Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH NEUTRINO

Munculnya hipotesis neutrino berawal dari kegagalan ketiga hukum kekekalan dalam
menjelaskan asumsinya masing-masing, yaitu:
A. Hukum kekekalan energi
Penerapan hukum kekekalan ini berawal dari permasalahan yang ditemukan, di mana energi
maksimum yang digunakan sama dengan perbedaan dua keadaan energi dan sama dengan keadaan
energi titik akhir. Energi rata-rata yang diterima oleh partikel beta hanya sepertiga dari energi titik
akhir, sedangkan energi inti anak sangatlah kecil dan dapat diabaikan sehingga terdapat dua pertiga
energi yang tidak jelas. Kenyataannya energi tidak pernah musnah dalam peluruhan beta (Arya,
TT). Permasalahan ini dapat dijelaskan dalam bentuk reaksi:
X ZA  YZA1  e01
E max 0 1 3 E max
Keterangan:
X ZA merupakan inti induk yang memiliki energi maksimum,

YZA1 merupakan inti anak yang energinya sangat kecil dan dapat diabaikan,
1 1
e01 merupakan partikel beta yang energinya E max  E , di mana E selisih dari dua
3 3
keadaan energi ( E  E f  Ei ).

Agar memenuhi hukum kekekalan energi maka dibuatlah asumsi yang menyatakan bahwa
adanya energi yang kontinu pada inti anak. Akibatnya, inti anak menjadi tidak stabil dan
mengalami eksitasi ke keadaan dasar oleh emisi sinar gamma. Pada kasus ini seharusnya
ditemukan spektrum sinar gamma yang kontinu, namun yang muncul adalah spektrum sinar beta
yang kontinu sehingga hipotesis ini mengalami kegagalan. Asumsi ini dapat dituliskan sebagai
berikut:
X ZA  YZA1  e01
E max 2 3 E max 1 3 E max

B. Hukum kekekalan momentum linier


Penjelasan lainnya mengasumsikan semua elektron memancarkan energi yang sama dengan
energi titik akhir, tetapi pada proses munculnya lebih dulu elektron atom kehilangan energi karena
bertumbukan dengan elektron lain. Pada proses tumbukan tersebut, elektron atom seharusnya
mengabsorbsi energi yang diberikan partikel beta. Jika ini benar, eksperimen mikrokalorimeter
akan dapat mencatat energi dalam bentuk energi panas sehingga dapat memperkuat hipotesisi ini.
Asumsi ini dapat dituliskan sebagai berikut:
X ZA  YZA1  e01
E max 0 E max
Namun, hipotesis ini gagal karena mikrokalorimeter tidak mampu menunjukkan energi panas
tersebut. Seperti eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan RaE seharusnya energi rata-
rata setiap disintegrasi sama dengan energi maksimum titik akhirnya yaitu 1,17 Mev, namun energi
rata-rata setiap disintegrasi yang diperoleh 0,34  0,02 Mev.
Hukum kekekalan momentum linier diperlukan jika dalam jumlah energi tertentu yang
digunakan terdistribusi menjadi dua bentuk yaitu inti anak dan elektron, di mana keduanya
memiliki energi tertentu dan distribusi energinya tidak kontinu (diskrit) (Arya, TT).
C. Hukum kekakalan momentum sudut
Menurut model proton neutron, nukleon pada inti akan memiliki spin bulat atau setengah
bulat bergantung pada A (jumlah massa) genap atau ganjil, di mana menurut hukum kekekalan
momentum anguler terjadinya perubahan spin masih diijinkan, misalnya dari bulat ke bulat atau
dari ganjil ke ganjil. Namun, dalam peluruhan beta inti anak memiliki jumlah massa ”A” yang

sama dengan nukleon pada inti induk, sehingga terjadi penambahan momentum anguler 1  .
2
Gerakan inti anak dan partikel beta dengan pusat massa bersama diakibatkan oleh putaran
momentum anguler, yang mana menurut mekanika kuantum memenuhi aturan kelipatan bulat. Jadi
emisi partikel beta mengubah spin dari bulat menjadi setengah bulat dan sebaliknya. Hal ini akan
berdampak pada ketidakkekalan statistik, di mana sistem dengan spin bulat mematuhi statistik
Bose-Einstein dan sistem dengan spin setengah bulat mematuhi statistik Fermi-Diract (Arya, TT).
Penjelasan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
X ZA  YZA1  e01
Misalkan A: genap genap

