Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Post dural puncture headache (PDPH) adalah sakit kepala yang sering berlokasi di daerah frontal dan

oksipital, terjadi akibat adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat

tembusan jarum anestesi. Ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan

epidural.1

Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH. Teori pertama menyebutkan bahwa

kebocoran yang kontinyu dari cairan serebrospinal menyebabkan berkurangnya cairan dari kompartmen

intrakranial. Karena cairan serebrospinal berfungsi sebagai bantalan dari otak, maka pengurangan cairan

ini menyebabkan posisi dari otak jatuh sehingga menyebabkan tarikan pada meningen yang sensitif

terhadap nyeri. Nyeri ini menjalar sepanjang nervus trigeminus ke daerah frontal. Juga melalui nervus

vagus dan glossopharyngeal ke daerah occipital dan leher. Nyeri lebih terasa terutama pada posisi tegak.

Teori yang kedua menyebutkan bahwa kebocoran cairan serebrospinal menyebabkan terjadinya

hipotensi intrakranial, yang menyebabkan tubuh berkompensasi dengan melakukan vasodilatasi. 2

Post-dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca-blok lumbal atau blok

spinal merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dari pungsi lumbal

diagnostik, terapeutik, atau pungsi dura yang tidak disengaja. PDPH pertamakali

dideskripsikan oleh August Bier tahun 1898 dan didefinisikan sebagai nyeri kepala

setelah intervensi terapeutik dan diagnostikruang epidural atau spinal.1-2 International

Headache Society mendefinisikan PPDH sebagai nyeri kepala yang terjadi dalam 7 hari

setelah pungsi dura dan menghilang dalam 14 hari; namun PDPH telah dilaporkan dapat

terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama dari waktu tersebut. PDPH dianggap

1
sebagai penyebab nyeri kepala ortostatik yang ditandai dengan peningkatan derajat nyeri

kepala jika pasien bergerak dari posisi berbaring ke posisi tegak.2 Kejadian PDPH

diperkirakan antara 30-50% setelah pungsi lumbal diagnostik atau terapeutik, 0-5%

setelah anestesi spinal, dan hingga 81% setelah pungsi dura yang tak disengaja selama

insersi epidural pada ibu hamil.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Cairan serebrospinal (CSS) merupakan hasil ultrafiltrasi plasma yang jernih tidak berwarna, tidak

berbau dan berada dalan ventrikel otak, sisterna otak, dan ruang subarakhnoid sekitar otak dan medula

spinalis. Volume CSS pada orang dewasa rata-rata memproduksi sekitar 500 ml CSS/hari, atau 21 ml/jam

(0,3 ml/kgBB/jam), dengan 90 % berasal dari pleksus koroid di ventrikel lateral, dan 10% dari substansi

otak itu sendiri. Dengan berat jenis CSS1.002 – 1.009, pH 7,32 dan 50 ml berada dalam ruang

intrakranial.3

Cairan ini mengalir melalui foramina interventrikular masuk ke ventrikel ketiga, dan dari tempat ini

akan masuk ke ventrikel keempat melalui aquaduktus. CSS kemudian bersirkulasi melalui foramen

Luschka dan Magendi menuju ruang subarakhnoid dan vili arakhnoid dari sinus dura mater (badan

Pacchionian), dan dari tempat ini akan masuk ke dalam sinus venosus.4

Aliran CSS melalui sistem ini dipermudah oleh faktor-faktor sirkulasi dan postural yang

menimbulkan tekanan SSP sebesar 10 mmHg. Penurunan tekanan akibat pengeluaran hanya beberapa ml

CSS selama pungsi lumbal untuk analisis laboratorium dapat menimbulkan nyeri kepala yang hebat.

Melalui proses pembentukan, sirkulasi dan reabsorpsi yang terus menerus, seluruh volume CSS

digantikan lebih dari tiga kali sehari.

