Anda di halaman 1dari 58

PENGALAMAN KLIEN KONDISI TERMINAL:

INFARK MIOKARD AKUT SELAMA DI RAWAT


DI RUANG CARDIAC INTENSIF CARE UNIT (CICU) RSHS BANDUNG

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

Penelitian Mandiri, Sumber Dana Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran


Tahun Anggaran 2011

Oleh :

Ketua : Etika Emaliyawati, M.Kep


Anggota I : Kusman Ibrahim, Ph.D
Anggota II : Kurniawan Yudianto., M.Kep

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


TAHUN 2011
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR PENELITIAN MANDIRI
SUMBER DANA : FAKULTAS KEPERAWATAN
TAHUN ANGGARAN 2011

1. a. Judul penelitian : Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Infark


Miokard Akut Selama Di Rawat Di Ruang
Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS
Bandung
b. Bidang Ilmu : Kesehatan
c. Kategori : I
2. Ketua Peneliti :
a. Nama lengkap & gelar : Etika Emaliyawati., M.Kep
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Pangkat/Gol/NIP : IIIa/197707142007012002
d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli
e. Fakultas : Keperawatan
f. Bidang ilmu yang diteliti : Keperawatan
3. Jumlah anggota Peneliti : 2 orang
a. Nama anggota peneliti I : Kusman Ibrahim., Ph.D
b. Nama anggota peneliti II : Kurniawan Yudianto., M.Kep
4. Lokasi Penelitian : RSHS Bandung
5. Kerjasama dengan institusi lain:
a. Nama Instansi : -
b. Alamat : -
c. Telepon/Faks/E-mail : -
6. Lama penelitian : 3 (tiga) bulan
7. Biaya penelitian : Rp. 3.000.000,-

Bandung, 28 Desember 2011


Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Ketua Peneliti

Mamat Lukman, SKM, S.Kp, MSi. Etika Emaliyawati, S.Kep.,Ners.,M.Kep


NIP. 19630314 198603 1 001 NIP. 197707142002012002

Menyetujui,
Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran,

Neti Juniarti, S.Kp., M.Kes., MNurs


NIP. 19770619 200312 2 001

ii
ABSTRAK

Meningkatnya jumlah klien dengan penyakit yang belum dapat


disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson,
gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti
HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan paliatif, disamping
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Kepmenkes, 2007)
Infark miokard merupakan salah satu penyakit kondisi terminal yang
memerlukan perawatan intensif. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung merupakan
Rumah Sakit rujukan dan pendidikan yang memiliki fasilitas intensif bagi
penyakit jantung koroner (salah satunya infark miokard) yang jumlahnya semakin
bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian karena
kecenderungan trend penyakit sekarang ini.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, dengan jumlah informan
klien 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu klien dengan infark miokard
akut, dirawat di ruang intensif dan kondisinya telah stabil yang dinyatakan dengan
klien diperkenankan pulang oleh dokter penanggungjawabnya. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam setelah informan bersedia untuk ikut
serta dalam penelitian ini.
Hasil penelitian didapatkan tema-tema penelitian yang terbagi dalam 4
dimensi yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Untuk dimensi fisik
didapatkan tema selama perawatan di ruang intensif seluruh informan menyatakan
adanya nyeri dada dan sesak nafas. Pada dimensi psikologis didapatkan tema dari
10 orang informan seluruhnya menyatakan merasa tidak berdaya dan mengalami
ketidakpastian menghadapi masa depan. Pada dimensi sosial didapatkan tema dari
10 orang informan 9 diantaranya menyatakan tidak dapat ditemani oleh keluarga,
mengungkapkan pesan untuk kelangsungan hidup keluarga dan biaya yang besar
untuk pengobatan. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema dari 10
orang informan seluruhnya menyatakan adanya ketakutan akan kematian dan
kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).
Hasil penelitian ini hendaknya menjadi rekomendasi dalam memberikan
layanan kesehatan bagi klien kondisi terminal; infark miokard akut yang sedang
menjalani perawatan intensif. Penting kiranya untuk dapat mengelola dan
mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang
sedang dirawat di unit intensif secara holistik meliputi fisik psikologis sosial dan
spiritual.

Kata kunci: klien kondisi terminal, infark miokard akut, pengalaman perawatan,
ruang intensif

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Illahi


Rabbi, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan akhir penelitian dengan judul “Pengalaman Klien Kondisi
Terminal: Akut Miokard Infark Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care
Unit (CICU) RSHS Bandung”
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini tidak
terlepas dari peranan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Mamat Lukman, S.KM, S.Kp, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjadjaran.
2. Neti Juniarti, selaku Ketua Unit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.
3. Fakultas Keperawatan UNPAD, selaku sumber dana yang membiayai peneliti
dalam melaksanakan penelitian ini.
4. Direktur RSHS Bandung yang telah memberikan ijin dan memberikan
bantuan kepada peneliti dalam pelaksanaan penelitian.
5. Bidang Perawatan, Staf Bidang Keperawatan, dan Kepala Ruangan CICU
RSHS Bandung yang telah memfasilitasi peneliti dalam pelaksanaan
penelitian.
6. Alumni Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran di Ruang CICU RSHS
Bandung yang telah membantu peneliti dalam proses pelaksanaan penelitian.
Semoga amal baiknya mendapatkan pahala dan balasan dari Allah SWT.
Tidak lupa penulis memohon maaf atas segala kekurangan.
Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan
menambah wawasan pengetahuan kita semua, amien.....

Bandung, 28 Desember 2011

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Lembar Identitas Dan Pengesahan …………………………………………….... i


Abstrak ……………………………………………………………………….…. ii
Abstract …………………………………………………………………….……. iii
Kata Pengantar ...........................................................................................……… iv
Daftar Isi …………………………………………………………………….....… v
Daftar Tabel …………………………………………………………….......…... vii
Daftar Lampiran ……………………………………………………………...….viii
1. PENDAHULUAN .............................................. Error! Bookmark not defined.
Latar Belakang ................................................. Error! Bookmark not defined.
Perumusan Masalah …………………………………………………………..3
Definisi Istilah …………………….. …………………………………………3
2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………4
Perawatan Klien Terminally Illness …………………………………………..4
Keluarga Klien Dengan Terminally Illness …………………………………...8
Perawatan Paliatif ……………………………………………………………12
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……………………………….15
Tujuan Penelitian ……………………………………………………………15
Kontribusi Penelitian .......................................................................................15
4. METODE PENELITIAN ..............................................................................17
Design Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.7
Populasi dan Sampel ...................................... Error! Bookmark not defined.7
Teknik Pengumpulan Data ............................. Error! Bookmark not defined.8
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................ Error! Bookmark not defined.9
Hasil Penelitian .............................................. Error! Bookmark not defined.9
Pembahasan………………………………………………………………..…23
6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................ Error! Bookmark not defined.5
Kesimpulan .................................................... Error! Bookmark not defined.5
Saran .............................................................. Error! Bookmark not defined.5
7. DAFTAR PUSTAKA....................................... Error! Bookmark not defined.6

LAMPIRAN

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ijin Penelitian


Lampiran 2 Instrumen Penelitian
Lampiran 3 Riwayat Hidup Ketua dan Anggota Peneliti

vi
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya jumlah kasus klien dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit penyakit terminal,
penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke,
Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi
seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan yang
kompleks.
Penyakit terminal (terminally Ill) merupakan istilah yang mulai dikenal
pada abad ke-20. Penyakit ini untuk menjelaskan penyakit yang tidak bisa
disembuhkan yang dapat mengakibatkan kematian bagi seseorang yang
mengidapnya dalam waktu yang relatif singkat (Mc.Graw-Hill, 2002).
Menurut Albrecht (2006) penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan
karena penyakit jantung, kedua kanker, ketiga penyakit serebrovaskular dan ke
empat adalah pneumonia/influenza. Riskesdas (2007) menuturkan di Indonesia
sendiri penyebab kematian terbesar disebabkan karena penyakit jantung,
stroke/cerebrovaskular, tuberkulosis, penyakit pernafasan, hipertensi, trauma,
penyakit terminal, perinatal, diabetes melitus, dan diare. Dari beberapa penyebab
kematian tersebut diantaranya disebabkan karena penyakit terminal/ terminally ill.
Penyakit terminal ini merupakan salah satu penyakit yang termasuk ke
dalam masalah kesehatan nasional karena jumlahnya semakin bertambah dari
tahun ke tahun. Menurut Anthony, Dermot dan Stephen (2004) penyakit ini tidak
hanya merupakan ancaman terhadap masalah kesehatan, tetapi selalu menjadi
pertimbangan terhadap pembangunan khususnya pembangunan di bidang
kesehatan.
Adanya perubahan pola penyakit, tuntutan serta pengenalan teknologi di
bidang kesehatan mengakibatkan pemerintah di seluruh dunia saat ini sedang
menghadapi biaya pelayanan kesehatan yang sangat tinggi. Penyakit terminal
merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang
komplek, mulai dari penegakan diagnosa sampai dengan penanganan dan

1
perawatannya. Oleh karena itu perlu adanya pengukuran kebutuhan pelayanan
kesehatan, biaya yang dikeluarkan, dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
(Bradshaw, 2010). Semua hal tersebut sangat penting karena akan sangat
bermanfaat untuk membuat perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehatan
Ketika seorang klien divonis menderita suatu penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, seketika itu pula kematian sudah berada di pelupuk mata. Sebagai
petugas kesehatan dalam hal ini sebagai perawat mempunyai tanggung jawab
terhadap segala hal yang menyangkut diri klien, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan
begitu saja. Harus ada daya dan upaya untuk mengangkat klien dari kegelapan dan
memberikan harapan walau hanya sementara.

Harapan yang dimaksud disini bukanlah harapan untuk kesembuhan dari


penyakit yang diderita tetapi harapan untuk mendapatkan kenyamanan dan
dukungan dari lingkungan kepada diri klien dalam menghadapi penyakitnya.
Dukungan bisa berupa pemberian semangat dari keluarga, petugas kesehatan, atau
yang lainnya sehingga klien tidak merasa sendiri dalam menghadapi penyakitnya
yang dapat merenggut kehidupannya.
Kebanyakan penelitian dilakukan di rumah sakit terhadap orang-orang yang
mengidap penyakit terminal. Studi etnografi yang dilakukan pada klien penyakit
terminal ditemukan bahwa perawatan pada klien dengan penyakit terminal
kurang mendapat perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif dari
karakteristik klien dengan penyakit terminal (Jones, 2002).
Didapatkan pula jumlah staf perawatan yang kurang menyebabkan beban
kerja yang sangat tinggi bagi staf perawatan dan adanya anggapan bahwa staf
perawatan kurang pengalaman dalam memberikan perawatan kepada klien-klien
terminal yang sedang menghadapi akhir hidup, rumah sakit sering terlambat
membuat rujukan bahkan sama sekali tidak membuat rujukan untuk mencegah
kejadian yang tidak diharapkan. Komunikasi yang tidak pantas, dan tidak cukup
antara staf perawatan dan keluarganya merupakan faktor-faktor dominan yang
mempengaruhi pengalaman perawatan (Wetle .et.all, 2005).
Penelitian lain yang dilakukan pada klien dengan penyakit terminal yang
berusia di atas 65 tahun dilakukan oleh Hawkins, et.all (2005) didapatkan bahwa
sangat sedikit klien yang ingin menuliskan pilihan dan mandat perawatan medis

2
spesifik yang akan diikuti, tidak terkecuali ketika sudah mendekati kematian.
Menurut Travis, et. all (2005) kebanyakan klien dengan penyakit terminal
terlambat mendapatkan perawatan yang disebabkan karena lambatnya keputusan
yang diambil oleh klien ataupun pengambil keputusan lainnya (seperti keluarga).
Di lain pihak juga karena sistem perawatan, aturan-aturan yang berlaku di tempat
perawatan memang tidak mendukung terlaksananya perawatan tersebut.
Dari faktor keagamanan/spiritual selama kehidupan didapatkan korelasi
positif antara tingkat spiritualitas dengan kenyataan dalam menghadapi akhir
hidup/ end of life terhadap klien terminal. Hal ini tidak berpengaruh terhadap
keadaan sakit klien saat ini. Klien yang mendapatkan dukungan sosial agama
selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik (Hays
et. all. 2005). Dari faktor hubungan sosial ternyata didapatkan bahwa survival
menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan
teman-teman dan saudara kembar (Rasulo, D et. all. (9).2005).
Menurut Kramer, et. all (2005) dari faktor ekonomi ternyata ada beberapa
tantangan dalam menjalani perawatan akhir-hidup yaitu sifat dari penyakit kronis
lanjut. Hal ini menimbulkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan,
ketidakmampuan dari sistem pendukung dimana asuransi kesehatan tidak
memenuhi semua kebutuhan klien dengan penyakit terminal.
Penelitian yang dilakukan terhadap layanan kesehatan yang diberikan
kepada klien dengan penyakit terminal diantaranya yang dilakukan oleh Wetle
.et.all (2005) menyatakan bahwa staf perawatan kurang memperhatikan gejala,
kebutuhan dan kesakitan pada waktu dying (proses end of life) dari klien,
perawatan yang diberikan tidak memadai, di sini termasuk oleh dokter dan
perawat. Staf profesional seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan tanda-
tanda dari akhir kehidupan kepada keluarga.
Wetle .et.all (2005) juga mengungkapkan bahwa ada perlakuan yang tidak
pantas, terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan
yang tidak perlu. Profesi dokter dilihat sebagai “missing in action”, tidak dan
kurang memberikan informasi tentang keadaan klien yang sebenarnya, dan juga
bermasalah dalam hal komunikasi sehingga menimbulkan banyak konflik,

