Anda di halaman 1dari 22

Corporate Social Responsibility (CSR) PT Freeport Indonesia Ditinjau dari

Sudut Pandang Etika Bisnis


19 Oktober 2014 dematria

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai aktivitas korporasi membawa dampak yang nyata terhadap kualitas
kehidupan manusia baik itu terhadap individu, masyarakat, dan seluruh kehidupan.
Terjadinya deforestasi, pemanasan global, pencemaran lingkungan, kemiskinan,
kebodohan, penyakit menular, akses hidup dan air bersih, berlangsung terus-
menerus hingga akhirnya muncul konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau
CSR.

Dalam konteks global, istilah Corporate Social Responsibility (CSR) mulai


digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran
buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business
(1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen
penting sustainable development, yakni economic growth, environmental
protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on
Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987),
Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet
dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi
belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). (Initiative, 2002).
Dalam perkembangan selanjutnya ketiga konsep ini menjadi patokan bagi
perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial yang kita kenal dengan
konsep CSR. CSR merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis,
beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari
karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas. Konsep CSR
melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, perusahaan, dan
komunitas masyarakat setempat yang bersifat aktif dan dinamis.

Menurut Schermerhorn (1993) CSR adalah suatu kepedulian organisasi bisnis


untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan
organisasi dan kepentingan publik eksternal.Gagasan CSR menekankan bahwa
tanggungjawab perusahaan bukan lagi mencari profit semata, melainkan juga
tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, ketergantungan pada
kesehatan keuangan tidaklah menjamin perusahaan akan tumbuh secara
berkelanjutan. Program CSR dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat
lokal yang didasarkan pada kebutuhan ril yang secara dialogis dikomunikasikan
dengan masyarakat, pemerintah, perusahaan, masyarakat dan akademisi

CSR secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang
berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,
penghargaan masyarakat dan lingkungan; serta komitmen dunia usaha untuk
berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan,Corporate Social
Responsibility(CSR) tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan
tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.

Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa perusahaan harus melaksanakan


CSR, khususnya terkait dengan perusahaan ekstraktif (Wibisono: 2007). Pertama,
perusahaan merupakan bagan dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila
perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari
bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan
sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan
sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang
bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping sebagai kompensasi sosial karena
timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat. Kedua, kalangan bisnis
dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.
Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, setidaknya izin untuk melakukan
operasi yang sifatnya kultural. Wajar bila perusahaan juga dituntut untuk
memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta
harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa
perusahaan. Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau
bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari
dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis
yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.

1.2 Identifikasi Masalah


PT.Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas
sahamnya dimiliki Freeport-MCMoRan Copper & Gold Inc. sebuah perusahaan
Amerika Serikat,PT. Freeport Indonesia merupakan penghasil emas terbesar di
dunia melalui tambang Grasberg. Freport Indonesia telah melakukan eksplorasi di
dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari tahun 1967) dan
tambang Grasberg (sejak tahun 1988) di kawasanTembaga Pura, Kabupaten
Mimika, Propinsi Papua.
Freeport telah berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 milliar
dollar AS pertahun, keberadaannya telah memberikan manfaat langsung dan tidak
langsung Indonesia dimana 33 milliar dollar AS dari tahun 1992 –2004 telah
berikan kepada Pemerintah Indonesia. Menurut New York Times pada Desember
2005, jumlah yang telah dibayarkan Freport Indonesia kepada pemerintah
Indonesia antara tahun1998 – 2004 mencapai hampir 20 milliar dollar AS.
Pemerintah Indonesia, masyarakat Papua dan PT. Freepot telah menyetujui
pembaruan kontrak investasi PT. Freeport di Papua dengan di tanda-tanganinya
kontrak investasi untuk 30 tahun yang akan datang. [1]

Perusahaan sudah melaksanakan tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan


lingkungannya, ini dibuktikan dengan mempekerjakan orang-orang Papua diarea
pertambangan dan melakukan konservasi terhadap lingkungan. Sebenarnya apabila
dilihat dari sudut pandang perusahaan bahwa investasi yang sangat besar yang
dilakukan di tanah Papua harus menguntungkan dari segi financial untuk jangka
panjang karena terkait dengan kepentingan para pemegang saham perusahaan.
Dengan ditanda tanganinya kontrak artinya semua pihak yang terlibat paham dan
mengerti isi kontrak tersebut, jadi PT. Freeport harus menjalankan kewajibannya
terhadap pemerintah, masyarakat dan lingkungan sesuai dengan isi kontrak
tersebut. PT. Freeport Indonesia telah memberikan kompensasi terhadap
masyarakat Papua, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian masyarakat
Papua yang lain tidak mendapatkan ganti rugi. Di sisi lain, pemiskinan juga
berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar $132/tahun,
pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik
dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi
Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan
terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain
permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga
merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM
Mereka yang tidak memperoleh kompensasi dengan didukung oleh pihak-pihak
yang menolak keberadaan PT Freeport Indonesia dan atau mereka yang mencari
keuntungan pribadi, selalu berusaha untuk mengganggu kegiatan opersional
perusahaan baik melalui media massa maupun dengan melakukan penyerangan
langsung ke area pertambangan, sehingga banyak karyawannya yang tidak
bersalah telah menjadi korban penyerangan tersebut

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas, maka ada
beberapa masalah yang bias dirumuskan antara lain:
1. Apakah PT Freeport Indonesia termasuk perusahaan yang professional jika dilihat
dari CSR yang dilakukannya?
2. Apakah CSR yang dilakukan PT Freeport Indonesia sudah memenuhi kewajiban
hukum dan kewajiban moral jika ditinjau dari etika bisnis?