Menings spinalis terdiri atas 3 lapis, yaitu : dari lapisan terluar sampai terdalam, dura mater,

arakhnoid, pia mater. Ruang antara lapisan arakhnoid dan pia mater di bawahnya disebut ruang

subarakhnoid, terisi oleh CSS. 5

3
Secara anatomis, dura mater spinalis memanjang dari foramen magnum ke segmen kedua sakrum.

Ini terdiri dari matriks jaringan ikat padat kolagen dan serat elastis. Sebanyak sekitar 150 ml CSS beredar

pada satu waktu dan diserap oleh vili arakhnoid. 6

Gambar 1. Potongan sagital vertebra lumbal


(Diambil dari referensi no.7)

B. KLASIFIKASI

Naulty et al membagi PDPH menjadi dua fase. Yang pertama adalah PDPH yang relatif ringan.

Biasanya timbul 36 – 48 jam setelah anestesi. Fase kedua, atau yang disebut juga sebagai PDPH klasik,

timbul 3 – 4 hari setelah anestesi, dengan nyeri kepala berat yang tidak bisa hilang dengan analgesik.

Sedangkan Lybecker et al membagi PDPH menjadi ringan, moderat dan berat.8

Klasifikasi Post Dural Puncture Headache menurut Lybecker et al :

1. Mild PDPH

 Sakit kepala sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak perlu beristirahat total di

tempat tidur .

 Tidak ditemukan gejala yang berhubugan dengan PDPH.

4
2. Moderat PDPH

 Sakit kepala yang mengganggu aktivitas sehari-hari dengan signifikan. Pasien mnghabiskan

sebagian besar waktu di tempat tidur.

 Dapat ditemukan gejala yang berhubungan dengan PDPH.

3. Severe PDPH

 Sakit kepala yang sangat berat. Pasien tidak dapat beraktivitas.

 Ada gejala yang berhubungan dengan PDPH.

Gejala yang berhubungan dengan PDPH :

 Gejala vestibular : mual, muntah, vertigo

 Gejala cochlear : hilang pendengaran, hiperakusis, tinitus

 Gejala okular : fotofobia diplopia, kesulitan akomodasi

 Gejala muskuloskletal : kaku di area leher, nyeri skapular

C. PATOFISIOLOGI

Penyebab PDPH tidak sepenuhnya pasti. Penjelasan terbaik adalah bahwa hasil tekanan rendah CSS

dari kebocoran CSS melalui robekan dural dan arakhnoid, sebuah kebocoran melebihi tingkat produksi

dari CSS. Sedikitnya hilang 10% volume CSS dapat menyebabkan sakit kepala ortostatik. Ada dua

mekanisme dasar teoritis untuk menjelaskan PDPH. Salah satunya adalah refleks vasodilatasi dari

pembuluh meningeal karena menurunnya tekanan CSS. 7

Monroe-Kelly menyatakan bahwa total volume elemen dari rongga intrakranial (darah, CSS, dan

jaringan otak) tetap konstan. Konsekuensi kehilangan CSS adalah vasodilatasi yang mengkompensasi

hilangnya volume dalam rongga intrakranial, sehingga sakit kepala dialami oleh paien setelah kebocoran

CSS mungkin sebagian disebabkan vasodilatasi intrakranial. Efek menguntungkan dari obat

vasokontriktor otak termasuk kafein, teofilin, dan sumatriptan mendukung etiologi vaskuler untuk PDPH.

5
Ganggguan visual terjadi di mana tercatat bahwa mereka yang menerima anestesi spinal terjadi

penurunan tekanan intrakranial. Diplopia adalah gejala mata yang paling umum diakibatkan dari

penurunan tekanan intrakranial dan disebabkan oleh traksi pada saraf abducens (saraf kranial keenam),

yang memiliki jalan terpanjang dalam rongga intrakranial.

