Anda di halaman 1dari 27

Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung

dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat
menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.

Menurut World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang
dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia
turut menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk
kasus difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan
dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia
menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353
orang yang menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90%
dari orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.
Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan
imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah
Indonesia. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan)
dan tetanus ini disebut dengan imunisasi DTP. Sebelum usia 1 tahun, anak
diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DTP. Cakupan anak-anak yang mendapat
imunisasi DTP sampai dengan 3 kali di Indonesia, pada tahun 2016, sebesar 84%.
Jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan cakupan DTP yang pertama, yaitu
90%.

Penyebab Difteri
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyebaran bakteri ini
dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin
difteri. Ada sejumlah cara penularan yang perlu diwaspadai, seperti:
 Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk. Ini
merupakan cara penularan difteri yang paling umum.

 Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau


handuk.

 Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita.
Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang padat
penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.

Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat dalam
tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan
membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu,
racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak
jantung, ginjal, serta sistem saraf.

Terkadang, difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya
tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Apabila tidak menjalani pengobatan
dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di
sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi.

Gejala Difteri
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk ke
tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:

 Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan


amandel.

 Demam dan menggigil.

 Sakit tenggorokan dan suara serak.

 Sulit bernapas atau napas yang cepat.

 Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.

 Lemas dan lelah.


 Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur
darah.

Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok
(ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan
meninggalkan bekas pada kulit.

Segera periksakan diri ke dokter jika Anda atau anak Anda menunjukkan gejala-
gejala di atas. Penyakit ini harus diobati secepatnya untuk mencegah komplikasi.

Diagnosis dan Pengobatan Difteri


Untuk menegakkan diagnosis difteri, awalnya dokter akan menanyakan beberapa
hal seputar gejala yang dialami pasien. Dokter juga dapat mengambil sampel dari
lendir di tenggorokan, hidung, atau ulkus di kulit untuk diperiksa di laboratorium.

Apabila seseorang diduga kuat tertular difteri, dokter akan segera memulai
pengobatan, bahkan sebelum ada hasil laboratorium. Dokter akan menganjurkannya
untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Lalu langkah
pengobatan akan dilakukan dengan 2 jenis obat, yaitu antibiotik dan antitoksin.

Antibiotik akan diberikan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi.


Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama
pasien menderita difteri.

Sebagian besar penderita dapat keluar dari ruang isolasi setelah mengonsumsi
antibiotik selama 2 hari. Tetapi sangat penting bagi mereka untuk tetap
menyelesaikan konsumsi antibiotik sesuai anjuran dokter, yaitu selama 2 minggu.

Penderita kemudian akan menjalani pemeriksaan laboratorium untuk melihat ada


tidaknya bakteri difteri dalam aliran darah. Jika bakteri difteri masih ditemukan dalam
tubuh pasien, dokter akan melanjutkan penggunaan antibiotik selama 10 hari.

Sementara itu, pemberian antitoksin berfungsi untuk menetralisasi toksin atau racun
difteri yang menyebar dalam tubuh. Sebelum memberikan antitoksin, dokter akan
mengecek apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tersebut atau tidak. Apabila
terjadi reaksi alergi, dokter akan memberikan antitoksin dengan dosis rendah dan
perlahan-lahan meningkatkannya sambil melihat perkembangan kondisi pasien.

Bagi penderita yang mengalami kesulitan bernapas karena hambatan membran abu-
abu dalam tenggorokan, dokter akan menganjurkan proses pengangkatan membran.
Sedangkan penderita difteri dengan gejala ulkus pada kulit dianjurkan untuk
membersihkan bisul dengan sabun dan air secara seksama.

Selain penderita, orang-orang yang berada di dekatnya juga disarankan untuk


memeriksakan diri ke dokter karena penyakit ini sangat mudah menular. Misalnya,
keluarga yang tinggal serumah atau petugas medis yang menangani pasien difteri.

Dokter akan menyarankan mereka untuk menjalani tes dan memberikan antibiotik.
Terkadang vaksin difteri juga kembali diberikan jika dibutuhkan. Hal ini dilakukan
guna meningkatkan proteksi terhadap penyakit ini.

Komplikasi Difteri
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus
komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan 1 dari 5
penderita balita dan lansia di atas 40 tahun meninggal dunia akibat komplikasi difteri.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu
beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya
meliputi:

 Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-
partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi
memicu reaksi peradangan pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun
secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
 Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung
dan menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung, dan
kematian mendadak.
 Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan,
masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf
tangan dan kaki. Paralisis pada diafragma akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga
membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara
tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena
itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi umumnya dianjurkan untuk tetap
di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
 Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala
yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan
gagal ginjal.
Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi
Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan
difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau
batuk rejan.

Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin
ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan
lima tahun. Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia
10 tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan
perlindungan yang optimal.
Apabila imunisasi DTP terlambat diberikan, imunisasi kejaran yang diberikan tidak akan
mengulang dari awal. Bagi anak di bawah usia 7 tahun yang belum melakukan imunisasi
DTP atau melakukan imunisasi yang tidak lengkap, masih dapat diberikan imunisasi kejaran
dengan jadwal sesuai anjuran dokter anak Anda. Namun bagi mereka yang sudah berusia 7
tahun dan belum lengkap melakukan vaksin DTP, terdapat vaksin sejenis yang bernama Tdap
untuk diberikan.