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Etika

2.1.1 Etika Deontologi


Istilah deontologi dari kata Yunani (deon) yang berarti kewajiban. Karena itu etika
deontologi menekankan kewajiban manusia untuk berbuat baik. Menurut teori ini,
suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat
atau tujuan baik dari tindakan itu. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral
karena dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan.

2.1.2 Etika Teleologi


Mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbul-kan oleh tindakan itu.
Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau
kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Kesulitan pada teori ini
adalah saat mengukur akibat yang ditimbulkan dan menentukan baik buruknya
tujuan apakah pribadi atau universal. Hal ini memunculkan dua teori teologi :

1. Aliran Egoisme

Tindakan seseorang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi


dan memajukan diri sendiri. Hal ini akan menjadi negatif bila untuk mengejar
kepentingan pribadi secara lahiriah. Hal itu dicapai dengan mengorbankan hak dan
kepentingan orang lain.

2. Etika Utilitarianisme

Prinsip dari etika utiliatirianisme adalah mengutamakan manfaat atau kegunaan


dari suatu tindakan sebagai hasil dari sebuah keputusan “ dengan memperhatikan
3 (tiga) prinsip :

1. Manfaat bagi semua pihak


2. Manfaat terbesar
3. Manfaat universal bagi semua pihak, dengan langkah :
4. a) mempertimbangkan berbagai alternatif.
5. b) mengevaluasi setiap alternatif
6. c) memilih alternatif paling menguntungkan/bermanfaat
7. d) Merencanakan tindakan yg tepat utk realisasi allternatif

2.2 Pengertian Keadilan dan Jenis Keadilan

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan
keputusan yang mengandung kebenaran, tidak memihak dapat
dipertanggungjawabkan serta memperlakukan setiap orang pada kedudukan yang
sama didepan hukum.
Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan tertuju pada orang lain: Pertama
keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan sealau di tandai oleh berbagai
hal yang dilakukan orang tersebut (J. Finnis). Masalah keadilan atau ketidak adilan
hanya timbul dalam konteks antar manusia untuk itu perlu diperlakukan sekurang-
kurangnya dua orang manusia bila pada suatu saat hanyya tinggal satu manusia di
bumi ini, masalah keadilan atau ketidak adilan tidak berperan lagi. Kedua keadilan
harus ditegakkan atau dilaksanakan, jadi keadilan tidak diharapkan saja atau
dianjurkan saja sehingga kita mempunya kewajiban dan cirri khas yang khusus
disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain. Kita akan
memberikan sesuatu karena alas an keadilan. Kita harus selalu atau wajib
memberikan sesuatu karena alas an lain, kita tidak akan wajib dan akan
memberikannya. Ketiga keadilan menurut persamaan atau equality, atas dasar
keadilan kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,
tanpa kecuali. Orang baru pantas disebut orang yang adil, bila ia berlaku adil
terhadap semua orang. Beberapa jenis keadilan yang kita ketahui, diantaranya:

1. Keadilan Komutatif (iustitia commutativa) yaitu keadilan yang memberikan


kepada masing-masing orang apa yang menjadi bagiannya berdasarkan hak
seseorang (diutamakan obyek tertentu yang merupakan hak seseorang).
2. Keadilan Legal (iustitia Legalis) yaitu keadilan berdasarkan Undang-Undang
(obyeknya tata masyarakat) yang dilindungi UU untuk kebaikan bersama.
3. Keadilan Distributif (iustitia distributiva) yaitu keadilan yang memberikan kepada
masing-masing orang apa yang menjadi haknya berdasarkan asas proporsionalitas
atau kesebandingan berdasarkan kecakapan, jasa atau kebutuhan.
4. Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang memberikan kepada
masing-masing orang hukuman atau denda sesuai dengan pelanggaran atau
kejahatannya.
5. Keadilan Kreatif (iustitia creativa) adalah keadilan yang memberikan kepada
masing-masing orang bagiannya berupa kebebasan untuk mencipta sesuai dengan
kreatifitas yang dimilikinya di berbagai bidang kehidupan.
6. Keadilan Protektif (iustitia protective) adalah keadilan yang memberikan
perlindungan kepada pribadi-pribadi dari tindakan yang sewenang-wenang pihak
lain.
7. Keadilan Sosial menurut Franz Magnis Suseno, keadilan socsal adalah keadilan
yang pelaksanaannya tergantung dari struktur proses ekonomi, politik, social,
budaya dan ideologis dalam masyarakat. Maka struktur social adalah hal pokok
dalam mewujudkan keadilan social. Keadilan social tidak hanya menyangkut
upaya penegakkan keadilan-keadilan tersebut melainkan masalah kepatutan dan
pemenuhan kebutuhan hidup yang wajar bagi masyarakat.