Gejala yang berhubungan dengan pendengaran, disebabkan disfungsi saraf kedelapan, juga kadang-

kadang dapat terjadi, yang mengalami ketulian unilateral atau bilateral. Insiden kehilangan pendengaran

berkorelasi dengan ukuran dan jenis jarum yang digunakan dan telah didokumentasikan untuk

dihilangkan dengan patch darah epidural. Efek pada pendengaran adalah resultan dari perubahan tekanan

CSS, yang ditransmisikan ke sirkulasi getah bening endocochlear dalam kanalis semisirkularis, dan hasil

dalam kondisi sementara mirip dengan hidrops pada penyakit Meniere. 2

Teori yang lainnya adalah traksi pada struktur sensitif nyeri intrakranial dalam posisi tegak. Traksi

pada nervus servikal seperti C1, C2, C3 yang menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf

kranial kelima menyebabkan sakit kepala frontal. Nyeri di daerah oksipital ini disebabkan oleh traksi pada

saraf kranial kesembilan dan kesepuluh.6

Patogenesis PDPH masih belum jelas tetapi diperkirakan karena kebocoran cairan

serebrospinal ke dalam ruang epidural melalui robekan dura. Kehilangan cairan

serebrospinal menyebabkan penurunan tekanan intrakranial dan penarikan ke bawah

struktur intrakranial yang sensitive terhadap nyeri, meliputi vena, selaput otak

(meningen), dan saraf kranial, yang mengakibatkan nyeri kepala yang dapat lebih berat

pada posisi tegak. Penurunan tekanan intrakranial juga dapat menyebab kan venodilatasi

serebro-vaskuler kompensatori dan dapat berkontribusi terhadap terjadinya nyeri kepala.2

Gambaran klasik PDPH meliputi:2

- Nyeri kepala, biasanya frontal-oksipital

6
- Nyeri kepala umumnya tidak terjadi segera setelah pungsi dura, tetapi 24-48 jam setelah

prosedur dengan 90% nyeri kepala muncul dalam 3 hari

- Nyeri kepala makin berat pada posisi tegak dan lebih ringan saat berbaring telentang

- Tekanan di atas perut pada wanita dalam posisi tegak dapat menghilangkan nyeri kepala

sementara dengan peningkatan tekanan intrakranial sekunder dan peningkatan tekanan

intrabdominal (tanda Gutshe)

Gejala terkait yang juga bisa muncul adalah kekakuan leher, fotofobia, tinitus,

gangguan penglihatan, dan kelumpuhan saraf kranial.2

Dalam mendiagnosis PPDH, kulit di lokasi pungsi harus diinspeksi apakah ada

kebocoran cairan serebrospinal, inflamasi, dan rasa nyeri. Observasi basal frekuensi

denyut jantung, tekanan darah, dan suhu juga harus dicatat.2 PDPH terutama merupakan

suatu diagnosis klinis, namun nyeri kepala tersebut dapat dikaitkan dengan kelainan

intrakranial yang lebih serius dan harus dipertimbangkan pencitraan diagnostik secara

dini.2

D. INSIDENSI PDPH

Insiden PDPH diperkirakan 30 – 50% pada diagnostik atau terapi pungsi lumbal, 0 – 5% anestesi

spinal dan 81% kejadian pungsi dural selama insersi epidural pada wanita hamil. PDPH sering terjadi

pada dewasa muda termasuk pasien obstetri dengan insiden sebanyak 14%, dibanding dengan pasien

yang berusia lebih dari 70 tahun. Kejadian PDPH meningkat dengan penggunaan jarum spinal yang

berukuran besar dan komplikasi berkurang dengan penggunaan jarum pencil – tripped needles.9

7
Gambar 2. Jarum Sprotte, Whitracre, dan Quinckle
( Diambil dari referensi no.10)
Insiden PDPH secara langsung berkaitan dengan diameter jarum yang menembus duramater.