Perlindungan tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidup.
Kalau Sudah Pernah Vaksin
Difteri, Perlukah Vaksin Ulang
Saat Dewasa?
Oleh Adelia Marista SafitriData medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.
 KlikKlik
896
Klik untuk
untuk
untuk membagikan
berbagi
berbagi pada
via
di di Facebook(Membuka
Twitter(Membuka
Tumblr(Membuka
Google+(Membuka
Linkedln(Membuka
Line new(Membuka di
di
dididi di
jendela
jendela
jendela
jendela
jendela jendela
yang
yang
yang
yang
yang yang baru)896
baru)
baru)
baru)
baru)
baru)

Baru-baru ini, penyakit difteri kembali mewabah di Indonesia. Difteri sebenarnya


merupakan penyakit lama dan sudah ada vaksin penangkalnya yang disebut
dengan vaksin DPT. Tapi, difteri ini kembali menyerang orang dewasa yang
sudah pernah mendapatkan vaksin difteri sejak kecil. Kok bisa? Lantas, apakah
ini berarti orang dewasa harus divaksin lagi?
Memahami jenis dan jadwal pemberian
vaksin difteri
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium dan biasanya
menyerang amandel, tenggorokan, hidung, serta kulit. Penyakit ini menyebar
dengan cepat melalui partikel udara lewat batuk, bersin, atau tertawa. Jika
terkena penyakit ini, Anda akan merasakan gejala berupa radang tenggorokan,
serak, hingga masalah pernapasan. Bahkan, difteri bisa menyebabkan
kematian jika tidak segera ditangani sehingga membutuhkan pencegahan berupa
vaksin.

Vaksin untuk difteri itu sendiri ada tiga jenis, yaitu DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan
vaksin Td. Vaksin ini diberikan pada usia yang berbeda, diantaranya:

 Bayi di bawah satu tahun diberikan tiga dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak
satu bulan
 Anak usia 18 bulan diberikan satu dosis vaksin DPT-HB-Hib
 Anak sekolah kelas 1 SD diberikan satu dosis vaksin DT di bulan November
 Anak sekolah kelas 2 SD diberikan satu dosis vaksin Td di bulan November
 Anak sekolah kelas 5 SD diberikan satu dosis vaksin Td di bulan November

Nah, kini saatnya Anda memastikan apakah anak Anda sudah


menerima imunisasi lengkap sesuai jadwalnya, termasuk vaksin difteri ini. Jika
dirasa belum lengkap, maka segera dilengkapi. Sebab ini bisa jadi anak akan
memiliki risiko terkena difteri saat ia dewasa.

Sudah pernah vaksin difteri saat kecil,


kok masih bisa terkena saat dewasa?
Munculnya kasus difteri pada orang dewasa memang sebagian besar
disebabkan karena tidak divaksin atau status imunisasi yang kurang lengkap
sejak kecil. Itulah sebabnya Anda perlu memastikan apakah Anda sudah
menerima vaksin difteri atau belum. Jika memang belum, maka Anda tetap harus
diimunisasi lagi untuk mencegah terkena penyakit ini.

Lantas, bagaimana bila sudah divaksin, tetapi masih terkena difteri saat dewasa?
Nah, walaupun sudah divaksin, kekebalan tubuh Anda terhadap penyakit difteri
ini bisa saja menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini akan diperparah bila tidak
dilakukan upaya pencegahan terhadap difteri secara maksimal.

Belum lagi dengan beberapa orangtua yang menganggap imunisasi tidak


berdampak apapun pada kekebalan tubuh sehingga menolak vaksin difteri untuk
anak. Hal ini yang menyebabkan adanya celah bagi penyakit difteri untuk kembali
masuk dan menular ke anak-anak maupun orang dewasa.
Kapan pemberian vaksin difteri untuk
orang dewasa?
Vaksin difteri untuk orang dewasa menggunakan vaksin Td/Tdap, yaitu vaksin
DPT dengan reduksi antigen dan pertusis. Bedanya adalah Tdap menggunakan
komponen pertusis aseluler, artinya bakteri pertusis dibuat tidak aktif sehingga
jarang menyebabkan demam.

Idealnya, vaksin difteri diberikan sebanyak tiga dosis sejak usia dua tahun hingga
usia 18 tahun (usia 5 tahun, 10-12 tahun, dan 18 tahun). Setelah itu, vaksin ini
akan semakin efektif bila diberikan setiap 10 tahun selama seumur hidup.
Mengapa? Sebab, vaksin hanya mampu memberikan perlindungan selama 10
tahun, sehingga setelah 10 tahun perlu diberikan booster atau penguat.