2.3 Teori Keadilan Menurut Para Ahli

2.3.1. Teori Keadilan Adam Smith


Alasan Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan adalah:

1. Menurut Adam Smith yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti
yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan,
keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak
yang lain.
2. Keadilan legal sesungguhnya sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena
keadilan legal sesungguhnya hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan
komutatif yaitu bahwa demi menegakkan keadilan komutatif negara harus bersikap
netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali.
3. Adam Smith menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan.
Alasannya antara lain karena apa yang disebut keadilan selalu menyangkut hak
semua orang tidak boleh dirugikan haknya atau secara positif setiap orang harus
diperlakukan sesuai dengan haknya.

Ada 3 prinsip pokok keadilan komutatif menurut Adam Smith, yaitu:

1. Prinsip No Harm

Menurut Adam Smith prinsip paling pokok dari keadilan adalah prinsip no harm
atau prinsip tidak merugikan orang lain. Dasar dari prinsip ini adalah penghargaan
atas harkat dan martabat manusia beserta hak-haknya yang melekat padanya,
termasuk hak atas hidup.
1. Prinsip non intervention

Prinsip non intervention adalah prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini
menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap
orang tidak diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan
kegiatan orang lain.

1. Prinsip pertukaran yang adil

Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud
dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Ini sesungguhnya merupakan
penerapan lebih lanjut prinsip no harm secara khusus dalam pertukaran dagang
antara satu pihak dengan pihak lain dalam pasar.

2.3.2. Teori Keadilan Distributif John Rawls


John Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf yang secara keras mengkritik
sistem ekonomi pasar bebas, kususnya teori keadilan pasar sebagaimana yang
dianut Adam Smith. Ia sendiri pada tempat pertma menerima dan mengakui
keunggulan sistem ekonomi pasar. Pertama-tama karena pasar memberi kebebasan
dan peluang yang sama bagi semua pihak pelaku ekonomi. Kebebasan adalah nilai
dan salah satu hak asasi paling penting yang dimiliki oleh manusia, dan ini dijamin
oleh sistem ekonomi pasar.

1. Prinsip Keadilan Distributif Rawls

Karena kebebasan merupakan salah satu hak asasi paling penting dari manusia
Rawls sendiri menetapkan kebebasan sebagai prinsip pertama dari keadilannya
berupa, “Prinsip Kebebasan yang Sama”. Prinsip ini berbunyi “Setiap orang harus
mempunyai hak dan sama atas sistem kebebasan dasar yang sama yang paling luas
sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua”. Ini berarti pada tempat
pertama keadilan dituntut agar semua orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya
atas kebebasan secara sama.

1. Kritik atas Teori Rawls

Teori Rawls kendati sangat menarik dan dalam banyak hal efektif memecahkan
persoalan ketimpang dan kemiskinan ekonomi mendapat kritik tajam dari segala
arah khususnya menyangkut prinsip kedua, Prinsip perbedaan. Kritik yang paling
pokok adalah bahwa teori Rawls khususnya prinsip perbedaan malah menimbulkan
ketidak adilan baru :
 Prinsip tersebut membenarkan ketidak adilan karena dengan prinsip tersebut
pemerintah dibenarkan untuk melanggar dan merampas hak pihak tertentu untuk
diberikan kepada pihak lain
 Yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok tertentu yang diambil
pemerintah tadi juga diberikan kepada kelompok yang menjadi tidak beruntung
atau miskin karena kesalahanya sendiri.

2.3.3. Teori Keadilan Aristoteles


Aristoteles berpendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan
numeric dan kesamaan proporsional. Kesamaan numeric mempersamakan setiap
manusia sebagai satu unit. Aristoteles membedakan keadilan menjadi 2 jenis, yaitu
keadilan distributive dan keadilan korektif. Keadilan distributive menurut
Aristoteles berfokus pada distribusi honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang
sama-sama bisa disapatkan dalam masyarakat. Sedangkan keadilan korektif
berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran
dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan
kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan.

2.4 Status Perusahaan


Perusahaan adalah sebuah badan hukum. Artinya, perusahaan dibentuk
berdasarkan huku tertentu dan disahkan dengan hukum atau legal tertentu. Karena
itu, keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertentu. Itu berarti perusahaan
adal;ah bentukan manusia, yang eksistensinya diikat berdasarkan aturan hukum
yang sah. Sebagai badan hukum, perusahaan mempunyai hak-hak legal tertentu
sebagaimana dimiliki oleh manusia. Misalnya, hak milik pribadi, hak paten, hak
atas merek tertentu, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, perusahaan juga
mempunyai kewajiban legal untuk menghormati hak legal perusahaan lain.
Sebagai badan hukum perusahaan mempunyai hak dan kewajiban legal, tapi tidak
dengan sendirinya berarti perusahaan juga mempunyai hak dan kewajiban moral.
De George secara khusus membedakan dua macam pandangan mengenai status
perusahaan, yaitu:

1. Legal-creator: Melihat perusahaan sebagai sepenuhnya ciptaan hukum, dan karena


itu ada hanya berdasarkan hukum. Menurut pandangan ini, perusahaan diciptakan
oleh negara dan tidak mungkin ada tanpa negara.
2. Legal-recognition: tidak memusatkan perhatian pada status legal perusahaan
melainkan pada perusahaan sebagai suatu usaha bebas dan produktiif. Menurut
pandangan ini, perusahaan terbentuk oleh orang atau kelompok orang tertentu
untuk melakukan kegiatan tertentu dengan cara tertentu secara bebas demi
kepentingan orang atau orang-orang tadi.