Meskipun tusukan jarum diameternya kecil digunakan untuk blok subarakhnoid mengurangi resiko

PDPH, jarum ini secara teknis sulit untuk digunakan dan berkaitan dengan tingkat keberhasilan lebih

rendah dari anestesi spinal, terutama di tangan yang kurang berpegalaman. Hal ini disebabkan kegagalan

dalam mengenali pungsi dural sekunder untuk memperlambat aliran melalui jarum kecil, menyebabkan

tusukan berganda dan berulang. Insiden dari PDPH dengan jarum Whitacre 25-gauge (tidak tajam)

kurang daripada jarum Quincke 27-gauge (tajam). Morbiditas terkait dengan pungsi lumbal dapat

dikurangi dengan pemilihan yang tepat dari sebuah pengukur jarum yang tepat dan konfigurasi ujung

jarum.6

E. FAKTOR RESIKO

Sejumlah faktor dilaporkan turut mempengaruhi kejadian PDPH, dan informasi ini didasarkan pada

laporan kasus klinis dan studi sebelumnya, ada hubungan kuat antara timbulnya sakit kepala dan ukuran

jarum, usia, jenis kelamin, kehamilan, desain bevel dan arah penusukan bevel. Perempuan, khususnya

selama kehamilan dan terutama setelah post partus spontan, dianggap memiliki resiko yang lebih tinggi

untuk mengalami PDPH. Insiden PDPH tertinggi antara usia 18 – 30 tahun dan menurun pada anak-anak

muda usia kurang dari 13 tahun dan dewasa yang lebih tua dari 60 tahun. Kejadian lebih besar pada

pasien dengan indeks masa tubuh lebih rendah. Wanita yang mengalami obesitas sebenarnya memiliki

8
insiden PDPH yang lebih rendah. Ini mungkin karena peningkatan tekanan intraabdomen dapat bertindak

sebagai pengikat perut yang membantu untuk menutup kerusakan pada dura dan mengurangi hilangnya

CSS. Wanita yang lebih muda mungkin berada pada resiko yang lebih besar karena elastisitas serat dura

meningkat yang menjaga kerusakan paten dura dibandingkan dengan dura yang kurang elastis pada

pasien lebih tua. Pasien dengan sakit kepala sebelum pungsi lumbal dan riwayat PDPH juga lebih

beresiko. Tidak ada hubungan yang diketahui antara diagnosis sakit kepala migrain dan peningkatan

kejadian PDPH setelah anestesi regional. Mungkin ada beberapa korelasi antara sejarah dari motion

sickness dan PDPH. Faktor lain yang penting adalah pengalaman orang yang melakukan prosedur yang

mengarah pada tusukan ke dura. Spinal secara kontinu mengurangi kejadian PDPH bila dibandingkan

dengan spinal suntikan tunggal. 6

Lybecker menyarankan bahwa orientasi bevel mungkin bahkan lebih penting daripada ukuran jarum

dan tidak bisa menunjukkan perbedaan ketika menggunakan jarum 22 dan jarum 25-gauge, saat bevel itu

berorientasi vertikal. Read et al menyarankan bahwa arah miring jarum akan mengurangi kejadian PDPH.

Arakhnoid erat melekat dengan dura, dan ketika jarum maju tegak lurus, lubang yanng dibuat oleh bevel

di daerah dura dan arakhnoid ecara langsung sejalan satu sama lain. Ketika jarum diarahkan miring,

pungsi dural tidak membatasi pada lapisan arakhnoid, sehingga menghalangi kebocoran CSS.2

F. TANDA DAN GEJALA

PDPH biasanya bermanifestasi sebagai sakit kepala, postural frontal, frontotemporal, atau oksipial,

diperparah dengan ambulasi dan ditingkatkan dengan posisi dekubitus, terjadi dalam 48 jam setelah

pungsi dural. Gejala-gejala yang menyertai biasanya mual, muntah dan leher kaku. Gejala lainnya yaitu

keluhan mata seperti fotofobia dan diplopia, dan keluhan pendengaran seperti tinitus dan hiperakusis.

Kasus pertama diplopia setetlah pungsi dural dilaporkan oleh Quincke lebih dari 100 tahun yang lalu.