Menurut CDC, pemberian vaksin difteri diberikan pada usia 19-64 tahun
sebanyak satu dosis. Berikut jadwal pemberian vaksin difteri bagi orang dewasa:

 Orang dewasa yang belum pernah mendapatkan vaksin Td atau belum


lengkap status imunisasinya, diberikan 1 dosis vaksin Tdap diikuti dengan vaksin
Td sebagai penguat setiap 10 tahun.
 Orang dewasa yang sama sekali tidak diimunisasi, diberikan dua dosis
pertama dengan jarak 4 minggu dan dosis ketiga diberikan setelah 6 sampai 12
bulan dari dosis kedua
 Orang dewasa yang belum menyelesaikan tiga dosis vaksin Td seri primer
diberikan sisa dosis yang belum dipenuhi

Di Indonesia sendiri memang belum memiliki program imunisasi difteri untuk


dewasa. Ini sebabnya Anda perlu memastikan apakah status imunisasi Anda
sudah lengkap atau belum. Jika dirasa belum, segeralah vaksin difteri untuk
mencegah penyakit difteri.

Bila terdapat salah satu orang yang termasuk suspek difteri di lingkungan sekitar
Anda, maka Anda harus segera meminta divaksinasi ulang meskipun sudah
pernah divaksin saat kecil. Ini bertujuan untuk menambah kekebalan tubuh Anda
dari penularan penyakit difteri.

Baca Juga:
Awas! Difteri Bisa Mengancam
Nyawa Jika Tidak Cepat-cepat
Ditangani
Oleh Yuliati IswandiariData medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.
 5Klikuntuk
Klik untukberbagi
membagikan di Facebook(Membuka
Twitter(Membuka
pada Tumblr(Membuka di di jendela
di jendela
jendela yang yang
yang baru)
baru) baru)5
 Klik
Klik untuk
untuk berbagi
berbagi via Google+(Membuka
Linkedln(Membuka
di Line didijendela
new(Membukadi jendelayang
jendela yangbaru)
yang baru)
baru)

Difteri adalah infeksi bakteri yang merusak selaput lendir hidung dan tenggorokan. Penyakit
ini bisa menyebar melalui partikel udara saat batuk atau bersin, serta dari kontak kulit
dengan barang-barang pribadi yang terkontaminasi. Menyentuh luka yang terinfeksi bakteri
penyebabnya juga dapat membuat Anda terekspos penyakit ini.

Jika tidak tertangani dengan baik, bukan hanya berisiko menularkan penyakit ini pada orang
lain, namun juga bisa berujung pada kematian. Kenapa bisa begitu?

Memahami bagaimana difteri menginfeksi


tubuh
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium. Bakteri ini dapat menghasilkan racun yang
merusak dan membunuh jaringan dalam tubuh, terutama selaput lendir tenggorokan dan
hidung. Selaput lendir yang mati kemudian menebal dan berubah warna menjadi keabuan.

Gejala umum yang biasanya mengikuti adalah radang tenggorokan dan serak, sulit
bernapas dan menelan, hidung meler, ngiler berlebihan, demam menggigil, bicara melantur,
dan batuk yang keras. Rentetan gejala ini disebabkan oleh racun bakteri yang ikut terhanyut
ke dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, sistem saraf otak, serta jaringan tubuh
sehat lainnya.

Apa saja risiko komplikasi difteri?


Pada awalnya difteri bisa tidak menampilkan gejala berarti. Itu sebabnya banyak orang yang
sebenarnya sudah terinfeksi bisa tidak menyadari kalau dirinya sakit.

Namun orang yang terinfeksi penyakit ini harus cepat-cepat diobati untuk mencegah risiko
komplikasi fatal dan penyebaran bakteri. Anak-anak dan lansia lebih rentan mengalami
komplikasi penyakit ini. Diperkirakan satu dari lima dan lansia di atas 40 tahun meninggal
dunia akibat komplikasi difteri.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, racun yang dihasilkan bakteri dapat memicu
beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi
gagal pernapasan, peradangan otot jantung (miokarditis), gagal jantung, hingga perdarahan
dalam parah yang menyebabkan gagal ginjal.

Dibiarkan terus, difteri dapat menyebabkan syok (kulit dingin memucat, keringat deras, dan
jantung berdebar) yang berujung pada kematian.

Bagaimana cara mencegah difteri?


Penyakit ini sangat menular. Itu sebabnya difteri lebih banyak ditemui di negara-negara
berkembang, di mana angka imunisasi masih rendah.

Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin DPT. Vaksin ini
meliputi difteri, tetanus, dan pertusis (batuk rejan). Vaksin DPT termasuk dalam 5 imunisasi
wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak
berusia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun.

Vaksinasi ini dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidup. Namun bagi anak-anak
yang belum menerima vaksin ini saat bayi, segera dapatkan vaksin Tdap pada usia 12
tahun. Orang yang sudah sembuh juga disarankan untuk menerima vaksin karena tetap
memiliki risiko untuk kembali tertular penyakit yang sama.
Catat Baik-baik! Ini Jadwal Lengkap
Vaksin untuk Orang Dewasa
Oleh Novita JosephData medis direview oleh dr. Tania Savitri.