Menurut pandangan kedua, perusahaan bukan bentukan negara atau masyarakat,


maka perusahaan menetapkan sendiri tujuannya dan beroprasi sedemikian rupa
untuk mencapai tujuannya itu. Dari sudut pandang pertama pun kegiatan
perusahaan dapat dibatasi, yakni ketika perusahaan merugikan kepentingan
masyarakat. Tapi itu pun hanya sebatas tindakan legal. Secara lebih tegas itu
berarti, berdasarkan pemahan mengenai status perusahaan diatas, jelas bahwa
perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial. Pertama, karena
perusahaan bukanlah moral person yang punya akal budi dan kemauan bebas
dalam bertindak. Kedua, dalam kaitan dengan pandangan legal-recognition,
perusahaan dibangun oleh orang atau kelompok orang tertentu untuk
kepentingannya dan bukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Karena itu,
pada dasarnya perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial.

Milton Friedman mengatakan bahwa suatu perusahaan adalah pribadi artifisial dan
dalam pengertian ini mungkin saja mempunyai tanggung jawab artifisial. Tetapi
bisnis secara keseluruhan tidak bisa dianggap mempunyai tanggung jawab. Kedua,
ada benarnya bahwa tanggung jawab moral dan sosial tidak bisa diwakilkan dan
diwakili oleh orang lain. Tanggung jawab moral pada dasarnya bersifat pribadi dan
tak tergantikan. Tanggung jawab moral dan sosial bersifat pribadi dan, karena itu
hanya orang yang bersangkutan yang bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya. Ketiga, dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa
dipisahkan dari tanggung jawab moral dan sosial. Pada tingkat operasional
tanggung jawab sosial dan moral diwakili secara formal oleh staf manajemen.
Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada ditangan manajer,
maka pada tempatnya tanggung jawab sosial dan moral perusahaan juga dipikul
oleh mereka.

2.5 Corporate Social Responsibility


2.5.1 Pengertian Corporate Social Responsibility
Perusahaan merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat moderen, karena
perusahaan merupakan salah satu pusat kegiatan manusia guna memenuhi
kehidupannya. Selain itu, perusahaan juga sebagai salah satu sumber pendapatan
negara melalui pajak dan wadah tenaga kerja. Menurut Wibisono (2007: 37),
perusahaan merupakan lembaga yang secara sadar didirikan untuk melakukan
kegiatan yang terus-menerus untuk mendayagunakan sumber daya alam dan
sumber daya manusia sehingga menjadi barang dan jasa yang bermanfaat secara
ekomonis

Istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin popular setelah
kehadiran buku cannibals with FORKS: The triple Botton Line in 21st Century
Business(1998) karya John Elkington mengembangkan 3 komponen
penting suistabinable development, yakni economic growth, environment
protection dan social equity yang ditugaskan the world Commission On
Environmental and development (WCED) dalam brunrtland Report (1987),
Elkington mengemas CSR dalam 3 fokus yakni 3P, singkatan dari profit,
planet dan people (Wibisono, 2007: 46).

Perusahaan yang baik tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi belaka (profit)
melainkan pula memiliki kepedulian terhadap ketertarikan lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people). Secara umum Corporate Social
Responsibilitymerupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai adanya
kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk menanggapi
keadaan sosial yang ada dan dapat dinikmati, memanfaatkan serta memelihara
lingkungan hidup. Atau dengan kata lain merupakan cara perusahaan mengatur
proses usah untuk memproduksi dampak positif pada komonitas atau citra yang
baik. Salah satu definisi CSR Asia berbunyi “Corporate Social
Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan
berdasarkan prinsip ekonomi, social dan longkungan serasa menyeimbangkan
beragam kepentingan para stakeholders” (Ruslan: 1999).
Defenisi dari CSR itu sendiri telah dikemukakan oleh banyak pakar. Di antaranya
adalah defenisi yang dikemukan oleh Magnan & Ferrel (dalam Susanto, 2007: 53)
yang mendefinisikan CSR sebagai : ”A business acts in socially responsible
manner when its decision and actions account for and balance diverse stakeholder
interest”. Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara
seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholder yang beragam dalam setiap
keputusan dan tindakan yang diambil para pelaku bisnis melalui perilaku yang
secara sosial bertanggung jawab.

Sedangkan Komisi Eropa membuat defenisi yang lebih praktis yang pada dasarnya
adalah bagaimana perusahaan yang secara sukarela memberikan kontribusi bagi
terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih
(Susanto, 2007: 56). Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah
perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan
perhatian kepada peningkatan kualitas perusahaan (profits); masyarakat, khususnya
komunitas sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet earth) (Susanto, 2007:
56)

Philip Kotler (2007: 33), dalam buku CSR: Doing the Most Good for
Your Company and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya
perusahaan menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun
positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar,
meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta
meningkatkan daya tarik korporat di mata investor.

Menurut Godo Tjahjono (2004: 63), CSR memang punya beberapa manfaat yang
bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu: license to operate, sumber daya
manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari sisi marketing, CSR juga bisa
menjadi bagian dari brand differentiation. Kini kita menyaksikan dan mengharap
gairah perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk menerapkan program
kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar ditengah
kekosongan issu saja, melainkan mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat
di Indonesia.