3
perbedaan persepsi yang akhirnya semakin menyulitkan keluarga dalam
pengambilan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarganya.
Penelitian-penelitian tentang klien dengan penyakit terminal banyak
dilakukan di negara-negara lain umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan
USA. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia sendiri
karena perbedaan kultur, etnis/ras, kepercayaan, cara pandang dari nilai-nilai yang
dianut.
Di Indonesia sendiri penelitian terkait mengenai klien terminal belum
pernah ada yang melakukan. Baru ada kajian pustaka yang ditulis oleh Benyamin
Lumenta (1997), yang menulis bahwa seorang dokter sangat sulit menentukan
menyampaikan atau tidak mengenai kondisi penyakit klien yang tidak dapat
disembuhkan atau klien berada dalam kondisi menjelang akhir hayat.
Para dokter berpendapat klien dengan penyakit terminal ini harus ditangani
secara kasuistik tetapi sulit dilakukan dikarenakan mereka tidak atau kurang
mengenal setiap kliennya. Selain itu ada keterbatasan waktu untuk melakukan
semua kajian tersebut. Padahal ini terkait dengan bagaimana sebaiknya
memberikan perawatan pada klien dengan penyakit terminal yang akan
menghadapi akhir hidupnya untuk memilih perawatan dan cara kematiannya
secara terhormat dan bermartabat (Lumenta, 1997).
Salah satu penyakit dengan kondisi terminal adalah akut miokard infark,
penyakit yang disebabkan oleh adanya penyempitan pada lumen arteri koronoria
ini menimbulkan nyeri hebat dan dapat menimbulkan kematian secara cepat bila
tidak ditangani dengan segera. Penyakit ini menimbulkan kematian 400.000 –
500.000 orang/tahun di USA. Ketika klien telah melewati fase kritis dari
penyakitnya pada waktu serangan, akut miokard infark masih menimbulkan resiko
kematian khususnya pada 6 bulan pertama setelah serangan pertama. Penanganan
dari penyakit ini adalah menangani nyeri dan penanganan terhadap sumbatan dari
arteri koronaria, tetapi itu tidak mutlak menjadikan kondisi jantung klien menjadi
lebih baik.
Saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia terhadap klien dengan penyakit
terminal sudah ada tetapi belum tertata dengan baik, dimana belum ada standar
baku perawatan klien dengan penyakit terminal. Hal tersebut disebabkan karena

4
pemahaman dan pengetahuan, fasilitas dan ilmu yang terkait serta data-data
mengenai perawatan klien penyakit terminal yang terbatas. Kebutuhan klien
penyakit terminal terutama pada stadium lanjut prioritas pelayanan tidak hanya
pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang
terbaik bagi klien dan keluarganya. Di sini pentingnya integrasi perawatan pada
klien dengan penyakit terminal, pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan
terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi agar masalah fisik, psikososial
dan spiritual dapat diatasi dengan baik, selain itu setiap klien berhak
mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.
Dari uraian di atas , maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai bagaimana pengalaman klien kondisi terminal; akut miokard infark
selama di rawat di ruang intensif, karena pengetahuan penulis tentang hal-hal
yang terkait dengan penyakit ini di Indonesia belum ada, maka peneliti melakukan
penelitian kualitatif.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana pengalaman klien
kondisi terminal; akut miokard infark selama di rawat di ruang cardiac intensif
care unit (CICU) RSHS Bandung?

C. Definisi Istilah
Penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau
cukup dirawat dan yang dapat mengakibatkan kematian klien dalam waktu
yang relatif singkat dan dengan demikian memerlukan perawatan (Mc.Graw-
Hill, 2002). Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat
mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard
Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan
sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P,
Fraenkel L 2007).
Ruang perawatan intensif atau intensif care unit (ICU) adalah unit
perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis,
cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga

5
kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus
(Depkes, 1997) dan Owen SA (2009)
Dalam penelitian ini, penyakit dengan kondisi terminal adalah penyakit
jantung koroner yaitu infark miokard akut killip II, III dan sedang dirawat di
ruang cardiac intensif care unit, yang telah mengalami perbaikan sehingga
telah diperbolehkan pulang oleh dokter penanggung jawabnya.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Penyakit Terminal
Konsep dari penyakit terminal ini akan di bahas dalam beberapa pokok
bahasan yang terdiri dari pengertian penyakit terminal (terminally ill), konsep
infark miokard itu sendiri dan karakteristik klien dengan kondisi terminal dari
berbagai dimensi.
- Pengertian Penyakit Terminal (Terminally Ill)
Terdapat beberapa definisi dari penyakit terminal diantaranya yaitu dari
American Cancer Society yang menyatakan bahwa penyakit terminal
merupakan penyakit yang aktif dan progresif yang tidak ada lagi obat untuk
mengatasinya dengan prognosis yang fatal. Hal ini didefinisikan sebagai
penyakit yang tidak dapat diubah, yang akan mengakibatkan kematian dalam
waktu dekat atau keadaan tidak sadarkan diri permanen dimana untuk
pemulihan dari penyakitnya tidak mungkin. Beberapa contoh, antara lain,
penyakit terminal termasuk penyakit terminal stadium lanjut, beberapa jenis
cedera kepala, dan sindrom kegagalan organ multiple. Panjang harapan hidup
dapat bervariasi dari entitas ke entitas.
Selain itu didapatkan pula definisi penyakit terminal yaitu penyakit
yang tidak bisa disembuhkan atau cukup dirawat dan yang dapat
mengakibatkan kematian klien dalam waktu yang relatif singkat dan dengan
demikian memerlukan perawatan (Mc.Graw-Hill, 2002). Definisi penyakit
terminal yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah definisi tentang
penyakit terminal dimana penyakit yang lebih sering digunakan untuk
penyakit progresif seperti kanker atau penyakit jantung daripada untuk

6
trauma. Dalam definisi lain, itu menunjukkan penyakit yang akan mengakhiri
hidup penderita. Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat
mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard
Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan
sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P,
Fraenkel L 2007).
- Konsep Infark Miokard Akut
Konsep infark miokard akut ini akan dibahas mulai dari definisi,
dan manifestasi klienis yang mungkin muncul.
Pengertian
Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot
jantung terganggu, umumnya hal ini disebabkan adanya atherosklerosis
pembuluh darah koroner. Area nekrosis akan menjadi jaringan parut yang
kaku sedangkan miokard yang sehat dapat mengalami hipertrofi dan
pemburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau
infark meluas.
Patofisiologi terjadinya infark pada otot jantung sangat ditentukan oleh
suplay oksigen yang adekuat. Dikatakan bahwa otot jantung merupakan organ
yang sangat tergantung pada oksigen untuk mendapatkan energi. Kekurangan
oksigen sedikit saja dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat
menimbulkan kerusakan miokard.
Menurut Soeparman (1993) akibat adanya kerusakan miokard akan
mengakibatkan disritmia terutama pada menit-menit atau jam-jam pertama
setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa
refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaan rangsangan.

Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari infark miokard menurut Smeltzer, dkk (2004)
adalah sebagai berikut:
1) Nyeri disebabkan oleh pengiriman oksigen yang tidak cukup ke
miokardium. Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar
ke leher, radang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien

7
aktif atau istirahat. Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan
tidak hilang dengan istirahat atau pemberian terapi nitrat. Beberapa klien
tidak mengalami nyeri tetapi mungkin merasa tidak nyaman, lemah, sesak
napas.
2) Berkeringat dingin. Hal ini disebabkan karena stimulasi sistem syaraf
simpatis dimana terjadi vasokontriksi (vasoconstriction) dari pembuluh
darah. Pada pemerikasaan fisik, kulit klien pucat dan dingin.
3) Mual dan muntah. Diakibatkan dari stimulasi reflek dari pusat muntah
akibat nyeri. Mual dan muntah ini dapat juga berasal dari reflek fasofagal
yang berasal dari area miokardium infark.
4) Suhu meningkat dalam 24 jam pertama (38ºC dan terkadang 39ºC).
Berakhir selama 1 minggu. Peningkatan suhu ini merupakan manifestasi
klinis sistemik proses keadaan penyakit yang disebabkan oleh kematian sel
miokardium infark.
5) Manifestasi kardiovaskuler. Tekanan darah dan denyut jantung mungkin
meningkat pada awalnya. Kemudian tekanan darah karena cardiac out put
berkurang, urine output dan mungkin terjadi oedema paru, keadaan ini
berlangsung selama berjam-jam hingga beberapa hari.
6) Kecemasan dimana klien takut akan kematian. Klien sering ketakutan
setelah mengalami serangan, dimana klien sering merasakan adanya nyeri
dada yang hebat, khawatir penyakitnya tidak sembuh, dan mungkin juga
ketakutan dengan seting ruang perawatan.
Pada infark miokard, gangguan jantung telah dengan mudah dan
bermanfaat diklasifikasikan oleh Killip dalam empat kelas, yaitu:
I : Tidak ada kegagalan
II : Kegagalan ringan sampai sedang
III : Edema pulmonal akut
IV : Syok Kardiogenik
Pada awalnya, kegagalan ringan (Killip kelas II) dan kronik sering
dicirikan dengan S3, peningkatan frekwensi jantung (biasanya irama sinus),
dan kemungkinan crackles halus pasca batuk rejan (rale) pada dasar paru.
Selain itu, bukti kongesti vaskular pulmonal (sering tanpa edema pulmonal)

8
sering terlihat pada rontenogram dada, peninggian tekanan vena jugularis dan
disritmia mungkin ada: kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter
atrium, takikardi atrium paroksismal, dan irama pertemuan. Pasien mungkin
merasa nyaman pada istirahat atau mengalami gejala curah jantung rendah
atau kongesti vaskular pulmonal, gejala-gejala meningkat pada aktivitas.
Edema pulmonal akut (Killip kelas III) adalah situasi yang mengancam
hidup yang dicirikan oleh transudasi cairan dari kapilar pulmonal ke dalam
area alveolar, dengan akibat dispneu ekstrem dan ansietas. Perawatan segera
diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien.
Syok Kardiogenik (Killip kelas IV) adalah sindroma kegagalan
memompa yang paling mengancam dan dihubungkan dengan mortalitas paling
tinggi, meskipun dengan perawatan yang agresif. Syok kardiogenik diketahui
secara klinis melalui:
 Tekanan sistolik darah kurang dari 80 mmHg (sering tidak dapat diukur)
 Nadi lemah yang sering/cepat
 Kulit pucat, dingin dan berkeringat yang sering kali sianosis
 Gelisah, kekacauan mental, dan apatis
 Kemungkinan perubahan status mental
 Penurunan atau tak adanya haluaran urin
Manifestasi syok ini menunjukkan ketidakadekuatan jantung sebagai
pompa dan biasanya menunjukkan kerusakan dalam jumlah besar dari otot
jantung (40% atau lebih massa ventrikel kiri).
Pada beberapa pasien dengan hipertensi arteri jangka panjang bermakna
akan mempunyai manifestasi syok kardiogenik pada tekanan normal secara
relatif. Orang ini memerlukan tekanan tinggi untuk perfusi organ vital dan
mempertahankan viabilitas. Pengetahuan tentang riwayat tekanan darah
sebelumnya adalah pengenalan yang sangat penting terhadap orang ini. Tidak
semua situasi klinis syok kardiogenik dihubungkan dengan curah jantung
tidak adekuat. Tergantung pada perubahan situasi, seperti demam, curah
jantung kadang-kadang mungkin normal atau bahkan meningkat (Hudak
CM., Gallo BM, 1997a).

9
- Karakteristik Klien dengan Infark Miokard Akut dalam Kondisi
Terminal
Karakteristik klien infark miokard akut dilihat dari sisi kebutuhan fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual
1) Fisik
Karakteristik klien dengan akut miokard infark adalah adanya keluhan
sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar ke dada
kiri dan kanan, rahang, bahu kiri dan kanan pada satu atau kedua lengan.
Digambarkan sebagai rasa tertekan, terhimpit, diremas dan rasa berat atau
panas, kadang-kadang penderita melukiskannya hanya sebagai rasa tidak enak
di dada. Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam, dan jarang
ada hubungannya dengan aktifitas, serta tidak hilang dengan istirahat atau
pemberian nitrat.
Jarang ada infark yang betul-betul tanpa rasa sakit. Bila sakit dada sudah
dapat dikontrol, klien dapat tanpa keluhan sama sekali sampai pemulihan,
tetapi pada sejumlah penderita dapat timbul berbagai penyulit. Penyulit yang
paling sering adalah disritmia, renjatan kardiogenik dan gagal jantung. Rasa
nyeri ini selanjutnya menyebabkan kecemasan atau stres pada klien terlihat
dari adanya ketegangan dan ketakutan, gelisah, wajah tegang, pucat, serta
berkeringat dingin. Padahal kecemasan atau stres itu, dapat memperberat
kondisi jantung.
2) Sosial
Kecemasan yang dirasakan klien Akut Miokard Infark dapat
mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang terdekat untuk
mendapatkan dukungan. Menurut Ahmad N, et all. (2006) bahwa gejala-gejala
fisik dari klien dalam kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan
juga depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor-
faktor psikososial dan kultural yang beragam. Pengkajian gejala distres
dengan demikian merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis,
Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu
model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah
stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek

10
penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Ada tiga tipe
mekanisme dukungan yang dapat mengurangi perasaan stres.
(1) Dukungan nyata. Dukungan nyata merupakan paling efektif jika
dihargai oleh penerima dengan tepat. Namun pemberian dukungan nyata yang
berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan berhutang akan benar – benar
menambah stres individu.
(2) Dukungan pengharapan. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi
persepsi individu akan ancaman. Dukungan sosial penyangga orang – orang
untuk melawan stres dengan membantu mereka mendefinisikan kembali
situasi tersebut terhadap ancaman kecil. Arahkanlah pada orang yang sama
yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan
bantuan. Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping
individu dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan
pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang – orang berfokus pada
aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.
(3) Dukungan emosional. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan
hal dimiliki dan dicintai, dukungan emosional dapat menghentikannya atau
menguatkan perasaan – perasaan ini. Stres yang tidak terkontrol dapat
berakibat pada hilangnya harga diri. Jika ini terjadi jaringan pendukung
memainkan peran yang berarti dalam meningkatkan pendapat yang rendah
terhadap diri sendiri.
3) Psikologis
Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard
infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon
pertama menurut Kubler & Ross (1970) adalah mereka mengalami mekanisme
berupa upaya untuk mengatasi keadaan tersebut. Klien hendak membela diri
terhadap informasi yang diterimanya tersebut, klien bersikap mengingkarinya
yang segera diikuti dengan sikap menutup diri terhadap semua komunikasi.
Klien tidak mau berhubungan lagi dengan dokter maupun perawat, menutup
dirinya terhadap keluarga dan orang-orang lain di sekelilingnya.
Sikap tadi dilanjutkan dengan menyatakan kemarahan terhadap orang-
orang yang ingin menemuinya. Akhirnya klien masuk ke fase tawar menawar,

11
klien menunjukkan keinginan untuk dapat sembuh kembali dan melanjutkan
perannya dalam keluarga dan masyarakat. Tetapi keadaan penyakit yang
dideritanya mendesaknya terus untuk memahami keparahan penyakitnya. Hal
ini mengakibatkan akhirnya klien masuk ke fase depresi. Klien menjadi
murung, cemas, dan ketakutan, tetapi pada akhirnya klien dapat menerima
kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan kembali. Klien telah
memasuki proses yang tidak dapat dihindarinya menjelang akhir hayat.
Kelima fase ini selalu disertai dengan adanya harapan tentang kesembuhan
betapapun kecilnya.
Menurut Glaser G (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang
penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya
semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat
berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama,
lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya. Setelah itu klien
dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan menerima
keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti oleh
perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan
dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di
samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap
berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan
untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya
dan menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi
ini orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat
dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien.
4) Spiritual
Klien akut miokard infark mengalami krisis yang berhubungan dengan
perubahan patofisiologi, pengobatan yang diperlukan atau situasi yang
mempengaruhi seseorang. Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan
pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan
pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk
sembahyang/berdoa lebih tinggi (Hamid, A.Y.S, 2000).

12
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha
kuasa dan maha pencipta. Menurut Burkhardt (1993) dalam Hamid, A.Y.S
(2000) spiritualitas meliputi aspek-aspek (1) berhubungan dengan sesuatu
yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, (2) menemukan
arti dan tujuan hidup, (3) menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber
dan kekuatan dalam diri sendiri,(4) mempunyai perasaan keterikatan dengan
diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan
kekuatan ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian.
Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais &
Wilkinsons, 1995; Murray & Zentner, 1993. dalam Hawari D, 2004).
Pentingnya agama dalam kesehatan dilihat dari batasan organisasi kesehatan
dunia (WHO, 1984) dalam Hawari D (2004) menyatakan bahwa aspek agama
merupakan salah satu unsur dari pengertian sehat seutuhnya, yang dikenal
dengan bio-psiko-sosial-spiritual.
Dalam agama Islam ada doa dan dzikir, dari segi kesehatan jiwa doa dan
dzikir mengandung unsur psikotherapeutik yang mendalam. Karena itu,
psikoreligius tidak kalah pentingnya dibanding psikoterapi psikiatrik, karena
ia mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang membangkitkan rasa
percaya diri dan optimisme. Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri dan optimisme
merupakan hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit
disamping obat – obatan dan tindakan medis lainnya (Hawari D, 2004).
Dalam stadium yang demikian, klien membutuhkan hal-hal yang bersifat
spiritual. Pemenuhan spiritual dan juga dorongan moril dari pihak keluarga
amat menambah memperkuat “ego-strength” dan ketenangan jiwa yang
bermanfaat bagi kesehatan jantung.
- Pasien Kritis
Pasien kritis adalah pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat
memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun
mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat
menyebabkan kematian (Rab T, 2007). Pasien kritis memiliki angka kesakitan

13
(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) yang tinggi sehingga
membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta peralatan teknologi yang
tinggi (canggih) (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009)
Pasien yang dirawat di ruang intensif digolongkan dalam golongan
prioritas tinggi dan prioritas rendah. Golongan prioritas tinggi adalah pasien
kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan perawatan
intensif seperti ventilator, obat inotropik dan hemodialisa segera. Golongan
prioritas rendah adalah pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan
intensif, dan pasien-pasien yang penyakitnya irreversible tetapi mengalami
kegawatan bukan karena penyakit dasarnya. (FK-UNHAS, Bagian
Anesthesiologi)
- Ruang Intensif
Keperawatan kritis adalah berkaitan dengan respon dan masalah yang
mengancam keselamatan pasien seperti trauma, pembedahan yang besar atau
komplikasi dari suatu penyakit (Marino PI, 2007). Ruang perawatan intensif
atau intensif care unit (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk
merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang
mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta
didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Depkes, 1997) dan Owen SA
(2009)
Ruang perawatan intensif memimiliki ciri yaitu tenaga yang terlatih
sehingga mampu memberikan tindakan yang tepat dan cepat (agresif),
menggunakan peralatan dengan teknologi yang tinggi (canggih), tindakan
pemantauan invasif dan noninvasif serta penggunaan obat-obatan yang lebih
banyak (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009).
Perawatan intensif itu sendiri adalah bagian khusus dari sebuah rumah
sakit yang memiliki peralatan, staf medis dan keperawatan, dan perlunya
monitoring untuk memberikan perawatan intensif bagi pasien sakit kritis yang
dilengkapi peralatan pendukung kehidupan bagi pasien-pasien dalam keadaan
sakit parah dan bisa berakibat fatal termasuk termasuk sindrom gangguan
pernapasan dewasa, gagal ginjal, kegagalan organ multiple, dan sepsis
(Britannica Concise Encyclopedia).

14
Perawat yang bekerja di unit perawatan intensif adalah perawat yang
mendapat pendidikan khusus sehingga memiliki skill dan dedikasi serta
motivasi yang tinggi. Perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi
keadaan pasien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat
mengancam jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan
yang mengancam sebelum dokter datang (Owen SA, 2009).
Asuhan Keperawatan Intensif adalah kegiatan praktik keperawatan
intensif yang diberikan pada pasien kritis dan keluarganya. Asuhan
keperawatan kritis membutuhkan kemampuan dalam menyesuaikan situasi
kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada
situasi keperawatan lain. Hal ini membutuhkan keahlian dalam penyatuan
informasi, membuat keputusan dan membuat prioritas yang tepat. Esensi
asuhan keperatan kritis tidak berdasarkan pada lingkungan atau alat-alat
khusus tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada
pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologi dan psikologi (Hudak
CM., Gallo BM, 1997b).
- Penggunaan Layanan Keperawatan Kritis pada Klien dengan Kondisi
Terminal
Pada tahun 1999, Angus et al dalam Vincent JL (2010) melakukan
penelitian berbasis populasi mengenai penggunaan perawatan intensif pada
klien dengan kondisi terminal di Amerika Serikat/USA.
1) Penggunaan Perawatan Intensif di Akhir Kehidupan pada Klien
Kondisi Terminal
Angka kematian yang masih tinggi di unit intensif memberikan
pandangan bahwa perawatan akhir kehidupan di unit intensif masih sangat
diperlukan. Persepsi dokter terhadap keinginan pasien dan prediksi survival
yang kecil di ICU dan kemungkinan fungsi kognitif yang rendah dari pasien
adalah determinan yang paling kuat dari pencabutan ventilasi mekanik dari
pasien kritis.
Keputusan untuk melanjutkan pengobatan penopang kehidupan bervariasi
diantara negara-negara Eropa, penelitian Ethicus dalam Vincent JL (2010)
memperlihatkan bahwa keputusan untuk mencabut pengobatan tidak biasa di

15
negara- negara Eropa Selatan, dimana Cardio Pulmonal Resuscitation (CPR)
lebih sering digunakan, lama tinggal di ICU lebih lama daripada di negara-
negara Eropa Utara. Perbedaan ini disebabkan karena kasus-kasus yang
berbeda, perbedaan budaya dan agama, perbedaan nilai-nilai yang dianut
dokter dan praktek juga reliabilitas dalam praktek akhir kehidupan yang
sedang berjalan.
2) Manajemen Perawatan Akhir Kehidupan (End of Life) di Intensif
Care Unit (ICU)
Manajemen perawatan end of life di ICU merupakan sebuah phenomena
yang relatif baru. Penelitian di Amerika juga memperlihatkan bahwa diskusi
mengenai akhir kehidupan tidak biasa diantara pasien yang berpenyakit
serius. Sementara pengobatan penopang kehidupan yang tidak diinginkan dan
perawatan paliatif yang tidak cukup banyak terjadi. Dalam sepuluh tahun
terakhir masyarakat profesional Amerika dan Eropa, menyetujui bahwa, pada
kondisi – kondisi tertentu ketika pengobatan tidak mencapai hasil, keputusan
untuk meninggalkan therapi penopang kehidupan dan memulai perawatan
paliatif adalah etis. Sekarang sebagian besar kematian yang terjadi di ICU
diawali dengan keputusan untuk meninggalkan therapy penopang kehidupan
(Vincent JL, 2010).
Diskusi akhir kehidupan seringkali dilakukan oleh dokter, dan ada
keterkaitan antara diskusi akhir kehidupan dengan kualitas perawatan yang
diberikan. Proses pengambilan keputusan akhir kehidupan dapat didiskusikan
diantara penyedia perawatan, pasien dan keluarga pasien (ketika pasien telah
berada pada kondisi incapasity) mengenai apakah pengobatan penopang
kehidupan harus diteruskan atau dihentikan dan perawatan paliatif dimulai.
Diskusi dapat dilakukan di ward/ruangan umum, departemen Emergency,
atau ICU. Kurang dari 5 % dari pasien di ICU dapat berpartisipasi di akhir
kehidupan dan dengan demikian untuk memelihara otonomi pasien pedoman
saat ini untuk profesional merekomendasikan pengambilan keputusan
bersama dengan keluarga pasien atau teman dekat.
Secara umum harapan ditentukan oleh budaya, otonomi, dan penentuan
sendiri (self determination). Data mengenai harapan dari pasien ICU yang

16
sadar mengenai akhir kehidupan sangat kurang, tetapi kemungkinan besar
berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Data dari pasien dengan penyakit serius
konsisten dengan keinginan untuk otonomi. Sebagai contoh, sebagian besar
dari mereka yang belum mendiskusikan keinginan akhir kehidupan dengan
dokter berkeinginan untuk melakukannya. Juga sangat mungkin bahwa peran
yang diinginkan dalam pengambilan keputusan adalah tidak konsensual.
Dalam penelitian diantara pasien dengan penyakit kronis pada tahap akhir
(Heyland dkk dalam Vincent JL, 2010), menemukan bahwa 40% dari
responden ingin membuat keputusan akhir, 32% ingin membagi tanggung
jawab mengenai keputusan akhir dengan dokternya, 19% ingin dokter
mengambil keputusan akhir dan 10% tidak punya opini/pendapat. Penelitian
ini juga memperlihatkan bahwa meskipun hanya 15 % dari dokter tidak
merasa mampu untuk mendefiniskan peran pasien yang diinginkan dalam
pengambilan keputusan, mereka memutuskan dengan tepat keinginan pasien
lebih sedikit dari 1 dalam 5 kasus.
Sebagian besar anggota keluarga pasien yang dirawat di ICU ingin
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tetapi tidak ada konsensus
mengenai peran yang diinginkan. Dalam penelitian yang dilakukan di Kanada
terhadap 256 pengambil keputusan pengganti untuk pasien ICU , 33% dari
responden ingin membuat keputusan akhir (peran aktif), 43% ingin membagi
tanggungjawab mengenai keputusan akhir dengan dokter, dan 24% ingin
dokter membuat keputusan akhir (peran pasif). Sekitar 70% dari responden
melaporkan bahwa peran mereka saat ini tidak sesuai dengan keinginan dan
bahwa kepuasan terhadap perawatan akhir kehidupan itu tinggi. Penelitian di
Amerika di mana 48 keluarga dari pasien ICU diwawancara, 58%
menginginkan membagi tanggung jawab dengan dokter, 25% menginginkan
peran aktif.
Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan referensi
pengambilan keputusan: pendidikan tinggi berasosiasi dengan peran aktif atau
berbagi, peneliti tidak menemukan hubungan antara usia, jenis kelamin, suku,
agama atau hubungan dengan pasien dan preferensi pengambilan keputusan.
White dkk, dalam Vincent JL (2010), meneliti sikap keluarga dalam

