman dan efektif untuk dekompresi traktus biliaris yang mengalami obstruksi. Selain
itu teknik ini dapat menunjukkan level abnormalitas dan terkadang dapat membantu
mendiagnosis etiologinya. PTBD juga merupakan metode yang efektif sebagai terapi primer
maupun paliatif untuk berbagai abnormalitas bilier yang ditunjukkan oleh cholangiography.
PTBD biasanya juga dilakukan bila tindakan ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography) mengalami kegagalan pada striktur bilier yang sering terjadi pada
transplantasi hepar atau living donor liver transplantation (LDLT).3
Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada
obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada bayi dengan bile-plug syndrome dapat
dilakukan manajemen PTBD sebagai alternative pembedahan tetapi data tentang terapi PTBD
pada bayi sangat terbatas di literature.4

1
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui peran radiologi intervensi khususnya
PTBD sebagai sarana untuk membantu diagnosis maupun memandu tindakan kompresi penyakit
obstruksi bilier agar terapi yang dilakukan memiliki tingkat efektifitas yang baik serta membantu
menurunkan angka mortalitas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

1. Anatomi Hepar
Hepar merupakan organ pencernaan yang terletak di epigastrium kanan, menyatu
dengan saluran bilier dan kandung empedu. Batas atas kira – kira sejajar dengan
xiphosternal joint, sedikit melengkung ke atas pada setiap sisi. Bagian kiri mencapai
spasium interkostalis V, 7 – 8 cm dari linea mediana, dan di sebelah kanan kosta V,
melengkung ke bawah menuju batas kanan yang memanjang dari kosta VII sampai kosta
XI di linea mid aksilaris. Batas inferior mengikuti garis yang menghubungkan
2
ekstremitas inferior kanan dan ekstremitas superior kiri. Permukaan hepar luar dibungkus
dengan kapsul jaringan fibrosa dan dilingkupi oleh peritoneum visceral. Berat hepar pada
orang dewasa sehat berkisar antara 1200 - 1500 gram.5,6
Secara anatomis hepar terbagi menjadi 2 lobus utama yaitu lobus kanan yang
lebih besar dan lobus kiri lebih kecil. Lobus kanan dibagi menjadi dua segmen anterior
dan posterior oleh fissrura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri
dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari
luar. Segmen lobus kanan yang lebih kecil adalah lobus quadrates, pada permukaan
inferiornya dan lobus caudatus pada permukaan posterior. Lobus kanan dan kiri
dipisahksan di anterior oleh lipatan peritoneum yang dinamai ligamentum falciforme, di
inferior oleh fissure untuk ligamnetum teres serta diposterior oleh fissure untuk
ligamentum venosum. Ligamentum falsiformis berjalan dari hati ke diafragma dan
dinding depan abdomen.
Masing-masing lobus dibentuk oleh lobulus-lobulus yang merupakan unit
fungsional dasar dari hepar. Secara keseluruhan, hepar dibentuk oleh sektiar 100.000
lobulus dengan struktur serupa dan terdiri dari hepatosit, saluran sinusoid yang dikelilingi
oleh endotel vaskuler dan sel kuppfer yang merupakan bagian dari system
retikuloendothelial. Struktur ini berbentuk heksagonal dengan diameter 1-2 mm yang
mengelilingi vena sentral. Pada tiap sudut struktur heksagonal terdapat traktus portal
yang masing-masing mengandung cabang-cabang arteri hepatika, vena porta, dan duktus
biliaris intrahepatika.5,6
Secara keseluruhan, hepar dibagi menjadi 8 segmen. Permukaan posterolateral
kanan terdiri atas segmen VI di bagian anterior dan segmen VII di bagian posterior.
Permukaan anterolateral kanan terdiri atas segmen V di anterior dan segmen VIII di
posterior. Permukaan anterior kiri dibagi oleh fissura umbilikalis ke dalam segmen IV di
bagian anterior dari lobus kiri. Permukaan posterior adalah segmen II. Segmen I terletak
di bagian dorsal, yang memiliki vaskularisasi bebas dari porta hepatis dan 3 vena hepatic
utama.5,6