Diplopia atau kelumpuhan otot luar mata (EOMP) setelah pungsi dural telah dilaporkan, terutama dalam

literatur neurologi dan oftalmologi. Karena tampaknya ada periode jendela sebelum diplopia

9
bermanifestasi setelah pungsi dural. Diplopia biasanya terjadi 4 – 10 hari setelah pungsi dural tetapi dapat

bermanifestasi sampai akhir minggu ketiga. Kendali pemulihan secara umum dapat diharapkan dalam

dua minggu sampai delapan bulan, meskipun kasus permanen jarang dilaporkan.6

G. PENCEGAHAN

Meskipun PDPH biasanya hilang spontan, tetapi PDPH dapat mengganggu

kemampuan ibu baru dalam merawat bayinya dan dapat memperpanjang lama rawat inap

di RS. PDPH juga dapat mengganggu aktivitas pasien pasca-pungsi dura, sehingga perlu

dicegah dan diobati. Pada kasus yang lebih jarang, PDPH dapat dikaitkan dengan

komplikasi serius seperti hematoma subdural, kejang, dan trombosis sinus sagital.2

Jika PDPH tidak dapat sepenuhnya dicegah, perhatian ditujukan pada prosedur yang

dapat menurunkan jumlah kasus PDPH. Faktor risiko PDPH dapat dikaitkan dengan

perlengkapan, prosedur spesifik, atau hal lainnya.1

Untuk menurunkan kasus PDPH, maka dipilih jarum sekecil mungkin untuk prosedur

spesifik, lebih dipilih jarum atraumatik, digunakan orientasi paralel dari jarum terhadap

sumbu panjang tulang belakang, sudut insersi yang curam, dan dokter yang cukup

istirahat dan berpengalaman.1

Pemilihan Jarum Spinal

Jarum spinal dengan ukuran yang lebih kecil dari ujung titik pensil seperti jarum

Whitrace dan Sprotte dikaitkan dengan tingkat PDPH yang lebih rendah. Jarum pencil

point menyebabkan lubang dura menutup lebih cepat. Idealnya, digunakan jarum spinal

yang tidak lebih besar dari 25G.2

10
Teknik Blok Neuraksial

Epidural dapat diinsersi menggunakan LORS (loss of resistance to saline) atau LORA

(loss of resistance to air). LORS yang dilakukan dengan tekanan kontinu syringe plunger

dapat mempunyai efek perpindahan dura secara anterior karena pendekatan jarum,

sehingga mengurangi kemungkinan pungsi dura dibandingkan dengan teknik tekanan

intermiten dengan udara, dan lebih dipilih dibanding LORA. Sebagai tambahan, pungsi

dura tidak sengaja saat menggunakan LORA dapat menyebabkan pneumosefalus yang

dapat mengakibatkan nyeri kepala.2

H. TERAPI

Kebanyakan PDPH dapat hilang sendiri dalam seminggu dengan menggunakan

metode terapi konservatif, tetapi pada beberapa kasus yang jarang, dapat berlanjut hingga

bertahun-tahun.2 Metode terapi meliputi penatalaksanaan konservatif, penatalaksanaan

medis agresif, terapi invasif konvensional, dan terapi invasive agresif.1

Penatalaksanaan Konservatif

Kebanyakan pasien berespons baik terhadap metode terapi konservatif untuk PDPH,

meliputi tirah baring, hidrasi, pengikat perut, analgesik, dan antiemetik.1,2

Review Cochrane saat ini menyimpulkan bahwa tirah baring rutin setelah pungsi dura

tidak bermanfaat. Pemberian cairan tambahan sebenarnya tidak diperlukan, dan

menghindari dehidrasi dapat disarankan untuk memperbaiki derajat PDPH. Karena terapi

konservatif bekerja pada sekitar 50% pasien PDPH dalam 4 hari, maka direkomendasikan

sebagai terapi lini awal.1,2

Analgesik sederhana sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan PDPH,

paracetamol reguler dan obat anti-infl amasi steroid (jika ditoleransi) dapat mengontrol

gejala secara adekuat.2

11
Penatalaksanaan Medis Agresif

Penatalaksanaan medis agresif PDPH meliputi blok saraf oksipital, infus intravena

methylxanthin, dan terapi lain. Banyak obat telah direkomendasikan untuk pengobatan