Sedangkan menurut Widjaja dan Pratama (2008), setidaknya ada tiga hal pokok
yang membentuk pemahama atau konsep mengenai CSR. Ketiga hal tersebut
adalah :

 Bahwa sebagai suatu artiticial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri
sendiri dan terisolasi, perusahaan atau perseroan tidak dapat menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap keadaan ekonomi , lingkungan
maupun sosialnya;
 Keberadaan (eksistensi) dan keberlangsungan (sustainability) perusahaan atau
korporasi sangatlah ditentukan oleh seluruh stake holders-nya dan bukan
hanya shareholders-nya. Para stakeholder ini, terdiri dari shareholder, konsumen,
pemasok, klien, costumer, karyawan dan keluarganya, masyarakat sekitar dan
mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
perusahaan (the local community and society at large );
 Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari
perusahaan atau korporasi, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui
usaha yang dijalankan dan/atau dikelola olehnya. Jadi ini berarti CSR adalah
bagian terintegrasi dari kegiatan usaha (business), sehingga CSR berarti juga
menjalankan perusahaan atau korporasi untuk memperoleh keuntungan.
Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan
global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to
sustainable economic development working with employees and their
representative the local community and society at large to improve quality of life,
in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu
komitmen bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi
berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal
serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini
baik untuk bisnis dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR
mean open and transparent business practices that are based on ethical values and
respect for employees, communities and environment..” (CSR berarti praktek bisnis
yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para
pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai
defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR)
mengemukakan bahwa, “CSR adalah suatu konsep dimana perusahaan
mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan
bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar
sukarela. (Wibisono, 2007 : 8)

Reza Rahman (2009:13) mengemukakan sejumlah unsur yang menjadi tolak ukur
CSR, yaitu:

1. Continuity and Sustainability

Berkelanjutan dan berkesinambungan merupakan unsur vital dari CSR. Suatu


kegiatan amal yang berdasar trend ataupun insidential, bukanlah CSR. CSR
merupakan hal yang bercirikan long term perspective bukan instant,
happening, ataupun booming. Kegiatannya terencana, sistematis dan dapat di
evaluasi. Kegiatan yang dilakukan corporat secara berkesinambungan dan
berkelanjutan merupakan salah satu cara untuk mencegah krisis melalui
peningkatan corporate image.

2. Community Empowerment

Pemberdayaan komunitas membedakan CSR dengan kegiatan yang


bersifat charityataupun philantrophy semata. Tindakan-tindakan kedermawanan
meskipun membantu komunitas ,tetapi tidak menjadikan mandiri. Salah satu
indikasi dari suksesnya sebuah program CSR adalah adanya kemandirian yang
lebih pada komunitas,dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir.
3. Two Ways

Proses komunikasi yang dilakukan dalam CSR, merupakan kampanye yang


bersinergi dengan tindakan. Pendistribusian informasi mengenai komitmen sosial
melalui berbagai sarana, serta kefektifan perusahaan mengkomunikasikan
komitmen sosialnya kepada komunitas

Secara umum, Corporate Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas


kehidupan mempunyai arti adanya kemamupuan manusia sebagai individu anggota
komunitas untuk dapat menggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati
serta memanfatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada
sekaligus memelihara, atau dengan kalta lain merupakan cara perusahaan mengtur
proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada suatu komunitas, atau
merupakan suatu proses yang penting dalam pengaturan biyaya yang dikeluarkan
dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders baik secara internal
(pekerja, shareholders, dan penanaman modal) maupun eksternal kelembagaan
pengaturan umum, angota-anggota komunitas, kelompok komunitas sipil dan
perusahaan lain).
Jadi, tanggung jawab perusahaan secara sosial tidak hanya terbatas pada konsep
pemberian donor saja, tetapi konsepnya sangat luasdan tidak bersifat statis dan
pasif dan statis, hanya dikeluarkan dari perusahaan akan tetapi hak dan
kwajibanyang dimiliki bersama antara stakeholders. Konsep Corporate Social
Responsibility melibatkan tanggungjawab kemitraan antara pemerinta, lembaga,
sumberdaya komunitas, juga komunitas lokal (setempat). Kemitraan ini tidaklah
bersifat pasif atau statis. Kemitraan ini merupakan tanggungjawab bersama secara
sosial antara stakeholders

2.5.2 Standarisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia


Pada tahun 2001, ISO-suatu lembaga internasional dalam perumusan standar atau
pedoman, menggagaskan perlunya standar tanggungjawab sosial perusahaan
(CSR standard). Setelah mengalami diskusi panjang selama hampir 4 tahun
tentang gagasan ini, akhirnya Dewan managemen ISO menetapkan bahwa yang
diperlukan adalah Standar Tanggungjawab Sosial atau Social Responcibility
Standard (ISO, 2005). CSR merupakan salah satu bagian dari SR. Tidak hanya
perusahaan yang perlu terpanggil melakukan SR tetapi semua organisasi, termasuk
pemerintah dan LSM.

Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya,


yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen,
investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung
perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang
pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan
yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta
keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat.
Ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan
CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan
perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua,
perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal). Ketiga,
perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang
berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan
pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan
manajemen risiko (risk management).