2. Anatomi sistema bilier

Empedu yang dihasilkan hepatosit akan disekresikan ke dalam kanalikuli dalam


suatu saluran kecil empedu yang terletak di dalam hati yang secara perlahan akan

3
membentuk saluran yang lebih besar dan selanjutnya ditampung di dalam kandung
empedu (Gallbladder). Saluran kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang
secara bertahap bila saluran empedu membesar. Saluran empedu intrahepatik secara
perlahan menyatu membentuk saluran yang besar yang dapat menyalurkan empedu ke
delapan segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini
membentuk sebuah saluran di anterior dan superior yang kemudian bergabung
membentuk duktus hepatikus kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada
± 1 cm di luar hati. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati
kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikus komunis.5,6
Duktus hepatis komunis ini bergabung dengan duktus cystikus dari kandung
empedu untuk membentuk Common bile duct (CBD) atau disebut juga duktus
kholedokus, yang memasuki duodenum melalui ampulla vateri. Pada beberapa keadaan,
dinding duktus kholedokus menjadi besar dan lumennya melebar sampai mencapai
ampula. Biasanya panjang duktus kholedokus sekitar 7 cm dengan diameter berkisar
antara 4 – 12 mm. Kandung empedu menerima suplai darah terbesar dari jalinan
pembuluh darah cabang arteri hepatika kanan. Kandung empedu dapat menampung ± 50
ml cairan empedu dengan ukuran panjang 8 – 10 cm dan terdiri atas fundus, korpus, dan
kolum. Lapisan mukosanya membentuk cekungan kecil dekat dengan kolum yang disebut
kantong Hartman, yang bisa menjadi tempat tertimbunnya batu empedu.5,6
2.2 DEFINISI
Obstruksi sistema bilier merupakan penyumbatan pada setiap saluran yang
membawa empedu dari hati ke kandung empedu atau dari kantong empedu ke usus kecil
yang dapat terjadi pada berbagai tingkat dalam sistem bilier. Dapat disebabkan oleh
proses ganas maupun jinak dengan penyebab terbanyak adalah batu pada saluran
empedu.2
2.3 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika serikat insidensi obstruksi sistema bilier sekitar 5 kasus per 1000
orang dengan mortalitas dan morbiditas obstruksi bilier tergantung pada penyebab
obstruksi. Batu empedu adalah penyebab paling umum pada obstruksi bilier. Orang-orang
asal Hispanik dan Eropa Utara memiliki risiko batu empedu lebih tinggi dibandingkan
dengan orang-orang Asia dan Afrika. Penduduk asli Amerika (Indian Pima khususnya)

4
memiliki peningkatan insiden obesitas dan diabetes dalam populasi mereka dan sangat
mempunyai risiko terjadi batu empedu.2
Perempuan lebih mungkin untuk menderita batu empedu dibandingkan pria. Pada
dekade keenam, hampir 25 % wanita Amerika mengembangkan batu empedu dengan
sebanyak 50 % wanita berusia 75 tahun.2
Di benua kroasia frekuensi ikterus obstruktif lebih tinggi terjadi pada wanita dan
penyebab paling sering adalah batu empedu (54,1%). Pada 29,8 % pasien penyakit ganas
primer atau sekunder adalah penyebab penyumbatan pada aliran empedu dan jaundice
berikutnya.7
2.4 ETIOLOGI
Penyebab obstruksi sistem bilier bisa jinak dan ganas. Obstruksi bilier ganas
umumnya disebabkan karsinoma pankreas, cholangiocarcinoma, atau metastasis
penyakit. Penyebab lainnya adalah karsinoma kandung empedu, hepatocellular
karsinoma, limfoma, dan advanced cancer gaster atau duodenum.8 Penyebab paling
sering ikterus obstruktif pada keganasan adalah kanker pankreas (11,5 %).7
Obstruksi bilier jinak sering disebabkan oleh adanya batu dalam kandung empedu
maupun batu yang bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi
batu saluran empedu sekunder dan dapat menimbulkan peradangan pada kandung
empedu.8

2.5 PATOFISIOLOGI
Empedu yang disekresikan terus menerus oleh hepar masuk
kedalam duktus biliaris yang kecil dalam hepar. Duktus biliaris yang
kecil bersatu dan membentuk dua saluran yang lebih besar yang
keluar dari permukaan bawah hepar sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri yang segera bersatu menjadi duktus hepatikus komunis.
Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus menjadi
duktus kholedokus yang akan bersatu dengan duktus pankreatikus
membentuk ampula vateri yang bermuara di duodenum. Penimbunan
pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan warna kuning sampai
kehijauan pada jaringan yang disebut ikterus dan ini merupakan tanda
penting dari penyakit hati, saluran empedu dan penyakit darah.