PDPH, dan juga telah diuji dalam beberapa uji klinik, tetapi masih ada beberapa

ketidakpastian mengenai efektivitas klinisnya.1

Derivat Methylxanthin

Derivat methylxanthin, meliputi caff eine dan aminophylline, sering digunakan untuk

terapi PDPH meskipun belum terbukti efektif dalam beberapa uji klinik dan hanya

menghilangkan PDPH sementara waktu untuk beberapa pasien.1

Derivat methylxanthin dapat menghilangkan nyeri kepala dengan menghambat

reseptor adenosine, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral. Methylxanthin

juga menstimulasi pompa natrium-kalium untuk meningkatkan produksi cairan

serebrospinal sehingga menyebabkan hilangnya nyeri kepala.1

Caffeine dilaporkan pertama kali untuk terapi PDPH tahun 1949. Caff eine merupakan

stimulan susunan saraf pusat dan diperkirakan mempengaruhi PDPH dengan menginduksi

vasokonstriksi serebral. Dosis yang digunakan 75-500 mg, diberikan secara oral, IM, atau

IV. Konsensus Amerika saat ini menyimpulkan bahwa manfaat caff eine pada PDPH

tidak beralasan. Caff eine dikaitkan dengan efek samping aritmia jantung dan kejang

maternal. Pada dosis tinggi (>300 mg), caff eine dapat masuk ke ASI dan berpotensi

menyebabkan iritabilitas neonatus.2

Theophylline IV telah ditunjukkan dapat mengurangi nyeri pada 59,1% pasien

dibanding 5,8% pasien yang diberikan plasebo.1

12
Efek samping utama derivat methylxanthin meliputi stimulasi sistem saraf pusat,

kejang, iritasi lambung, dan disaritmia jantung, yang membatasi penggunaannya pada

pasien dengan masalah kardiovaskuler.1

Berbagai laporan telah menunjukkan bahwa obat berikut ini mungkin efektif dalam

terapi PDPH, yaitu:

1. ACTH

Dilaporkan pertama kali efektif untuk terapi PDPH tahun 1990-an. Mekanisme kerja

meliputi retensi cairan serebrospinal melalui peningkatan reabsorpsi natrium yang

dimediasi mineralocorticoid, dan efek analgesic langsung melalui aktivitas

glucocorticoid.2

Gupta, dkk. melaporkan hilangnya nyeri kepala pada 40 dari 48 pasien setelah injeksi

60 U ACTH IM. Collier, dkk. melaporkan hilangnya nyeri kepala secara lengkap pada 14

dari 20 pasien dengan nyeri kepala ortostatik pascapungsi dura setelah 1,5 u/kg ACTH

diinfuskan selama 1 jam dalam 1-2 L larutan RL.1 Namun, dalam suatu uji klinik acak

dengan kontrol tahun 2004 tidak menemukan efek injeksi IM tunggal ACTH sintetik

(SynacthenR) dibandingkan dengan injeksi IM salin normal. Tidak diketahui apakah

dosis yang lebih besar atau dosis ulangan SynacthenR bermanfaat.2

2. Mirtazapine

Sheen, dkk. melaporkan hilangnya nyeri secara lengkap dengan pemberian 30 mg

mirtazapine menjelang tidur selama 3 hari pada pasien yang tidak membaik setelah terapi

konservatif.1

13
3. Gabapentin

Ero, dkk. melaporkan hasil dari suatu studi acak, tersamar ganda, dengan control

plasebo pada 20 pasien PDPH yang diberikan gabapentin 900 mg, 3 kali sehari selama 4

hari yang menunjukkan bahwa skor VAS nyeri secara bermakna lebih rendah pada

kelompokterapi gabapentin (p<0,05).1

4. Pregabalin

Zencirci melaporkan perbaikan dengan pregabalin 50 mg setiap 8 jam selama 3 hari

pada 2 pasien.1

5. Methergin

Hakim, dkk. melaporkan hilangnya gejala pada 24 dari 25 pasien setelah 3 hari

diberikan methergin 0,25 mg, 3 kali sehari dan 10 mg metoclopramide oral 2 kali sehari

selama 48 jam.1

6. Hydrocortisone

Ashraf, dkk. melaporkan hasil studi acak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo

pada 60 pasien dengan PDPH, yang menunjukkan bahwa pemberian hydrocortisone IV

sebagai tambahan terhadap terapi konservatif konvensional memberikan penurunan

intensitas nyeri yang bermakna pada 6, 24, dan 48 jam setelah terapi dibanding control