TINJAUAN KASUS
Beberapa permasalahan atau kasus CSR yang melibatkan PT Freeport
Indonesia dan dipublikasikan oleh beberapa media di tanah air antara lain:

1. Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat
Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan
alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya
reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh
turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis,
G.F., et.al., 2006). Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah
barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi
dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di
kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi
kawasan, nasional, bahkan global. (sumber
: https://www.scribd.com/doc/234613592/Pelanggaran-Hukum-Dan-Etika-Bisnis-
PT-Freeport-Indonesia)
2. Keberadaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua sama sekali
tidak memberikan keuntungan pada masyarakat sekitarnya. Freeport sebagai
pengelola hanya ‘menyuap’ masyarakat dengan dana CSR (Corporate Social
Responsibility) atau dana bantuan dan bina lingkungannya. Salah satu anggota
DPR yang tergabung dalam tim pemantau Otonomi Khusus Aceh dan Papua, Irene
Manibuy mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR.
Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan.

“Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan
dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur
sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene dalam rapat bersama
pemerintah di DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).Jika saja pemerintah pusat
memperjuangkan hak-hak Papua dalam Freeport maka pemerintah pusat tidak
harus pusing memikirkan pembangunan Papua. Papua bisa mandiri dalam
membangun daerahnya. “Pemerintah pusat tidak akan berat menghidupi kami,”
katanya.

Bukan hanya masalah Freeport, Irene juga menyentil pemerintah pusat yang tidak
pernah memperhatikan kesehatan masyarakat di Papua. “Kami di Papua tidak
punya rumah sakit rujukan, seperti di sini ada pondok indah, MMC yang
berstandar internasional. Jadi orang Papua berobat ke Jakarta dan ini kembali lagi
pemasukan untuk Jakarta, dan untuk Papua tidak ada,” tutupnya.
(sumber: http://www.merdeka.com/uang/rakyat-papua-butuh-kelola-tambang-
bukan-csr-freeport.htm)

3. Sejak 1967 hingga kini, PT Freeport menikmati hasil kekayaan alam di bumi
cenderawasih, Papua. Perusahaan tambang yang berafiliasi ke Freeport-
McMoRan yang bermarkas di Amerika Serikat itu tak henti menambang emas,
perak, dan tembaga.Selama hampir setengah abad kehadiran Freeport di tanah
Papua terus menerus memunculkan pelbagai masalah. Mulai dari setoran ke negara
yang dinilai masih sangat rendah, hingga pelbagai alasan menyiasati larangan
ekspor bahan mentah.

Permasalahan yang menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi
juga soal ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat
Papua. Sejauh ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga
Papua. Hal itu diakui sendiri oleh petinggi Freeport Indonesia.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto mengatakan, hanya


sekitar 30 persen sampai 36 persen pekerjaFreeport yang merupakan warga
Papua.”Dari 31.000 pekerja, sekitar 30-36 persen warga Papua,” kata Rozik di
Jakarta Convention Center, Rabu (22/1).Diakuinya, Perseroan telah didesak untuk
menambah jumlah pekerja yang berasal dari Papua. Setidaknya hingga 45 persen
dalam waktu lima tahun ke depan. Desakan tersebut berasal dari Dewan
Pertimbangan Presiden (Watimpres).”Seharusnya kata dia 100 persen, bukan 30
persen,” imbuh Rozik.Dia berdalih, Freeport memiliki standar kualitas pekerja
yang harus dipenuhi oleh siapapun yang berminat untuk bekerja di Freeport . Rozik
beralibi telah memprioritaskan warga setempat untuk menempati posisi pekerja di
perusahaan penambang emas dan tembaga tersebut.

Rendahnya peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu
anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khusus Aceh dan
Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR saja.
Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR
dari Freeport . Papua butuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk
pengelolaan. “Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR
berdasarkan dividen hanya 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan
mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah kami,” ucap Irene beberapa waktu
lalu. Lembaga swadaya Kontras dua tahun lalu pernah melansir laporan fasilitas
pekerja Freeport di lokasi tambang yang sangat memprihatinkan. Misalnya kamar
karyawan yang kecil, tapi diisi lima sampai enam orang. Pekerja pun kerap
mengeluh, lantaran remunerasi pegawai Indonesia tidak sama dengan sistem yang
diterapkan Freeport-McMoRan di AS atau negara lain. Di cabang Freeport lain,
upah karyawan berkisar USD 20-230 per jam. Sedangkan di Indonesia, sempat
hanya USD 3 per jam. (sumber: http://theglobejournal.com/sosial/csr-freeport-tak-
sejahterakan-masyarakat-papua/index.php)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The
World Commission On Environment and Development yang lebih dikenal
dengan The Brundtland Comission, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi
kebutuhan mereka (Solihin: 2009).

The Brundtland Comission dibentuk untuk menanggapai keprihatinan yang


semakin meningkat dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan
kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu
komisi ini juga dibentuk untuk mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup
dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. Oleh
karenanya, konsep sustainability development dibangun diatas tiga pilar yang
berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya, Ketiga pilar tersebut
adalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana ditegaskan kembali
dalam The United Nation 2005 World Summit Outcome Document (Solihin: 2009).
Pengenalan konsep Sustainability development memberikan dampak kepada
perkembangan devinisi dan konsep CSR selanjutnya. Sebagai contoh The
Organization for economic cooperation and Development (OECD) merumuskan
CSR sebagai “Kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya
perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi
pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi
para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis juga harus meberi perhatian terhadap
berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat”.

Lembaga lain yang memberikan rumusan CSR sejalan dengan konsepsustainability


development adalah The World Business Council for Sustainability Development.
Menurut organisasi ini CSR adalah komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis
untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan
ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para
ekerja dan keluarganya demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas
(Solihin : 2009).