 2Klikuntuk
Klik untukberbagi
membagikan
pada di Facebook(Membuka
Twitter(Membuka
Tumblr(Membuka
viaLinkedln(Membuka
Google+(Membuka di di jendela
jendela
di jendela
jendela yang
yang yang baru)2
baru)
baru)
Klik untuk berbagi di Line new(Membukadididijendela yang
jendelayang
yang baru)
baru)
baru)

Vaksin tidak hanya dibutuhkan oleh bayi dan anak kecil. Orang dewasa pun
memerlukannya, terutama jika sewaktu kecil ketinggalan jadwalnya sehingga imunisasi
Anda tidak lengkap. Beberapa vaksin waktu kecil juga ada yang harus diulang atau
dilakukan berkala untuk menjaga kekebalan tubuh. Apa saja dan kapan jadwal vaksin untuk
orang dewasa? Simak di bawah ini.
Berikut jadwal untuk vaksin orang dewasa
1. Tetanus dan difteri

Pada dasarnya, tiap orang dewasa harus mendapatkan satu set vaksinasi lengkap.
Umumnya bisa didapat dengan tiga dosis primer dari vaksin difteri dan toksoid tetanus,
Kedua dosis tersebut bisa diberikan paling tidak dengan jarak empat minggu, dan dosis
ketiga diberikan enam hingga 12 bulan setelah dosis kedua.

Tetapi, kalau ada orang dewasa yang belum pernah mendapat imunisasi tetanus dan difteri
secara rutin, maka biasanya ia diberikan seri primer dan diikuti dosis penguat setiap 10
tahun. Berapa efek samping yang bisa didapat dari vaksin ini adalah bengkak, memar
sekitar suntikan, dan bahkan demam setelahnya.

2. Pneumokok

Vaksin pneumokok merupakan vaksin yang ditujukan untuk mencegah penyakit akibat
infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae atau lebih sering disebut infeksi pneumokokus.

CDC merekomendasikan 2 vaksin pneumokokus untuk semua orang dewasa berusia 65


tahun atau lebih, yang menderita penyakit kardiovaskular kronis, diabetes melitus, atau
faktor risiko lainnya seperti penyakit pada paru-paru atau livernya. Anda harus menerima
dosis PCV13 terlebih dahulu, dilanjutkan dengan dosis PPSV23, minimal 1 tahun kemudian.
Jika Anda sudah menerima dosis PPSV23, dosis PCV13 harus diberikan paling sedikit 1
tahun setelah menerima dosis PPSV23 terbaru. Namun, banyak dokter melakukan
tembakan kedua 5 sampai 10 tahun setelah suntikan pertama.

3. Influenza

Vaksin influenza merupakan salah satu vaksin orang dewasa yang wajib dilakukan bagi
orang yang berusia di atas 50 tahun, penghuni rumah jompo dan penghuni fasilitas umum
dalam waktu lama, orang muda dengan penyakit jantung, paru kronis, penyakit metabolisme
(seperti diabetes), gagal ginjal dan penderita HIV. Vaksin influenza ini terbagi menjadi dua,
vaksin influeza aktif dan inaktif, dimana dilakukan bertujuan untuk mencegah penyakit flu
dan komplikasi lain yang bisa terjadi.

Idealnya, vaksin flu harus Anda dapatkan setiap tahun sekali, terutama sebelum dimulai
musim flu. Vaksin flu biasanya ditawarkan mulai bulan September sampai pertengahan
November setiap tahun.

4. Hepatitis A dan B

Orang dewasa umumnya membutuhkan vaksin hepatitis A dan B jika memang memiliki
risiko penyakit tersebut. Namun, hal ini juga bisa dilakukan jika Anda hanya ingin terlindungi
kesehatannya. Vaksin hepatitis bisa dilakukan kapan saja. Vaksin Hepatitis A diberikan
dalam 2 kali suntikan, jaraknya terpisah 6 bulan. Sementara itu semua anak harus
mendapatkan vaksin hepatitis B dosis pertama begitu lahir dan menyelesaikan seri vaksin
pada usia 6-18 bulan. Jika Anda tidak pernah mendapatkan vaksin B sebelumnya, Anda
bisa mendapatkannya kapan saja.

Beberapa orang yang punya faktor risiko seperti tinggal di wilayah atau daerah yang punya
angka penyakit hepatitis tinggi, mempunyai masalah liver, homoseksual, pengguna narkoba,
wajiba melakukan vaksin. Dan vaksin untuk hepatitis A biasanya diberikan sebanyak 2
dosis, dengan jarak 6 hingga 12 bulan.

5. Campak, Gondong dan Rubella (MMR)

Tiap orang wajib mendapatkan vaksin MMR, paling tidak sekali seumur hidup. Vaksin MMR
biasanya didapat ketika masa kanak-kanak. Tapi vaksin MMR juga terutama penting untuk
orang-orang dewasa yang lahir sebelum tahun 1957, atau belum pernah mendapatkannya
sewaktu kecil. Anda bisa mendapatkan vaksin ini kapan saja untuk pencegahan campak,
gondong, dan rubella.

Beberapa orang dewasa yang berisiko terpapar MMR mungkin akan memerlukan 2 dosis
(atau lebih), yang dilakukan dalam jangka waktu beberapa minggu.