bulat bulat 1 
2
Bose-Einstein Fermi Diract
Keterangan:
X ZA dimisalkan memiliki jumlah massa A yaitu genap, sehingga YZA1 juga memiliki jumlah massa
A genap, di mana menurut model proton neutron untuk jumlah massa genap akan memiliki spin
bulat n .

e01 merupakan elektron yang berasal dari keluarga lepton dengan spin setengah bulat 1  .
2
Oleh karena spin bulat mengikuti statistik Bose-Einstein dan spin setengah bulat
mengikuti statistik Fermi Diract maka terjadi perubahan statistik dari Bose-Einstein menjadi
Fermi Diract. Hal ini tidak diijinkan menurut hukum kekekalan momentum anguler sehingga
hipotesis ini gagal.
Kegagalan ketiga hukum kekekalan tersebut dalam menjelasan peluruhan beta melahirkan
suatu hipotesis baru yang mampu memprediksi keberadaan partikel lain yang dihasilkan dalam
peluruhan beta. Pada tahun 1934 Wolfagang Pauli mengeluarkan hipotesis yang dikenal sebagai
hipotesis neutrino.
D. HIPOTESIS NEUTRINO
Menurut hipotesis, jika sebuah partikel bermuatan dengan massa kecil atau nol dan spin
1 dipancarkan bersama-sama dengan elektron ketika terjadi peluruhan beta, penyimpangan
2
momentum linier dan momentum anguler dapat diatasi (Beiser, 1999:469). Partikel ini disebut
neutrino (dalam bahasa Italia berarti ”neutral kecil”) dilambangkan dengan ” ”. Partikel inilah
yang membawa energi yang sama dengan selisih antara Kmax dan energi kinetik elektron yang
sebenarnya dan ketika hal tersebut terjadi, partikel ini juga memiliki momentum yang
menyeimbangkan secara tepat momentum dari elektron dan inti-anak (Krane, 1991:372).
Sifat-sifat dari Neutrino
Sifat-sifat yang harus dimiliki neutrino sehingga memenuhi peluruhan beta, sebagai berikut
(Arya, TT; Beiser, 1999: 470).
1. Neutrino memiliki muatan nol karena muatan elektrik telah dikekalkan oleh muatan proton
dan elektron.
2. Energi titik akhir dari neutrino adalah nol atau massa diamnya nol karena energi maksimum
yang dibawa oleh elektron sama dengan energi maksimum yang digunakan. Secara
eksperimen terdapat dua cara menentukan massa diam dari neutrino, yaitu pertama dengan
cara membandingkan keterlibatan energi maksimum dari spektra sinar beta dengan
mengetahui terlebih dahulu energi peluruhan yang ada. Metoda ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Emax  (M  m 0 ) , dimana M adalah selisih antara massa inti induk dan massa inti anak