Menurut World Bank (Fox, Ward dan Howard 2002:1) CSR merupakan komitmen
sektor swasta untuk mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Dukungan sektor swasta dalam hal ini perusahaan
untuk melakukan tanggungjawab sosialnya adalah ketika pada tahun 2000,
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk UN Global Compact sebagai salah
satu lembaga yang merangkai konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan
representasi kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembanguan yang
berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN Global Compact:
10). Tujuan utama yang ingin dicapainya adalah memberantas kemiskinan,
menyelesaikan masalah buta huruf, memperbaiki pelayanan kesehatan, mengurangi
angka kematian bayi, memberantas AIDS, menciptakan keberlanjutan dan
pengelolaan lingkungan, dan merangsang terciptanya kemitraan dalam proses
pembangunan

4.1 Analisis Etika Bisnis CSR Berdasarkan Paradigma Mengenai


Pekerjaan dan Kegiatan Bisnis
4.1.1 Paradigma Praktis-Realis
Pandangan ini bertumpu pada kenyataan yang diamati berlaku dalam dunia
bisnis dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan diantara
manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa
untuk memperoleh keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis bukan
kegiatan sosial (kegiatan profit making).
Pandangan Praktis-Realistis ini pada saat ini – berkaitan dengan PT Freeport
Indonesia – bisa dikatakan tidak sesuai karena sebagai sebuah perusahaan asing
dengan skala besar, PT Freeport Indonesia diwajibkan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang bertujuan untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat, terutama
yang berada di sekitar lingkungan operasionalnya. Oleh karena itulah kegiatan
Freeport saat ini kurang cocok jika dianggap termasuk dalam sebuah perusahaan
yang Praktis-Realistis atau hanya memikirkan keuntungan perusahaan, tanpa
memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitarnya.

4.1.2 Paradigma Ideal


Paradigma ini menyatakan bahwa kegiatan yang menyangkut memproduksi,
menjual, dan membeli barang/ jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyaraka tujuannya untuk memperoleh keuntungan sebagai tujuan utama bisnis.
Namun keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar dagang harus fair. Tujuan
utama bisnis sesungguhnya bukan hanya untuk mencari keuntungan, namun untuk
memenuhi kebutuhan orang lain.

Disinilah sebenarnya peran utama CSR bagi sebuah perusahaan, dalam hal ini
adalah PT Freeport Indonesia, sesuai dengan yang diatur dalam Undang-
undang no.40 tahun 2007 mengenai tanggung jawab social dan lingkungan
perseroan terbatas. Dalam undang-undang ini diatur mengenai tanggung jawab
social dan lingkungan bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat dan masyarakat pada
umumnya. Sehingga pada dasarnya Freeport termasuk kedalam perusahaan yang
sesuai dengan paradigma Ideal ini.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjadinya hubungan perseroan yang


serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat maka ditentukan bahwa perseroan yang kegiatan usahanya
dibidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam hal perusahaan tidak melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan maka perseroan yang bersangkutan dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pada Bab V pasal 74 ayat 1-
4 dijelaskan mengenai definisi dan sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan ini, tetapi ini belum cukup karena masih bersifat
umum dan belum dijelaskan tata cara pelaksanaanya.

4.2 Analisis Etika Bisnis CSR Berdasarkan Paradigma Mengenai


Pekerjaan dan Kegiatan Bisnis
4.2.1 CSR PT Freeport Indonesia berdasarkan Teori Etika Deontology
Konsep teori etika deontologi ini mengemukakan bahwa kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik, suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan
akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu
sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus bernilai moral karena
berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau
akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan
baik dan watak yang baik dari pelaku.

Dalam kasus CSR PT Freeport Indonesia sesungguhnya mempunyai tujuan yang


baik, yaitu bertujuan untuk memnuhi kebutuhan masyarakat sekitar dengan
membuat sebuah program dana kemitraan untuk pengembangan masyarakat. Akan
tetapi Freeport sendiri ternyata hanya sebatas memberikan dana kemitraan tersebut,
melalui Lempaka Pembangunan Masyarakat Amungne dan Kamoro (LPMAK).

4.2.2 CSR PT Freeport Indonesia Berdasarkan Teori Etika Teleologi


Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik
buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan tindakan
itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Jika didasarkan
pada Pasal 74 UUPT ayat (2) maka tanggung jawab sosial dan lingkungan
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan
dan kewajaran, dalam arti patut dan wajar untuk membantu kesejahteraan
masyarakat.

Namun ternyata dengan adanya program CSR PTFI yang dikelola oleh LPMAK,
dengan dana satu persen dari pendapatan kotor perusahaan yang merupakan
komitmen sosial perusahaan dengan program pengembangan masyarakat pada
bidang ekonomi masyarakat, bidang kesehatan dan bidang pendidikan, alasan
mengapa Program CSR harus ada, karena konflik sosial masyarakat yang terjadi
berkepanjangan antara masyarakat pemilik hak ulayat dengan perusahaan Freeport.
Bentuk program yang dilakukan yaitu program ekonomi, program kesehatan dan
program pendidikan, Dampak dari program yang telah dilakukan tidak berhasil
memberdayakan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tujuh suku.