5
Mekanisme terjadinya ikterus adalah menyangkut pengertian
pembentukan, transfort, metabolisme dan eksresi bilirubin. 2,5
Terdapat 4 mekanisme dimana hiperbilirubinemia dan ikterus
dapat terjadi yaitu pembentukan bilirubin yang berlebihan, gangguan
pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati, gangguan konyugasi
bilirubin dan pengurangan ekskresi bilirubin terkonyugasi dalam
empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat
obstruksi fungsional/mekanik.5
Penyebab ikterus kholestatik bisa intrahepatik atau
ekstrahepatik. Penyebab intra hepatik adalah inflamasi, batu, tumor,
kelainan kongenital duktus biliaris. Kerusakan dari sel paremkim hati
menyebabkan gangguan aliran dari garam bilirubin dalam hati
akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan kedalam duktus
hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi akan terlihat
peninggian bilirubin terkonyugasi dan bilirubin tidak terkonyugasi
dalam serum. Penyumbutan duktus biliaris yang kecil intrahepatal
sudah cukup menyebabkan ikterus. Kadang-kadang kholestasis
intrahepatal disertai dengan obstruksi mekanis didaerah ekstra
hepatal. Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra hapatal yang
disebabkan oleh batu/hepatolith biasanya menyebabkan fokal
kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi hiperbilirubinemia
karena dikompensasi oleh hepar yang masih baik. Kholangitis supuratif
yang biasanya disertai pembentukan abses dan ini biasanya yang
menyebabkan ikterus. Infeksi sistemik dapat mengenai vena porta
akan menyebabkan invasi kedinding kandung empedu dan traktus
biliaris.2,5
Pada intrahepatik kholestasis biasanya terjadi kombinasi antara
kerusakan sel hepar dan gangguan metabolisme (kholestasis dan
hepatitis). Ekstrahepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran
empedu kedalam usus halus sehingga akibatnya terjadi peninggian
bilirubin terkonyugasi dalam darah. Penyebab yang paling sering dari
ekstrahepatik kholestatik adalah batu di duktus kholedokhus dan
6
duktus sistikus, tumor duktus kholedekus, kista duktus kholedokus,
tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.2,5
2.6 DIAGNOSIS
Dalam menentukan diagnosis ikterus kolestasis dilakukan
pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran saluran empedu dan
dapat menunjukan letak dari sumbatan tersebut. Pemeriksaan imaging
untuk menentukan penyakit penyebab kolestasis yang sering
digunakan adalah Ultrasonografi (US), Computerized Tomografi (CT
scan), Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP),
Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC) yang diteruskan
dengan PTBD (Percutaneus Transhepatic Biliary Drainase) sebagai
terapi paliatif pilihan.2
2.7 PENATALAKSANAAN
Dalam terapi obstruksi sistem bilier tergantung pada penyebab dari obstruksinya
apakah memerlukan tindakan operasi atau hanya medikamentosa saja.
Pada dasarnya penatalaksanaan pasien dengan obstruksi biliaris bertujuan untuk
menghilangkan penyebab sumbatan atau mengalihkan aliran empedu. Tindakan tersebut
dapat berupa tindakan pembedahan misalnya pengangkatan batu atau reseksi tumor.
Dapat pula upaya untuk menghilangkan sumbatan dengan tindakan endoskopi baik
melalui papila vater atau dengan laparoskopi. Pada kasus emergensi atau
persiapan preoperative pada kasus keganasan, tindakan dekompresi
sangat diperlukan dan dalam hal ini PTBD (Percutaneous Transhepatic
Biliary Drainase) dapat dipertimbangkan.
1. Definisi PTBD
Percutaneous drainase bilier transheptic (PTBD) adalah metode yang efektif
untuk terapi primer maupun paliatif pada saluran empedu yang mengalami
penyumbatan atau kerusakan dan menghambat drainase empedu normal.8,9.10
PTBD merupakan metode dekompresi sistem bilier yang diterapkan sebagai
pengobatan paliatif pada pasien obstruksi sistema bilier ganas, tetapi juga berpotensi
sebagai pengobatan kuratif pada pasien obstruksi sistema bilier jinak.11
PTBD merupakan prosedur terapeutik berupa kanulasi steril pada radikel bilier
perifer setelah pungsi perkutan dengan manipulasi wire dan kateter yang dipandu

7
dengan pencitraan, kemudian dilakukan pemasangan tube atau stent untuk drainase
external atau internal.8
2. Indikasi PTBD
Percutaneous transhepatic biliary drainage (PTBD) telah menjadi teknik yang
aman dan efektif. Teknik ini telah dilakukan untuk dekompresi obstruksi traktus
biliaris dan mengurangi nyeri jaundice dan gatal serta dapat digunakan dalam
penatalaksanaan cholangitis. PTBD juga digunakan untuk menangani penyakit bilier
benigna. Adapun indikasi dilakukan PTBD yaitu obstruksi dari ductus biliaris
sehingga dapat diketahui tingkat berat dan penyebab obstruksi, sebagai bentuk
persiapan preoperatif yang dapat membantu operator mengetahui permasalahan
duktus biliaris, trauma pada duktus biliaris dan sebagai jalan untuk pemasangan
internal stent pada penderita dengan infeksi duktus biliaris (Cholangitis).9,12