(p<0,001), dengan pasien melaporkan tidak nyeri setelah 24 jam terapi.1

Telah dilakukan suatu review dari data uji klinik acak dengan kontrol yang diambil

dari Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL, The Cochrane Library

2012, Issue 5), MEDLINE (1950 - Mei 2012), EMBASE (1980 - Mei 2012), dan

14
CINAHL (1982 - Juni 2012), untuk menilai efektivitas dan keamanan obat untuk

mencegah PDPH pada pasien dewasa dan anak-anak.3

Dari 10 uji klinik yang dianalisis (1611 subjek dengan 72% wanita, dan kebanyakan

ibu yang melahirkan, setelah pungsi lumbal untuk anestesi regional), dengan obat yang

dinilai meliputi morphine epidural dan spinal, fentanyl spinal, caff eine oral, indomethacin

rektal, cosyntropin IV, aminophylline IV, dan dexamethasone IV, hasilnya menunjukkan

bahwa morphine epidural, cosyntropin IV, dan aminophylline IV menurunkan kejadian

PDPH setelah pungsi lumbal dibandingkan plasebo, sedangkan dexamethasone IV

sebaliknya.3

Untuk efek samping, morphine spinal meningkatkan kejadian gatal jika dibandingkan

dengan plasebo, dan morphine epidural meningkatkan kejadian mual dan muntah

dibandingkan plasebo. Caff eine oral meningkatkan kejadian insomnia dibandingkan

dengan plasebo. Tidak ada bukti yang dapat disimpulkan untuk obat fentanyl, caffeine,

indomethacin, dan dexamethasone. 3

Terapi Invasif Konvensional

Metode terapi invasif konvensional untuk PDPH meliputi:

1. Epidural Blood Patch (EBP)

Dilakukan pertama kali tahun 1960 oleh dokter bedah Amerika, Dr. James Gormley.

EBP melibatkan injeksi darah autologus (darah pasien sendiri) ke dalam ruang epidural,

dengan volume optimal 10-20 mL. Tingkat keberhasilan menurut studi saat ini hanya

50%.2

Mekanisme yang mendasari EBP adalah kompresi sakus dural untuk meningkatkan

tekanan intrakranial dan menghentikan kebocoran cairan serebrospinal. Bekuan darah

yang dihasilkan dapat mempunyai efek patch pada robekan dura dan volume darah yang

15
ditransfusikan ke dalam ruang epidural meningkatkan tekanan intracranial dan

menurunkan kebocoran cairan serebrospinal. 1

Meskipun waktu yang optimal untuk memberikan terapi EBP tampaknya adalah 24

jam setelah pungsi dura, terdapat laporan kasus PDPH yang mempunyai durasi lebih dari

1 tahun yang berhasil dengan EBP.1

Kontraindikasi EBP meliputi demam, sepsis, koagulopati, dan penolakan pasien.

Sebaiknya tidak dilakukan jika ada leukositosis atau demam karena risiko meningitis.

Komplikasi minor meliputi nyeri punggung, nyeri leher, dan bradikardi sementara,

sedangkan komplikasi mayor, meskipun jarang, meliputi meningitis, hematoma subdural,

kejang,araknoiditis, paraparesis spastik, pungsi dura, sindrom kauda equina.1,2

2. Prophylactic Epidural Blood Patch (PEBP)

Merupakan pilihan atraktif dalam pungsi dura dengan jarum Tuohy yang dapat

mencegah PDPH selanjutnya. Namun, popularitas PEBP ini menurun karena sejumlah

alas an seperti bukti yang terbatas bahwa PEBP menurunkan kebutuhan EBP (epidural

blood patch) terapeutik, peningkatan penggunaan kateter intratekal setelah pungsi dura