dan m 0 adalah massa dari neutrino. Cara yang kedua yaitu dengan menyelidiki bentuk
dari spektrum beta yang dekat dengan titik akhir.
3. Hukum kekekalan momentum anguler menghendaki neutrino memiliki spin setengah,
sehingga muatan total momentum anguler yang diharapkan partikel beta dan neutrino
menjadi nol atau 1  seperti yang diinginkan.
4. Neutrino tidak menyebabkan proses ionisasi sehingga neutrino sulit dideteksi. Neutrino
terjadi melalui interaksi lemah dan memiliki momen magnetik yang sangat kecil atau
mendekati nol.
5. Neutrino tidak memiliki sifat elektromagnetik karena tidak memiliki muatan dan massa,
seperti foton.
6. Neutrino bergerak dengan kecepatan cahaya. Implikasinya adalah neutrino bergerak dalam
arah yang sama di semua kerangka Lorentz dan tidak memungkinkan untuk mengubah
bentuk suatu kerangka yang bergerak lebih cepat dari neutrino untuk memberikan arah
nyata terbalik.
Keberadaan neutrino dalam reaksi peluruhan beta
Hipotesis neutrino tentang adanya partikel baru yang diberi nama neutrino dengan sifat-sifat
seperti di atas, akhirnya terbukti. Pada tahun 1953 Reines dan Cowan dapat mendeteksi secara
langsung dengan menggunakan liquid scintillator. Penemuan ini diawali dari eksperimen
sederhana untuk mendeteksi fluks neutrino yang berasal dari peluruhan beta yang terjadi dalam
sebuah reaktor nuklir. Tangki air yang mengandung senyawa cadmium dalam bentuk larutan
merupakan sumber proton yang bisa berinteraksi dengan neutrino yang datang. Ketika proton
menyerap neutrino dihasilkan positron dan neutron, di mana positron bertemu dengan elektron
akan musnah. Neutron yang baru terbentuk akan menembus larutan, sehingga setelah beberapa
mikrodetik ditangkap oleh inti cadmium. Untuk menghindari ketaktentuan, eksperimen dilakukan
ketika reaktor dijalankan dan reaktor berhenti, dan variasi yang diharapkan dari frekuensi
terjadinya penangkapan neutrino diamati. Dengan cara ini kehadiran neutron dapat diyakini
(Beiser, 1999:471).
Berdasarkan penemuan neutrino tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada peluruhan
beta dihasilkan 3 bentuk, yaitu: inti anak, elektron, dan neutrino, kecuali pada elektron konversi,
yang dapat digunakan untuk menjelaskan distribusi momentum kontinu.
Hipotesis neutrino dengan sukses diterapkan oleh Enrico Fermi dalam mengembangkan
teori peluruhan beta yang menjelaskan bentuk spektrum beta. Berdasarkan teori ini, dalam
peluruhan beta terdapat sebuah interaksi antara nukleon, elektron, dan neutrino yang mengubah
sebuah neutron menjadi proton dan sebaliknya, dan menyebabkan emisi simultan atau penyerapan
oleh elektron dan neutrino. Jadi, ketiga proses peluruhan beta dapat dituliskan sebagai berikut.
n  p      ..............................................................................1
p  n      ...............................................................................2
p  e   n   ................................................................................3

di mana,  adalah neutrino;  adalah anti neutrino;   adalah positron; dan   adalah elektron.
Suatu hukum baru yang disebut hukum kekekalan lepton menyebutkan bahwa “Pada setiap
proses, bilangan lepton harus tidak berubah (konstan)”. Bilangan lepton L yang bernilai L = +1
untuk partikel lepton dan L = -1 untuk anti partikel lepton serta L = 0 untuk partikel bukan lepton,
di mana yang termasuk partikel lepton adalah elektron, positron, dan neutrino. Jika hukum
kekekalan tersebut digunakan, bahwa pembentukan partikel harus menyertai pembentukan secara
simultan sebuah anti partikel, maka sebuah neutrino akan dilepaskan secara simultan dengan
melepasan sebuah positron, dan sebuah anti neutrino dengan sebuah elektron (Arya, TT).
Keberadaan neutrino dapat dibuktikan dengan menggunakan metoda peluruhan beta balik.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Peluruhan beta proton dalam inti mengikuti reaksi p  n     , karena penyerapan elektron
oleh inti setara dengan pemancaran positron, maka terjadi reaksi penangkapan elektron seperti
pada reaksi berikut p  e   n  .
Hal ini identik dengan penyerapan antineutrino yang setara dengan pemancaran neutrino, sehingga
reaksi p    n  e  menyangkut proses fisis yang sama dengan peluruhan beta (Beiser,
1999:471).
DAFTAR PUSTAKA
Arya, P. TT. Instruduce to Nuclear Physic. India
Beiser, A. 1999. Konsep Fisika Modern. Jakarta: Erlangga
Krane, K. S. 1991. Fisika Modern. Alih bahasa Hans J. Wospakrik. Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai