PENDAHULUAN
CSR secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat dan lingkungan; serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan,Corporate Social
Responsibility(CSR) tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan
tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Etika
1. Aliran Egoisme
2. Etika Utilitarianisme
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan
keputusan yang mengandung kebenaran, tidak memihak dapat
dipertanggungjawabkan serta memperlakukan setiap orang pada kedudukan yang
sama didepan hukum.
Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan tertuju pada orang lain: Pertama
keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan sealau di tandai oleh berbagai
hal yang dilakukan orang tersebut (J. Finnis). Masalah keadilan atau ketidak adilan
hanya timbul dalam konteks antar manusia untuk itu perlu diperlakukan sekurang-
kurangnya dua orang manusia bila pada suatu saat hanyya tinggal satu manusia di
bumi ini, masalah keadilan atau ketidak adilan tidak berperan lagi. Kedua keadilan
harus ditegakkan atau dilaksanakan, jadi keadilan tidak diharapkan saja atau
dianjurkan saja sehingga kita mempunya kewajiban dan cirri khas yang khusus
disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain. Kita akan
memberikan sesuatu karena alas an keadilan. Kita harus selalu atau wajib
memberikan sesuatu karena alas an lain, kita tidak akan wajib dan akan
memberikannya. Ketiga keadilan menurut persamaan atau equality, atas dasar
keadilan kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,
tanpa kecuali. Orang baru pantas disebut orang yang adil, bila ia berlaku adil
terhadap semua orang. Beberapa jenis keadilan yang kita ketahui, diantaranya:
1. Menurut Adam Smith yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti
yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan,
keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak
yang lain.
2. Keadilan legal sesungguhnya sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena
keadilan legal sesungguhnya hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan
komutatif yaitu bahwa demi menegakkan keadilan komutatif negara harus bersikap
netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali.
3. Adam Smith menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan.
Alasannya antara lain karena apa yang disebut keadilan selalu menyangkut hak
semua orang tidak boleh dirugikan haknya atau secara positif setiap orang harus
diperlakukan sesuai dengan haknya.
1. Prinsip No Harm
Menurut Adam Smith prinsip paling pokok dari keadilan adalah prinsip no harm
atau prinsip tidak merugikan orang lain. Dasar dari prinsip ini adalah penghargaan
atas harkat dan martabat manusia beserta hak-haknya yang melekat padanya,
termasuk hak atas hidup.
1. Prinsip non intervention
Prinsip non intervention adalah prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini
menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap
orang tidak diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan
kegiatan orang lain.
Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud
dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Ini sesungguhnya merupakan
penerapan lebih lanjut prinsip no harm secara khusus dalam pertukaran dagang
antara satu pihak dengan pihak lain dalam pasar.
Karena kebebasan merupakan salah satu hak asasi paling penting dari manusia
Rawls sendiri menetapkan kebebasan sebagai prinsip pertama dari keadilannya
berupa, “Prinsip Kebebasan yang Sama”. Prinsip ini berbunyi “Setiap orang harus
mempunyai hak dan sama atas sistem kebebasan dasar yang sama yang paling luas
sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua”. Ini berarti pada tempat
pertama keadilan dituntut agar semua orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya
atas kebebasan secara sama.
Teori Rawls kendati sangat menarik dan dalam banyak hal efektif memecahkan
persoalan ketimpang dan kemiskinan ekonomi mendapat kritik tajam dari segala
arah khususnya menyangkut prinsip kedua, Prinsip perbedaan. Kritik yang paling
pokok adalah bahwa teori Rawls khususnya prinsip perbedaan malah menimbulkan
ketidak adilan baru :
Prinsip tersebut membenarkan ketidak adilan karena dengan prinsip tersebut
pemerintah dibenarkan untuk melanggar dan merampas hak pihak tertentu untuk
diberikan kepada pihak lain
Yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok tertentu yang diambil
pemerintah tadi juga diberikan kepada kelompok yang menjadi tidak beruntung
atau miskin karena kesalahanya sendiri.
Milton Friedman mengatakan bahwa suatu perusahaan adalah pribadi artifisial dan
dalam pengertian ini mungkin saja mempunyai tanggung jawab artifisial. Tetapi
bisnis secara keseluruhan tidak bisa dianggap mempunyai tanggung jawab. Kedua,
ada benarnya bahwa tanggung jawab moral dan sosial tidak bisa diwakilkan dan
diwakili oleh orang lain. Tanggung jawab moral pada dasarnya bersifat pribadi dan
tak tergantikan. Tanggung jawab moral dan sosial bersifat pribadi dan, karena itu
hanya orang yang bersangkutan yang bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya. Ketiga, dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa
dipisahkan dari tanggung jawab moral dan sosial. Pada tingkat operasional
tanggung jawab sosial dan moral diwakili secara formal oleh staf manajemen.
Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada ditangan manajer,
maka pada tempatnya tanggung jawab sosial dan moral perusahaan juga dipikul
oleh mereka.
Istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin popular setelah
kehadiran buku cannibals with FORKS: The triple Botton Line in 21st Century
Business(1998) karya John Elkington mengembangkan 3 komponen
penting suistabinable development, yakni economic growth, environment
protection dan social equity yang ditugaskan the world Commission On
Environmental and development (WCED) dalam brunrtland Report (1987),
Elkington mengemas CSR dalam 3 fokus yakni 3P, singkatan dari profit,
planet dan people (Wibisono, 2007: 46).
Perusahaan yang baik tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi belaka (profit)
melainkan pula memiliki kepedulian terhadap ketertarikan lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people). Secara umum Corporate Social
Responsibilitymerupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai adanya
kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk menanggapi
keadaan sosial yang ada dan dapat dinikmati, memanfaatkan serta memelihara
lingkungan hidup. Atau dengan kata lain merupakan cara perusahaan mengatur
proses usah untuk memproduksi dampak positif pada komonitas atau citra yang
baik. Salah satu definisi CSR Asia berbunyi “Corporate Social
Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan
berdasarkan prinsip ekonomi, social dan longkungan serasa menyeimbangkan
beragam kepentingan para stakeholders” (Ruslan: 1999).
Defenisi dari CSR itu sendiri telah dikemukakan oleh banyak pakar. Di antaranya
adalah defenisi yang dikemukan oleh Magnan & Ferrel (dalam Susanto, 2007: 53)
yang mendefinisikan CSR sebagai : ”A business acts in socially responsible
manner when its decision and actions account for and balance diverse stakeholder
interest”. Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara
seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholder yang beragam dalam setiap
keputusan dan tindakan yang diambil para pelaku bisnis melalui perilaku yang
secara sosial bertanggung jawab.
Sedangkan Komisi Eropa membuat defenisi yang lebih praktis yang pada dasarnya
adalah bagaimana perusahaan yang secara sukarela memberikan kontribusi bagi
terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih
(Susanto, 2007: 56). Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah
perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan
perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan (profits); masyarakat, khususnya
komunitas sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet earth) (Susanto, 2007:
56)
Philip Kotler (2007: 33), dalam buku CSR: Doing the Most Good for
Your Company and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya
perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun
positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar,
meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta
meningkatkan daya tarik korporat di mata investor.
Menurut Godo Tjahjono (2004: 63), CSR memang punya beberapa manfaat yang
bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu: license to operate, sumber daya
manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari sisi marketing, CSR juga bisa
menjadi bagian dari brand differentiation. Kini kita menyaksikan dan mengharap
gairah perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk menerapkan program
kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar ditengah
kekosongan issu saja, melainkan mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat
di Indonesia.
Sedangkan menurut Widjaja dan Pratama (2008), setidaknya ada tiga hal pokok
yang membentuk pemahama atau konsep mengenai CSR. Ketiga hal tersebut
adalah :
Bahwa sebagai suatu artiticial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri
sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap keadaan ekonomi , lingkungan
maupun sosialnya;
Keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan atau
korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stake holders-nya dan bukan
hanya shareholders-nya. Para stakeholder ini, terdiri dari shareholder, konsumen,
pemasok, klien, costumer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan
mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
perusahaan (the local community and society at large );
Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari
perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui
usaha yang dijalankan dan/atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR adalah
bagian terintegrasi dari kegiatan usaha (business), sehingga CSR berarti juga
menjalankan perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan.
Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan
global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to
sustainable economic development working with employees and their
representative the local community and society at large to improve quality of life,
in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu
komitmen bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi
berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal
serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini
baik untuk bisnis dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR
mean open and transparent business practices that are based on ethical values and
respect for employees, communities and environment..” (CSR berarti praktek bisnis
yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para
pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai
defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR)
mengemukakan bahwa, “CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan
mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan
bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar
sukarela. (Wibisono, 2007 : 8)
Reza Rahman (2009:13) mengemukakan sejumlah unsur yang menjadi tolak ukur
CSR, yaitu:
2. Community Empowerment
TINJAUAN KASUS
Beberapa permasalahan atau kasus CSR yang melibatkan PT Freeport
Indonesia dan dipublikasikan oleh beberapa media di tanah air antara lain:
1. Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat
Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan
alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya
reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh
turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis,
G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah
barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi
dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di
kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi
kawasan, nasional, bahkan global. (sumber
: https://www.scribd.com/doc/234613592/Pelanggaran-Hukum-Dan-Etika-Bisnis-
PT-Freeport-Indonesia)
2. Keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali
tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai
pengelola hanya ‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social
Responsibility) atau dana bantuan dan bina lingkungannya. Salah satu anggota
DPR yang tergabung dalam tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua, Irene
Manibuy mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR.
Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.
“Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan
dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur
sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene dalam rapat bersama
pemerintah di DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).Jika saja pemerintah pusat
memperjuangkan hak-hak Papua dalam Freeport maka pemerintah pusat tidak
harus pusing memikirkan pembangunan Papua. Papua bisa mandiri dalam
membangun daerahnya. “Pemerintah pusat tidak akan berat menghidupi kami,”
katanya.
Bukan hanya masalah Freeport, Irene juga menyentil pemerintah pusat yang tidak
pernah memperhatikan kesehatan masyarakat di Papua. “Kami di Papua tidak
punya rumah sakit rujukan, seperti di sini ada pondok indah, MMC yang
berstandar internasional. Jadi orang Papua berobat ke Jakarta dan ini kembali lagi
pemasukan untuk Jakarta, dan untuk Papua tidak ada,” tutupnya.
(sumber: http://www.merdeka.com/uang/rakyat-papua-butuh-kelola-tambang-
bukan-csr-freeport.htm)
3. Sejak 1967 hingga kini, PT Freeport menikmati hasil kekayaan alam di bumi
cenderawasih, Papua. Perusahaan tambang yang berafiliasi ke Freeport-
McMoRan yang bermarkas di Amerika Serikat itu tak henti menambang emas,
perak, dan tembaga.Selama hampir setengah abad kehadiran Freeport di tanah
Papua terus menerus memunculkan pelbagai masalah. Mulai dari setoran ke negara
yang dinilai masih sangat rendah, hingga pelbagai alasan menyiasati larangan
ekspor bahan mentah.
Permasalahan yang menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi
juga soal ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat
Papua. Sejauh ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga
Papua. Hal itu diakui sendiri oleh petinggi Freeport Indonesia.
Rendahnya peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu
anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan
Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR saja.
Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR
dari Freeport . Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk
pengelolaan. “Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR
berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan
mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene beberapa waktu
lalu. Lembaga swadaya Kontras dua tahun lalu pernah melansir laporan fasilitas
pekerja Freeport di lokasi tambang yang sangat memprihatinkan. Misalnya kamar
karyawan yang kecil, tapi diisi lima sampai enam orang. Pekerja pun kerap
mengeluh, lantaran remunerasi pegawai Indonesia tidak sama dengan sistem yang
diterapkan Freeport-McMoRan di AS atau negara lain. Di cabang Freeport lain,
upah karyawan berkisar USD 20-230 per jam. Sedangkan di Indonesia, sempat
hanya USD 3 per jam. (sumber: http://theglobejournal.com/sosial/csr-freeport-tak-
sejahterakan-masyarakat-papua/index.php)
Menurut World Bank (Fox, Ward dan Howard 2002:1) CSR merupakan komitmen
sektor swasta untuk mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Dukungan sektor swasta dalam hal ini perusahaan
untuk melakukan tanggungjawab sosialnya adalah ketika pada tahun 2000,
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk UN Global Compact sebagai salah
satu lembaga yang merangkai konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan
representasi kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembanguan yang
berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN Global Compact:
10). Tujuan utama yang ingin dicapainya adalah memberantas kemiskinan,
menyelesaikan masalah buta huruf, memperbaiki pelayanan kesehatan, mengurangi
angka kematian bayi, memberantas AIDS, menciptakan keberlanjutan dan
pengelolaan lingkungan, dan merangsang terciptanya kemitraan dalam proses
pembangunan
Disinilah sebenarnya peran utama CSR bagi sebuah perusahaan, dalam hal ini
adalah PT Freeport Indonesia, sesuai dengan yang diatur dalam Undang-
undang no.40 tahun 2007 mengenai tanggung jawab social dan lingkungan
perseroan terbatas. Dalam undang-undang ini diatur mengenai tanggung jawab
social dan lingkungan bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat dan masyarakat pada
umumnya. Sehingga pada dasarnya Freeport termasuk kedalam perusahaan yang
sesuai dengan paradigma Ideal ini.