17
mengambil keputusan terhadap penerimaan rekomendasi dokter selama
diskusi perawatan akhir hidup. Peneliti mewawancara 169 keluarga dan
menemukan bahwa 56% ingin menerima rekomendasi, 42% tidak ingin
menerima rekomendasi, dan 2% menerima keduanya.
Alasan utama penolakan rekomendasi adalah bahwa responden percaya
bahwa pemberian rekomendasi bukan merupakan peran dari dokter.
Rekomendasi saat ini untuk perawatan akhir kehidupan di ICU dari ACCM
(American College Critical Care Medicine) menganjurkan dokter bertanya
kepada pasien dan keluarga mengenai peran mereka dalam proses
pengambilan keputusan sebelum memberikan rekomendasi apapun. Dua
penelitan observasi yang dilakukan sebelum publikasi dari pedoman tersebut
memperlihatkan bahwa preferensi keluarga dalam proses pengambilan
keputusan tidak pernah atau jarang didiskusikan. White dkk menemukan
bahwa setengah dari dokter yang diminta oleh keluarga untuk memberikan
rekomendasi menolak untuk melakukannya, membuktikan bahwa hal tersebut
bukan menjadi bagian dari perannya.
Data pengamatan ini memperlihatkan kesulitan dalam membakukan
proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Peran yang diinginkan dari
pasien atau keluarga di dalam proses pengambilan keputusan itu tidak
konsensual, yang membuat setiap percakapan dokter-keluarga menjadi unik.
Untuk mencapai kebutuhan keluarga, dokter boleh jadi perlu untuk
beradaptasi dengan peran tertentu, suatu tindakan dimana dokter boleh jadi
kurang memiliki keterampilan atau merasa tidak nyaman, terutama ketika
nilai-nilai dokter berbeda dengan harapan pasien atau keluarga.
Penelitian pada klien dengan kondisi terminal di Perancis pada awal abad
21 memperlihatkan bahwa 90% dari responden menginginkan keluarga untuk
mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan jika mereka menjadi
lumpuh/cacat/tidak berdaya. Penelitian Perancis yang lain dilakukan pada
waktu yang sama , mengevaluasi posisi dari profesional perawat kritis dan
keluarga pasien ICU dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya
menunjukan bahwa sebagian besar dari dokter dan petugas kesehatan yang
lain percaya partisipasi keluarga harus dipertimbangkan dalam proses

18
pengambilan keputusan. Pada sisi lain kurang dari setengah keluarga
menginginkan berbagi dalam proses pengambilan keputusan.
Selama dekade terakhir peran keluarga, dan proses pengambilan
keputusan apakah pasien tidak berdaya , telah dibuat menjadi hukum di
beberapa negara Eropa Barat. Ada konsensus mengenai kapasitas
pengambilan keputusan dari pasien ketika mampu namun tidak ada konsensus
mengenai ketika pasien menjadi inkapasitas. Sekarang ada kecenderungan di
Eropa untuk memberikan banyak otonomi kepada pasien dan atau
keluarganya, tetapi tetap ada variasi di antara negara-negara terutama
mengenai peran keluarga. Variasi-variasi ini dapat dijelaskan oleh tradisi
paternalistik atau melindungi keluarga dari konsekwensi yang tidak
diharapkan terkait pengambilan keputusan akhir hidup (Vincent JL, 2010).
Penelitian di Kanada memperlihatkan bahwa sebagian keluarga dari
pasien ICU merasa puas dengan perawatan akhir hidup yang disediakan.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 15% dari responden merasa mereka
tidak dapat mengendalikan peralatan yang disediakan kepada keluarga
mereka, 11% percaya bahwa hidup diperpanjang secara tidak dibutuhkan, dan
9% melaporkan bahwa pasien tidak nyaman pada beberapa jam terakhir.
Komunikasi yang cukup (jumlah, kualitas, dan waktu kapan informasi
disediakan) dan peran dalam proses pengambilan keputusan dengan peran
yang diinginkan merupakan prediktor dari kepuasan. Evaluasi kepuasan pada
26 ICU di Swis dan Jerman menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai
dukungan selama pengambilan keputusan memiliki tingkat kepuasan yang
rendah. Konflik antara anggota keluarga dengan staf medis sangat umum
terjadi dalam diskusi akhir kehidupan. Abbott dkk dalam Vincent JL (2010)
melaporkan bahwa sebagian besar dari konflik disebabkan oleh kurangnya
komunikasi atau ketidakprofesionalan, perilaku tidak hormat oleh dokter dan
perawat. Azolay dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan sumber utama dari
konflik antara tim dan keluarga terjadi ketika keluarga/keinginan pasien
diabaikan, ketika keputusan akhir kehidupan dibuat terlalu lambat atau terlalu
awal, dan ketika komunikasi sangat buruk selama proses pengambilan
keputusan.

19
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa anggota keluarga dari pasien
ICU menderita kegelisahan dan gejala depresi. Penelitian di Perancis
memperlihatkan bahwa 3 bulan setelah pengalaman ICU sepertiga dari
anggota keluarga menderita stres post trauma yang berkaitan dengan tingkat
kegelisahan dan depresi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup. Kejadian
stres post trauma diantara keluarga pasien ICU lebih tinggi ketika kematian
pasien terjadi setelah keputusan untuk menghentikan therapy penopang
kehidupan atau ketika mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan akhir kehidupan. Pada sisi lain penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa peran yang pasif dari keluarga dalam proses pengambilan keputusan
berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap gejala kegelisahan dan
depresi. Dalam penelitian mengenai stress dalam pekerjaan proses
pengambilan keputusan akhir kehidupan yang banyak merupakan faktor resiko
dari sindrom kejenuhan.
Untuk saat ini praktek dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan
membawa stres dan ketegangan untuk semua yang terlibat. Proses ini
memberikan stres tetapi ada kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dari
pengambilan keputusan, termasuk pelatihan yang lebih baik terhadap pekerja
klinik untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Lauttre dkk dalam
Vincent JL (2010), memperlihatkan bahwa komunikasi pro aktif dan brosur
untuk keluarga dan pasien yang meninggal di ICU menurunkan beban
duka/kehilangan.
Perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika mengenai rekomendasi
perawatan akhir kehidupan merefleksikan keinginan masyarakat untuk
mendistribusikan hak dan tugas antara pasien, keluarga, dan petugas
kesehatan pada issue etika yang utama ini. Meningkatkan kualitas proses
pengambilan keputusan akhir kehidupan sangat penting untuk meningkatkan
kualitas perawatan akhir kehidupan dan untuk menurunkan konsekuensi yang
tidak diharapkan (ketidakpuasan, konflik, gejala, kegelisahan dan depresi,
sindrom kejenuhan). Dengan demikian proses pengambilan keputusan akhir
kehidupan bervariasi diantara negara-negara dalam bentuk harapan tetapi

20
juga dalam bentuk peran (keputusan atau konsultasi) dari dokter atau keluarga
(Vincent JL, 2010)
Biaya perawatan kesehatan yang tidak seimbang terjadi pada akhir
kehidupan. Sekitar satu pertiga dari biaya pada tahun terakhir kehidupan
dihabiskan pada bulan terakhir, dan sebagian besar dari biaya ini untuk
perawatan penopang kehidupan (ventilasi mekanik , dan resusitasi).
Pengobatan terminal mengambil 7,5% dari biaya semua pasien per tahun dan
sebagian besar dari biaya ini adalah untuk pelayanan ICU (Vincent, J.L.,
2010).

Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis dalam Merawat Klien dengan


Kondisi Terminal
Tempat praktek keperawatan kritis bervariasi yang didalamnya terdapat
pengelolaan untuk mengkoordinasikan perawatan klien yang membutuhkan
penilaian yang mendalam, terapi intensitas tinggi dan intervensi, dan
kewaspadaan keperawatan berkelanjutan. Perawat di unit perawatan kritis juga
berfungsi dalam berbagai peran dan tingkat, yaitu sebagai staf perawatan,
pendidik, dan perawat praktek lanjutan. Selain itu perawat di unit perawatan kritis
dianggap sebagai advokat dari klien (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ,,
2009).
- Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis Sebagai Advokat :
1. Mendukung hak klien atau pengganti untuk otonomi klien,
menginformasikan dalam pengambilan keputusan.
2. Intervensi yang dilakukan untuk mendukung kepentingan klien yang
terbaik
3. Membantu klien untuk mendapatkan perawatan yang diperlukannya
4. Menghormati nilai-nilai, kepercayaan dan klien
5. Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu klien dalam
membuat keputusan perawatan
6. Mendukung keputusan yang dibuat oleh klien.
7. Memfasilitasi klien yang tidak dapat berbicara sendiri.
8. Memonitor dan menjaga kualitas pelayanan

21
9. Bertindak sebagai penghubung antara klien, keluarga dan penyedia
layanan kesehatan.

- Kompetensi Perawat di Unit Perawatan Kritis


1. Memiliki penilaian, keterampilan dan penalaran klinis
2. Sebagai advokat dan moral agency ketika teridentifikasi ada masalah etik.
3. Perawatan yang diberikan dengan memperdulikan pada keunikan klien dan
keluarga
4. Kolaborasi dengan klien, anggota keluarga dan anggota tim perawatan
5. Sistem berpikir yang sesuai dengan perawatan holistik
6. Berespon terhadap keanekaragaman
7. Perawatan klinik dan adanya inovasi untuk mendapatkan hasil terbaik bagi
klien
8. Peran sebagai pendidik klien dan keluarga untuk memfasilitasi kebutuhan
belajar (Sole ,M.L, Klein, D.G, and Moseley, M.J., 2009).

Manajemen Kasus Klien Kondisi Terminal


Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, ikut
menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Keperawatan memberikan
konstribusi yang sangat besar terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai
satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif.
Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai “nursing services” dapat
diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari
sejak lahir sampai meningal dunia. Keperawatan kritis merupakan salah satu
spesialisasi dibidang keperawatan yang secara khusus menangani respon klien
terhadap masalah yang mengancam kehidupan.
Intensif care unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri (instalansi tersendiri dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan
perlengkapan yang khusus, ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi
klien-klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyulit-penyulit yang
mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. Saat ini pelayanan
intesif (ICU) di Rumah Sakit tidak terbatas pada pelayanan klien-klien pasca

22
bedah, atau klien yang membutuhkan ventilasi mekanik saja. Pelayanan yang
diberikan mencakup pemberian dukungan terhadap fungsi organ-organ vital
tubuh. Seluruh kegiatan pelayanan terhadap klien-klien di ICU dilakukan oleh
multidisiplin dan multi profesi, yaitu melibatkan profesi medic, perawat dan
non medic.
Untuk memberikan pelayanan tersebut diperlukan suatu
pengorganisasian yang baik, dimana fungsi pengorganisasian merupakan
proses mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui
penataan pola struktur, tugas, otoritas, tenaga kerja dan komunikasi. Salah satu
metode pengorganisasian yang dapat digunakan di ruang intensif dengan
kompleksitas kasus seperti pada klien dengan penyakit terminal adalah case
management adalah pelayanan dengan mengintegrasikan layanan kesehatan
untuk klien secara individu atau kelompok yang dilakukan oleh tim kesehatan
secara interdisiplin untuk tanggung jawab secara kolaboratif dalam kajian
kebutuhan klien , menetapkan rencana tindakan – implementasi – evaluasi,
dari saat klien diterima, dirujuk dan atau dipulangkan (Powell SK, 2000).
Untuk mengelola kasus dalam case manajemen diperlukan, pertama
seorang case manager untuk menjalankan fungsi koordinasi dan kolaborasi
yang diperlukan. Kedua Critical/clinical pathway sebagai panduan alur
penanganan klien secara terintegrasi dari mulai klien datang sampai dengan
klien pulang. Dan ketiga tak kalah pentingnya adalah diperlukannya forum
komunikasi-koordinasi yang melibatkan seluruh profesi kesehatan untuk
membahas kasus klien yang ditangani.
Pelaksanaan asuhan keperawatan yang menggunakan case management
diperlukan kolabolasi interdisiplin, protocol terstruktur dalam perencanaan
perawatan multidisipliner yang detail, langkah-langkah penting dalam
perawatan klien dengan masalah klinis tertentu dan menggambarkan kemajuan
yang diharapkan klien. Integrated Care Pathways/Clinical Pathways adalah
suatu outline atau rencana praktis klinis yang diantisipasi untuk sekelompok
klien dengan diagnosis tertentu atau berdasarkan kumpulan gejala yang
merupakan panduan multidisiplin dari rencana perawatan klien menuju tujuan
yang diinginkan (Powell, S.K; 2000, CMSA; 2010).

23
Manajer Kasus/ Case Manajer di rumah sakit adalah seorang perawat
terdaftar (Registered Nurse) bertanggung jawab untuk mengawasi perawatan
klien di rumah sakit. Case manager ini dilatih khusus dalam mengevaluasi
dan merawat klien dengan penyakit kondisi terminal, dan keluarganya.
Perawat Case Manajer apakar dalam mengenali dan mengevaluasi gejala dan
bekerja sama dengan dokter, rumah sakit untuk mengobati gejala dan
meningkatkan kenyamanan klien
Seorang Case Manajer memberikan dukungan emosional dan praktis
baik untuk klien dan keluarga, memberikan pendidikan kesehatan. Perawat
manajer kasus harus memiliki komunikasi yang baik, keterampilan
manajemen waktu, dan nyaman dalam merawat klien yang menjalani proses
akhir hidup. Di sini mereka harus berbelas kasih dan sabar dan menghormati
perbedaan unik dari klien, mengawasi perawatan kesehatan di rumah sakit
atau di rumah dan mampu bekerja sama dengan tenaga sosial, pendeta, dan
relawan untuk mengkoordinasikan perawatan fisik, emosional, dan spiritual
klien dan keluarga (Morrow, A. 2010).

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


A. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengalaman
perawatan klien kondisi terminal akut miokard infark (killip II, III) yang dirawat
di unit intensif (CICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dari dimensi fisik,
psikologis, sosial dan spiritual.

B. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini akan memberikan:
- Untuk Profesi
Memberikan informasi mengenai pengalaman klien dengan
penyakit dalam kondisi terminal khususnya akut miokard infark dari
dimensi fisik, psikologis, sosial ekonomi termasuk budaya dan dimensi
spiritual sehingga memberikan arah atau panduan dalam melakukan

24
tindakan pengkajian dan perencanaan dari asuhan keperawatan pada klien
kondisi terminal akut miokard infark secara holistik di area keperawatan
kritis.
- Untuk Institusi Pendidikan
Memberikan informasi tambahan bagi dosen dan peserta didik
tentang kebutuhan asuhan keperawatan klien dengan penyakit dalam
kondisi terminal di lingkup area keperawatan kritis.

4. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif
phenomenologi. Penelitian kualitatif berkaitan dengan pengalaman, pendapat dan
perasaan individu (Hancock B, 2002). Tujuan dari metode deskriptif kualitatif
untuk mempelajari fenomena intensif, menemukan pola dan tema tentang
peristiwa hidup ketika peneliti memiliki pertanyaan spesifik mengenai fenomena.
Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk
menggali pengalaman individu selama dirawat di ruang intensif dimana diberikan
pelayanan intensif, seperti pemantauan hemodinamik secara ketat.
Teknik pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian kualitatif
ini adalah purposive yaitu pengambilan informan sumber data dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini informan adalah
seluruh klien kondisi terminal dimana penyakit yang tidak dapat
disembuhkan/pulih kembali dan dapat menyebabkan kematian.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah klien kondisi terminal infark
miokard, dengan kriteria
a. Klien kondisi terminal di sini adalah klien dengan penyakit jantung yaitu infark
miokard akut killip II dan III.
b. Di rawat di unit intensif: CICU dan HCCU
c. Telah diperkenankan untuk pulang ke rumah oleh dokter penanggung jawabnya
d. Mampu berkomunikasi dengan baik
e. Bersedia menjadi informan
f. Kooperatif

25
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
a. Klien kondisi terminal infark miokard akut Killip I ketika masuk dan Killip IV
ketika diwawancarai.
b. Klien yang tidak dirawat di unit intensif: CICU dan HCCU
c. Tidak mampu berkomunikasi; berbicara
Dalam penelitian ini jumlah informan yang diambil adalah 10 orang
informan klien.

Prosedur dan Cara Pengumpulan Data


- Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai setelah memperoleh ijin dari pihak yang
berwenang di tempat penelitian. Kemudian penentuan informan sesuai dengan
kriteria penelitian yaitu klien dengan infark miokard killip II, III dan telah
dinyatakan boleh pulang oleh dokter penanggung jawab. Sebelum memulai
wawancara peneliti melakukan pengamatan lingkungan dan perilaku informan.
Setelah meneliti perilakunya, peneliti membina hubungan saling percaya dengan
informan.
Peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan maksud
dan tujuan dari penelitian. Setelah calon informan memahami tujuan dari
penelitian yang akan dilakukan dan memahami hak-hak mereka sebagai informan,
selanjutnya peneliti meminta informan untuk menandatangi surat ketersediaan
berpartisipasi atau informed consent. Kemudian peneliti membuat kontrak waktu
pelaksanaan wawancara yang disesuaikan dengan kondisi dan kesediaan klien.
Peneliti menyiapkan panduan topik atau guidelinenya dan wawancara di
ruang rawat intensive (CICU). Wawancara dilakukan dengan lamanya waktu 1
jam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi klien, sesuai kontrak yang telah
disepakati. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan MP4 dan digunakan
lembar observasi untuk memvalidasi kebutuhan klien dengan kondisi penyakit
terminal, dan bila ada kejadian-kejadian yang di luar kebiasaan dibuat dalam
catatan kronologis.

26
- Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik
wawancara dan pengamatan. Lofland dan Lofland (1984) dalam Bagoes (2004)
mengatakan sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan dari orang-orang yang diamati dan diwawancarai, jadi selain itu
dilakukan observasi atas perilaku, tindakan non verbal dari informan. Teknik ini
juga merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan
bertanya. Melalui teknik ini peneliti berusaha menggali informasi pada klien
dengan penyakit terminal tentang pengalaman perawatan selama di rawat di ruang
intensif.
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu
yang berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis sebagai pedoman untuk wawancara,
buku catatan, dan MP4 untuk merekam wawancara antara peneliti dengan
informan.
Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang digunakan dalam
wawancara ini adalah:
1) Membina hubungan baik.
Hal ini sangat penting dalam penelitian dan dapat terjalin bila telah ada
rasa saling percaya antara pewawancara dengan partisipan. Untuk menjalin
rasa percaya, peneliti mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan
menggunakan bahasa sederhana, mulai dari permasalahan yang sesuai dengan
kondisi informan/partisipan, menciptakan suasana yang dekat dan santai yang
tetap berpegang pada nilai dan kode etik.
2) Keterampilan Sosial
Wawancara didukung dengan keterampilan sosial yang memadai.
Peneliti bersikap sopan, ramah dan berpakaian yang pantas/rapi. Di sini peneliti
dituntut untuk responsif dan sensitif terhadap kebutuhan klien, perlu
keterbukaan dan mempertahankan kontak mata dengan partisipan.
3) Mencatat dan merekam dengan menggunakan alat recording
Sebelum proses wawancara peneliti sebelumnya mengobservasi kondisi
klien, memperkenalkan diri dan membuat kontrak untuk dilakukan wawancara.

27
Wawancara informan klien dilakukan di tempat tidur klien, dengan posisi
duduk. Klien duduk bersandar pada bantal atau duduk dengan punggung tegak.

- Analisa Data dan Keandalan Hasil Penelitian


Untuk analisis data pada penelitian kualitatif adalah penentuan tema dari
hasil wawancara.
Menentukan Tema atau Interpretasi
1) Transkripsi/Menyalin data kualitatif
Transkripsi adalah prosedur untuk menghasilkan versi tertulis dari
wawancara. Ini adalah sebuah "script" penuh wawancara. Transkripsi
adalah proses yang memakan waktu. Hal ini juga menghasilkan banyak
teks yang ditulis sebagai hasil dari wawancara yang sudah dilakukan.
Untuk catatan hasil pengamatan/observasi dibuat catatan lapangan
(field note) sesuai dengan respon yang diperlihatkan dari setiap jawaban
pertanyaan atau pernyataan yang dibuat oleh klien. Kemudian catatan ini
dikelompokkan sesuai dengan pernyataan yang dibuat informan. Bila ada
catatan kronologis bisa disatukan untuk melengkapi data yang
dikumpulkan. (Hancock B, 2002., Maleong LJ, 2010)
Proses dasar untuk menganalisa data kualitatif adalah dimulai dengan
memberi label atau kode/coding dari setiap item informasi sehingga kita
dapat mengenal perbedaan dan persamaan antara semua item yang
berbeda. Peneliti kualitatif tidak memiliki sistem untuk pra coding
sehingga membutuhkan sebuah metode untuk mengidentifkasi dan
memberi label item-item data yang muncul di dalam teks dari transkrip
sehingga semua item-item data dalam 1 interview dapat dibandingkan
dengan data yang dikumpulkan dengan dari interview-interview yang
lain.Hal ini membutuhkan sebuah proses yang disebut analysis conten dan
prosedur dasarnya digambarkan di bawah ini. Prosedurnya sama apakah
data kualitatif telah dikumpulkan melalui interview, grup fokus, observasi
atau analisa dokumentary karena berkaitan dengan menganalisa teks.
Metode yang digunakan untuk menganalisis tema adalah dengan
melakukan content analysis. Data ditampilkan dalam bentuk narasi,

28
informasi tersusun sesuai dengan urutan partisipan sehingga mudah untuk
diamati. Dari tema umum yang didapatkan selanjutnya dianalisis
berdasarkan teori dan konsep yang relevan dan diinterpretasikan.

Content Analysis
Analisis conten melibatkan coding dan mengelompokkan data. Hal ini
untuk mengidentifikasi dari transkrip data dan untuk memilah-milah pesan
penting yang tersembunyi di setiap wawancara. Prosedur ini melibatkan
serangkaian langkah, sebagai berikut:
(1) Mengambil salinan transkrip dan membacanya. Bila melihat sesuatu yang
berisi informasi yang menarik atau relevan, dibuat catatan singkat di marjin
tentang sifat informasi.
(2) Melihat melalui catatan margin dan membuat daftar berbagai jenis informasi
yang telah ditemukan. Jika transkrip tersebut diketik, cara yang lebih cepat
untuk melakukan ini adalah dengan menyorot setiap item data, menyalin dan
menyisipkan ke daftar (salinan asli dari seluruh transkrip dalam file
tersendiri)
(3) Sekarang telah ada daftar item yang disarikan dari teks. Membaca daftar item
data dan mengkategorikan masing-masing item dengan yang
menggambarkan tentang sesuatu. Disini akan digunakan beberapa kategori
karena beberapa item data mengacu pada topik yang sama. Pada tahap ini
dikategorikan sebanyak yang dibutuhkan dan jangan memasukkan sesuatu ke
dalam kategori yang sama dengan item sebelumnya, bahkan jika menduga
adanya kemungkinan mengidentifikasi kategori baru. Jumlah kategori dapat
dikurangi nanti.
(4) Sekarang melihat daftar kategori telah teridentifikasi dari transkrip dan
pertimbangkan apakah beberapa kategori yang mungkin dapat dihubungkan
dalam beberapa kategori saja. Jika demikian, bisa dibuat daftar sebagai
kategori utama kategori yang lebih kecil sebagai kategori kecil. Beberapa
buku teks mengacu pada kategori utama sebagai tema.

29
(5) Melihat melalui daftar kategori besar dan kecil. Ketika melakukannya,
dibandingkan dan mungkin beberapa kategori kecil lebih baik masuk ke
dalam kategori alternatif.
(6) Untuk transkrip berikutnya, diulangi proses dari tahap 1 - 5. Ketika
mengidentifikasi transkrip kedua dan selanjutnya, akan terus teridentifikasi
kategori baru informasi tetapi akan menemukan kenyataan bahwa item data
yang ditemukan sebagai bagian dari sebuah kategori yang sebelumnya
diidentifikasi. Akhirnya, tidak akan ditemukan kategori baru dan menemukan
bahwa semua item informasi yang relevan dan menarik dapat ditampung
dalam kategori yang ada. Bisa menggunakan warna-warna tersendiri untuk
setiap kategori, tetapi penting untuk menyimpan transkrip asli yang masih
bersih.
(7) Mengumpulkan semua transkrip dari hasil wawancara, ambil satu kategori
yang memiliki beberapa hubungan satu sama lain. Periksa setiap kategori
apakah memiliki kesamaan atau ada kategori yang tampak seolah-olah tidak
cocok dan benar-benar termasuk dalam kategori yang berbeda.
(8) Ketika semua data transkrip relevan telah disortir ke dalam kategori kecil dan
besar, dilihat kembali data yang terdapat dalam setiap kategori. Ketika
meninjau data dalam sistem kategorisasi yang telah dikembangkan dapat
diputuskan untuk memindahkan beberapa item data dari satu kategori ke
kategori lain. Atau dapat diputuskan informasi yang ada di kategori yang
tepat, "tempat yang tepat", dalam hal ini istilah yang digunakan untuk nama
atau menggambarkan kategori tidak akurat.
(9) Setelah mengurutkan semua kategori dan yakin bahwa semua item data
dalam kategori yang tepat, lihat kisaran kategori untuk melihat apakah dua
atau lebih kategori tampaknya cocok. Jika demikian maka dapat membentuk
suatu tema yang penting dalam riset .
(10) Melihat kembali salinan asli dari transkrip, lihatlah teks yang tampaknya
tidak relevan pada saat itu. Sekarang telah memiliki tema, kategori utama
dan kategori kecil yang telah diurutkan, pertimbangkan apakah ada data
yang sebelumnya tidak relevan dan harus disertakan dalam hasil .

30
Proses conten analisis melibatkan dan terus meninjau kembali data dan
meninjau kategorisasi data sampai peneliti yakin bahwa tema dan kategori yang
digunakan untuk meringkas dan menggambarkan penemuan adalah suatu refleksi
jujur dan akurat dari data. Setelah menentukan tema yang muncul dari hasil
wawancara dengan informan, peneliti kemudian melakukan validasi data kepada
informan untuk meminta klarifikasinya bila hal ini memungkinkan (pindah ruang
rawat atau klien telah meninggal). Hasil klarifikasi tersebut dikonsultasikan
dengan dosen pembimbing. Klarifikasi yang muncul dikatakan valid apabila tema
tersebut telah dianalisa dan disetujui oleh dosen pembimbing. Kemudian
melakukan sintesis terhadap pernyataan-pernyataan yang ada, agar data tidak
bertolak belakang dengan isi transkrip yang ada. Tahap terakhir adalah membuat
laporan tertulis.
- Keandalan Data (Trustworthiness)
Agar hasil penelitian mempunyai keabsahan dan kekuatan ilmiah, peneliti
berpatokan pada keandalan data (audability), dan kepastian atau konfirmasi ulang
data (confirmability). Secara operasional keandalan data dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan data yang akurat dan berulang.
Untuk mendapat keabsahan (trustworthness) diperlukan tehnik
pemeriksaan atas sejumlah kriteria tertentu. Credibility, Transferability,
Dependability serta Confirmability (Moleong, 2004).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan data dilakukan pada 10 orang informan klien infark miokard


akut yang memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan melalui wawancara mendalam (indepth
interview).
Secara umum, peneliti menyediakan ruang bagi jawaban informan selama
wawancara, pertanyaan juga disesuaikan dengan karakter, situasi dan kondisi
informan yang berbeda-beda. Pada umumnya wawancara berlangsung selama 60
menit, dengan pembagian waktu yaitu 5 menit pertama membuka percakapan dan

31
mengungkapkan maksud dan tujuan wawancara. Untuk proses wawancara
dibutuhkan rata-rata sekitar 45 - 55 menit untuk mengungkapkan apa yang
dirasakan dan dibutuhkan oleh klien dan keluarga selama di rawat di Ruang
Intensif Khusus Jantung. Pada 5 menit terakhir untuk mengakhiri proses
wawancara dan ditutup dengan ucapan terima kasih atas kesediaan informan
untuk diwawancarai dan melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya.
Selama wawancara, peneliti berusaha menggali data sesuai topik yang
telah ditentukan dengan tetap memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
proses wawancara. Hal ini diantisipasi dengan memberikan informasi sebelumnya
mengenai maksud dan tujuan penelitian. Saat wawancara berlangsung peneliti
bersikap empati, akrab dan profesional, tidak mempengaruhi jawaban informan
dan mencatat waktu dan respon non verbal yang ditunjukan oleh informan.
Meskipun pada saat wawancara masing-masing informan menceritakan kjadian
dengan berbagai gaya bahasa, ekspresi wajah dan intonasi suara yang berbeda-
beda, namun secara mendasar, hasil wawancara telah mencakup apa yang menjadi
tujuan penelitian ini.
Kemudian setelah data terkumpul, data dianalisa dengan menghubungkan
pernyataan informan dalam bentuk matriks dan diinterpretasikan untuk masing-
masing data. Selama proses analisa, peneliti mereduksi data yang terkumpul tanpa
mengurangi makna yang terkandung.