3. Tehnik dan Prosedur

Percutaneous transhepatic biliary drainage (PTBD) merupakan metode yang


efektif untuk terapi primer maupun paliatif pada kelainan sistema bilier yang
ditunjukkan dengan biliary cholangiography yang dilakukan sebelumnya terutama
setelah penerapan B-mode ultrasonografi dengan real-time virtual sonography. Real-
time sonografi virtual (RVS) adalah sistem dukungan pencitraan diagnostik yang
dapat melakukan sinkronisasi dengan B-mode gambar USG dalam hubungannya
dengan rekonstruksi multiplanar dua dimensi (MPR) dengan menggunakan sistem
navigasi magnetik. Tetapi aplikasi ini masih jarang dilakukan untuk procedur PTBD.10
Setelah melakukan pemeriksaan rutin darah, profilaksis antibiotik, premedikasi
analgesik atau sedative, precautions steril, dan informed consent, kemudian dilakukan
cholangiografi transhepatik menggunakan jarum halus diagnostik konvensional 21G.
Jarum halus tersebut dilengkapi dengan panduan ultrasonografi menuju duktus
biliaris kiri atau kanan yang mengalami dilatasi lewat parenkim liver. Pada semua
prosedur, pasien diletakkan dalam posisi supine. Rute intercostal midaxillary dipilih
untuk dekompresi dengan penyisipan jarum halus pada daerah kanan dan epigastrium
ke dalam duktus biliaris. Setelah dilakukan pungsi pada duktus, radicle dari biliaris
perifer diperjelas dengan injeksi 5mL kontras yang non-ionik, osmolaritas rendah,
yang diencerkan. Setelah opasifikasi dari duktus biliaris, guidewire dengan panjang
8
60 cm, 0,018 inch dimasukkan lewat lumen dari jarum halus untuk akses menuju
duktus biliaris yang telah dilakukan pungsi.8,12
Guidewire kemudian dimasukkan ke dalam hilum liver dan ke common bile duct.
Jarum kemudian dilepas dan kateter triaxial set dimasukkan di atas guidewire. Setelah
inner stylet dilepaskan, jarum berukuran 0,018 inch digantikan dengan guidewire
hidrofilik dengan ujung J ukuran 0,035. Pada awalnya dilakukan rekanalisasi
obstruksi duktus biliaris dengan guidewire yang dikombinasikan dengan berbagai
macam kateter. Ketika rekanalisasi berhasil, kateter bilier yang didesain khusus
dengan ujung cincin dan banyak lubang, dimasukkan di atas guidewire untuk
mencapai drainase bilier internal -external. Jika usaha pertama untuk melakukan
rekanalisasi segmen yang mengalami obstruksi tidak berhasil, digunakan kateter
untuk drainase eksternal. Setelah mengeluarkan kurang lebih 20 mL cairan empedu,
dilakukan pencitraan cholangiography dengan menyuntikkan 10 mL medium kontras
non-ionik untuk memvisualisasikan bagian yang mengalami obstruksi serta
memastikan posisi dari kateter.8,12
Drainase eksternal kemudian diubah menjadi drainase internal-external dalam
jangka waktu 5 hari setelah dekompresi duktus biliaris dan pengurangan edema.
Kateter yang digunakan untuk drainase berukuran 8,5F. Kurang lebih 10 hari setelah
PTBD, semua struktur ganas yang tidak dapat dilakukan operasi dilebarkan dengan
menggunakan stent metal yang dapat dikembangkan dengan menggunakan balon
kateter dengan ukuran yang sesuai (6 – 10 mm). Setelah drainase internal adekuat,
seluruh katater dilepas sekitar 2 sampai 6 bulan setelah PTBD apabila terdapat
perbaikan striktur setelah dilakukan cholangiogram.3
Dalam hal meningkatkan visualisasi kateter drainase dan mengevaluasi tingkat
dan derajat obstruktif empedu selama PTBD, intra-biliary contrast enhanced
ultrasound (IB-CEUs) dapat diandalkan dan mungkin menjadi pengganti potensial
fluoroscopy cholangiografi (FC) pada prosedur PTBD. Ultrasound konvensional tidak
bisa sepenuhnya menampilkan kateter drainase dan mengevaluasi saluran empedu
karena terbatasnya resolusi kontras. Oleh karena itu, cholangiography fluoroscopic
(FC) biasanya dilakukan setelah prosedur PTBD yang dipandu ultrasound untuk
menentukan posisi kateter drainase dan mengevaluasi tingkat dan derajat obstruksi
bilier.13
9
4. Komplikasi
Tingkat keberhasilan PTBD telah dilaporkan pada 90 % atau lebih, dan rata-rata
terjadinya komplikasi yang telah dilaporkan sebesar 3% atau kurang. Namun, ketika
diterapkan pada pasien dengan kondisi khusus (misalnya, saluran empedu yang tidak
dilatasi, pasien setelah reseksi hepar lobus kiri, pasien pasca transplantasi hepar ),
PTBD memiliki potensi kesulitan teknis.9,12,14,15
Berbagai teknik telah dikembangkan sebagai terapi drainase bilier seperti drainase
bilier secara endoskopi retrograde (endoscopic retrograde biliary drainage/ERBD)
dan drainase bilier perkutaneus transhepatik (percutaneous transhepatic biliary
drainage/PTBD).5 Angka mortalitas terkait dengan prosedur sekitar 2 % dan
mortalitas 30 hari setelah tindakan sekitar 13 %.8
Secara keseluruhan frekuensi kejadian infeksi pada ERBD dibandingkan PTBD
adalah 48% vs 9%. Komplikasi terbanyak adalah kolangitis yang lebih sering terjadi
secara signifikan pada kelompok ERBD. Komplikasi lain yang ditemukan adalah
kolesistitis akut (ERBD), pankreatitis akut (ERBD), perforasi bilier dan duodenum
(ERBD), serta hemobilia pada kelompok PTBD. Tingginya angka komplikasi infeksi
pada kelompok ERBD menyebabkan pemanjangan lama perawatan pada mereka
dalam kelompok tersebut.16