6. Meningokok

Vaksin orang dewasa ini, harus dan wajib diberikan pada calon haji umrah atau orang
dewasa yang akan berpergian ke negara lain. Vaksin ini juga dianjurkan untuk individu yang
memiliki kekebalan imun lemah, pasien asplenia anatomik dan fungsional, dan ketika Anda
travelling ke negara yang terdapat epidemi penyakit meningokok, Afrika contohnya.
Umumnya dokter akan menyarankan Anda mendapatkan vaksin ini tiap 3 tahun sekali, jika
Anda termasuk dalam risiko di seperti yang telah dijelaskan di atas.

Baca Juga:

 Sekarang Sudah Ada Vaksin DBD! Simak Info Lengkapnya di Sini


 Operasi Mata Juling: Persiapan, Langkah Prosedur, dan Risiko yang Mungkin Terjadi
 8 Fakta Penting Soal Vaksin (Imunisasi) yang Perlu Anda Tahu
Vaksin untuk Orang Dewasa, Siapa
Saja yang Memerlukannya?
Oleh Novi Sulistia WatiData medis direview oleh dr. Tania Savitri.

 membagikan
Klik untuk berbagi pada di Facebook(Membuka
Twitter(Membuka
Tumblr(Membuka
viaLinkedln(Membuka
Google+(Membuka di di jendela
jendela
di jendela
jendela yang
yang yang
baru)baru)
baru)
Klik untuk berbagi di Line didijendela
new(Membukadi jendelayangyang
yang baru)
baru)
baru)
Vaksin biasanya diberikan pada bayi atau balita. Namun, tahukah Anda jika orang dewasa
juga memerlukan vaksin sebagai perlindungan terhadap penyakit? Pada orang dewasa,
vaksin yang dibutuhkan akan bergantung pada beberapa hal, yaitu usia, gaya hidup, kondisi
kesehatan berisiko tinggi, dan rencana perjalanan jika Anda senang traveling ke luar negeri.

Siapa saja yang perlu vaksin untuk orang


dewasa?
1. Anda mungkin sudah tidak terlindungi vaksin semasa kecil

Beberapa vaksin membutuhkan booster untuk membuat Anda tetap terlindungi, meskipun
Anda sudah mendapatkannya saat kecil. Beberapa vaksin yang membutuhkan booster di
antaranya adalah, vaksin influenza dan vaksin Tdap untuk tetanus, difteri, dan pertusis.

Untuk vaksin influenza, Anda perlu mengulangnya setiap tahun untuk melakukan antisipasi
sebelum musim flu datang.

2. Beberapa vaksin memang hanya untuk orang dewasa

Vaksin HPV, herpes zoster, pneumonia, demam tifoid, yellow fever atau demam kuning
adalah beberapa jenis vaksin yang hanya diberikan pada orang dewasa.

3. Anda mungkin membutuhkannya saat bepergian

Untuk melindungi Anda dari infeksi penyakit yang bukan berasal dari negara asal, Anda
membutuhkan vaksin saat berpergian ke negara tertentu. Misalkan,
vaksinasi meningitis perlu Anda lakukan saat Anda ingin melakukan ibadah haji atau pergi
ke daerah Arab Saudi. Atau, vaksinasi demam kuning yang perlu Anda lakukan saat Anda
ingin berpergian ke daerah Sub-sahara Afrika dan Amerika Selatan.

4. Anda tidak sepenuhnya divaksinasi saat kecil

Ada kemungkinan Anda belum mendapatkan vaksinasi secara lengkap saat kecil. Biasanya,
orang tua hanya memberikan vaksinasi yang diberikan secara gratis di Posyandu atau
Puskesmas, seperti hepatitis B, polio, BCG, DPT-HB-HIB, dan campak. Padahal, bayi Anda
juga memerlukan vaksin lain yang tidak disediakan secara gratis oleh pemerintah, seperti
PCV, rotavirus, influenza, MMR, hepatitis A, dan varisela. Jadi, Anda memerlukan vaksinasi
tersebut saat Anda dewasa.

5. Anda bekerja sebagai staf pelayanan kesehatan

Jika Anda bekerja di penyedia layanan kesehatan, Anda perlu mendapatkan vaksinasi
secara lengkap dan rutin melakukan booster. Fasilitas kesehatan seperti klinik, puskesmas,
dan rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya segala potensi infeksi yang dapat
membuat orang yang tidak terlindungi mengalami infeksi nosokomial, alias infeksi yang
didapat dan berkembang saat seseorang berada di lingkungan rumah sakit.

Beberapa jenis vaksinasi yang perlu Anda lakukan adalah vaksin campak, gondong, rubella
(MMR), hepatitis B, influenza, dan lainnya.
6. Anda aktif secara seksual

Bagi Anda yang telah aktif secara seksual, vaksin hepatitis B dan HPV sangat dianjurkan.
Bahkan, Anda sudah boleh mendapatkan vaksin HPV saat Anda remaja.

