Anda di halaman 1dari 14

REFERAT KARSINOMA REKTUM

Oleh : Fadhlur Rahman H1A 004 017

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH FK UNRAM/RSUP


NTB JULI 2009

PENDAHULUAN

Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna, lebih 60%
tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker rektal adalah masalah nutrisi dan
kurang berolah raga. Kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit
yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal adalah kanker yang menyerang kolon dan rektum.
Namun, penyakit ini bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini,
maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 persen.3 Setiap waktu, kanker ini bisa
menyerang seseorang. Risikonya akan terus meningkat seiring dengan penambahan usia. Data dari
Amerika Serikat dan Inggris memperlihatkan, orang yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko
tiga kali lipat dari kelompok usia lainnya. Mereka yang memiliki riwayat peradangan saluran cerna
seperti kolit usus kronis, tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal.
Demikian juga dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko terkena
penyakit ini bisa menyerang pada kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun. 3 Umumnya
penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan tumor ganas lainnya; 90% diagnosis
karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat ini pembedahan adalah terapi
pilihan untuk karsinoma rekti. 1,2,3,10

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI DAN ANATOMI Ca Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di
anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction terletak pada bagian
akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum.
Di setengah bagian bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum
berasal dari cabang arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena
hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena
mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti dapat menyebar
sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum diatas garis anorektum berjalan
seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta.
Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa
ini. Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa
muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa. 1,2,5,11

II. ANGKA KEJADIAN Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling sering
terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun 2005, diperkirakan
ada 145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di
rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus Ca kolon dan
8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua jenis kanker.
1, 4 Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian pada hampir
500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003). Menurut data di RS Kanker
Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari
pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia
selain jenis kanker lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini
memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah.1,3,4 Dari selutruh
pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40
tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki insidensi

terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.

1,2

Gambar 2. 1 Ca rekti

III. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO 1. Polip Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui
potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses
yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation,
perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen,
inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi
adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.13

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease 2.1 Ulseratif Kolitis Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko
yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis.
Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan
berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2%
pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan
untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien
dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa
lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien
yang didiagnosa dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa
diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai
masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara
para ahli patologi anatomi.13 2.2 Penyakit Crohn’s Pasien yang menderita penyakit crohn’s
mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan
dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar
20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat
yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah
biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan
juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan
crohn’s disease.14

3. Faktor Genetik 3.1 Riwayat Keluarga Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien
dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang
mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali
lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada
keluarganya.13 3.2 Herediter Kanker Kolorektal Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi
progresi dari normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma
dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam
menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi
sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan
pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma
kolon dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana
mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial
adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).13

3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis) Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC,
yang berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring
kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya
kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk
melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.
Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat
ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika
memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang
diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip
sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary
thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari
FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.13,15 3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis
Colorectal Cancer) Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2 Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (±45 tahun),
dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada
mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating
sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari
squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi
DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang
memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma
sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk kanker dari
endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan
dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan
gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang
berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang
berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada
rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal pada umur
yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari
umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC.
Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44
tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun.
Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari
penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant
kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini. 13,15

4. Diet Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun
terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara
resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet
yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan
level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada
sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.
Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan
mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari
daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya
mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko
terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang
dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua
mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan

kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara
diet dan resiko kanker kolorektal.13,16

5. Gaya Hidup Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20
tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran
besar. Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan dengan
pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko
kanker kolorektal. Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas
dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan
energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko
kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan
meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

6. Usia Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah 61% dan
56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan
pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan
dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa
pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per
100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita
yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000),
kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000). Usia merupakan faktor
paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari
kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50
tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40
tahun. Lima puluh lima persen

kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang
dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.13 Di Amerika
seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5%. Sedangkan kelompok
terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang
dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal
kurang dari 10%. Dari tahun 2000- 2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal
pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar
0,9%, 35- 44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74
tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.17

IV. MANIFESTASI KLINIK 1. Histologi Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi,
penanganan dan prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat
differensiasi yang berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi
juga dari area ke area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang
heterogen. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma (90-
95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998- 2001 di Amerika
Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologis dari
kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid
tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid
carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara
keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe histopatologis, derajat differensiasi dan
stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan dengan derajat differensiasi
sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan
dengan derajat differensiasi buruk dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula
pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum
bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat
differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.

Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD) didapatkan
bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma [diferensiasi baik 48
(23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum 19 (9,45%)
dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil penelitian di RSKD didapatkan bahwa
frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain
halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang
mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat
differensiasi baik. Perbedaan pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe
histopatologis akan sangat membantu untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa
yang akan datang. 13,16

2. Gejala Klinis Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
1,2,5,7,8,12 • Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
maupun yang berwarna hitam. • Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar
kosong saat BAB • Feses yang lebih kecil dari biasanya • Keluhan tidak nyama pada perut seperti
sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut atau nyeri • Penurunan berat badan yang tidak
diketahui sebabnya • Mual dan muntah, • Rasa letih dan lesu • Pada tahap lanjut dapat muncul
gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus.

3. Metastase Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi.
Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum
peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat
jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka metastase
kanker rektum lebih sering muncul pertama

10

kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka
metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar.11

V. DIAGNOSIS DAN STAGING 1. Diagnosis Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk
mendeteksi kanker rektal, diantaranya ialah : 1,2,5,7,8,9,12 1) Pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk
melihat perdarahan di jaringan 2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai
pemeriksaan skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan
rektal, pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.

1. Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok
dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu penonjolan tepi, dapat berupa : a. suatu pertumbuhan awal
yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licin
dan berbatas tegas. b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi c. suatu bentuk khas dari ulkus
maligna dengan tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling
sering) d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin Pada
pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

11

a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin
anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada penderita
perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa
vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi,
juga untuk menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan
pemeriksaan colok dubur. b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek
terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot
dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan
dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-
buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus. c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari
besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau
fiksasi lesi. 3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung barium dimasukkan
melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah. 4)
Sigmoidoscopy , yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah
terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai
kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. 5) Colonoscopy yaitu sebuah
prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau
kelainan lainnya. Alat colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau
sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. 6) Biopsi. Jika ditemuka tumor dari salah satu
pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan
jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah
karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated
tumors.1,2

12

2. Staging The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging system,
yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5 1. Stadium 0 Pada
stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada mukosa saja.
Disebut juga carcinoma in situ. 2. Stadium I Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus
mukosa sampai lapisan muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak
menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal
cancer. 3. Stadium II Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer. 4. Stadium III Pada stadium
III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar kebagian tubuh lainnya.
Disebut juga Dukes C rectal cancer. 5. Stadium IV Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian
lain tubuh seperti hati, paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

Gambar 7. Stadium Ca Recti I-IV


13

Tabel 1. CT Staging System for Rectal Cancer*

Stadium Deskripsi

T1 Massa polypoid Intraluminal; tidak ada penebalan pada dinding rectum

T2 Penebalan dinding rectum >6 mm; tidak ada perluasan ke perirectal

T3a Penebalan dinding rectum dan invasi ke otot dan organ yang berdekatan.

T3b Penebalan dinding rectum dan invasi ke pelvic atau dinding abdominal

T4 Metastasis jauh, biasanya ke liver atau adrenal *Modified from Thoeni (Radiology, 1981)

Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*

TNM Stadium

Modified Dukes Stadium

Deskripsi

T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa

T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria

T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural

T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric

T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesenteric

T4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan

Any T, M1 D Metastasis jauh *Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)

VI. PENTATALAKSANAAN Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker
rektal yang digunakan antara lain ialah : 1. Pembedahan Pembedahan merupakan terapi yang paling
lazim digunakan terutama untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam
stadium III juga

14

dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium
kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan
kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant
chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada
stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar
jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau
radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. 2,7 Tipe pembedahan
yang dipakai antara lain : 1,2,9 • Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan
dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy. • Reseksi: jika kanker lebih besar,
dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan
rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.

Gambar 8. Reseksi dan Anastomosis Gambar 9. Reseksi dan Kolostomi

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal, termasuk


pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur ini
merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker yang berada di lokasi 1/3
atas dan tengah ( 5 s/d 15 cm dari garis dentate ) dapat dilakukan ” restorative anterior resection”
kanker 1/3 distal rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan garis
dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan jenis operasi.