A. Karakteristik Informan
1) Informan I
Tn. E berusia 42 tahun, beragama Islam, tinggal di Bandung. Beliau
bekerja di perusahaan MLM sebagai marketing yang tidak mempunyai gaji tetap
setiap bulannya. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA),
memiliki dua orang anak yang pertama baru kelas 6 SD, yang kedua baru 2 tahun.
Klien sedang menjalani perawatan di Ruang Intensif Khusus Jantung dan
ini merupakan serangan pertama. Klien masuk ke RS melalui Unit Gawat
Darurat (UGD) kemudian di rawat di Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan
diagnosa medis CAD Stemi Inferior, Posterior, Anterior luas Killip III, setelah 5
hari di rawat dan kondisinya sudah mulai stabil klien dipindahkan ke ruang rawat

32
inap High Care Cardiac Unit (HCCU) dan telah dirawat selama 3 hari. Selama
sakit klien menggunakan fasilitas GAKINDA, saat ini klien dalam proses
mengurus kepulangannya dari rumah sakit.
Riwayat kesehatan klien diketahui telah menderita hipertensi selama 10
tahun dengan angka tertinggi di 160/? mmHg, tidak pernah kontrol, riwayat
merokok 2 bungkus/hari sudah dijalani dari 20 tahun yang lalu. Selama
wawancara berlangsung Tn. E sangat terbuka dalam menjawab semua pertanyaan
yang diberikan dan selama proses wawancara Tn. E tampak menitikkan air mata
mengingat kondisi kesehatannya saat ini.
2) Informan II
Tn. N berusia 51 tahun, beragama Islam, dari suku Jawa, pendidikan
terakhir Strata I, klien tinggal di Purwakarta dan klien memiliki 2 orang anak,
sudah selesai kuliah tetapi belum bekerja dan ada yang masih kuliah.. Ini
merupakan pengalaman dan serangan pertama. Klien bekerja sebagai karyawan
swasta dan menggunakan fasilitas Jamsostek sebagai asuransi kesehatannya.
Klien di rawat di ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) selama 5 hari,
klien masuk rumah sakit melalui UGD dan di diagnosa STEMI Anteroseptal
Killip III. Saat ini klien dirawat di ruang rawat biasa (penyakit dalam) dan sudah
diperbolehkan pulang.
Riwayat Kesehatan klien menderita hipertensi sejak 15 tahun yang lalu,
terkontrol, dan tidak merokok serta minum kopi, tidak pernah makan daging-
dagingan. Klien menyadari bahwa dirinya mempunyai resiko terkena penyakit
jantung koroner sehingga menjaganya jangan sampai terjadi. Ketika wawancara
klien menjawab semua pertanyaan dengan terbuka dan penyakit ini menjadi bahan
introspeksi dirinya menjalani kehidupan, sehingga menyebabkan dirinya lebih
dekat pada sang Pencipta.
3) Informan III
Tn. A seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) golongan II, berusia
66 tahun, beragama Islam dari suku Sunda. Selama sakit klien menggunakan
asuransi kesehatan (ASKES PNS). Klien memiliki 4 orang anak, 3 orang telah
menikah dan 1 orang anak masih sekolah di tingkat SMA. Walaupun telah

33
pensiun, klien memiliki kegiatan lain di paguyuban seni sunda dan aktif dalam
organisasi masyarakat di desa.
Sakit ini merupakan serangan dan pengalaman pertama bagi klien. Klien
masuk melalui UGD dan di rawat di HCCU dan telah dirawat 4 hari. Klien
didiagnosa CAD NSTEMI, Interior Inferior Killip II. Klien tidak merokok, tidak
memilki riwayat hipertensi, relatif sehat dan baru pertama ini dirawat di RS.
Dalam proses wawancara klien menjadikan ini ajang mencurahkan
masalah yang dihadapinya, klien menangis karena masalah yang dihadapinya,
meratapi nasibnya setelah klien tenang baru proses wawancara dimulai dan klien
terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan.

4) Informan IV
Tn.C, usia 41tahun, beragama Islam, besar di tatar sunda, pendidikan
terakhir SMA dan bekerja di Kebun Binatang Bandung, klien bertanggung jawab
mengurus harimau. Hal ini menimbulkan stres tersendiri bagi Tn.C. Selama di
rawat klien menggunakan fisilitas asuransi kesehatan GAKINDA.
Klien masuk rumah sakit melalui UGD dan dirawat di Cardiac Intensif
Care Unit (CICU). Klien didiagnosa CAD STEMI Anterior luas Killip II, klien di
rawat di CICU selama 5 hari dan pindah ke ruang rawat inap biasa.
Riwayat kesehatan klien hanya mengalami sakit ringan seperti ISPA dan
tidak pernah di rawat di RS. Klien merokok 2 bungkus sehari , merokok sejak 20
tahun yang lalu, klien tidak pernah memeriksakan kesehatannya sehingga ini
merupakan pengalaman dan serangan pertama klien dan harus dirawat di unit
intensif. Selama sakit klien menggunakan fasilitias GAKINDA. Selama
wawancara klien terbuka menjawab pertanyaan yang diajukan.
5) Informan V
Klien Ny. E, seorang pensiunan Kepala Sekolah, berusia 71 tahun,
beragama Islam, suku Sunda. Suaminya telah meninggal 3 tahun yang lalu.
Memiliki 4 orang anak yang telah dewasa. Klien menggunakan fasilitas ASKES
selama perawatan di RS.
Klien sudah 16 tahun mempunyai penyakit jantung koroner. Klien masuk
ke rumah sakit melalui UGD dan di rawat di unit intensif Cardiac Intensif Care

34
Unit (CICU), dengan diagnosa medis CAD recent STEMI Anterior Killip II, AMI
Inferior, dengan hipertensi.
Riwayat kesehatan menurut penuturan klien, pertama kali di rawat tahun
1995 dan baru diketahui klien memiliki hipertensi, kemudian kambuh kembali
tahun 2009. Di tahun 2009 klien dinyatakan harus dilakukan tindakan
pemasangan stent tetapi klien menolak baru tahun 2011 akhirnya klien bersedia
dilakukan pemasangan stent. Selama di rawat klien menggunakan ASKES PNS.
Selama proses wawancara Ny.E sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang
diajukan terhadap dirinya. Ny.E telah mempersiapkan segala sesuatunya bila
meninggal karena penyakitnya.
6) Informan VI
Ny. H, usia 68 tahun, beragama Islam, suku Jawa, seorang ibu rumah
tangga. Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis dan dinyatakan harus
dirawat dengan diagnosa medis CAD STEMI Anterior, Inferior Killip II
kemudian di rawat di ruang HCCU. Ini merupakan pengalaman pertama klien di
rawat di unit intensif khusus jantung.
Riwayat kesehatan menurut penuturan klien, memiliki penyakit hipertensi
sudah lebih dari 25 tahun, rutin kontrol, tidak merokok. Selain itu klien juga
memilki penyakit gastritis, dan rutin berobat. Selama sakit klien menggunakan
ASKES PNS. Selama wawancara klien kooperatif dan terbuka menjawab semua
pertanyaan yang diajukan terhadapnya.
7) Informan VII
Tn.J berumur 51 tahun, beragama Islam, suku Sunda, seorang PNS di
Departemen Kehutanan, pendidikan terakhir Strata I. Memiliki 2 orang anak, yang
pertama perempuan telah menikah, yang kedua laki-laki masih sekolah di SMP.
Selama sakit menggunakan fasilitas ASKES PNS.
Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis dan telah menderita
penyakit jantung koroner selama 7 tahun. Klien di rawat di Cardiac Intensif Care
Unit (CICU) dengan diagnosa medis adalah CAD STEMI Anterior Inferior
Killip II. Klien akan dipasang ring tetapi ternyata kondisinya tidak
memungkinkan dan mengharuskan klien untuk operasi dan klien dirujuk ke rumah
sakit yang lebih besar.

35
Riwayat kesehatan dari penuturan klien diketahui klien menderita diabetes
melitus sejak 3 tahun yang lalu, tetapi klien tidak meminum obat, pernah diberi
insulin 1 tahun tetapi kemudian berhenti dan tidak pernah kontrol. Selama
wawancara klien sangat terbuka dan menjawab pertanyaan yang diajukan, klien
tampak kesal dan mengaku bosan menunggu dokter memeriksa hanya untuk
mengatakan dirinya boleh pulang.

8) Informan VIII
Tn. E berumur 48 tahun, beragama Islam, dari suku Sunda. Pendidikan
klien dari SMA dan tidak memilki pekerjaan tetap. Klien memilki 5 orang anak,
yang pertama perempuan masih kuliah, yang kedua laki-laki telah bekerja, yang
ketiga masih SMP, ke empat SD dan yang ke lima masih di 4 Tahun.
Klien masuk ke rumah sakit melalui UGD dan diharuskan dirawat dengan
diagnosa medis CAD STEMI LBBB Killip II. Sebelumnya klien di rawat di ruang
Cardiac Intensif Care Unit selama 5 hari kemudian pindah ke ruang HCCU. Klien
menggunakan fasilitas GAKINDA selama dirawat di RS.
Sebelumnya terdapat riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, tetapi
tidak pernah kontrol, tekanan darah paling tinggi yang dialami adalah 180/??
mmHg. Selama ini klien tidak pernah sakit dan dirawat, ini merupakan serangan
dan pengalaman pertama klien di rawat di ruang intensif khusus jantung. Selama
proses wawancara klien terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan pada
dirinya, dan berulang kali mengatakan bahwa penyakit ini harus diterima tidak
ada yang menginginkannya, harus diterima bagaimana lagi.
9) Informan IX
Tn. S (54 tahun), beragama Islam dari suku Sunda, pendidikan terakhir
Strata I, bekerja sebagai guru di SMK Negeri di Bandung. Klien memilki 4 orang
anak, 2 orang telah dewasa dan menikah, yang satu masih SMA dan yang paling
kecil masih kelas 5 di SD. Selama sakit klien menggunakan fasilitas ASKES PNS.
Ini adalah sakitnya yang kedua di rawat di unit intensif khusus jantung
karena serangan pertama terjadi di bulan November 2010 dan baru sekarang
kambuh lagi. Sebelumnya klien telah dipasang ring di pembuluh darah jantung

36
kanan 3 buah, dan 3 buah di pembuluh darah jantung kiri. Klien masuk karena
nyeri dada berulang dan di rawat di ruang HCCU.
Ketika wawancara klien masih tampak cemas terutama bila ada suara
bising, baik suara orang ataupun suara barang jatuh membuat klien menjadi
cemas, klien juga selalu berpegangan tangan dengan istrinya. Tetapi klien sangat
terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan terhadap dirinya.

10) Informan X
Tn. Tj berusia 59 tahun seorang pensiunan PNS, pendidikan terakhir
Strata I, beragama Islam, dari suku Jawa. Memiliki 3 orang anak, yang pertama
mengalami retardasi mental, yang kedua sudah bekerja dan yang ketiga masih
kuliah.
Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis kemudian di rawat di
ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan diagnosa medis CAD NSTEMI
Anterior Killip II. Klien memakai fasilitas asuransi kesehatan ASKES PNS.
Klien telah di pasang stent 3 buah, dan berharap penyakitnya bisa sembuh total.
Selama proses wawancara klien sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang
diajukan terhadap dirinya.

HASIL

Berikut adalah hasil dari wawancara dari 10 orang informan klien dengan
kondisi terminal ; infark miokard akut yang dirawat di unit intensif RSHS
Bandung dan keluarganya

A. Dimensi Fisik

Untuk dimensi fisik, pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang


informan meliputi nyeri dada dan sesak nafas,
- Nyeri dada
Seluruh informan menyatakan merasakan nyeri dada seperti ditindih benda berat
di area sebelah kiri menjalar ke leher dan tangan kiri. Beberapa informan

37
menyatakan nyeri yang dirasakan tidak tertahankan, nyeri berat, rasa nyeri ini
disertai rasa sesak. Dari 10 informan yang diwawancara seluruh informan
menyatakan nyeri dada yang disertai sesak. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan
informan sebagai berikut:

Informan I:

“Nyeri dada yang sangat, rasanya panas seperti minum air mendidih, panas,
dada seperti mau meledak…..”

Informan II:

“Sakit (sambil meraba dada) menjalar ke leher, punggung,…..”

- Sesak nafas
Nyeri dada yang dirasakan disertai rasa sesak yang dirasakan seperti terputus-
putus, tersengal-sengal.

Informan I:

“ …….dada seperti ditindih benda berat, dan susah bernafas.”