7. Faktor-faktor lainnya

Jika Anda merokok, memiliki sistem imun yang lemah atau terganggu, atau memiliki kondisi
medis tertentu, Anda perlu mendapatkan vaksin pneumokokus untuk membantu mencegah
penyakit serius seperti pneumonia, meningitis, dan infeksi darah yang disebabkan oleh
bakteri Streptococcus pneumoniae.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memberikan rekomendasi vaksin untuk
orang dewasa, yaitu:

 Flu musiman, untuk semua orang dewasa


 Pertusis atau batuk rejan, untuk semua orag dewasa yang tidak pernah menerima vaksin
Tdap dan untuk wanita selama setiap kehamilan.
 Tetanus dan difteri, setiap 10 tahun setelah vaksin Tdap
 Herpes zoster, untuk orang dewasa berusia 60 tahun ke atas
 Penyakit pneumokokus, untuk orang dewasa berusia 65 tahun ke atas dan orang dewasa
lebih muda dari 65 tahun yang memiliki kondisi kesehatan spesifik
DPT adalah singkatan dari difteri, pertusis, dan tetanus. Imunisasi
DPT adalah salah satu jenis bentuk vaksinasi yang wajib diberikan kepada
balita.
Penyakit difteri, pertusis, dan tetanus adalah tiga penyakit berbeda yang masing-
masing memiliki risiko tinggi dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Oleh
karena itu, pemberian imunisasi DPT sebaiknya tidak dilewatkan.

Sebelum memberikan imunisasi ini kepada anak Anda, sebaiknya diketahui lebih
lanjut informasi seputar pemberian imunisasi dan efek sampingnya.

Difteri merupakan penyakit pada selaput lendir pada hidung serta tenggorokan
yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini dapat menimbulkan lapisan tebal
berwarna abu-abu pada tenggorokan sehingga dapat membuat anak sulit makan
dan bernapas. Bila infeksi tidak diobati, toksin yang dihasilkan oleh bakteri bisa
menyebabkan lumpuh dan gagal jantung jika dibiarkan.

Sedangkan pertusis yang lebih dikenal batuk rejan adalah penyakit yang
menyerang sistem pernapasan dan menyebabkan batuk parah. Jika anak di bawah
satu tahun terkena penyakit ini, kemungkinan dapat terjadi pneumonia, kerusakan
otak, kejang, bahkan kematian.
Sementara tetanus merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan,
kejang, serta kekakuan otot. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Berbeda dengan
difteri dan pertusis yang menular, tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang.

Pemberian Imunisasi DPT


Imunisasi DPT pada anak-anak diberikan sebanyak lima kali sejak anak berusia 2
bulan hingga 6 tahun. Tiga pemberian pertama pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6
bulan. Pemberian yang ke-4 adalah pada usia 18-24 bulan dan pemberian yang
terakhir pada usia 5 tahun. Dosis yang diberikan yakni satu kali suntikan setiap
jadwal imunisasi. Setelahnya, dianjurkan untuk melakukan booster TD (imunisasi
ulang Tetanus Difteri) tiap 10 tahun.
Perhatikan beberapa kondisi anak Anda sebelum memberikan imunisasi. Jika anak
Anda mengalami sakit parah pada saat tiba jadwal imunisasi, maka sebaiknya
Anda tunggu hingga keadaan anak membaik. Jangan berikan imunisasi
selanjutnya jika anak Anda memiliki kondisi seperti:

 Setelah 7 hari mendapatkan suntikan, anak mengalami gangguan pada sistem saraf
atau otak.

 Muncul alergi yang cukup mengancam nyawa setelah anak mendapatkan


imunisasi.

Segera periksakan ke dokter bila setelah imunisasi, anak Anda mengalami:

 Demam di atas 40 derajat Celcius

 Anak tidak berhenti menangis setidaknya selama 3 jam

 Anak mengalami kejang atau pingsan.


Jika ditemukan bahwa anak Anda menunjukkan reaksi yang buruk terhadap vaksin
pertusis, biasanya dokter akan memberikan imunisasi TD dan menghentikan
pemberian imunisasi DPT.

Efek Samping DPT


Efek samping dari imunisasi DPT yang dapat muncul antara lain:

 Demam ringan
 Bengkak pada bagian suntikan

 Kulit pada bagian suntikan menjadi merah dan sakit

 Anak terlihat lelah

 Anak menjadi rewel

Efek samping tersebut biasanya akan terjadi pada satu hingga tiga hari setelah
pemberian vaksin. Sebaiknya gunakan ibuprofen atau acetaminophen
(parasetamol) untuk meredakan demam anak Anda. Hindari obat yang
mengandung aspirin karena pada sebagian kasus menyebabkan gangguan
kesehatan yang bisa mengancam nyawa anak, yaitu kerusakan hati dan otak. Walau
sangat jarang terjadi, pemberian vaksinasi DPT dapat menimbulkan kejang, koma,
dan kerusakan otak.