15

Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan operasi ”Low anterior
resection ” akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm
telah diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh venara dkk
pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate aman untuk dilakukan
operasi ” Restorative resection”. ”Colonal anastomosis” diilhami oleh hasil operasi Ravitch dan
Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat diterapkan pada kanker
rectum letak bawah, dimana teknik stapler tidak dapat dipergunakan. Local excision dapat
diterapkan untuk mengobati kanker rectum dini yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda
metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu
transanal, transpinchteric atau transsacral. Pendekatan transpinshter dan transacral memungkinkan
untuk dapat mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi kemungkinan telah terjadi
metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki kekurangan untuk mengamati keterlibatan
kelenjar pararektal. Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum
melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan. Pada
pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid
dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limf
retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan
rektum melalui abdomen. Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi
dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.
Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus
dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk
menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya kelenjar ganas pararektal.

Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum 1. Indikasi • Tumor bebas, berada 8 cm dari
garis dentate • T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound • Termasuk well-
diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara histologi
16

• Ukuran kurang dari 3-4 cm 2. Kontraindikasi • Tumor tidak jelas • Termasuk T3 yang dipastikan
dengan ultrasound • Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi

2. Radiasi Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut, radiasi dapat
menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai
sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan
dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan
telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.
Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis
tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien
yang memiliki tumor lokal yang unresectable. 1,2,9

3. Kemoterapi Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit
residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dimana
tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan
Stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin
dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5- FU merupakan anti metabolit dan leucovorin
memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi
substitusi bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira – kira 15% dan
menurunkan angka kematian kira – kira sebesar 10%. 1,2,9

VII. PROGNOSIS Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%

17

b. Stadium II - 54% c. Stadium III - 39% d. Stadium IV - 7% Lima puluh persen dari seluruh pasien
mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya.
Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2
tahu pertama setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas
negatif tumor. 2

18

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn.S Umur : 24 tahun Alamat : Kuripan Lobar Nomor RM : 088336
MRS : 25/5/09 Pemeriksaan : 15 Juni 2009

II. KELUHAN UTAMA Benjolan pada anus dan nyeri pada anus

III. ANAMNESA Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluh terdapat benjolan pada anus, nyeri dan
setiap BAB selalu bercampur darah. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yll. Pada awalnya tidak
terdapat benjolan pada anus pasien. Sejak 3 bulan yang lalu, pasien merasakan adanya benjolan di
anus yang mirip dengan daging tumbuh. Awalnya benjolan sebesar biji kacang tanah, dan terus
membesar hingga sekarang yang kira-kira sebesar telur ayam. Benjolan ini tidak bisa dimasukkan
walau pasien sudah berusaha untuk memasukkan ke anus menggunakan jari. Benjolan ini tetap
keluar saat BAB atau tidak, benjolan ini juga sering berdarah terutama ketika BAB. Setiap kali ke
toilet untuk BAB, pasien mengaku harus mengedan dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mengeluarkan feses. Feses yang keluar sedikit-sedikit dan bentuknya lebih kecil, feses keluar selalu
bercampur darah dan lendir. Darah yang keluar berwarna merah segar dan terkadang merah
kehitaman, darah tetap menetes setelah feses keluar dan beberapa saat setelah selesai BAB, darah
berhenti keluar. Pasien merasa selalu tidak tuntas saat BAB. Nyeri dirasakan hilang timbul pada
daerah anus yang menjalar ke atas, nyeri terutama dirasakan ketika BAB dan flatus. Selain itu juga,
pasien mengeluh terdapat feses yang keluar dari lubang penis. Keluhan ini dirasakan sejak sekitar 2
bulan yang lalu. Feses yang keluar bentuknya encer dan berwarna kuning tidak bercampur darah.
Feses keluar

19

bersama-sama dengan keluarnya urin. Pasien juga mengaku terkadang keluar udara dari lubang
penis yang mirip dengan flatus. Keluhan ini dirasakan hingga sekarang. Awalnya sekitar satu tahun
yang lalu, pasien mengaku sering merasa ingin BAB namun susah dikeluarkan. Pasien merasa selalu
tidak tuntas saat BAB. Pasien selalu mengedan dan membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan
feses, kadang-kadang disertai dengan sedikit darah yang menetes. Pasien mengaku, pasien jarang
memakan makanan berserat. Selain itu, pasien juga mengaku berat badannya berkurang hingga
sekarang (badannya lebih kurus).