Informan II:

“…….tarik nafas biasa tidak terlalu sakit, tapi kalau tarik nafas dalam sakit
sekali, keluar keringat dingin, sesak nafas….”

Dari 10 orang informan yang diwawancarai, 3 diantaranya menyatakan


bahwa gejala fisik yang timbul disertai munculnya keringat dingin. 2 orang
informan menyatakan disertai rasa lemas dan 1 orang informan disertai dengan
muntah-muntah.

B. Dimensi Psikologis

38
Hasil wawancara yang didapatkan untuk dimensi psikologis pengalaman
perawatan yang terungkap dari 10 orang informan meliputi ketidakpastian
menghadapi masa depan dan tidak berdaya

- Tidak berdaya
Dari 10 orang informan yang diwawancarai, seluruhnya menyatakan adanya rasa
tidak berdaya, seperti yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut:

Informan II:
“ nyawa saya seperti sudah di leher, sudah tidak berdaya.”

Informan IV:

“saya tidak bisa apa-apa, mau berteriak juga suaranya tidak keluar.”

- Ketidakpastian menghadapi masa depan


Dari 10 orang informan, 9 diantaranya menyatakan bahwa dengan kondisinya
seperti sekarang ini mereka merasakan adanya ketidakpastian dalam menghadapi
masa depan. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan informan berikut ini:

Informan I:

“saya menangis bila ingat diri saya, di usia sekarang ini, harapan ke depan
sepertinya jauh, benar-benar jauh. Bila saya tidak hati-hati, tidak menjaga
mungkin saya tidak akan bertemu anak saya yang ke dua lulus SD, setiap saat
nyawa bisa menjemput saya, karena saya sudah punya faktornya.”

“………fisik, pribadi saya sudah tidak kuat, apakah saya mampu membahagiakan
mereka.”

Informan VI:

“katanya ini penyakit berat, pembunuh sekaligus…..saya belum tau mau


ngapain.”

39
C. Dimensi Sosial
Untuk dimensi sosial, pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang
informan terdapat beberapa tema yaitu: tidak dapat ditemani keluarga, pesan
kelangsungan hidup keluarga, biaya besar untuk berobat.
- Tidak dapat ditemani keluarga
Dari 10 orang informan yang diwawancara 8 orang informan menyatakan
bahwa dirinya ingin berada di dekat keluarganya seperti anak, istri dan orangtua.
Berikut adalah pernyataan informan

Informan I:

“saya merasa terbebani, batin saya menderita tidak dapat bertemu dengan
anak…..”
“ keluarga tidak boleh menunggu, saya hanya bisa menangis…”

Informan IX:
“saya inginnya ditemani sama istri tapi tidak boleh, tadinya biar ada
ketenangan kalau ada istri di sini, memberikan dorongan, ketenangan batin.”

- Pesan kelangsungan hidup keluarga


Dari 10 orang informan yang diwawancarai, 9 orang informan menyatakan
bahwa mereka berpesan pada keluarganya untuk kelangsungan hidup anak dan
istrinya. Berikut pernyataan informan

Informan I:

“Pada saat kejadian saya sudah nitipin anak, istri saya ke adik sya,
karena saya umur nggak panjang….”

Informan II:
Saya sudah berpesan titip anak-anak sama ibunya, tidak inget apa-apa
yang diinget anak-anak jaga.”

- Biaya besar untuk berobat


Dari 10 orang informan yang diwawancarai 9 diantaranya menyatakan bahwa
mereka memerlukan biaya besar untuk berobat. Hal ini dapat terlihat dari
pernyataan informan berikut ini.

40
Informan I:
“Saya membutuhkan biaya besar untuk berobat padahal anak-anak harus
sekolah”

Informan VII:
“Sebetulnya saya paling pikirkan itu biaya, walaupun pake askes, tetep aja
biayanya besar, udah 2 rumah sakit juga sudah habis berapa.”

D. Dimensi Spiritual
Hasil wawancara yang didapatkan untuk dimensi spiritual pengalaman perawatan
yang terungkap dari 10 orang informan meliputi ketakutan akan kematian,
kesulitan melaksanakan ibadah (sholat).
- Ketakutan akan kematian
Hasil wawancara yang dilakukan pada 10 orang informan, seluruhnya
menyatakan akan ketakutannya dalam menghadapi kematian. Hal ini dapat terlihat
dari beberapa pernyataan di bawah ini:

Informan XI:
“saya ada kecemasan bila ditinggal sendirian, suka takut pas lagi kambuh gak
ada orang, takut meninggal gak ada orang di samping sa
Informan X:
” Pasti, pasti ada ketakutan ingatnya ke hal yang jelek, takut terjadi kambuh lagi
karena kan manusia biasa, bukan kita tidak mau berumur panjang tapi kalau
allah sudah berkehendak apa daya.”

- Kesulitan melaksanakan ibadah (sholat)


Hasil wawancara dengan 10 orang informan yang diwawancarai, seluruhnya
menyatakan bahwa mereka kesulitan melaksanakan ibadah sholat. Hal ini terlihat
dari pernyataan informan berikut.

Informan 6:
“gimana ya saya sih ya begini aja sholatnya, susah juga, soalnya gak pakai
mukena, ya akhirnya cuma bisa berdoa aja.”

Informan 7:
“saya sendiri bingung, waktu sholat gak tahu, mau tayamum gimana kalau gak
tau waktu sholat….”

41
PEMBAHASAN

Pada sub bab ini akan dibahas hasil dari penelitian ini berdasarkan pada
literature penelitian-penelitian sebelumnya dan evidence base berdasarkan pada
hasil penelitian dilihat dari dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual.
Dimensi fisik
Pada dimensi fisik ini pengalaman perawatan klien kondisi terminal akut
miokard infark yang sedang di rawat di ruang intensif dari seluruh informan yang
diwawancara didapatkan tema penelitian nyeri dada dan sesak nafas. Nyeri dada
yang dirasakan tidak tertahan sehingga menyebabkan mereka mencari
pertolongan. Nyeri dada diakibatkan oleh kurangnya suplay oksigen ke Koroner
akibat Aterosklerosis atau penyumbatan total pada arteri oleh emboli atau
trombus, sehingga terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan terjadinya
peningkatan asam laktat. Hal ini kemudian akan meningkatkan produksi hormon
prostatglandin dan bradikinin, ini akan merangsang aktifitas reseptor nyeri pada
ujung-ujung saraf bebas, kemudian dihantarkan ke cornuposterior medula spinalis
dan diteruskan ke cortek cerebri, sehingga nyeri dirasakan.
Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar ke leher,
rahang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien aktif atau istirahat.
Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan tidak hilang dengan
istirahat atau pemberian terapi nitrat (Brunner dan Suddath, 2001).
Rasa nyeri yang timbul akibat adanya nekrosis di jaringan miokard bila tidak
ditangani dengan segera akan menyebabkan jaringan miokard yang rusak akan
luas, hal ini akan berpengaruh terhadap stroke volume, cardiac output, hearth rate,
yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan hemodinamik.
Bila semakin luas jaringan miokard yang mengalami infark, akan
menyebabkan terjadinya bendungan di vena pulmonal. Hal ini mengakibatkan
tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan osmotik koloid, sehingga
akhirnya cairan shift ke interstitial, yang dimanifestasikan dengan adanya edema
pulmonal yang ditandai dengan adanya bunyi ronchi di area paru-paru, hal ini
telah dinyatakan dengan jelas dalam Killip. Pada kondisi ini pasien akan

42
merasakan sesak ditambah dengan adanya nyeri menyebabkan pasien menjadi
sulit bernafas.

Dimensi Psikologis
Pada dimensi ini dari hasil wawancara dengan informan, didapatkan 2
tema penelitian yaitu rasa tidak berdaya dan ketidakpastian menghadapi masa
depan. Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard
infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon
pertama menurut Glaser (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang
penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya
semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Bila melihat dari hasil
wawancara mereka mengungkapkan rasa tidak berdaya dan ketidakpastian pada
masa depan, hal ini mencirikan bahwa mereka di fase depresi. Di sini seluruh
pasien ketergantungan pada orang lain, baik itu keluarganya maupun petugas
kesehatan.
Fase ini dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia,
pendidikan, agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya.
Setelah itu klien dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan
menerima keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti
oleh perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan
dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di
samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap
berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan
untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan
menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi ini
orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat dan
dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien.

Dimensi Sosial
Dari hasil wawancara dengan informan didapatkan 3 tema penelitian pada
dimensi sosial meliputi: tidak dapat ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup
keluarga, dan biaya besar untuk berobat. Kecemasan yang dirasakan klien Akut

43
Miokard Infark dapat mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang
terdekat untuk mendapatkan dukungan.
Menurut Ahmad., et all. (2006) bahwa gejala-gejala fisik dari klien dalam
kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan juga depresi dan
kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial
dan kultural yang beragam. Pengkajian gejala distres dengan demikian
merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis,
Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu
model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah
stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek
penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Pada saat klien dirawat
karena penyakit infark miokard akut, mereka membutuhkan dukungan, dan
mekanisme dukungan yang paling tepat adalah dukungan pengharapan
Dukungan pengharapan merupakan dukungan yang diberikan secara
kelompok. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan
ancaman. Dukungan social penyangga orang – orang untuk melawan stres dengan
membantu mereka mendefinisikan kembali situasi tersebut terhadap ancaman
kecil. Di sini diperlukan kehadiran keluarga yang mendampingi klien di saat
kritis, tetapi aturan perawatan menyebabkan mereka tidak dapat ditemani oleh
keluarganya, padahal menurut Rasulo, D et. all. (9) (2005) faktor hubungan sosial
dapat meningkatkan survival menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan
dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar
Sebagian besar informan yaitu 8 dari 10 orang informan memiliki pikiran
negatif dimana mereka seluruhnya telah menitipkan keluarga dekatnya (istri dan
anak-anaknya) kepada keluarga besarnya. Hal ini menunjuikkan bahwa dukungan
sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping individu. Selain itu
dapat dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan pada
pengalaman sebelumnya. Dapat pula dengan mengarahkan pada orang yang sama
yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan
bantuan.dan mengajak orang – orang berfokus pada aspek yang lebih positif dari
situasi tersebut.

44
Dari faktor ekonomi menurut Kramer, et. al (2005) menyebabkan perlunya
biaya yang besar dalam pengobatan, ketidakmampuan dari sistem pendukung
dimana asuransi kesehatan tidak memenuhi semua kebutuhan klien dengan
penyakit terminal. Hal ini ditemukan pula pada penelitian ini, dimana dari 10
orang informan 9 diantaranya menyebutkan bahwa mereka memerlukan biaya
yang besar untuk pengobatan.

Dimensi Spiritual
Dari hasil wawancara pada dimensi spiritual didapatkan 2 tema penelitian

yaitu ketakutan akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).

Klien Infark Miokard Akut mengalami krisis yang berhubungan dengan

perubahan patofisiologi, dimana rasa nyeri yang hebat dan disertai sesak nafas

membuat klien berpikir bahwa sekaranglah akhir kehidupannya, selain itu

pengobatan yang diperlukan dan atau situasi yang mempengaruhi seseorang

sehingga pikiran negatif itu timbul.

Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang

sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka

keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang / berdoa lebih tinggi (Achir

Yani, 2000). Pada penelitian ini seluruh informan menyatakan bahwa dirinya

merasa dihadapkan pada kematian dan menyatakan bahwa mereka sulit

melakukan ibadah sholat untuk semakin mendekatkan diri mereka pada Tuhan.

6. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan dari penelitian pengalaman klien kondisi terminal: infark
miokard akut selama di rawat di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung dilihat dari 4 dimensi yaitu dimens fisik, dimensi
psikologis, dimensi sosial dan dimensi spiritual. Untuk dimensi fisik didapatkan
tema penelitian nyeri dada dan sesak nafas. Untuk dimensi psikologis didapatkan

45
tema penelitian tidak berdaya dan ketidakpastian menghadapi masa depan.
Sedangkan untuk dimensi sosial didapatkan tema penelitian yaitu tidak dapat
ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup keluarga, dan biaya besar untuk
berobat. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema penelitian ketakutan
akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat).

Saran dari penelitian ini adalah pentingnya dapat mengelola dan


mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang
sedang dirawat di unit intensif secara holistik; bio psiko sosial dan spiritual.

7. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N., Kamal, M., Anwar, A.H.M.M., and Rahman, A.K.M.S. (2006).
Needs Of Terminally Ill Patients And Their Families: An Experience With
Fifty Three Patients Attending A Newly Organized Palliative Care Service
In Bangladesh. Journal of BSA, Volume 19, No. 1 – 2 .
Albrecht, C. (2006). Overview of The South African Cancer Research
Environment As A Basis For Discussions Concerning The Activation of
CARISA ( Cancer Research Initiative of South Africa). Independent
Medical Research Consultant
Allen, R.S., Burgio, L.D., Fisher, S., Hardin, J.M., and Shuster, Jr. J.L. (2005).
Behavioral Characteristics of Agitated Nursing Home Residents, with
Dementia at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol
45, No.5, 661 – 666.
Anthony, H., Dermot, M., and Stephen, G. (2004), TB/HIV A Clinical Manual
(Second Edition ed). China, WHO Library Cataloguing.
Berger, A., Pereira, D., Baker, K., O’Mara, A., and Bolle, J. (2002). A
Commentary: Social and Cultural Determinants of End of Life Care for
Elderly Persons. The Gerontological Society of America Vol 42, Special
Issue III, 49 – 53.
Bradshaw, D. (2010). Burden of Disease. Medical Research Council, Tygerberg.
South Africa
Brockopp, D.Y., and Tolsma MTH. (2000). Dasar-Dasar Riset Keperawatan. Y.
Asih dan Maryunani A, Trans. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Campbell, H., Hotchkiss, R., Bradshaw, N., Porteous, M. (1998). Integrated care
pathways. BMJ. Jan 10;316(7125):133-7.
Case Management Society of America (CMSA). (2010). Standards Of Practice
For Case Management. USA
Clayton, J.M., Hancock, K., Parker, S., Butow, P.N., Walder, S., Carrick, S., et
all. (2008). Sustaining hope when communicating with terminally ill
patients and their families: a systematic review. Psycho-Oncology 17:
641–659

46
Clark, C.C. (2004). The Holistic Nursing Approach to Chronic Disease. New
York Springer Publishing Company.
Cullen, L., Titler, M., & Drahozal, R. (2003). Family and Pet Visitation in the
Critical Care Unit. American Association of Critical-Care Nurses. 23 (5) :
62-67
Damiani, M.E., Cattaneo, M.T., Tansini, G., Dedor, B., Gabris, A, Galimberti,
A., Piazza, E. (2009). Care of The Terminally Ill Cancer Patient. J. Med Pers
7:27 – 33
Denisson, R.D, (1996). Pass CCRN. Nancy Coon: USA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Keputusan Menteri
Kesehatan tentang Perawatan Paliatif. Jakarta
Dossey, B.M., Keegan, L., Guzzeta, C.E. (2005). Holistic Nursing A Handbook
for Practice. 4 Ed. Jones and Bartlett Publisher Inc.
Drought, T.S. (2005) .Choice in End-of-Life Decision Making: Researching Fact
or Fiction. The Gerontological Society of America Vol 42
Emanuel, L., Librach, L. (2007). Palliative Care: Core Skills and Clinical
Compentencies. Saunders Elsevier. Philadelphia
Syukrudin, E. (2000). Pedoman Tatalaksana Infark miokard . ITB : Bandung.
Folit, D.F., and Beck, C.T. (2006). Nursing Research: Methods Appraisal and
Utilization (6 ed). Philadelphia: Lipincott Williams and Wilkins.
Friedman, M., Bowden, V.R., & Jones, E. (2003). Family Nursing: Research,
Theory, and Practice. 5th ed. Stamford, CT : Appleton & Lange
Fried, T.R., O'leary, J., Van Ness, P., Fraenkel, L. (2007). "Inconsistency over
time in the preferences of older persons with advanced illness for life-
sustaining treatment". Journal of the American Geriatrics Society 55 (7):
1007–14.
Gillis, A. & Jackson, W. (2002). Research for nurses methods and interpretation.
Philadelphia : F.A. Davis Company.
Glaser, G. (1972). Disclosure of Terminal Illness In: Patient, Phisician and
Illness. Free Press New York.
George, L.K. (2002). Research Design in End of Life Research: State of Science.
The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 86 – 98.
Govender, M. (2008). Death Anxiety and Attitude of Nurses towards Dying. The
Gerontological Society of America Vol 45.
Hamid, A.Y.S S. Hamid. (2000). Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Widya
Medika : Jakarta.
Hancock, B. (2002). Trent Focus for Research and Development in Primary
Health Care An Introduction to Qualitative Research. Trent Focus Group;
University of Nottingham
Harun dan Idrus. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat penerbit FKUI :
Jakarta.
Hawari, D. (2004). Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap. PT. Dana Bhakti Prima
Yasa : Jakarta
Hawari, D. (1996). Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa.dan Kesehatan Jiwa PT.
Dana Bhakti Prima Yasa : Jakarta
Hawkins, N.A., Ditto, P.H., Duks, J.H., and Smucker, W.D. (2005).
Micromanaging Death: Process Preferences, Valus, and Goals in End of

47
Life Medical Decision Making. The Gerontological Society of America
Vol 45, No 1, 107 – 117 .
Hawker, S., Payne, S., Kerr, C., Hardey, M., and Powell, J. (2002). Appraising the
evidence : reviewing disparate data systimatically Qualitative health
reserach, 12, 1284-1299.
Hidayat, A. (2004). Pengantar Konsep Dasar Keprawatan. Selemba Medika :
Jakarta.
Hays, M. et. al. (7). (2005) The Spiritual History Scale in Four Dimensions (SHS-
4): Validity and Reliability. The Gerontological Society of America Vol
45.
Hebert, R.S., Schulz, R., Copeland, V.C., and Arnold, R.M. (2009) Preparing
Family Caregivers for Death and Bereavement. Insights from Caregivers
of Terminally Ill Patients. Journal of Pain and Symptom Management,
Vol. 37 No. 1.
Hudak, C.M., Gallo, B.M. (1994)a. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik
(Allenidekania, B. Susanto, Teresa dan Yasmin, Trans. Edisi VI ed. Vol.
I). Jakarta : EGC
Hudak, C.M., Gallo, B.M. (1994)b. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik
(M.E.Adiyanti, M Kariasa, M. Sumarwati dan E. Afifah, Trans. ed VI.
Volume I). Jakarta : EGC
Hill, M. (1998). The development of care management systems to achieve clinical
integration. Adv Pract Nurs. Q. Summer;4(1):33-9.
Instalasi Diklat RSUP.DR. Wahidin Sudirohusodo, FK-UNHAS. Materi
Pendidikan – Pelatihan Perawat Intensif Care Unit (ICU). Makassar
Jones, J.K. (2002). The Experience of Dying: An Ethnographic Nursing Home
Study. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 651 – 660.
Keliat, B.A. (1999). Penatalaksanaan Stress. EGC : Jakarta.
Kaiser, K. (1992). assessment and management of pain in the critically ill trauma
patient. Critical Care Nursing Quaterly, 15, 14-34.
Kish. S.K. (2000). "Advance Directives in Critically Ill Cancer Patients." In
Critical Care Nursing Clinics. North America .
Kirkchoff, L.T. Beckstrand, R.L. (2000). Critical care nurse perceptions of
obstacles and helpful behaviours in providing end of life care to dying
patients. Am J Crit Care, 9, 96.
Kollef, M.H., Bedient, T.J., Isakow, W., Witt, C.A. (2008). The Washington
Manual of Critical Care. Lippincott. Washington.
Kozier, B., Erb, G., Blais, K. & Wilkinson J.M. (1995). Fundamentals of
nursingconcepts, process and practice. California : Addison Wesley
Nursing.
Koenig, H.G. (2002). A Commentary: The Role of Religion and Spirituality at the
End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue
III, 20 – 23.
Kubler, R. E. (1970). On Death and Dying. New York. Mc Millan Publication
Kramer, B.J, and Auer, C. (2005). Challenges to Providing End of Life Care to
Low Income Elders With Advanced Chronic Disease: Lessons Learned
From a Model Program The Gerontological Society of America Vol 42,
Special Issue III, 71 80.

48
Krause, R.S. (2010). Palliative Care in the Acute Care Setting. State University of
New York
Kwak, J., and Haley, W.E. (2005). Current Research Finding on End of Life
Decision Making Among Racially or Ethnically Diverse Groups. The
Gerontological Society of America Vol 45, No 5, 634 – 641.
Lumenta, B. (1997). Tanatologi tentang Perilaku Pasien Terminal. Ebers Papirus-
Vol 3. No.1
Lawrence, M. (1995). The Unconscious Experience. Am J Crit Care, 4, 227
Leske, J.S. (2002). Interventions to Decrease Family Anxiety. American
Association of Critical-Care Nurses. 22 (6) : 61-65
Liewellyn, K. (2003). Cultural Diversity and Pain Management. from
http://www.cahq.org/docs/2003/culturaldiversitypainmanagement.pdf
Matousek, M. (2000). "Start the Conversation: The Modern Maturity Guide to
End-of-Life Care." and "The Last Taboo." Modern Maturity/AARP.
Marino, P.I. (2007). The ICU Book (Third ed). New York: Lippincott Williams
and Wilkins.
Mc.Graw-Hill concise Dictionary of Modern Medicine. (2002). By The Mc.Graw
Hill Companies.Inc
Macnee, C.L.(2004). Understanding nursing research : reading and using research
in practice. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.
McPhee, R., Markowitz, P., (2000). “Death is inevitable, and while there is no
way out, there is a way through” The Dialectics of Care: Communicative
Choices at the End of Life. P 2513
Mezey, M., Dubler, N.N., Mitty, E., and Brody, A.A. (2009). What Impact Do
Setting and Transitions Have on the Quality of Life at the End of Life and
the Quality of the Dying Process. The Gerontological Society of America
Vol 42, Special Issue III, 54 - 67.
Middleton, A. (2003). Integrated Care Pathways; A Practical Approach To
Implementation. Butterworth – Heinemann
Michiels, E., Deschepper, R., Kelen, G.V.D, Bernheim, J.L., Mortier, F., Stichele,
R.V., Deliensand, L. (2007). The role of general practitioners in continuity
of care at the end of life: a qualitative study of terminally ill patients and
their next of kin. http://pmj.sagepub.com/content/21/5/409
Moleong, L.J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi ed.).
bandung: Remaja Rosdakarya
Morgan, D.L. (1997). Focus Group as Qualitative Research Method Series. 2 ed.
Sage Publication.
Morrow, A. (2010). Paliatif Care Guide: Hospice Case Manager Nurse. Melalui
<http//:www.about.com.palliative care> [2/2/11]
Morsse, S.D, Shugarman, L.R., Karl, A.L., Mularski, R.A., and Lynn, J. (2008). A
Systematic Review of Satisfaction with Care at the End of Life. California
Evidence-Based Practice Center
Munn, J.C., Dobbs, D., Meier, A., Williams, C., Biola, H., and Zimmerman, S.
(2008). The End of Life Experience in Long Term Care: Five Themes
Identified From Focus Groups With Residents, Family Members, and
Staff. The Gerontological Society of America Vol 48, No. 4, 485 – 494.

49
Natan, M.B., Garfinkel, D., Shachar, I. (2010). End-of-life needs as perceived by
terminally ill older adult patients, family and staff. European Journal of
Oncology Nursing. 299 - 303
Niven, P. (2003). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan Lain. Edisi 2. EGC, Jakarta
Nawawi, F. (2000). Nilai Troponin pada Penderita Sindrom Koroner Akut (SKA)
: http;//www. Journal.unair.ac.id. Diperoleh tanggal:2 Oktober 2007.
Osse, B.H.P., Dassen, M.J.F.J.V., Schade, E., Grol, R.P.T.M. (2007). A Practical
Instrument to Explore Patients Needs In Palliative Care: The Problems and
Needs In Palliative Care Questionnaire-Short Version. Palliative
Medicine; 21: 391 – 399.
Owen, S.A., Sterk, C., & McCarty, F. (2009). Development and Avaluation of a
Complementary and Alternative Medicine Use Survey in African-
Americans wit AIDS. The Journal of Alternative and Complementary
Medicine, 16(569-577)
Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods. Sage
Publication, Inc.
Parse, R.R. (2001). Qualitative Inquiry: The Path of Sciencing. Jones and Bartlett
Publishers. Canada.
Price, S.A., & Wilson, l. M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Pollit, D.F & Hungler, B.P. (1999). Nursing research : principles and methods .
(6thed.). Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.
Polit, D.F. & Beck, C.T. (2006). Essentials of nursing research
methods,aAppraisal, and utilization. (6th ed.). Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins.
Powell, S.K. (2000). Case Management; A Practical Guide To Succeess in
Managed Care. Lippincott. Philadelphia.
Rasulo, D., Christensen, K., and Tomassini, C. (2005). The Influence of Social
Relations on Mortality in Later Life: A Study on Elderly Danish Twins.
The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 601 – 608.
Schroepfer, T.A. (2008). Social Relationships and Their Role in the Consideration
to Hasten Death. The Gerontological Society of America Vol 48, No.5,
612 – 621.
Sloane, P.D, Zimmerma, S., Williams, C., and Hanson, L.C. (2008). Dying With
Dementia in Long Term Care. The Gerontological Society of America Vol
48, No.6, 741 – 751.
Smeltzer, dkk (2004). Brunner & Suddarth’s texbook of medical surgical nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sole, M.L., Klein, D.G., and Moseley M.J. 2009. Critical Care Nursing. By
Saunders 5 th ed.
Stemler, S. (2001). An overview of content analysis. Practical Assessment,
Research & Evaluation, 7(17). Retrieved March 10, 2011 from
http://PAREonline.net/getvn.asp.
Streubert, H.J. and Carpenter, D.R. (2003). Qualitatif Researcht in Nursing;
advancing the Humanistic Imperative (3nd). Lippicoth : Phladelphia.
Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung :
CVAlfabeta.

50
Sulmasy, D.P. (2002). A Biopsychosocial-Spiritual Model for the Care of Patien
at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special
Issue III, 24 – 33.
Travis, S., et. al. (6). (2005). Hospitalization Patterns and Palliation in the Last
Year of Life Among Residents in Long-Term Care . The Gerontological
Society of America Vol 42
USA Health System). Case Management. Melalui <http//:www.wikipedia.org>
[12/12/10]
Urden, L.D., Stacy, K.M., Lough, M.E. (2006). Critical Care Nursing Diagnosis
and Management. St Louis. Missouri: MOSBY
Vincent, J.L. (2010). Yearbook Of Intensive Care And Emergency Medicine. Pub.
Springer – Verlag Berlin, Heilelberg New York
Virginia, T.P., Tolle., Drach., and Hickman. (2002). Measurment of Quality of
Life at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42,
Special Issue III, 71- 80.
Wetle, T., Shield, R., Teno, J., Miller, S.C., and Welch, L. (2005). Family
Perspectives on End-of-Life Care Experiences in Nursing Homes. The
Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 642 – 650.

51
52

Anda mungkin juga menyukai