Dengan memberikan imunisasi yang lengkap pada anak maka Anda telah
memberikan perlindungan kepada anak dari beberapa penyakit berbahaya. Ingat
baik-baik kapan jadwal imunisasi anak Anda dan konsultasikan kepada dokter jika
anak Anda menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan setelah pemberian
imunisasi.
Kejadian Luar Biasa Difteri, Imunisasi DPT dan
Pencegahannya
Meski jarang sebelumnya kasus penyakit Difteri pernah muncul secara insidentil di Indonesia. Tetapi
saat ini di Indonesia Difteri kembali mewabah lebih hebat dibandingkan peristiwa sebelumnya. Bila
sebelumnya hanya pada 1 atau 2 propinsi terjangkit, saat ini tidak tanggung tanggung hampir separuh
provinsi di Indonesia terjangkit Difteri. Kementerian Kesehatan bahkan sudah menetapkan status
kejadian luar biasa (KLB) karena penyakit mematikan yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
Diptheriae ini telah memakan puluhan korban jiwa setidaknya di 20 provinsi. Difteri dianggap penyakit
menular yang sangat cepat dan sangat ganas. Sehingga saat ada peningkatan 1 kasus penyakit sudah
dianggap kejadian luar biasa. Data Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November
2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan
terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia. Sementara pada kurun waktu Oktober hingga
November 2017, ada 11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, antara lain di Sumatra Barat,
Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta,
Jawa Barat dan Jawa Timur. Penyakit difteri memiliki risiko tinggi dan bahkan bisa menyebabkan
kematian. Sehingga pemberian imunisasi DPT sebaiknya tidak dilewatkan. Kejadian luar biasa pada
difteri harus segera diatasi secara terencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang baik
oleh masyarakat dan institusi kesehatan. Di tengah kemajuan teknologi kedokteran, kehebatan vaksin
dan pengetahuan serta pendidikan masyarakat tentang kesehatan meningkat pesat tetapi justru kasus
difteri mewabah di hampir seperauh wilayah Indonesia.
Menurut World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh
dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut menyumbang 342 kasus. Sejak
tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat
3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini
menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak.
Dari 3.353 orang yang menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari
orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.
Sejak tahun 1990-an, kasus difteri di Indonesia ini sudah hampir tidak ada, baru muncul lagi pada
tahun 2009. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/ MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu, apabila ditemukan 1 kasus
difteria klinis dinyatakan sebagai KLB.

Sejak tahun 2015, jumlah kematian akibat difteri meningkat hingga 502 kasus. Untuk tahun ini saja,
sejak Januari hingga November tercatat lebih dari 590 kasus dengan prosentase kematian sekitar
6%. Meski Indonesia sudah melaksanakan program imunisasi -termasuk imunisasi difteri- sejak lebih
dari lima dasawarsa. Vaksin untuk imunisasi difteri ada tiga jenis, yaitu DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan
vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda. Meski sudah melaksanakan proragm vaksi tersebut
tetapi ternyata kasus difteri saat ini semakin meluas. Faktor apa yang berpengaruh sehingga kasus
ini semakin meningkat ?

o Immunity Gap. Munculnya KLB Difteri dapat terkait dengan adanya immunity gap, yaitu kesenjangan

atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi

akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri, karena kelompok ini tidak mendapat

imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.


o Cakupan imunisasi gagal mencapai target Data cakupan imunisasi di Indonesia sangat bervariasi

bergantung dari mana dan oleh siapa survei tersebut dilakukan (78%-90%). Pencatatan yang

dilaksanakan kurang akurat sehingga menghasilkan data yang kurang akurat pula. Catatan pada KMS

atau Buku Catatan Kesehatan Anak tidak diisi dengan baik oleh petugas kesehatan yang melakukan

imunisasi dan tidak disimpan dengan baik oleh orang tua, sehingga sulit diketahui apakah imunisasi

anaknya sudah lengkap atau belum.

o Petugas dan orangtua tunda imunisasi. Petugas kesehatan atau orangtua menunda atau tidak

memberikan imunisasi pada anak yang menderita sakit ringan sehingga mengakibatkan pemberian

imunisasi tidak sesuai jadwal atau bahkan tidak diberikan. Sebenarnya Kontra indikasi absolut

imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu.

Sedangkan demam tinggi atau sedang dirawat karena penyakit berat merupakan kontra indikasi

sementara, sehingga anak tetap harus diimunisasi apabila telah sembuh. Jangan sampai terjadi missed

opportunity untuk memberikan imunisasi hanya karena alasan anak sering sakit.

o Vaksin Bio Farma yang dipergunakan untuk program imunisasi nasional telah dilengkapi

dengan vaccine vial monitor (VVM) yang ditempelkan pada botol vaksin untuk monitor suhu vaksin.

Petugas medis diharapkan memperhatikan VVM, tanggal kadaluwarsa dan keadaan vaksin (endapan,

gumpalan) sebelum disuntikkan. Penyimpanan dan transportasi vaksin harus memperhatikan prosedur

baku cold chain, karena vaksin DPT akan rusak bila membeku atau dibawah 2 0 C, atau terpapar suhu di

atas 80 C. Hal tersebut perlu mendapat perhatian para petugas kesehatan baik di rumah sakit, rumah

bersalin, ataupun klinik pribadi.

o Adanya negatif campaign sebagai gerakan anti imunisasi yang marak akhir-akhir ini telah

menyebabkan banyak orang tua menolak anaknya diimunisasi. Program imunisasi sebagai program

nasional seharusnya diikuti dan dilaksanakan oleh semua masyarakat. Maka kelompok anti vaksinasi

perlu diatasi dengan cara pendekatan tersendiri dan terencana.

o Imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak Vaksin DPT merupakan vaksin

mati sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, sangat
diperlukan kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi

sebelum anak berumur 6 tahun.

o Edukasi mengenai imunisasi harus senantiasa diberikan oleh setiap petugas kesehatan dan semua

kelompo masyarakat pada setiap kesempatan bertemu orang tua pasien.

o Periksa ulang status imunisasi anak. Imunisasi DPT pada anak-anak diberikan sebanyak lima kali sejak

anak berusia 2 bulan hingga 6 tahun. Tiga pemberian pertama pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan.