BAB III
PEMBAHASAN

Kolestasis adalah terganggunya aliran empedu bahkan sampai


berhentinya aliran empedu tersebut. Secara klinis dapat diketahui dengan

10
adanya ikterus. Penyakit yang menyebabkan perlambatan atau berhentinya
aliran empedu cukup banyak sehingga sering menyebabkan kesukaran
dalam diagnosa. Sedangkan kepastian diagnosa adalah penting sekali karena
berhubungan dengan pengobatan yang berbeda, apakah memerlukan
tindakan operasi atau hanya medikamentosa. Banyaknya pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada penderita ikterus belum tentu dapat menentukan
diagnosa yang tepat. Oleh karena itu diperlukan algoritme pemeriksaan yang
sistematik dan terarah dalam rangka penentuan diagnosis serta terapi yang
tepat pada pasien obstruksi sistem bilier.11
PTBD secara tehnik sama dengan Percutaneous Transhepatic
Cholangiography (PTC) hanya disini kateter masuk sampai melampaui
obstruksi dan bisa sampai duodenum, lebih ke arah terapi, karena flow dan
cairan empedu masuk kedalam “side hole” dari kateter. PTC merupakan
sarana diagnosis invasif untuk membedakan ikterus obstruktif ekstra dan
intrahepatik serta menentukan lokasi sumbatan. Gambaran saluran empedu
yang diperoleh PTC tidak hanya memberikan informasi mengenai saluran
empedu tetapi juga mempermudah menduga penyebabnya, sehingga dapat
menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.3,9
Terapi drainase bilier melalui endoskopik dan perkutaneus telah diakui sebagai alternatif
terapi yang efektif dan relatif non-invasif dibandingkan dengan pembedahan paliatif dalam
penanganan ikterus obstruktif.14,15 Tetapi pada tindakan terapi perkutaneus tubuh mendapat dosis
radiasi yang cukup tinggi bila dipandu oleh fluoroskopi. Organ yang menerima jumlah dosis
radiasi yang cukup besar baik pada perempuan maupun laki-laki adalah tulang belakang
(lumbal), ginjal dan kelenjar adrenal.17
Panduan untuk PTBD secara umum di lakukan dengan menggunakan fluoroskopi (live x-
ray), jarum dipandu ke dalam saluran empedu, di mana agen kontras disuntikkan untuk
memungkinkan visualisasi pada monitor. Sebuah kateter ditempatkan ke dalam saluran empedu
untuk memungkinkan empedu mengalir keluar ke dalam kantong di luar tubuh. Untuk mencegah
kesulitan pengeringan lebih lanjut, stent dapat ditempatkan dalam saluran empedu yang
tersumbat agar terus terbuka dan memungkinkan empedu mengalir bebas. PTBD dengan stenting

11
merupakan metode yang aman dan efektif dalam memberikan pengobatan paliatif untuk pasien
dengan obstruksi bilier serta dapat meningkatkan kualitas hidup.8
Hingga saat ini, berbagai teknik telah dikembangkan sebagai terapi drainase bilier seperti
drainase bilier secara endoskopi retrograde (endoscopic retrograde biliary drainage/ERBD),
drainase bilier perkutaneus transhepatik (percutaneous transhepatic biliary drainage/PTBD)
dengan panduan ultrasonografi, maupun pemasangan stent bilier internal melalui jalur PTBD.11,12
Drainase bilier persiapan preoperatif pada pasien Hilar Cholangiocarcinoma (HC) juga
disarankan oleh banyak ahli sebelum terapi definitif yang bertujuan untuk menurunkan risiko
morbiditas dan mortalitas pada pasien.1
Secara umum banyak ahli memiliki persepsi bahwa terapi drainase perkutaneus
transhepatik memiliki risiko morbiditas yang lebih tinggi daripada drainase endoskopik. Selain
itu, terdapat pula sugesti bahwa drainase transhepatik juga dapat menyebabkan angka mortalitas
yang lebih tinggi daripada drainase endoskopik.6
Penelitian yang membandingkan antara pemasangan stent bilier perendoskopik dan
perkutaneus transhepatik masih relatif jarang, tetapi sesungguhnya kedua teknik pemasangan
stent bilier tersebut masih memiliki risiko kolangitis dan berbagai komplikasi lainnya
dibandingkan hanya terapi drainase perkutaneus saja.14 Oleh karena itu, drainase perkutaneus,
walaupun bukan merupakan solusi definitif terhadap ikterus obstruktif akibat keganasan, masih
memiliki peranan terhadap pasien dalam kondisi tidak stabil dan yang memerlukan tindakan
dekompresi bilier emergensi.6
Pasien yang cenderung memiliki morbiditas dan mortalitas tingkat tinggi dapat diprediksi
sebelum dilakukan PTBD misalnya pada cholangiocarcinoma, lesi di distal CBD, bilirubin
tinggi, urea dan jumlah sel darah putih tinggi serta kholangitis biasanya cenderung mengalami
kegagalan pemasangan stent.8
Tingkat keberhasilan yang lebih tinggi didapati pada kelompok yang dilakukan drainase
transhepatik dibandingkan terapi perendoskopik.15.18 Pada penelitian-penelitian lain yang
dilakukan sebelum tahun 2000 memberikan hasil yang sebaliknya, dimana drainase transhepatik
perkutaneus memberi angka keberhasilan yang relatif lebih rendah. Hal ini mungkin berkaitan
dengan penggunaan self-expanding metal stent (SMES) pada terapi drainase transhepatik
menggunakan stent yang digunakan pada jurnal-jurnal terbaru.6
Strategi terapi paliatif termasuk EBD dan PTBD yang dilakukan di institusinya memiliki
sedikit komplikasi dan aman serta efektif untuk meningkatkan ekskresi empedu. Tidak terdapat

12
perbedaan yang signifikan antara efektivitas EBD dan PTBD, walaupun beberapa literatur yang
lain mengindikasikan bahwa PTBD bisa jadi lebih superior dibandingkan EBD.19
Dengan membandingkan output pasien dari masing-masing prosedur, didapati tingkat
kesuksesan paliatif inisial terhadap kolestasis lebih tinggi pada kelompok PTBD (93,9%)
ataupun PTBDS (97,1%), dibandingkan EBD yang hanya memberikan angka 79,4% (p = 0,03).
Rerata dari durasi patensi drainase paling lama dimiliki oleh grup PTBDS, diikuti oleh EBD dan
PTBD. Jenis tindakan ini sangat mempengaruhi lama patensi, namun jenis stent maupun ukuran
stent ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap patensi.14
Walaupun PTBD menunjukkan tingkat kesuksesan inisial yang tinggi, laju infeksi yang
rendah, namun kualitas hidup pasien dengan selang PTBD tidak sebaik pasien dengan EBD atau
PTBDS. Selain itu, tingkat patensi kumulatif PTBD adalah yang paling singkat dibandingkan
EBD maupun PTBDS, terutama pada Bismuth tipe III dan IV. PTBDS memberikan durasi
patensi yang terbaik pada keseluruhan pasien, sehingga pemasangan stent melalui jalur PTBD
direkomendasikan setelah tindakan PTBD.14
Pola obstruksi bilier seperti kategori Bismuth perlu dipertimbangkan sebelum memilih
metode drainase optimal pada pasien ikterus akibat HC yang tidak resektabel. Walaupun PTBD
memberikan tingkat kesuksesan yang tinggi, ia merekomendasikan EBD sebagai terapi drainase
lini pertama pada pasien HC Bismuth II atau III, dengan pertimbangan efikasinya yang cukup
baik serta tindakannya yang relatif tidak invasif. Namun demikian, pemasangan stent melalui
jalur PTBD adalah opsi terbaik untuk HC Bismuth tipe IV.14
Penelitian retrospektif multisenter tentang penggunaan stent pada EBD dan PTBD
terhadap 85 pasien HC lanjut (Bismuth III atau IV) yang tidak mendapatkan operasi, kemoterapi,
maupun radioterapi juga dilakukan untuk membandingkan luaran klinis dari dekompresi bilier
secara endoskopik (EBD) dengan perkutaneus(PTBDS) menggunakan self-expandable metallic
stents (SEMS).15
Perbaikan kolestasis didapatkan pada sekitar 84,7% pasien dimana tingkat kesuksesan
pada PTBDS secara signifikan lebih tinggi dibandingkan EBD. Tingkat komplikasi berkaitan
prosedur secara keseluruhan adalah 30,6%, yang tidak berbeda bermakna antara kedua jenis
prosedur. Komplikasi ini meliputi kolangitis (25,9%), perdarahan (2,4%), pankreatitis akut
(2,4%), dan mortalitas terkait prosedur (1,2%). Lama perawatan di rumah sakit pada kelompok
EBD secara signifikan lebih singkat dibandingkan PTBDS (16,1 vs 29,9 hari, p = 0,19). Pada
follow-up jangka panjang, didapatkan durasi patensi stent yang lebih panjang pada PTBDS