4.2.2.1 Aliran Egoisme Etis


Aliran ini adalah sebuah tindakan dari perusahaan untuk mengejar
kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Berdasarkan aliran ini, dapat
dikatakan bahwa CSR yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia cenderung
masuk aliran ini karena CSR yang diberikan hanya berupa dana kemitraan sebesar
1% dari pendapatan kotor perusahaan.

Jadi, menurut masyarakat Papua sendiri, pemberian dana sosial lebih pada ucapan
terimakasih perusahaan yang untung kepada negara dalam hal ini rakyat disekitar
tambang. Hanya sebatas ikatan moral sebuah usaha asing yang mau berbagi berkat.
Efek hukum dari CSR tak begitu kuat. Tergantung perusahaan saja mau membagi
atau tidak. Kadang dengan alasan rugi, CSR dikurangi bahkan ditiadakan sama
sekali. Komitmen pembagian tetesan penghasilan yang dikenal melalui dana sosial
sejatinya menjadi kesepakatan baru diluar hukum positif yang tentunya berbicara
soal kewajiban perusahaan kepada warga lokal.

Tanggung jawab Sosial Perusahaan/ Tanggung jawab sosial dan Lingkungan


(Corporate Social Responsibility) yang dulu bersifat mandatory dan voluntary,
setelah di berlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas berubah menjadi hanya bersifat mandatory. Dan
besarnya CSR yang dibebankan kepada perusahaan adalah antara 2-5% dari total
penerimaan perusahaan.

4.2.2.2 Etika Utilitarianisme


Aliran utilitarianisme ini adalah suatu kebijakan aau etika perusahaan yang
berupa tindakan dan dapat dikatakan baik jika mendatangkan manfaat atau
keuntungan bagi banyak orang. Dan jika dilihat berdasarkan aliran ini, maka CSR
PT Freeport pun termasuk bertentangan karena menurut masyarakat Papua, PT
Freeport hanya melakukan CSR sebagai bentuk kewajiban atau bisa dikatakan
sebagai “keterpaksaan” demi menaati peraturan perundangan yang ada di
Indonesia, yang jika tidak diikuti maka bisa mengancam keberadaan Freeport di
Papua, sehingga hal tersebut pun tercermin dari CSR yang tidak mampu untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Pendekatan CSR seperti yang dilakukan oleh Freeport ini tentu saja tidak
memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah tangga.
Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang
berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai
penerima program pasif. Masyarakat tidak memiliki ruangan yang cukup untuk
berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolany, karena masyarakat
belum ditempatkan pada posisi sentral dalam realisasi program. Hal ini bukan
mekanisme yang tepat untuk menyiapkan masyarakat pasca ekstraksi. Masa
tersebut merupakan masa yang sulit bagi masyarakat karena resources yang selama
ini menjadi bagian dalam kehidupannya setiap hari tidak bisa dikelola lagi.
Masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan perlu diberdayakan dan disiapkan
untuk menghadapi masa-masa tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
PT Freeport Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah perusahaan dengan
pemasukan finansial yang sangat besar, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan
penyampaian CSR yang baik dan tepat guna kepada masyarakat Papua. Selama ini
CSR yang dilakukan oleh Papua hanyalah berupa bantuan dana kemitraan melalui
LPMAK dimana dana-dana tersebut dikelola oleh LPMAK dan diberikan kepada
masyarakat Papua untuk kemudian dijadikan proyek-proyek yang mencerminkan
tujuan LPMAK untuk kegiatan kemanusiaan dan pembangunan serta memenuhi
pedoman keuangan dan audit. Disinilah terlihat jelas bahwa dana kemitraan yang
diberikan oleh PT Freeport Indonesia ternyata masih dipilah-pilah lebih lanjut
sebelum diberikan kepada masyarakat Papua, padahal begitu banyak penduduk
Papua yang masih hidup dibawah garis kemiskinan dan sangat memerlukan uluran
tangan dari pihak-pihak lain.

5.2 Saran
Untuk melaksanakan CSR perusahaan harus mengakui bahwa
permasalahan masyarakat adalah milik mereka juga. Tidak hanya itu, perusahaan
juga harus bersedia menanganinya. Itu dasarnya untuk melaksanakan CSR. Jadi
hanya dengan mengakui masalah apa yang ada di masyarakat dan itu menjadi
bagian mereka, maka CSR lebih mudah dilakukan. Sebab suatu rencana strategis di
belakang program-program CSR bisa jadi akan memberi kontribusi bagi
pengurangan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Republik ini. Dua masalah
utama yang harus segera dihapus bersama agar martabat orang Indonesia tegak
berdiri. Dapat disimpulkan jika CSR sangat bermanfaat untuk masyarakat dan
dapat meningkatkan image perusahaan. Jadi, seharusnya dunia usaha tidak
memandang CSR sebagai suatu tuntutan represif dari masyarakat, melainkan
sebagai kebutuhan dunia usaha.

DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Reza. (2009). Corporate Social Responsibility : Antara Teori dan
Kenyataan. Yogyakarta : Media Presindo.

Ruslan, Rusady. (1999). Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi


(Konsepsi Dan Aplikasi). Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Solihin, Ismail, (2009). Corporate Social Responsibility; From Charity to


Sustainability. Jakarta: Salemba Empat

Wibisono, Yusuf (2007). Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho
Publishing
[1] Sumber: www.nytimes.com/2009/07/13/world/asia/13indo.html

Anda mungkin juga menyukai