Pemberian yang ke-4 adalah pada usia 18-24 bulan dan pemberian yang terakhir pada usia 5 tahun.

Dosis yang diberikan yakni satu kali suntikan setiap jadwal imunisasi. Setelahnya, dianjurkan untuk

melakukan booster TD (imunisasi ulang Tetanus Difteri) tiap 10 tahun.

o Semua institusi kesehatan baik Puskesma, rumah Sakit dan Dokter diharapkan turut berpartisipasi aktif

dalam memberantas difteri dan meningkatkan cakupan imunisasi DPT.

o Kejadian luar biasa pada difteri harus segera diatasi secara terencana, baik untuk jangka pendek maupun

jangka panjang.

o Jangka pendek Di daerah KLB dilakukan outbreak response immunization (ORI), yaitu pemberian

imunisasi DPT/ DT kepada semua anak berumur <15 tahun yang tinggal di daerah KLB (umur 2-7

tahun diberikan DPT, >7 tahun diberikan DT atau dT). Di daerah non-KLB diperlukan kesiapsiagaan

dengan memperhatikan kelengkapan status imunisasi setiap anak yang berobat. Segera lengkapi apabila

status imunisasi belum lengkap (3x sebelum umur 1 tahun, 1x pada tahun kedua, 1x pada umur 5 tahun

atau sebelum masuk sekolah dasar). Selain itu perlu juga dilengkapi imunisasi yang lainnya.

o Jangka panjang, untuk daerah KLB perlu dilakukan gerakan imunisasi terpadu untuk meningkatkan

cakupan imunisasi DPT sehingga mencapai 95% dari target anak <15 tahun.

o Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa setelah imunisasi DPT, kadang-kadang timbul

demam, bengkak dan nyeri ditempat suntikan DPT, yang merupakan reaksi normal dan akan hilang

dalam beberapa hari. Bila anak mengalami demam atau bengkak di tempat suntikan, boleh minum obat
penurun panas parasetamol sehari 4 x sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah

baju tipis atau segera berobat ke petugas kesehatan terdekat.

Imunisasi
DPT
o Imunisasi DPT pada anak-anak diberikan sebanyak lima kali sejak anak berusia 2 bulan hingga 6 tahun.

Tiga pemberian pertama pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Pemberian yang ke-4 adalah pada usia

18-24 bulan dan pemberian yang terakhir pada usia 5 tahun. Dosis yang diberikan yakni satu kali

suntikan setiap jadwal imunisasi. Setelahnya, dianjurkan untuk melakukan booster TD (imunisasi ulang

Tetanus Difteri) tiap 10 tahun.

o Perhatikan beberapa kondisi anak Anda sebelum memberikan imunisasi. Jika anak Anda mengalami

sakit parah pada saat tiba jadwal imunisasi, maka sebaiknya Anda tunggu hingga keadaan anak

membaik. Jangan berikan imunisasi selanjutnya jika anak Anda memiliki kondisi seperti:
1. Setelah 7 hari mendapatkan suntikan, anak mengalami gangguan pada sistem saraf atau otak.

2. Muncul alergi yang cukup mengancam nyawa setelah anak mendapatkan imunisasi.
Kapan harus ke dokter setelah imunisasi

o Demam di atas 40 derajat Celcius

o Anak tidak berhenti menangis setidaknya selama 3 jam

o Anak mengalami kejang atau pingsan.

o Jika ditemukan bahwa anak Anda menunjukkan reaksi yang buruk terhadap vaksin pertusis, biasanya

dokter akan memberikan imunisasi TD dan menghentikan pemberian imunisasi DPT.


Efek Samping DPT
o Demam ringan

o Bengkak pada bagian suntikan

o Kulit pada bagian suntikan menjadi merah dan sakit

o Anak terlihat lelah

o Anak menjadi rewel

o Efek samping tersebut biasanya akan terjadi pada satu hingga tiga hari setelah pemberian vaksin.

Sebaiknya gunakan ibuprofen atau acetaminophen (parasetamol) untuk meredakan demam anak Anda.

Hindari obat yang mengandung aspirin karena pada sebagian kasus menyebabkan gangguan kesehatan

yang bisa mengancam nyawa anak, yaitu kerusakan hati dan otak. Walau sangat jarang terjadi,

pemberian vaksinasi DPT dapat menimbulkan kejang, koma, dan kerusakan otak.

Anda mungkin juga menyukai