Riwayat Penyakit Dahulu: - Riwayat Penyakit Keluarga: - Riwayat Alergi: -

IV.PEMERIKSAAN FISIK (15 Juni 2009) 1. Tanda vital Tensi : 120/70 Suhu : 36,7’C Nadi : 78x/mnt Resp
: 22x/mnt

2. Pemeriksaan fisik umum a. Kepala-leher Anemis (+/+) ikterus (-/-) pembesaran KGB (-)

b. Thorax-cardiovaskular Cor : S1S2 tunggal-regular, murmur (-) gallop (-) Pulmo : vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-) wheezing (-/-)

c. Abdomen-pelvic-inguinal Inspeksi : distensi (-) Auskultas : BU (+) Normal Palpasi : nyeri tekan (-),
massa (-) Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen

20

d. Uro-genital Dalam batas normal

e. Anal-perianal Inspeksi : Benjolan (+) 3x2x2 cm, permukaan tidak rata (berbenjol-benjol),
perdarahan (±) Palpasi : Permukaan tidak rata (berbenjol-benjol), immobile, rapuh, nyeri (±),
perdarahan (±) Rectal touché : tidak dilakukan karena pasien menolak

f. Extremitas atas-axilla Dalam batas normal

g. Extremitas bawah Dalam batas normal


h. Pemeriksaan fisik lokal (status lokalis) Inspeksi : Benjolan (+) 3x2x2 cm, permukaan tidak rata
(berbenjol-benjol), perdarahan (±) Palpasi : Permukaan tidak rata (berbenjol-benjol), immobile,
rapuh, nyeri (±), perdarahan (±) Rectal touché : tidak dilakukan karena pasien menolak

V. RESUME 1. Anamnesis Pasien berusia 24 tahun datang dengan keluhan terdapat benjolan pada
anus dan nyeri pada anus. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pada awalnya, benjolan
sebesar kacang tanah, terus membesar hingga sebesar telur ayam. Setiap kali ke toilet untuk BAB,
pasien mengaku harus mengedan dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan feses.
Feses yang keluar sedikit-sedikit dan bentuknya lebih kecil, feses keluar selalu bercampur darah dan
lendir. Darah yang keluar berwarna merah segar dan terkadang merah kehitaman, darah tetap
menetes setelah feses keluar dan beberapa saat setelah selesai BAB, darah berhenti keluar.

21

Pasien merasa selalu tidak tuntas saat BAB. Nyeri dirasakan hilang timbul pada daerah anus yang
menjalar ke atas, nyeri terutama dirasakan ketika BAB dan flatus. Selain itu juga, pasien mengeluh
terdapat feses yang keluar dari lubang penis. Keluhan ini dirasakan sejak sekitar 2 bulan yang lalu.
Feses yang keluar bentuknya encer dan berwarna kuning tidak bercampur darah. Feses keluar
bersama-sama dengan keluarnya urin. Pasien juga mengaku terkadang keluar udara dari lubang
penis yang mirip dengan flatus. Keluhan ini dirasakan hingga sekarang.

2. Pemeriksaan fisik (status lokalis) Anal-perianal Inspeksi : Benjolan (+) 3x2x2 cm, permukaan tidak
rata (berbenjol-benjol), perdarahan (±) Palpasi : Permukaan tidak rata (berbenjol-benjol), immobile,
rapuh, nyeri (±), perdarahan (±) Rectal touché : tidak dilakukan karena pasien menolak

VI.DIAGNOSIS Tumor rektum ec. susp. karsinoma rektum + Fistula rektovesika

VII. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS • Hemorrhoid. • Prolaps recti.

VIII. USULAN PEMERIKSAAN Diagnosis : Barium Enema, Sigmoidoscopy, Colonoscopy, Biopsi Terapi :
DL, BT, CT, BUN, SC, LFT

IX.RENCANA TERAPI 1. Operasi : Teknik Operasi Miles 2. Radioterapi dan Kemoterapi