yang dapat menurunkan risiko PDPH selanjutnya, beberapa pungsi dura tidak

menyebabkan PDPH, dan banyak PDPH tidak memerlukan EBP terapeutik.2

3. Infus Cairan ke dalam Ruang Epidural

Sejumlah cairan, kristaloid atau koloid, telah diinfuskan ke dalam ruang epidural dan

menyebabkan peningkatan tekanan serebrospinal sehingga dapat menghilangkan nyeri

kepala sementara. Efek jangka panjang partikel koloid dalam ruang epidural belum

diketahui.2

16
4. Morphine epidural

Suatu studi acak kecil menemukan bahwa morphine epidural 3 mg dapat menurunkan

terjadinya PDPH dan kebutuhan EBP setelah pungsi epidural yang tidak disengaja.2

Terapi Invasif Agresif

Metode terapi invasif agresif digunakan jika EBP gagal. Pertama, diagnosis PDPH

harus dievaluasi untuk menjamin kebenarannya. Setelah dikonfirmasi, salah satu

alternative meliputi injeksi lemfibrin dengan panduan percutaneous computed

tomography (CT) untuk menutup robekan dura.1

Pilihan lain meliputi operasi untuk menghentikan kebocoran cairan serebrospinal.

Pada metode ini, dokter bedah harus tahu secara pasti lokasi kebocoran cairan

serebrospinal.1

I. PROGNOSIS

Meskipun PDPH biasanya dapat sembuh secara spontan, tetapi sangat tidak menyenangkan, dan

dapat memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Pengobatan yang efektif terbatas sehingga tindakan

termasuk penggunaan jarum yang cocok dan perolehan ketrampilan yang tepat dalam melakukan pungsi

spinal dan epidural sangat penting untuk mengurangi kejadian PDPH.9

17
BAB III

KESIMPULAN

Meski tidak mengancam jiwa, PDPH membawa morbiditas yang membatasi aktivitas sehari-hari.

Pengobatan simtomatik seperti istirahat, cairan, analgesik, kafein, dan sumatriptan hanya menunda

ketidaknyamanan. Epidural blood patch tetap menjadi pengobatan invasif pilihan, sekitar 70% keberhasilan

dalam jangka lama setelah injeksi awal. Manfaat dari profilaksis blood patching tidak begitu jelas tapi layak

dipertimbangkan bagi mereka yang pling beresiko terkena PDPH, seperti pada pasien postpartum dan perforsi

dural akibat pengguanaan jarum Touchy.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Bready LL, Dilman D, Noorily SH. Decision Making in Anesthesiology : an Algorithmic Approach.

India : Elsevier Publisher; 2007 : 602-5

2. Finucane BT. Complications of Regional Anesthesia. Canada : Springer Science; 2007 : 177-80

3. Latief SA, Suryadi KA, Dechlan MR. Petunjk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009 : 17

4. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC; 2013 : 356

5. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2001 : 111-12

6. Ghaleb A. Postdural Puncture Headache. Anesthesiology Research and Practice Vol. 2010 (Last update :

2 Juli 2010). Available from : http://www.hindawi.com/journals/arp/2010/102967/ Diunduh pada tanggal

14 Februari 2015

7. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 4th ed. New York : Lange Medical Book;

2006 : 298-312

8. Dureja. Regional Anesthesia and Pain Management : Current Perspectives. India : Elsevier; 2007 : 163-4

9. Campbell NJ. Effective Managemen of The Post Dural Puncture Headache. Anesthesia Tutorial of The

Week 181 (Last update : 31 May 2010). Available from :

http://www.frca.co.uk/Documents/181%20Post%20dural%20puncture%20headache.pdf Diuduh pada

tanggal 15 Februari 2015

10. Frank RL. Lumbar Puncture and Post Dural Puncture Headache. Impliations for The Emergncy

Physician. (Last update : 8 December 2008). Available from

http://www.medscape.com/viewarticle/578254_print Diunduh pada tanggal 15 Februari 2015

19

Anda mungkin juga menyukai