13
dibandingkan EBD walaupun perbedaan ini tidak signifikan (durasi median 11 bulan vs 9,8
bulan; p = 0,286).15
Terapi PTBD dengan SEMS perlu dipertimbangkan sebagai intervensi awal pada HC
stadium lanjut, karena PTBDS memberikan tingkat kesuksesan inisial yang tinggi dan laju
komplikasi prosedur, seperti kolangitis yang rendah, meskipun PTBDS memang kurang nyaman
dibandingkan EBD dan membutuhkan perawatan rumah sakit yang lebih panjang.15
Komplikasi kolangitis terkait prosedur terjadi lebih sering pada EBD ataupun PTBDS
dibandingkan dengan PTBD, walaupun hal ini biasanya dapat dikontrol dengan antibiotika.
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada komplikasi lainnya seperti perdarahan, pankreatitis,
serta mortalitas terkait prosedur. Perbandingan tingkat kesuksesan, patensi, dan komplikasi
prosedur pada setiap golongan Bismuth dan kesuksesan awal terapi dengan EBD, PTBD,
maupun PTBDS adalah setara untuk Bismuth tipe II, namun EBD lebih rendah pada Bismuth
tipe III ataupun IV. Durasi patensi EBD setara dengan PTBDS pada Bismuth tipe II dan III,
namun tidak sebaik PTBDS pada Bismuth tipe IV. Sedangkan kolangitis terkait prosedur terjadi
lebih sering setelah EBD atau PTBDS dibandingkan PTBD pada Bismuth tipe III dan IV.14
Berbagai cara telah dilakukan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi. Banyak ahli
radiologi intervensi menggunakan tehnik standar double-wall puncture, di mana jarum mungkin
melintasi saluran atau pembuluh darah, bahkan ketika target saluran berhasil ditusuk. Untuk
mengurangi risiko komplikasi hemoragik terkait dengan tusukan double-wall puncture, telah
dilakukan penelitian baru dengan single-wall 14inancia. Teknik baru ini merupakan metode
tusukan duktal yang bisa cukup diharapkan untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan
terhadap tusukan pembuluh darah.21

BAB IV

KESIMPULAN

Dari beberapa studi yang membandingkan antara berbagai terapi drainase bilier, baik
melalui EBD, PTBD, maupun penggunaan stent pada PTBD (PTBDS), masih terdapat banyak
kontroversi mengenai efektivitas dan keamanan terapi. Namun demikian, secara garis besar,
kedua modalitas utama terapi (EBD vs PTBD) memberikan hasil yang baik sebagai terapi
drainase bilier. Pemilihan harus disesuaikan dengan kondisi pasien (seperti status performa,

14
klasifikasi Bismuth, resektabel ataupun tidak resektabel), serta ketersediaan alat, teknologi, dan
fasilitas yang mendukung.
Pada beberapa penelitian PTBD dikatakan dapat memberikan tingkat kesuksesan yang
baik dengan kemungkinan infeksi paska tindakan seperti kolangitis yang 15inancia lebih kecil.
Namun demikian, pemasangan PTBD yang berkepanjangan akan menurunkan kualitas hidup
karena tidak nyaman bagi pasien. Pada pasien 15inancial15ve, PTBD dapat digunakan sebagai
terapi drainase bilier sementara. Penemuan teknologi SEMS memberikan pilihan baru yang lebih
baik sebagai terapi drainase bilier baik temporer maupun paliatif karena memberikan tingkat
kesuksesan yang lebih tinggi, patensi yang lebih lama, dan bila dikombinasikan dengan PTBD
sebagai teknik pemasangannya, akan memberikan tingkat keberhasilan inisial yang sangat tinggi
dengan kemungkinan infeksi yang lebih rendah dibandingkan EBD, tentunya dengan
pertimbangan kondisi finansial pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ciesielczyk B, Murawa D. The results of palliative percutaneous drainage of biliary


ducts. Rep Pract Oncol Radiother. 2004; 9: 69-72
2. Bonheur JL. Biliary Obstruction. Available from http://emedicine.medscape.com. Last
update: Jan 05, 2013. (Accesed on May 01, 2014).
3. Kim ES, Lee BJ, Won JY, Choi JY, Lee DK. Percutaneus transhepatic biliary drainase
may serve as a succesfull rescue procedure in failed cases of endoscopic therapy for a
post-living donor liver transplantation biliary stricture. JGIE. 2009; 69(1): 38-46
4. Duman L, Bϋyϋkyavuz BI, Akcam M, Koroglu M, Tepeli H. Percutaneus management of
bile-plug syndrome: a case report. JPEDSURG. 2011; 46: E37-E41
5. Lefkowitch JH. Anatomy and Function. In: Dooley JS, Sherlock’s Diseases of The Liver
and Biliary System. 2011. 12th ed. Blackwell Publishing Ltd, p: 1-18
6. Lachman N, Pawlina W. The liver and Biliary Apparatus : Basic Structural Anatomy and
Variations. Mayo clinic. 2010: 3-16