X. PROGNOSIS Dubius ad malam

22

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien 24 tahun datang dengan keluhan terdapat benjolan di anus dan nyeri pada
anus. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosa menderita tumor rectum yang
diduga merupakan karsinoma rectum. Selain itu, pada pasien ini terdapat fistula rektovesika Pada
anamnesis, pasien mengeluh terdapat benjolan pada anus dan nyeri pada anus. Keluhan ini
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pada awalnya, benjolan sebesar kacang tanah, terus membesar
hingga sebesar telur ayam. Setiap kali ke toilet untuk BAB, pasien mengaku harus mengedan dan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan feses. Feses yang keluar sedikit-sedikit dan
bentuknya lebih kecil, feses keluar selalu bercampur darah dan lendir. Darah yang keluar berwarna
merah segar dan terkadang merah kehitaman, darah tetap menetes setelah feses keluar dan
beberapa saat setelah selesai BAB, darah berhenti keluar. Pasien merasa selalu tidak tuntas saat
BAB. Nyeri dirasakan hilang timbul pada daerah anus yang menjalar ke atas, nyeri terutama
dirasakan ketika BAB dan flatus. Selain itu juga, pasien mengeluh terdapat feses yang keluar dari
lubang penis. Keluhan ini dirasakan sejak sekitar 2 bulan yang lalu. Feses yang keluar bentuknya
encer dan berwarna kuning tidak bercampur darah. Feses keluar bersama-sama dengan keluarnya
urin. Pasien juga mengaku terkadang keluar udara dari lubang penis yang mirip dengan flatus.
Keluhan ini dirasakan hingga sekarang. Pada pemeriksaan fisik di daerah anal-perianal, pada inspeksi
didapatkan Benjolan (+) 3x2x2 cm, permukaan tidak rata (berbenjol-benjol), perdarahan (±). Dari
pemeriksaan palpasi didapatlkan benjolan dengan permukaan tidak rata (berbenjol-benjol),
immobile, rapuh, nyeri tekan (±). Pemeriksaan colok dubur pada pasien ini tidak dilakukan oleh
karena pasien menolak. Pemeriksaan colok dubur sangat penting untuk dilakukan karena dengan
pemeriksaan ini, dapat diketahui beberapa hal penting yaitu keadaan tumor, mobilitas tumor dan
ekstensi penjalaran. Pada pasien dengan karsinoma rektum, ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan
colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu penonjolan tepi. Selain itu, pada pasien ini terdapat
fistula rektovesika. Fistula ini dapat terbentuk yang dapat disebabkan oleh BAB yang terhambat
sehingga dapat terjadi mikroperforasi, kemudian muncul fistula yang berawal dari rektum menuju
kandung kemih.

23

Usulan pemeriksaan pada pasien ini yaitu pemeriksaan barium enema, sigmoidoscopy, colonoskopy
dan biopsi untuk memastikan letak tumor dan tipe tumor. Sedangkan penatalaksanaan pada pasien
ini adalah operative, radioterapi dan kemoterapi.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com. (Download : 18 Juni
2009) 2. Cirincione, Elizabeth., 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com. (Download
: 18 Juni 2009). 3. Anonim, 2006. Mengatasi Kanker Rektal. Republika online. Available from
www.republika.co.id. (Download : 18 Juni 2009) 4. American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and
Figures 2006. American Cancer Society Inc. Atlanta 5. Anonim, 2006. A Patient’s Guide to Rectal
Cancer. MD Anderson Cancer Center, University of Texas. 6. Azamris, Nawawir Bustani, Misbach
Jalins., 1997. Karsinoma Rekti di RSUP Dr. Jamil Padang, Cermin dunia Kedokteran No.120. Available
from http://www.kalbe.co.id (Download : 18 Juni 2009) 7. Anonim, 2006. Rectal Cancer Facts :
What’s You Need To Know. Available from Available from www.healthABC.info. (Download : 18 Juni
2009) 8. Anonim, 2006. Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging. Available from
www.OncologyChannel.com. (Download : 18 Juni 2009) 9. Anonim, 2005. Rectal Cancer Treatment.
Available from www.nationalcancerinstitute.htm. (Download : 18 Juni 2009) 10. Marijata, 2006.
Pengantar Dasar Bedah klinis. Unit Pelayanan Kampus, FK UGM. 11. De Jong Wim, Samsuhidajat R.
2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 12. Mansjoer Arif et all,
2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media Aesculapius. Jakarta. 13. Casciato DA,
(ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams & Wilkins: USA.p 201 14.
Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The McGraw-
Hill Companies. 15. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal
of Medicine. Available from www.pubmed.com. p.348:919-932, (Download : 24 Juni 2009)
25

16. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention,
(Online), 2003; Vol. 4, No. 4, Available from http://www.apocp.org/
cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf,. (Download : 24 Juni 2009) 17. National Cancer Institute.
2006. SEER Cancer Statistics Review 1975-2003, Available from
http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html. (Download : 24 Juni 2009)

Anda mungkin juga menyukai