Anda di halaman 1dari 16

Sindrom Steven Johnson

A. Pengertian

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa

eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput

lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik

sampai buruk

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput

lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan

sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat

disertai purpura (Djuanda, 2013: 127).

B. Etiologi

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang

dapat dianggap sebagai penyebab adalah:

1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)

 Penisilline dan semisentetiknya

 Sthreptomicine

 Sulfonamida

 Tetrasiklin

 Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,

metampiron dan paracetamol)

 Klorpromazin

 Karbamazepin

 Tegretol
 Jamu

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)

3. Neoplasma dan faktor endokrin

4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

5. Makanan

C. Patofisiologi

Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi

hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya

komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi

aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang

kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada

organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat

limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama

kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2013:

147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi

dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.

Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam

jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke

jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat

tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi

tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-

sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan

sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T

penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi

penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini

bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk

terbentuknya.

D. Manifestasi Klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan

umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya

menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut

dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,

batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:

1. Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan

bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu

dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya

generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut

(100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%)

sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).

Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga

menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk

pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta

berwarna hitam yang tebal.

Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus

respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan

penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring

dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

3. Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang

tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa

kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,

misalnya: nefritis dan onikolisis.


E. Komplikasi

Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati

sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah

kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok.

Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

F. Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid

Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati

dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk

dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid

merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena

dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-

Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg

intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak

timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara

cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,

deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya

prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,

sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut

dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.


Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan

elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila

terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam

bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari

kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok

dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa

(dosis untuk anak tergantung berat badan).

2. Antibiotik

Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia

yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang

menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya

gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

3. Infus dan tranfusi darah

Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting

karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan

tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan

infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi

perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak

300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai

purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula

ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan

hemostatik.
4. Topikal :

Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral

base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim

sulfadiazine perak.

G. Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila

disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.

 Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan

ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel

epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

 Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal

superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

BAB III

ASKEP PADA KLIEN DENGAN SINDROM STEVEN JOHNSON

A. Pengkajian

a. Data Subyektif

 Klien mengeluh demam tinggi, lemah letih, nyeri kepala, batuk, pilek,

dan nyeri tenggorokan / sulit menelan.


b. Data Obyektif

 Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi

erosi yang luas, sering didapatkan purpura.

 Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan

pseudomembran di faring

 Kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan

iridosiklitis.

 Nefritis dan onikolisis.

c. Data Penunjang

 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia

 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel

darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,

spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang

mengandung IgG, IgM, IgA.


PROSES KEPERAWATAN PADA KLIEN SINDROM STEVEN JOHNSHON

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional

1. Gangguan integritas Menunjukkan kulit dan a. Observasi kulit setiap hari Menentukan garis dasar dimana perubahan

kulit b.d. inflamasi jaringan kulit yang utuh catat turgor sirkulasi dan pada status dapat dibandingkan dan

dermal dan epidermal sensori serta perubahan melakukan intervensi yang tepat.

lainnya yang terjadi.

b. Gunakan pakaian tipis dan Menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan

alat tenun yang lembut. dari baju, membiarkan insisi terbuka

terhadap udara meningkat proses

penyembuhan dan menurunkan resiko

infeksi.

c. Jaga kebersihan alat tenun. Untuk mencegah infeksi.


d. Kolaborasi dengan tim medis Untuk mencegah infeksi lebih lanjut.

untuk pemberian

kortikosteroid.

2. Gangguan nutrisi kurang Menunjukkan berat a. Kaji kebiasaan makanan Memberikan pasien/orang terdekat rasa

dari kebutuhan tubuh badan yang disukai/tidak disukai. kontrol, meningkatkan partisipasi dalam

b.d. kesulitan menelan stabil/peningkatan berat perawatan dan dapat memperbaiki

badan. pemasukan.

b. Berikan makanan dalam Membantu mencegah distensi

porsi sedikit tapi sering. gaster/ketidaknyamanan.

c. Hidangkan makanan dalam Meningkatkan nafsu makan.

keadaan hangat.
d. Kerjasama dengan ahli gizi Kalori protein dan vitamin untuk memenuhi

peningkatan kebutuhan metabolik,

mempertahankan berat badan dan

mendorong regenerasi jaringan.

3. Gangguan rasa nyaman, a. Melaporkan nyeri a. Kaji keluhan nyeri, Nyeri hampir selalu ada pada beberapa

nyeri b.d. inflamasi pada berkurang. perhatikan lokasi dan derajat beratnya keterlibatan jaringan

kulit b. Menunjukkan intensitasnya.

ekspresi

wajah/postur tubuh b. Berikan tindakan Meningkatkan relaksasi, menurunkan

rileks. kenyamanan dasar ex: pijatan tegangan otot dan kelelahan umum

pada area yang sakit.

Metode IV sering digunakan pada awal

c. Pantau TTV. untuk memaksimalkan efek obat.


d. Berikan analgetik sesuai Menghilangkan rasa nyeri.

indikasi.

4. Gangguan intoleransi Klien melaporkan a. Kaji respon individu terhadap Mengetahui tingkat kemampuan individu

aktivitas b.d. kelemahan peningkatan toleransi aktivitas. dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.

fisik aktivitas.

b. Bantu klien dalam memenuhi Energi yang dikeluarkan lebih optimal.

aktivitas sehari-hari dengan

tingkat keterbatasan yang

dimiliki klien.

c. Jelaskan pentingnya Energi penting untuk membantu proses

pembatasan energi. metabolisme tubuh.

d. Libatkan keluarga dalam Klien mendapat dukungan psikologi dari

pemenuhan aktivitas klien. keluarga.


5. Gangguan Persepsi a. Kooperatif dalam a. Kaji dan catat ketajaman Menetukan kemampuan visual

sensori: kurang tindakan. pengelihatan.

penglihatan b.d b. Menyadari

konjungtifitis hilangnya b. Kaji deskripsi fungsional apa Memberikan keakuratan thd pengelihatan

pengelihatan secara yang dapat dilihat/tidak. dan perawatan.

permanen.

c. Sesuaikan lingkungan Meningkatkan self care dan mengurangi

dengan kemampuan ketergantungan.

pengelihatan:

- Orientasikan thd

lingkungan.

- Letakan alat-alat yang

sering dipakai dalam

jangkuan pengelihatan
klien.

- Berikan pencahayaan

yang cukup.

- Letakan alat-alat

ditempat yang tetap.

- Berikan bahan-bahan

bacaan dengan tulisan

yang besar.

- Hindari pencahayaan

yang menyilaukan.

- Gunakan jam yang ada

bunyinya. Meningkatkan rangsangan pada waktu

d. Kaji jumlah dan tipe kemampuan pengelihatan menurun.

rangsangan yang dapat


diterima klien.
DAFTAR PUSTAKA

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of


Pharmacology. JIPMER. India. 2014.

Corwin, Elizabeth. J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Davis, Mark D., Rogers, Roy S., Pittelkow, Mark R. (2010). Recurrent Erythema
Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dermatol vol.13

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2012. p:133-139

Parrillo, Steven j. 2010. Steven Johnson Syndrome in Emergency medicine. E-Medicine. URL
: http://www.emedicine.medscape.com/article/756523-overview

Anda mungkin juga menyukai