15
7. Gracanin AG, Kujundzic M, Petrovecki M, Romic Z, Rahelic D. Etiology and
epidemiology of obstructive jaundice in Continental Croatia. Coll Antropol. 2013; 37(1):
131-3
8. Tapping CR, Byass OR, Cast JEI. Percutaneus transhepatic biliary drainase (PTBD) with
or without stenting-complications, re-stent rate and a new risk stratification score. Eur
Radiol. 2011; 21: 1948-55
9. Saad WEA, Wallace MJ, Wojak JC, Kundu S, Cardella JF. Quality Improvement
Guidelines for Percutaneous Transhepatic Cholangiography, Biliary Drainage, and
Percutaneous Cholecystostomy. J Vasc Interv Radiol. 2010; 21: 789-95
10. Miyazaki M, Shibuya K, Tokue H, Tsushima Y. Percutaneus transhepatic biliary drainase
assisted by real-time virtual sonography: a retrospective study. Gastroenterology. 2013;
13(127): 1-5
11. Garcarek J, Kurcz J, Guzinski M, Janczak D, Sasiadek M. Ten Years Single Center
Experience in Percutaneous Transhepatic Decompression of Biliary Tree in Patients with
Malignant Obstructive Jaundice. Adv Clin Exp Med. 2012; 21(4): 621-32
12. Rana Atif. PTBD. Available from http://emedicine.medscape.com. Last update: Feb 20,
2013. (Accesed on March 17, 2014).
13. Er-jiao Xu, Rong-qin Zheng, Zhong-zhen Su, Kai Li, Jie Ren, Huan-yi Guo. Intra-biliary
contrast-enhanced ultrasound for evaluating biliary obstruction during percutaneous
transhepatic biliary drainage: A preliminary study. EJRAD.2012; 81: 3846-50
14. Lee SH, Park JK, Yoon WJ, et al. Optimal Biliary Drainage for Inoperable Klatskin’s
Tumor Based on Bismuth Type. World J Gastroenterol 2007; 13(29): 3948-55.
15. Paik WH, Park YS, Hwang JH, et al. Palliative Treatment with Self-Expandable Metallic
Stents in Patients with Advanced Type III or IV Hilar Cholangiocarcinoma: A
Percutaneous Versus endoscopic Approach. Gastrointest Endosc 2009; 69: 55-62.
16. Kloek JJ, Gaag NA, Aziz Y, et al. Endoscopic and Percutaneous Preoperative Biliary
Drainage in Patients with Suspected Hilar Cholangiocarcinoma. J Gastrointest Surg 2010;
14: 119-25
17. Karavasilis E, Dimitriadis A, Gonis H, Pappas P, Georgiou E, Yakoumakis E. Effective
dose in percutaneous transhepatic biliary drainage examination using PCXMC2.0 and
MCNP5 Monte Carlo codes. EJMP. 2013: 1-5
18. Pinol V, Castells A, Bordas JM, et al. Percutaneous self expanding metal stents versus
endoscopic polyethylene endoprosthesesfor treating malignant biliary obstruction:
randomized clinical trial. Radiology. 2002; 225: 27-34

16
19. Weber A, Landrock S, Schneider J, et al. Long-term Outcome and Prognostic Factors of
Patients with Hilar Cholangiocarcinoma. World J Gastroenterol 2007; 13(9): 1422-26
20. Lee SH, Hahn ST, Hanhn HJ, Cho KJ. Single-Wall Puncture: A New Technique for
Percutaneous Transhepatic Biliary Drainage. AJR. 2003;181: 717-9.

LAMPIRAN

A B

C D

E F

17
Gambar 1. Anatomi Hepar. A) Hepar dan sistema bilier. B) Anterior view. C) Inferior
view. D) Posterior view. (Lefkowitch, 2011)
E dan F) Segmen hepar ( Lachman, 2010)

Gambar 2. Anatomi sistema bilier (Lachman 2010)

Gambar 3. Patofisiologi obstruksi sistema bilier (Lefkowitch, 2011)

18
Gambar 4. Algoritme managemen obstructive jaundice malignant (Garcarek, 2012)

A B C

Gambar 5. Percutaneous Transhepatic Biliary Drainase (PTBD). A) Drainage internal


B dan C) Drainage internal-eksternal.

A B C

19
Gambar 6. PTBD dengan Stenting. A) Striktur berat pada carcinoma pancreas. B)
Terpasang stent nitinol self-expandable. C) Kombinasi stenting bilier.

A B

Gambar 7. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) pada


pasien hilar cholangiocarcinoma (Bismuth IV).

20
Gambar 8. PTBD vs ERCP. A) ERCP B) PTBD C) 3D-CT post operasi fibrosis striktur
D) Kesuksesan PTBD dengan insersi kateter ke ductus anterior inferior

21

Anda mungkin juga menyukai