Namun ternyata dengan adanya program CSR PTFI yang dikelola oleh LPMAK,
dengan dana satu persen dari pendapatan kotor perusahaan yang merupakan
komitmen sosial perusahaan dengan program pengembangan masyarakat pada
bidang ekonomi masyarakat, bidang kesehatan dan bidang pendidikan, alasan
mengapa Program CSR harus ada, karena konflik sosial masyarakat yang terjadi
berkepanjangan antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan perusahaan Freeport.
Bentuk program yang dilakukan yaitu program ekonomi, program kesehatan dan
program pendidikan, Dampak dari program yang telah dilakukan tidak berhasil
memberdayakan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tujuh suku.
Jadi, menurut masyarakat Papua sendiri, pemberian dana sosial lebih pada ucapan
terimakasih perusahaan yang untung kepada negara dalam hal ini rakyat disekitar
tambang. Hanya sebatas ikatan moral sebuah usaha asing yang mau berbagi berkat.
Efek hukum dari CSR tak begitu kuat. Tergantung perusahaan saja mau membagi
atau tidak. Kadang dengan alasan rugi, CSR dikurangi bahkan ditiadakan sama
sekali. Komitmen pembagian tetesan penghasilan yang dikenal melalui dana sosial
sejatinya menjadi kesepakatan baru diluar hukum positif yang tentunya berbicara
soal kewajiban perusahaan kepada warga lokal.
Pendekatan CSR seperti yang dilakukan oleh Freeport ini tentu saja tidak
memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah tangga.
Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang
berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai
penerima program pasif. Masyarakat tidak memiliki ruangan yang cukup untuk
berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolany, karena masyarakat
belum ditempatkan pada posisi sentral dalam realisasi program. Hal ini bukan
mekanisme yang tepat untuk menyiapkan masyarakat pasca ekstraksi. Masa
tersebut merupakan masa yang sulit bagi masyarakat karena resources yang selama
ini menjadi bagian dalam kehidupannya setiap hari tidak bisa dikelola lagi.
Masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan perlu diberdayakan dan disiapkan
untuk menghadapi masa-masa tersebut.
5.1 Kesimpulan
PT Freeport Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah perusahaan dengan
pemasukan finansial yang sangat besar, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan
penyampaian CSR yang baik dan tepat guna kepada masyarakat Papua. Selama ini
CSR yang dilakukan oleh Papua hanyalah berupa bantuan dana kemitraan melalui
LPMAK dimana dana-dana tersebut dikelola oleh LPMAK dan diberikan kepada
masyarakat Papua untuk kemudian dijadikan proyek-proyek yang mencerminkan
tujuan LPMAK untuk kegiatan kemanusiaan dan pembangunan serta memenuhi
pedoman keuangan dan audit. Disinilah terlihat jelas bahwa dana kemitraan yang
diberikan oleh PT Freeport Indonesia ternyata masih dipilah-pilah lebih lanjut
sebelum diberikan kepada masyarakat Papua, padahal begitu banyak penduduk
Papua yang masih hidup dibawah garis kemiskinan dan sangat memerlukan uluran
tangan dari pihak-pihak lain.
5.2 Saran
Untuk melaksanakan CSR perusahaan harus mengakui bahwa
permasalahan masyarakat adalah milik mereka juga. Tidak hanya itu, perusahaan
juga harus bersedia menanganinya. Itu dasarnya untuk melaksanakan CSR. Jadi
hanya dengan mengakui masalah apa yang ada di masyarakat dan itu menjadi
bagian mereka, maka CSR lebih mudah dilakukan. Sebab suatu rencana strategis di
belakang program-program CSR bisa jadi akan memberi kontribusi bagi
pengurangan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Republik ini. Dua masalah
utama yang harus segera dihapus bersama agar martabat orang Indonesia tegak
berdiri. Dapat disimpulkan jika CSR sangat bermanfaat untuk masyarakat dan
dapat meningkatkan image perusahaan. Jadi, seharusnya dunia usaha tidak
memandang CSR sebagai suatu tuntutan represif dari masyarakat, melainkan
sebagai kebutuhan dunia usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Reza. (2009). Corporate Social Responsibility : Antara Teori dan
Kenyataan. Yogyakarta : Media Presindo.
Wibisono, Yusuf (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho
Publishing
[1] Sumber: www.nytimes.com/2009/07/13/world/asia/13indo.html